Apa yang dimaksud dengan apatisme politik?

Apatisme Politik

Apatisme berasal dari kata apatis dan isme, yang masing-masing memiliki arti. Kata apatis sendiri serapan dari bahasa Inggris Apathy. Apatis sendiri memiliki arti acuh tak acuh; tidak peduli; masa bodoh.

Menurut Laster Milbarth dalam Political Participation apatis ialah orang yang tidak berpartisipasi serta menarik diri dari proses politik. Sedangkan menurut
M. L. Goel apatis ialah individu yang tidak beraktivitas secara partisipatif, dan tidak memilih.

David F. Roth dan Frank L. Wilson menyebut apatisme politik sebagai “Apoliti” dan apolitis merupakan bagian dari partisipasi politik. Apolitis sendiri memiliki pengertian kelompok orang yang tidak peduli dengan politik atau tidak melibatkan diri dengan kegiatan politik.

Secara garis besar apatisme politik ialah sikap yang dimiliki orang yang tidak berminat dan tidak punya perhatian pada orang lain, situasi, baik gejala-gejala umum atau khusus yang ada dalam masyarakat. Orang apatis merupakan orang yang pasif, yang lebih mengandalkan perasaan dalam menghadapi permasalahan. Ketidakmampuan melaksanakan tanggung jawabnya baik sebagai pribadi maupun warga masyarakat dan selalu terancam.

Menurut Michael Rush apatisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Ketidakmampuan untuk mengakui tanggung jawab pribadi, untuk menyelidiki atau bahkan untuk menerima emosi dan perasaan sendiri
  2. Perasaan samar-samar dan yang tidak dapat dipahami, rasa susah, tidak aman dan merasa terancam.
  3. Menerima secara mutlak tanpa tantangan otoritas sah (kode-kode sosial, orang tua, agama) dan nilai-nilai konvensional membentuk satu pola yang cocok dengan diri sendiri, yang dalam situasi klilnis disebut dengan kepasifan (pasifitas).

Penyebab Apatisme Politik


Apatisme politik merupakan hasil dari tindakan beberapa politisi yang lebih fokus pada karir politiknya dan kurang memperhatikan apa yang terjadi pada negara. Karena itu pada umumnya apatisme politik kerap melanda remaja karena ketidak tertarikan mereka pada politik.

Selain dari politisi, pemerintahan juga memiliki peranan mempengaruhi tingkat kepedulian tehadap politik. Peranan pemerintah sebagai tokoh yang dihormati oleh masyarakat sekaligus dipercaya dapat membantu masyarakat memperkenalkan unsur-unsur masyarakat dan menumbuhkan perhatian pada kehidupan politik. Selain itu, keikutsertaan masyarakat dalam program pembangunan juga mempengaruhi, karena secara tidak langsung dapat memperkenalkan berbagai macam ide yang kondusif bagi kepedulian dalam politik. Keikut sertaan ini dapat menumbuhkan pemikiran mengenai sukarela dan penuh kesadaran dalam bersikap peduli terhadap politik.

Keadaan ini menjadi pelajaran bagi rakyat sehingga menumbuhkan rasa jera, putus asa, kebosanan, keengganan untuk menyalurkan aspirasinya, bahkan akhirnya hilang semangat berdemokrasi. negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat karena perilaku sebagian besar abdinya. Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya perubahan lewat proses pemilu karena tidak ada perubahan berarti ke arah yang lebih baik dan tidak jauh beda dengan masa-masa sebelumnya.

Apatisme politik memiliki ciri khas yang dalam bentuk perilakunya berupa tindakan golput saat berlangsungnya pemilihan umum. Golput termasuk bentuk perilaku politik, golput sebagai salah satu indikasi bahwa seseorang bersikap apatis terhadap politik. Perilaku politik tidak lepas dari aktivitas manusia dalam kesehariannya. Tanpa disadari, aktivitas manusia berkaitan dengan politik.

Morris Rosenberg dalam Michael Rush berpendapat jika ada tiga alasan pokok orang bersikap apatis terhadap politik, diantaranya yaitu:

  1. Karena ketakutan akan konsekuensi negatif dari aktivis politik. Orang beranggapan jika aktivitas politik merupakan ancaman untuk kehidupannya.

