Apa yang dimaksud dengan antropologi sastra?

Sastra dan antropologi –ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau (KBBI Daring, 2017), dengan segala budayanya, ide/gagasannya, ritual dan karya-karyanya-- mempunyai hubungan yang erat bahkan tidak terpisahkan. Karya sastra baik genre puisi, prosa fiksi, maupun drama selalu memperbincangkan manusia dalam segala segi kehidupannya yang berkaitan dengan keyakinan/kepercayaan, ritual-ritual keagamaan, gagasan dan kearifan lokalnya, filsafat hidupnya, karya seni budayanya, mata pencaharian, dan aspek komunitasnya.

Sebenarnya Benson (1993) sudah lama tertarik untuk melakukan pengkajian sastra dengan kacamata antropologi. Ia kemudian berusaha menulis buku Anthropology and Literature. Dalam tulisannya ia berusaha menelusuri dan menyandingkan antropologi dan sastra. Lewat pengantar buku tersebut, dia menyatakan bahwa karyanya merupakan reinkarnasi dari edisi khusus Journal of the Steward Anthropological Society. Melihat judul jurnal ini, berarti ada keterkaitan pula antara sastra, antropologi, dan sosial. Kaitan sastra dan antropologi menumbuhkan antropologi sastra. Adapun kaitan antara sastra dengan keadaan sosial telah melahirkan Sosiologi Sastra yang telah banyak dibahas dalam berbagai kajian.

Dunia sastra dan antropologi sering mempelajari keduanya untuk melengkapi pemahaman terhadap kehidupan manusia. Kalau demikian, paling tidak ada dua kedekatan sastra dan antropologi, yaitu :

  • sastra dan antropologi memiliki kedekatan objek penelitian yang mengarah ke fenomena realitas hidup manusia;

  • sastra dan antropologi memiliki kedekatan metodologis, artinya keduanya banyak memanfaatkan tafsir-tafsir fenomena simbolis;

  • sastra dan antropologi cenderung memeliharan konsep kekerabatan (trah) sebagai simbol konteks kehidupan (Endraswara, 2013).

Menurut Ratna (2005), antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti ‘manusia’. Jadi, antropologi adalah ilmu tentang manusia lengkap dengan budayanya. Manusia adalah makhluk berbudaya, kaya akan ide dan gagasan. Adapun sastra menurut Eagleton (2006), adalah tulisan imajinatif dalam artian fiksi. Fiksi merupakan karya imajinatif yang merupakan hasil kreasi manusia terhadap realitas sosial budaya di lingkungannya. yang secara harfiah tidak harus benar. Artinya**, sastra atau fiksi, merupakan hasil pengamatan dan refleksi pengarang terhadap realitas kehidupan setelah melalui proses kontemplasi dengan mengerahkan daya imajinasinya.**

Meminjam istilah seni Wellek dan Warren (1989), sastra adalah kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sebagai karya kreasi, kebebasan berkarya tentu terbuka bagi setiap pengarang. Esensi estetika sastra dan keilmiahan antropologi melebur dalam antropologi sastra. Oleh karena itu, dunia fiksi dapat dikisahkan seolah-olah seperti sedang melaporkan hasil pengkajian etnografi.

Menurut Ratna (2011), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkap. Mengingat disiplin antropologi sangat luas maka antropologi sastra dibatasi pada unsur budaya yang ada dalam karya sastra. Dari deskripsi di atas, dapat dikemukakan bahwa antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Analisis unsur kebudayaan dalam karya sastra dipandang penting. Menurut Sudikan (dalam Ratna, 2011), antropologi sastra mutlak diperlukan dikarenakan beberapa alasan. Pertama sebagai perbandingan terhadap psikologi sastra dan sosiologi sastra. Kedua, antropologi sastra diperlukan dengan pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi berikutnya.

