Apa yang dimaksud dengan asas transitoir?

asas transitoir

Dalam dunia hukum, terdapat beberapa asas salah satunya asas transitoir, apa yang dimaksud dengan hal tersebut?

Pengertian asas transitoir adalah asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal terjadi atau ada perubahan undang-undang.

Pengertian Asas Transitoir


Asas transitoir terdapat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi Terdakwa.

Dalam hukum pidana substansi Pasal 1 ayat (2) di atas lazim dikenal dengan asas transitoir, yaitu asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal terjadi atau ada perubahan undang-undang. Dengan asas tersebut pada dasarnya juga membicarakan mengenai diperbolehkannya aturan hukum pidana hasil perubahan untuk diterapkan secara surut, dengan syarat bila hukum pidana hasil perubahan tersebut kalau diterapkan akan lebih menguntungkan bagi Terdakwa dibandingkan bila menerapkan hukum pidana sebelum perubahan.

Apabila setelah perbuatan tersebut dilakukan terjadi perubahan dalam perundang-undangan, maka dipergunakan aturan yang paling ringan bagi terdakwa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, sehingga dengan demikian lextemporis delictie tersebut dibatasi oleh Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut.

Andi Hamzah menjelaskan bahwa prinsip peraturan tidak berlaku surut dalam asas legalitas bertujuan untuk melindungi orang dari kesewenang- wenangan penguasa. Kemudian asas bahwa peraturan tidak berlaku surut tersebut dibatasi dengan Pasal 1 ayat (2) KUHP dengan tujuan yang sama, yakni jangan sampai orang dikenakan hukuman berdasarkan peraturan baru yang lebih berat karena terjadinya perubahan peraturan tersebut. Andi Hamzah mengutip van Bemmelen, mengistilahkan terjadinya perubahan hukum pidana tersebut sebagai hukum transitoir atau hukum peralihan.

Makna dari hukum transitoir yang dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut berdasarkan Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan Wetboek van Straftrecht Netherland (disingkat WvSN), yang juga berlaku untuk KUHP, adalah semua ketentuan hukum materiil yang secara hukum pidana mempengaruhi penilaian perbuatan. Senada dengan Memorie van Toelichting WvSN tersebut, Pompe berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan perubahan perundang-undangan tersebut bukan hanya perundang- undangan pidana, sebab pembuat undang-undang tidak secara khusus menyebut perubahan perundang-undangan pidana dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut. Sebagai contoh, perubahan usia dewasa menurut Burgerlijk Wetboek (disingkat BW) tahun 1905, dari umur 23 tahun menjadi 21 tahun juga mempengaruhi dapatnya dipidana berbagai delik yang mengandung unsur “belum dewasa” sebagai inti dari delik.

Dalam menafsirkan istilah “perundang-undangan” yang berubah (sebagai hukum transitoir tersebut) menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut maka terdapat beberapa jenis ajaran atau pendapat para ahli hukum dan dalam praktik peradilannya. P.A.F. Lamintang menyebutkan adanya ajaran perubahan perundang-undangan dalam arti formil dan dalam arti materiil. Perubahan perundang-undangan dalam arti formil berarti bahwa yang berubah adalah undang-undang yang dibentuk oleh Presiden bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Van Bemmelen berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan perubahan perundang-undangan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut harus diartikan sebagai undang-undang dalam arti formil.

Ahli hukum seperti Pompe, Hattum dan Hamel berpendapat bahwa perkataan perundang-undangan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah undang- undang dalam arti materiil, bukan dalam arti formil. Menurut paham materiil, perubahan perundang-undangan yang dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP selain perubahan undang-undang juga perubahan dalam perundang- undangan lain selain undang-undang yang telah menyebabkan suatu ketentuan pidana yang pada hakikatnya secara tekstual tidak berubah, tetapi menjadi mempunyai pengetian lain.

Paham materiil ini masih dibagi menjadi paham materiil terbatas dan materiil tidak terbatas. Menurut paham materiil terbatas, perubahan perundang-undangan yang dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut bukanlah setiap perubahan (tidak semua perubahan), melainkan perubahan yang telah terjadi karena adanya keyakinan hukum (rechtsovertuiging), dan bukan karena keadaan-keadaan yang berubah. Sebagai contoh, terdapat perundang-undangan yang berlaku untuk sementara yang pasal-pasalnya menentukan waktu dan perundang-undangan yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan yang berubah. Menurut Andi Hamzah terdapat putusan-putusan yang mengatakan bahwa peraturan yang bersifat sementara jika dihapus tidak merupakan perubahan perundang-undangan menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP. Ajaran materril terbatas ini dikenalkan oleh van Geuns.

Sebaliknya menurut paham materiil tidak terbatas, yang dimaksudkan dengan perubahan perundang-undangan menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah perubahan yang terjadi pada semua undang-undang dalam arti materiil yang mempunyai pengaruh terhadap suatu ketentuan pidana. Paham materiil tak terbatas ini dianut oleh Pompe dan Hattum.

Dalam praktiknya, Hoge Raad dalam putusannya pernah menerapkan ajaran materiil tak terbatas dalam kasus Calo Wanita dari Venlo yang diadili karena malacurkan seorang wanita yang belum dewasa (berumur di bawah 23 tahun). Tetapi karena ada perubahan usia dewasa menurut BW, setelah perbuatan itu dilakukan, yakni usia dewasa diubah menjadi 21 tahun, maka wanita calo pelacuran itu dibebaskan dari tuntutan sebab perbuatan itu terjadi kemudian terjadi perubahan usia dewasa menurut BW saat perkara itu disidangkan.

Jika ketentuan perundang-undangan yang berubah merupakan ketentuan dalam KUHP, maka perubahan tersebut termasuk dalam perubahan perundang-undangan dalam arti formil, yakni perubahan KUHP sebagai undang-undang yang berlaku pada mulanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang selanjutnya diberlakukan di seluruh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.