  2. Karena anggapan orang-orang jika berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan hal yang sia-sia. Berpartisipasi atau tidaknya mereka dalam politik tidak memiliki dampak pada proses politik.

  3. Tidak adanya ketertarikan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Bahkan politik bukan hal yang harus ditekuni sehingga mengalahkan hal lain untuk dilakukannya.

Penyebab apatisme politik sendiri sebenarnya tidak jauh dari politik itu sendiri, diantaranya seperti pengalaman akan politik dimasa sebelumnya yang mencerimkan kekecewaan terhadap politik, atau bisa juga dari sikap para politisi yang mencederai kepercayaan dari masyarakat sehingga masyarakat memiliki kekecewaan terhadap politik, dampaknya ada pada periode setelahnya. Termasuk muak akan adanya kampanye dengan janji manis namun pada kenyataannya apa yang dijanjikan ketika kampanye tidak terealisasikan atau terwujud sedikit atau bahkan sama sekali tidak terwujud, hal ini bisa menimbulkan rasa kecewa, kesal, marah maupun bosan jika terjadi secara berulang.

Dari rasa seperti itu pada akhirnya memunculkan rasa tidak peduli pada politik, menimbulkan pola pikir peduli atau tidak akan sama saja hasilnya mengecewakan. Hal-hal seperti ini bisa memupuk keengganan masyarakat untuk berdemokrasi, entah menuju hal yang baik atau tidak.

Robert Dahl menyebutkan ada 5 faktor yang bisa mempengaruhi apatisme politik, yaitu sebagai berikut:

  • Seseorang mungkin kurang tertarik dalam politik, jika orang memandang rendah terhadap segala manfaat yang diharapkan dari keterlibatan politik, dibanding dengan manfaat yang akan diperoleh dari berbagai aktivitas lainnya. Terdapat dua kategori kepuasan dari keterlibatan dalam aktivitas politik, yakni kepuasan langsung yang diterima dari aktivitasnya sediri dan keuntungan instrumental. Pertama, kepuasan langsung dengan kawan atau kenalannya yang dapat meningkatkan martabat dari dalam pergaulan dengan orang- orang penting atau mendapatkan peluang informasi terbatas dan daya teknik politik sebagai arena persaingan dan sebagainya. Kedua, keuntungan instrumental adalah keuntungan khusus bagi orang-orang tertentu atau keluarga yang dapat memperoleh pekerjaan dari pimpinan partai, seperti diangkat jadi panitia dan keuntungan yang didapat dari kebijaksanaan pemerintah.

  • Seseorang merasa tidak melihat adanya perbedaan yang tegas antara keadaan sebelumnya, sehingga apa yang dilakukan seseorang tersebut tidaklah menjadi persoalan. Hal itu, misalnya, seseorang yang tidak peduli terhadap partai politik yang menang dalam pemilu sebab diyakininya bahwa hal itu tidak akan mengubah keadaan dan mempengaruhi dirinya.

  • Seseorang cenderung kurang terlibat dalam partai politik jika merasa bahwa tidak ada masalah terhadap apa yang dilakukan, karena tidak dapat mengubah dengan jelas hasilnya.

  • Seseorang cenderung kurang terlibat dalam partai politik jika merasa bahwa hasil-hasilnya relatif akan memuaskan orang tersebut sekalipun ia tidak berperan di dalamnya.

  • Jika pengetahuan seseorang tentang partai politik tersebut terbatas untuk dapat menjadi efektif.

Dampak Apatisme Politik


Dampak Apatisme Politik

Tinggi atau rendahnya tingkat sikap apatis sebenarnya memiliki dampak yang besar jika dibiarkan berlarut-larut, karena partisipasi warga negara terhadap politik ini sebenarnya ialah faktor pendukung terciptanya kebijakan pemerintah yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Ignas Kleden dalam paper Isu Politik Kotemporer yang ditulis M. Rolip Saptaji, bahaya yang bisa tercipta ialah bertahannya status quo dan jatuhnya kepemimpinan negara pada orang yang salah. Logikanya, dengan tidak menggunakan suara maka peluang untuk elite politik lama tetap bertahan, sedangkan elit politik baru yang mungkin membawa udara segar tidak memiliki kesempatan maju karena tidak ada yang berpartisipasi.