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa antropologi sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mencoba mengkaji karya sastra dengan memandangnya sebagai karya yang sarat dengan dimensi kebudayaan. Dimensi kebudayaan itu antara lain hubungan unsur-unsur kebudayaan berserta ciri-cirinya seperti tradisi, citra primordial, citra arketipe, aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing. Antropologi juga mencakup suku-suku bangsa dengan subkategorinya seperti; trah, klen dan kasta. Bentuk kecenderungan manusia untuk membentuk komunitas dalam organisasi sosial yang saling membantu dan hidup dalam kebersamaan sebagai peguyuban tertentu, seperti; masyarakat pecinaan, Arab, pesantren, dan lain-lain, merupakan garapan antropologi. Juga mengenai masyarakat daerah-daerah tertentu seperti kampung Bali, Jawa, Minangkabau, Batak, Makassar, Mandar, Bugis, Papua. Antropologi juga menyoroti kelompok-kelompok keluarga tertentu yang tercakup dalam golongan priyayi dan orang kecil, bangsawan dan orang awam, dan santri dan abangan.

Penelaah antropologi sastra membutuhkan pengalaman budaya yang disebut partisipasi budaya. Dengan partisipasi budaya, penelaah akan semakin mendalami ruh sastra. Pengalaman budaya adalah pengalaman langsung menjadi pelaku dalam peristiwa budaya, dari persiapan sampai akhir. Konteks sosial dan budaya yang terdapat dalam sastra amat luas cakupannya. Dalam konteks inilah maka seorang peneliti antropologi sastra harus mampu menangkap sebuah pengalaman sosiokultural di dalamnya.

Penelaah antropologi sastra membutuhkan wawasan kultural yang luas, termasuk wawasan interdisipliner bahkan multidisipliner . Hal ini sejalan dengan pendapat Culler (dalam Kurniawan, 2001), bahwa “The challenge of literature now is how can this work cocern us, astonish us, fulfill us?”. Artinya, tantangan dunia sastra dewasa ini adalah bagaimana karya itu (1) mencemaskan kita, (2) menakjubkan kita, dan (3) memenuhi kebutuhan kita. Sangat jelas ketiga hal itu terkait erat dengan budaya. Pengkajian antropologi sastra merupakan telaah atas berbagai genre sastra puisi, prosa fiksi (novel dan cerpen), drama, dan cerita rakyat lalu mengaitkannya dengan konteks sosial budayanya.

Selain memiliki wawasan luas tentang budaya, penelaah antropologi sastra harus menggauli teks sastra secara intens. Dalam proses menggauli sastra itu penelaah akan memperoleh pemahaman aspek budaya yang terkandung di dalam teks sastra yang sangat berguna dalam pemahaman dan pengayaan makna sastra.

Seperti diketahui bahwa karya sastra itu meskipun mengandung makna seperti benda mati. Makna karya sastra bersifat implisit. Oleh karena itu makna sastra harus diupayakan oleh penelaah antropologi sastra –meminjam istilah Teeuw (1984)-- untuk merebutnya (lihat Endraswara, 2013). Hal itu sejalan dengan pandangan Barker (dalam Strinati, 2003), bahwa penelaah sastra boleh memodifikasi pesan dalam merekonstruksi makna. Dalam hal ini harus dipahami bahwa teks sastra merupakan karya yang sarat akan makna akan tetapi makna itu harus direbutnya. Dalam karya sastra banyak sekali bagian-bagian yang kosong yang sengaja dibuka oleh seorang sastrawan untuk diisi oleh pembaca/penelaah. Di sinilah berlaku hukum atau teori resepsi sastra bahwa makna sastra bergantung pada horison harapan pembaca.

Sastra menjadi media yang bagus untuk pengembangan budaya agar pembaca sastra semakin arif dalam mengarungi kehidupannya di masyarakat. Dengan membaca karya sastra pembaca akan makin dewasa dalam menyikapi kehidupan yang mahaluas yang penuh dengan dinamika dan romantika. Dalam kaitan itu, daya tarik penelitian antropologi sastra kiranya memiliki dua jalur penting.

  • Pertama, jalur struktur dinamik sastra, yakni dengan cara mengambil sebagian unsur, baru ditinjau secara antropologi sastra. Penelitian ini masih berlandaskan struktur karya sastra.

  • Kedua, jalur refleksi sastra, maksudnya peneliti juga boleh melepaskan diri dari struktur sastra, tetapi tetap mencermati refleksi budaya secara parsial. Misalkan saja, aspek budaya kawin paksa, ruwatan, bersih desa, dan lain-lain.

Penelitian disesuaikan dengan kondisi dan pandangan hidup masing- masing wilayah. Melalui penelitian parsial ini, berarti asumsi bahwa penelitian antropologi sastra cenderung diterapkan dengan observasi jangka panjang tidak selalu benar. Penelitian dapat dilakukan dalam waktu relatif pendek, tergantung kebutuhan. Oleh karena tergolong interdisiplin baru, tentu ilmu ini membutuhkan pendalaman. Terlebih lagi jika akan dimasukkan dalam mata kuliah, tentu perlu dikaji ulang.

Yang paling penting, ketika hendak menganalisis karya sastra, perlu seleksi terlebih dahulu. Objek penelitian yang akan dijadikan bahan analisis ada beberapa hal, antara lain :

  • memilih karya yang melukiskan etnografi pada masyarakat lokal, sederhana, belum tertata, tetapi memiliki pemikiran cerdas;

  • memilih karya-karya yang melukiskan berbagai tradisi lokal, kekerabatan, trah;

  • memilih karya yang penuh tantangan, jebakan, petualangan (Endraswara, 2013). Dalam analisis antropologi sastra, karya-karya sastra etnis yang berbasis lokalitas lazimnya lebih menarik dianalisis daripada karya sastra yang mengungkapkan budaya global.

Pengkajian terhadap karya sastra yang mengandung aspek budaya etnik, kearifan lokal --dari daerah Aceh, Bugis, Nusa Tenggara Barat, Jawa, Batak, Dayak Kalimantan Barat, dan Papua–, pandangan dunia pengarang, tema, motif dan konsep-konsep tertentu, budaya Barat dan Timur dalam karya sastra, diduga berpotensi menjadi lahan menarik untuk penelitian antropologi sastra.

Kumpulan cerpen Umar Kayam Sri Sumarah (1975) dan novel Para Priyayi (1992), trilogi novel Ahmad Tohari seperti Ronggeng Dukuh Paruk (1982-1986), novel Bekisar Merah (1996), kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang (2013), novel Canting karya Arswendo Atmowiloto (1999), prosa liris Pengakuan Pariyem Dunia Batin Wanita Jawa karya Linus Suryadi AG (1981), kumpulan cerpen magis Danarto Adam Makrifat (1981) dan Godlop (1982), juga berpotensi mengandung unsur-unsur antropologis yang kaya. Tingkatan dalam bahasa Bali yang berkaitan erat dengan struktur sosial (kasta), misalnya, dapat pula dikaji melalui studi antropologis dalam kaitannya dengan masyarakat dengan kelas-kelas sosial sebagai pendukungnya. Masalah itu juga akan menjadi studi psikologis yang menarik jika dikaitkan dengan dampak psikologis masyarakat pendukungnya.

Pengkajian antropologi sastra atas karya sastra tertentu dilakukan melalui struktur karya sastra sedangkan kajian antropologi dalam kaitannya sebagai karya budaya atau seni. Artinya, karya sastra merupakan unsur primer, bukan sekunder. Perlu diketahui bahwa kajian antropologi sastra menyangkut masalah kebudayaan. Oleh karena itu selain melalui penokohan, unsure kebudayaan dapat juga dikaji melalui latar, seperti latar masyarakat Jawa, Tengger, Batak, Minangkabau, Dayak, Tengger, Bugis, Papua, dan sebagainya. Seperti halnya sosiologi sastra dan psikologi sastra, antropologi sastra juga berfungsi untuk mempublikasikan dan mensosialisasikan khasanah budaya bangsa yang amat kaya dan beragam. Dengan kajian antropologi sastra diharapkan kebudayaan lokal beserta dan kearifan lokalnya dari berbagai etnis dan suku bangsa dapat menjadi milik bangsa Indonesia secara nasional. Dengan demikian, kajian antropologi sastra memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesatuan dan persatuan bangsa.

Antropologi sastra, demikian Ratna (2011), berfungsi untuk;

  1. melengkapi analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi sastra,

  2. mengantisipasi dan mewadahi kecenderungan- kecenderungan baru hasil karya sastra yang di dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan lokal,

  3. diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di dalamnya terkandung beraneka ragam adat kebiasaan seperti; mantra, pepatah, motto, pantun, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis dalam bentuk sastra,

  4. wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang selama ini menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi sastra,

  5. mengantisipasi kecenderungan kontemporer yaitu perkembangan multidisiplin baru.
    Antropologi dan sastra memiliki dasar disiplin ilmu yang berbeda. Harus dipahami bahwa hakikat antropologi adalah fakta empiris sedangkan sastra adalah hasil kreasi imajinatif. Karya sastra merupakan refleksi atas peristiwa dan realitas dunia nyata dalam lingkungan sosial pengarangnya. Oleh karena itu, karya sastra harus tetap menjadi perhatian utama dalam kajian antropologi sastra sedangkan antropologhi merupakan pelngkap untuk menkaji aspek- aspek budaya yang terkandung di dalamnya.