Demokrasi sendiri ada dan bertahan karena adanya partisipasi politik, namun jika partisipasi politik menghilang maka lambat laun akan ikutan hilang juga demokrasi. Demokrasi membutuhkan suara rakyat untuk berjalan, apabila suara tidak lagi disuarakan oleh rakyat lantas apa guna demokrasi. Dengan kata lain demokrasi dengan apatis akan membuat demokrasi tidak berjalan sesuai jalannya, apalagi dengan tingkat partisipasi politik yang rendah bisa menimbulkan pemerintahan yang oligarki. Maka dari itu sebuah negara demokrasi membutuhkan partisipasi politik, karena jika hanya apatisme politik yang bertahan maka negara demokrasi akan memiliki masalah krusial kedepannya.

Referensi :

  • Efriza dan Yoyoh Rohaniah, Pengantar Ilmu Politik, Kajian Mendasar Ilmu Politik (Malang: Intrans Publising, 2015)
  • Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 2014)
  • Rush, Michael dan Philiph Altrhrof, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Radagrafindo, 2001)
  • Ahmed, S., Ajmal, M. A., Khalid, A., & Sarfaraz, A. (2012). Reasons for political interest and apathy among university students: a qualitative study . Pakistan Journal of Social and Clinical Psychology. Vol. 9 no 2, april
  • Maswadi Rauf, Ciri-ciri Teori Pembangunan Politik: Kasus Partisipasi Politik. Jurnal Ilmu Politik 9 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991).

Pengertian Apatisme Politik


Apatisme berasal dari kata apatis dan isme , apatis adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu apathy . Kata tersebut diadaptasi dari Bahasa Yunani, yaitu apathes yang secara harfiah berarti tanpa perasaan lawan katanya adalah simpati . Apatis adalah acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh. Isme adalah sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Jadi, definisi apatisme, yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek.

Apatisme Politik, dalam pandangan Laster Milbarth dan M.L.Goel, dalam karyanya Political Participation berpendapat bahwa, Apatis artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Goel, dalam pemikirannya sendiri juga menyebutnya sebagai Apathetic inactives (apatis) yaitu individu yang tidak beraktifitas secara partisipatif, dan tidak pernah memilih. Sedangkan David F. Roth dan Frank L. Wilson, menyebut apatisme politik sebagai “ Apolitis”, apolitis adalah bagian dari partisipasi politik. Apolitis yaitu kelompok orang yang tidak peduli dengan politik atau mereka tidak melibatkan diri dari kegiatan politik. Apatisme Politik adalah sikap yang dimiliki orang yang tidak berminat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, baik gejala- gejala umum atau khusus yang ada dalam masyarakatnya. Orang yang apatis adalah orang yang pasif, yang mengandalkan perasaan dalam menghadapi permasalahan. Ia tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan selalu terancam.

Faktor Penyebab dan Ciri Apatisme Politik


Penyebab masyarakat begitu apatis, tentu tidak bisa dilepaskan dari pengalaman masa lalu. Refleksi kinerja pemerintah selama ini beserta perilaku para pejabat yang dianggap tidak menyentuh hati rakyat. Pejabat negara yang dihasilkan dari pemilu tidak mampu menjaga kepercayaan publik, banyak janji dimasa kampanye yang tidak ditepati. Keadaan ini menjadi pelajaran bagi rakyat sehingga menumbuhkan rasa jera, putus asa, kebosanan, keengganan untuk menyalurkan aspirasinya, bahkan akhirnya hilang semangat berdemokrasi. Negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat karena perilaku sebagian besar abdinya. Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya perubahan lewat proses pemilu karena tidak ada perubahan berarti ke arah yang lebih baik dan tidak jauh beda dengan masa-masa sebelumnya.

Apatisme politik memiliki ciri khas yang dalam bentuk perilakunya berupa tindakan golput saat berlangsungnya pemilihan umum. Golput termasuk bentuk perilaku politik, golput sebagai salah satu indikasi bahwa seseorang bersikap apatis terhadap politik. Perilaku politik tidak lepas dari aktivitas manusia dalam kesehariannya. Tanpa disadari, aktivitas manusia berkaitan dengan politik. Manusia memiliki sikap tersendiri dalam menghadapi berbagai permasalahan yang timbul di sekitar mereka. Sikap politik seseorang terhadap suatu objek politik yang terwujud dalam tindakan atau aktivitas politik merupakan perilaku politik seseorang. Data di bawah ini memperlihatkan bahwa angka golput semakin meningkat tiap tahunnya di Indonesia, dan secara tidak langsung memperlihatkan rendahnya partisipasi politik dari masyarakat.

Tingginya angka golput pada pemilihan umum merupakan cerminan apatisme rakyat terhadap pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Golput merupakan salah satu indikator bahwa seseorang tidak peduli dengan situasi politik disekitar mereka dan tidak ada upaya untuk melakukan perubahan dimasa depan dengan memilih wakil dalam anggota dewan legislatif maupun pemimpin dalam lembaga eksekutif.

Golput sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap pelaksanaan pemilu sebagai mekanisme pemilihan dalam negara demokrasi, dinilai tidak akan mampu merubah negara ini menjadi lebih baik. Rakyat sudah tidak percaya lagi bahwa melalui mekanisme pemilu akan melahirkan wakil dan pemimpin yang jujur dan adil sesuai harapan merka. Di indonesia, tingginya tingkat apatisme politik, menyangkut partisipasi dalam pemilu sudah ada sejak era orde lama. Angka golput mengalami peningkatan disetiap pesta pemilihan umum hingga setelah reformasi.

Golongan putih (Golput) adalah golongan yang tidak menggunakan hak suara dalam pemilu. Fenomena golput akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang begitu hangat. Sampai saat ini tingkat golput semakin meningkat tajam. Hal ini dapat dilihat jumlah golput pada pilkada Jakarta 11 Juli 2012 yang memperlihatkan tingat golput mencapai angka 37% meningkat dari pilkada 2007 yang mencapai 25%. Sepanjang sejarah pemilu sejak Indonesia merdeka, angka golput mengalami peningkatan secara signifikan, meski dengan alasan berbeda.

Dampak Apatisme Politik


Rendahnya partisipasi masyarakat dalam sebuah negara demokrasi merupakan suatu problem politik tersendiri. Dalam negara demokrasi, partisipasi warga negara sangat penting sebagai pendukung legitimasi dan kebijakan pemerintah agar program yang direncanakannya dapat berjalan dengan baik. Sistem politik demokrasi merupakan suatu bentuk sistem politik modern yang didalamnya terkandung nilai-nilai toleransi, hak asasi manusia, pluralisme, egaliterianisme, sekulerisme dan kebebasan. Adalah sebuah nilai pokok untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban. Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktifitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara seperti diakui oleh Moh. Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia:

Ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai sebuah sistem yang fundamental; kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Secara bahasa demokrasi berasal dari kata demos-cratein atau demos-cratos adalah keadaan negara dimana di dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat.

Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal: pertama, pemerintahan dari rakyat ( goverment of the people) ; kedua pemerintahan oleh rakyat (goverment by people) ; ketiga, pemerintahan untuk rakyat (goverment for people) . Jadi hakikat pemerintahan yang demokratis bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan.41 Artinya kepedulian dalam bentuk partisipasi rakyat secara penuh sangat penting agar negara tetap berdiri dan tidak terpecah belah.

Dalam negara demokrasi proses pengambilan suara rakyat dilakukan melalui Pemilihan Umum (pemilu), dimana setiap warga negara memiliki hak satu suara untuk menyampaikan pilihannya atas beberapa kandidat yang telah dinyatakan lolos kualifikasi oleh suatu komisi penyelanggara pemilu. Pemilu sebagai salah satu ciri dari sebuah negara demokrasi, merupakan alat legitimasi kekuasaan dalam suatu negara. Pemilu sebagai sumber legitimasi mengandalkan partisipasi warga negara untuk ikut memilih calon pemimpin negara atau anggota dewan dan lembaga pemerintahan di bawahnya. Tingkat partisipasi warga negara dalam pemilu tersebut adalah ukuran legitimasi bagi kekuasaan atau pemerintahan yang sah dan diakui oleh mayoritas warga negaranya. Jika tingkat partisipasinya rendah maka tingkat legitimasi pemerintah juga rendah. Sehingga dalam menjalankan roda birokrasi dan program-programnya kurang mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyatnya.