Secara definitive, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Antropologi sastra merupakan pendekatan interdisiplin yang paling baru dalam ilmu sastra.

Lahirnya model pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu: a) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek penting, dan b) kedua disiplin mempermasalahkan relevansi manusia budaya, dan c) kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos.

Aspek yang kedua sering menimbulkan masalah dalam membedakan batas-batas penelitian diantara antropologi dan sastra. Sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra, sebagai ilmu social humaniora jelas mempermasalahkan manusia dalam masyarakat, sekaligus memberikan intensitas pada sastra dan teori sastra. Perbedaannya, sosiologi sastra mempermasalahkan masyarakat, psikologi sastra pada aspek-aspek kejiwaan, antropologi sastra pada kebudayaan. Antropologi sastra memberikan perhatian pada manusia sebagai agen cultural, system keekrabatan, system mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Antropologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat kuno, sedangkan sosiologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat modern, masyarakat kompleks. Karya sastra dengan masalah mitos, bahasa dengan kata-kata arkhais menarik dianalisis dari segi antropologi sastra, sedangkan karya sastra dengan masyarakat kompleks menarik dari segi sosiologi sastra.

Konsep Antropologi Sastra

Konsep antropologi sastra dapat dirunut dari kata antropologi dan sastra. Kedua ilmu itu memiliki makna tersendiri. Masing-masing sebenarnya merupakan sebuah disiplin keilmuan humanistis. Yang menjadi bahan penelitian antropologi sastra adalah sikap dan perilaku manusia lewat fakta-fakta sastra dan budaya. Antropologi adalah penelitian terhadap manusia (Keesing, 1999:2). Yang dimaksud dengan manusia adalah sikap dan perilakunya. Antropologi sastra berupaya meneliti sikap dan perilaku yang muncul sebagai budaya dalam karya sastra. Manusia sering bersikap dan bertindak dengan tata krama. Tata krama memuat tata susila dan unggah-ungguh bahasa yang menjadi ciri sebuah peradaban. Sastra sering menyuarakan tata krama dalam interaksi budaya satu sama lain yang penuh simbol.

Sebagai ilmu, antropologi jelas sudah tua umurnya. Antropologi yang bercirikan meneliti bangsa primitif kini telah berubah. Antropologi pun belakangan tidak hanya mempelajari manusia secara nyata, tetapi juga membaca sastra. Sastra adalah karya tentang sikap dan perilaku manusia secara simbolis. Sastra dan antropologi selalu dekat. Keduanya dapat bersimbiosis dalam mempelajari manusia lewat ekspresi budaya. Sastra banyak menyajikan fakta-fakta imajinatif.

Antropologi yang bergerak dalam fakta imajinatif dapat disebut antropologi sastra. Interdisiplin ini memang tidak dikenal di Jurusan Antropologi, tetapi mewarnai penelitian di Jurusan Sastra. Konsep penting antropologi sastra adalah seperti yang dinyatakan Benson (1993:250) tentang anthropological poetry, artinya wawasan antropologis terhadap cipta puisi. Biarpun dia belum menyebutkan istilah antropologi sastra, melainkan istilah antropologi puisi, jelas cukup beralasan kalau ilmu itu dipelajari lewat antropologi sastra.

Antropologi sastra tampaknya merupakan pengembangan anthropology experience yang digagas Turner dan Bruner (Benson, 1993:46). Pandangan ini tampaknya terusik oleh gagasan etnografi fiksi yang berkembang di era posmodernisme. Jagat posmodernisme sastra dan antropologi telah berlari jauh ke depan. Sastra bukan hanya sebuah artefak yang penuh estetika, melainkan juga memuat sebuah budaya yang berisi etika.

Oleh para ahli antropolog, sastra juga dianggap sebagai refleksi kehidupan manusia yang patut diselami. Sastra sering dimaknai sebagai alat untuk mengajarkan perilaku budaya. Orang yang banyak mempelajari sastra sering terpengaruh sikap dan perilakunya. Terlebih lagi jika pembaca mendalami sastra ajaran (niti), tentu dapat menyelami budayanya.

Membatasi sastra memang tidak mudah. Pandangan klasik memang selalu mengajak agar pembaca mendefinisikan sastra sebagai ekspresi ajaran budaya leluhur. Definisi klasik ini rasanya memang perlu dipugar, dilakukan redefinisi. Dalam konteks antropologi sastra, sastra adalah karya yang merefleksikan budaya tertentu. Secara umum, antropologi diartikan sebagai suatu pengetahuan atau penelitian terhadap sikap dan perilaku manusia.

Antropologi melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai kelompok variabel yang berinteraksi, sedangkan sastra diyakini merupakan cermin kehidupan masyarakat pendukungnya. Bahkan, sastra menjadi ciri identitas suatu bangsa. Sastra merupakan pantulan hidup manusia secara simbolis. Simbol-simbol budaya dalam sastra dapat dikaji melalui cabang antropologi sastra.

Menurut Haviland (1984:7) antropologi adalah penelitian tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat bagi manusia untuk menuntun perilaku dan untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman budaya. Pendapat ini memang masih tergolong klasik sebab awalnya antropologi memang sering membuat generalisasi. Namun, akhir-akhir ini, sejak ilmu simbol merambah antropologi, generalisasi itu tidak menjadi fokus utama.

Generalisasi sudah banyak diikuti oleh ahli sosiologi, maka antropologi sastra pun banyak mempelajari keanekaragaman kehidupan, tetapi tidak berusaha menggeneralisasi fakta. Antropologi sastra justru hendak menemukan aneka ragam kehidupan manusia dari sisi pandang budayanya.

Antropologi sastra dalam pandangan Poyatos (1988:331–335) adalah ilmu yang mempelajari sastra berdasarkan penelitian antarbudaya. Penelitian budaya dalam sastra tentu diyakini sebagai sebuah refleksi kehidupan. Memang harus diakui bahwa penelitian yang dimaksud itu sering berkembang pesat menjadi tiga arah, yaitu:

  1. Penelitian terhadap budaya sastrawan yang disebut antropologi pengarang, ditelaah sisi antropologisnya dengan mewawancarai dan mengamati kehidupan budaya pengarang;
  2. Penelitian teks sastra yang meneliti refleksi sastra sebagai pantulan budaya;
  3. Penelitian terhadap antropologi pembaca yang secara reseptif memiliki andil penting dalam pemaknaan sastra.

Arah penelitian yang ketiga ini dapat menelaah hubungan antara sastra dan budaya, terutama untuk mengamati bagaimana teks sastra itu digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat untuk memberikan ajaran tindakan bermasyarakat. Dari tiga arah ini, peneliti antropologi sastra dapat mengarahkan harapannya. Ahli antropologi sastra bebas berkarya untuk memahami hidup manusia.

Untuk sementara, antropologi sastra dapat membonceng penelitian sosiologi sastra. Namun, jika di dalam suatu program studi sudah ada ilmuwan yang pernah belajar antropologi, amat bermanfaat apabila bidang antropologi sastra menjadi mata kuliah. Pada gilirannya, antropologi sastra tampil ke permukaan untuk mencoba menutup kelemahan dan kekurangan yang ada pada telaah teks sastra secara struktural. Atau sebaliknya, melalui antropologi sastra, kelemahan dan kekurangan data budaya dapat tertutupi. Jadi, secara umum, antropologi sastra dapat diartikan sebagai penelitian terhadap pengaruh timbal balik antara sastra dan kebudayaan. Suatu saat, sastra akan menyerap ide-ide dari budaya yang mengitarinya. Sebaliknya, kebudayaan dapat berubah dan berkembang atas dasar denyutan sastra.

Kedekatan Sastra dan Antropologi

Pada awalnya, kedekatan antropologi dan sastra masih diragukan. Kedekatan itu menunjukkan ada keterkaitan penting dalam sastra dan antropologi. Orang yang pernah belajar sastra dan antropologi tentu dapat menyelami kedekatan itu. Keterkaitan sastra dan antropologi memang amat dekat dan sulit diragukan lagi.