Demokrasi tidak akan belangsung dengan optimal jika dijalankan dengan tingkat partisipasi masyarakat yang sangat rendah dalam berpolitik. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam politik, adalah sebuah gejala apatisme politik. Apatisme politik adalah suatu sikap individu atau kelompok masyarakat yang acuh atau tidak peduli dengan kondisi sistem pemerintahan suatu negara dimana ia berada. Jika negara hanya mengandalakan sebagian kecil pemilih yang ikut serta, maka akan menumbuhkan pemerintahan yang oligarki. Oleh karena itu, Apatisme politik dalam sebuah negara demokrasi adalah sebuah problem yang sangat krusial bagi keberlangsungan sebuah negara.

Apatisme berasal dari kata apatis dan isme, apatis adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu apathy. Kata tersebut diadaptasi dari Bahasa Yunani, yaitu apathes yang secara harfiah berarti tanpa perasaan lawan katanya adalah simpati. Apatis adalah acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh. Isme adalah sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Jadi, definisi apatisme, yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek.

Apatisme Politik, dalam pandangan Laster Milbarth dan M.L.Goel, dalam karyanya Political Participation berpendapat bahwa, Apatis artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Goel, dalam pemikirannya sendiri juga menyebutnya sebagai Apathetic inactives (apatis) yaitu individu yang tidak beraktifitas secara partisipatif, dan tidak pernah memilih. Sedangkan David F. Roth dan Frank L. Wilson, menyebut apatisme politik sebagai “Apolitis”, apolitis adalah bagian dari partisipasi politik. Apolitis yaitu kelompok orang yang tidak peduli dengan politik atau mereka tidak melibatkan diri dari kegiatan politik.

Apatisme Politik adalah sikap yang dimiliki orang yang tidak berminat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, baik gejalagejala umum atau khusus yang ada dalam masyarakatnya. Orang yang apatis adalah orang yang pasif, yang mengandalkan perasaan dalam menghadapi permasalahan. Ia tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan selalu terancam.

Faktor Penyebab dan Ciri Apatisme Politik


Penyebab masyarakat begitu apatis, tentu tidak bisa dilepaskan dari pengalaman masa lalu. Refleksi kinerja pemerintah selama ini beserta perilaku para pejabat yang dianggap tidak menyentuh hati rakyat. Pejabat negara yang dihasilkan dari pemilu tidak mampu menjaga kepercayaan publik, banyak janji dimasa kampanye yang tidak ditepati. Keadaan ini menjadi pelajaran bagi rakyat sehingga menumbuhkan rasa jera, putus asa, kebosanan, keengganan untuk menyalurkan aspirasinya, bahkan akhirnya hilang semangat berdemokrasi. Negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat karena perilaku sebagian besar abdinya. Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya perubahan lewat proses pemilu karena tidak ada perubahan berarti ke arah yang lebih baik dan tidak jauh beda dengan masa-masa sebelumnya.

Apatisme politik memiliki ciri khas yang dalam bentuk perilakunya berupa tindakan golput saat berlangsungnya pemilihan umum. Golput termasuk bentuk perilaku politik, golput sebagai salah satu indikasi bahwa seseorang bersikap apatis terhadap politik. Perilaku politik tidak lepas dari aktivitas manusia dalam kesehariannya. Tanpa disadari, aktivitas manusia berkaitan dengan politik. Manusia memiliki sikap tersendiri dalam menghadapi berbagai permasalahan yang timbul di sekitar mereka. Sikap politik seseorang terhadap suatu objek politik yang terwujud dalam tindakan atau aktivitas politik merupakan perilaku politik seseorang.

Golput merupakan salah satu indikator bahwa seseorang tidak peduli dengan situasi politik disekitar mereka dan tidak ada upaya untuk melakukan perubahan dimasa depan dengan memilih wakil dalam anggota dewan legislatif maupun pemimpin dalam lembaga eksekutif.

Golput sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap pelaksanaan pemilu sebagai mekanisme pemilihan dalam negara demokrasi, dinilai tidak akan mampu merubah negara ini menjadi lebih baik. Rakyat sudah tidak percaya lagi bahwa melalui mekanisme pemilu akan melahirkan wakil dan pemimpin yang jujur dan adil sesuai harapan mereka. Di indonesia, tingginya tingkat apatisme politik, menyangkut partisipasi dalam pemilu sudah ada sejak era orde lama. Angka golput mengalami peningkatan disetiap pesta pemilihan umum hingga setelah reformasi.