Memang, sejak penulis masuk ke Program Studi Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya UGM, tahun 1998, ada keraguan. Apakah penulis tidak salah arah dan salah jalan, mengapa harus seperti memasuki hutan rimbun yang belum jelas peta jalannya? Ternyata, selama memasuki antropologi selama dua tahun, kemudian dilanjutkan program doktor selama lima tahunan, dapat dirasakan bahwa ada kedekatan antropologi dan sastra.

Memang sudah ada beberapa tulisan pendek yang menyebut istilah antropologi sastra. Poyatos (1988) secara jelas menulis artikel berjudul Literary Anthropology: A New Interdisciplinary Approach to People, Signs, and Literature. Tulisan ini cenderung ingin mengetengahkan bahwa banyak tulisan antropologi yang bernuansa sastra (literary anthropology). Istilah ini agak berbeda dengan sebutan anthropology of literature, artinya antropologi sastra. Istilah ini merujuk pada konteks karya sastra yang memuat unsur antropologi. Konteks inilah yang dikembangkan oleh ilmuwan sastra untuk pengembangan ilmu. Ilmuwan sastra merasa belum puas mempelajari sastra dari sisi sosial dan psikologi serta filsafat. Itulah sebabnya, belakangan muncul pengertian antropologi sastra.

Ada beberapa alasan penting yang menyebabkan kedekatan antara antropologi dan sastra, yaitu:

  1. Keduanya sama-sama memperhatikan aspek manusia dengan seluruh perilakunya;
  2. Manusia adalah makhluk yang berbudaya, memiliki daya cipta rasa kritis untuk mengubah hidupnya;
  3. Antropologi dan sastra tidak alergi pada fenomena imajinatif kehidupan manusia yang sering lebih indah dari warna aslinya;
  4. Banyak wacana lisan dan sastra lisan yang menarik minat para antropolog dan ahli sastra;
  5. Banyak interdisiplin yang mengitari bidang sastra dan budaya hingga menantang munculnya antropologi sastra.

Lima alasan utama ini menandai bahwa adat istiadat, tradisi, seremonial, mitos, dan sejenisnya banyak menarik perhatian sastrawan.

Kalau membaca tulisan etnografi, sejak tulisan Geertz (1989:6) tentang santri, abangan, priayi; banyak hal yang sebenarnya realitas, tetapi dipoles dengan imajinatif. Maksudnya, antropolog ini banyak menulis etnografi yang mirip karya sastra. Begitu pula kalau membaca sastra-sastra etnis, di dalamnya banyak ditawarkan warna lokal. Banyak warna budaya yang menjadi wilayah penggarapan proses kreatif sastra. Itulah sebabnya, kalau kita mau merenungkan, tampak bahwa antropologi dan sastra itu batasnya amat tipis.

Sebagai antropolog simbolis, ia sudah mulai melewati jalan tafsir yang begitu panjang sebagai tafsir sastra yang dilakukan oleh ahli-ahli sastra. Suatu saat, dia menulis etnografi yang sejajar dengan sastra dan pada saat lain, dia menelusuri konsep-konsep budaya, seni, dan sastra dalam konteks kehidupan manusia.

Dengan mempelajari kehidupan orang Maroko, Thailand, Bali, dan Jawa, banyak konteks etnografi yang dilahirkan dari teks-teks sastra dan juga pengalaman empiris. Dalam buku After the Fact (1999) yang diberi catatan kritis oleh Ignas Kleden, tampak bahwa ada kedekatan hubungan antara budaya, sastra, dan antropologi. Banyak hal yang dia ungkap secara estetis tentang kota, negeri-negeri, budaya, hegemoni, disiplin, dan modernitas secara kritis, simbolis, dan empiris. Biarpun dasar etnografinya bersifat reflektif, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan karya sastra.

Jika karya sastra puisi dalam pandangan Riffaterre (1978:23) memuat faktor idiolektik, yaitu pemakaian kata-kata khusus, etnografi pun demikian halnya. Puisi juga sering melukiskan etnografi tertentu. Puisi-puisi Jawa yang memaparkan perjuangan lokal, misalnya berjudul Balada Sarip Tambakyasa, merupakan gambaran etnografi estetis. Puisi juga memuat konteks yang berupa tanda atau simbol yang lebih indah dari realitas. Etnografi yang ditulis oleh para pemerhati pascastrukturalis pun sering melukiskan realitas lebih indah dari warna aslinya.