Dampak Apatisme Politik


Rendahnya partisipasi masyarakat dalam sebuah negara demokrasi merupakan suatu problem politik tersendiri. Dalam negara demokrasi, partisipasi warga negara sangat penting sebagai pendukung legitimasi dan kebijakan pemerintah agar program yang direncanakannya dapat berjalan dengan baik. Sistem politik demokrasi merupakan suatu bentuk sistem politik modern yang didalamnya terkandung nilai-nilai toleransi, hak asasi manusia, pluralisme, egaliterianisme, sekulerisme dan kebebasan. Adalah sebuah nilai pokok untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban.

Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktifitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara seperti diakui oleh Moh. Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara.

  • Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai sebuah sistem yang fundamental;
  • kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.

Secara bahasa demokrasi berasal dari kata demos-cratein atau demos-cratos adalah keadaan negara dimana di dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal: pertama, pemerintahan dari rakyat (goverment of the people); kedua pemerintahan oleh rakyat (goverment by people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat (goverment for people).

Jadi hakikat pemerintahan yang demokratis bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan. Artinya kepedulian dalam bentuk partisipasi rakyat secara penuh sangat penting agar negara tetap berdiri dan tidak terpecah belah. Dalam negara demokrasi proses pengambilan suara rakyat dilakukan melalui Pemilihan Umum (pemilu), dimana setiap warga negara memiliki hak satu suara untuk menyampaikan pilihannya atas beberapa kandidat yang telah dinyatakan lolos kualifikasi oleh suatu komisi penyelanggara pemilu.

Pemilu sebagai salah satu ciri dari sebuah negara demokrasi, merupakan alat legitimasi kekuasaan dalam suatu negara. Pemilu sebagai sumber legitimasi mengandalkan partisipasi warga negara untuk ikut memilih calon pemimpin negara atau anggota dewan dan lembaga pemerintahan di bawahnya. Tingkat partisipasi warga negara dalam pemilu tersebut adalah ukuran legitimasi bagi kekuasaan atau pemerintahan yang sah dan diakui oleh mayoritas warga negaranya. Jika tingkat partisipasinya rendah maka tingkat legitimasi pemerintah juga rendah. Sehingga dalam menjalankan roda birokrasi dan program-programnya kurang mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyatnya.

Menurut ahli sosiologi sekaligus Direktur Pusat Pengkajian Indonesia Timur (PPIT) atau Center for East Indonesian Affairs (CEIA), Ignas Kleden menyatakan bahwa bahaya dari golput dan apatisme masyarakat adalah langgengnya status quo dan jatuhnya kepemimpinan negara kepada orang yang salah. Menurut Ignas, kalau parpol yang ada sekarang ini jelek atau tidak memenuhi harapan, maka untuk mengubahnya hanya mungkin bisa dilakukan dengan memberikan suara pada pemilu mendatang. Sebab, hanya dengan memberikan suara memungkinkan terjadinya proses perekrutan elite politik yang baru.

Sebaliknya, kalau menyimpan suara berarti memberikan kesempatan kepada elite politik lama tetap bertahan. Siapa pun mereka yang tidak memberikan suara pada pemilu mendatang, sesungguhnya justru membenarkan status quo politik sekarang ini. Dengan begitu, apatisme masyarakat memiliki implikasi yang buruk bagi masyarakat maupun pemerintah. Jadi, demokrasi tidak akan belangsung dengan optimal jika dijalankan dengan tingkat partisipasi masyarakat yang sangat rendah dalam berpolitik. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam politik, adalah sebuah gejala apatisme politik.

Apatisme politik adalah suatu sikap individu atau kelompok masyarakat yang acuh atau tidak peduli dengan kondisi sistem pemerintahan suatu negara dimana ia berada. Jika negara hanya mengandalakan sebagian kecil pemilih yang ikut serta, maka akan menumbuhkan pemerintahan yang oligarki. Oleh karena itu, Apatisme politik dalam sebuah negara demokrasi adalah sebuah problem yang sangat krusial bagi keberlangsungan sebuah negara.