Puisi sebagai sebuah karya estetis sering diturunkan dari sebuah hipogram (keturunan) teks sebelumnya. Keturunan ini sering dinamakan trah (afinitas). Karya sastra pun sering memiliki hubungan trah (kekerabatan) dengan teks sebelumnya. Konsep hipogram ini sejajar dengan konteks kekerabatan dalam wawasan antropologis. Setiap teks puisi sering hadir atas jasa teks sebelumnya. Akibatnya, teks-teks yang lahir belakangan merupakan barisan teks-teks yang membentuk sebuah trah baru.

Konteks kekerabatan teks yang senada dengan pandangan kekerabatan antropologi itu, menurut Riffaterre (1978:23) sering melalui kata-kata. Kata-kata dalam puisi sebelumnya sering diregenerasi ke teks berikutnya. Hubungan teks satu dengan teks lain itu sering amat dekat dan maknanya pun signifikan. Penurunan teks dapat juga diwarnai oleh pengambilan ide dan gaya (manner). Puisi yang muncul belakangan hampir sulit melepaskan diri dari karya sebelumnya. Hal ini menandai bahwa pada deretan tertentu akan terjadi himpunan teks-teks yang memiliki kemiripan, seperti halnya dalam antropologi ada warna kulit, wajah, dan sikap yang mirip satu sama lain.

Produksi teks puisi adalah upaya menghadirkan karya sebelumnya. Produksi yang dimaksud memang sebuah upaya mengolah tanda dan simbol. Simbol dalam teks sastra merupakan sebuah lamunan seperti ketika etnografer hendak melukiskan suatu masyarakat. Jika sastrawan atau penyair menggunakan daya fantasi, etnografer menggunakan ranah pengolahan simbol. Keduanya sering terbawa arus “tidak sampai hati” atau merahasiakan sebuah kejadian. Kerahasiaan oleh penyair dan etnografer dijaga lewat permainan simbol dan pemolesan fakta. Jika dalam sastra pemolesan menggunakan bahasa kias, antropologi pun tidak alergi dengan bahasa kias.

Atas dasar hal itu, kedekatan sastra dengan antropologi memang tidak dapat diragukan lagi. Maksudnya, hubungan keduanya amat dekat dan saling mengisi sebab sastra dan antropologi sama-sama merupakan upaya memahami manusia. Memahami tindakan manusia lewat jalur sastra, menurut gagasan Todorov (Anwar, 2010:269), akan menelusuri fakta-fakta realisme fantastisk. Sastra memang dunia yang memangku gejala-gejala psikologis sebagai gabungan dengan fenomena sosial.

Kedua fenomena ini sering menjadi sentuhan antropologi pula. Antropolog banyak memahami kehidupan manusia secara psikologi dan sosial hingga muncul antropologi sosial dan antropologi psikologis. Begitu pula dalam sastra, sudah berkembang psikologi sastra dan sosiologi sastra. Pengembangan jalur keilmuan sastra yang disebut antropologi sastra tentu dapat menjembatani keraguan, aspek-aspek fantastik yang mungkin muncul dalam kehidupan manusia.

Memang sulit diduga untuk membedakan mana refleksi fenomena yang realis dan mana yang fantastis. Dunia sastra dan antropologi sering mempelajari keduanya untuk melengkapi pemahaman terhadap kehidupan manusia. Kalau demikian, paling tidak ada dua kedekatan sastra dan antropologi, yaitu:

  1. Sastra dan antropologi memiliki kedekatan objek penelitian yang mengarah ke fenomena realitas hidup manusia;
  2. Sastra dan antropologi memiliki kedekatan metodologis, artinya keduanya banyak memanfaatkan tafsir-tafsir fenomena simbolis;
  3. Sastra dan antropologi cenderung memeliharan konsep kekerabatan (trah) sebagai simbol konteks kehidupan.

Dengan demikian, mempelajari sastra lewat sisi antropologi akan membuka mata para ahli sastra tentang fenomena simbolis. Lewat jalur antropologi, belajar sastra akan semakin sempurna dalam menyelami kehidupan manusia. Banyak sisi-sisi etnografi yang unik yang perlu dikuasai oleh seorang ahli sastra, terutama ketika menghadapi fenomena-fenomena khusus seperti etnisitas, kekerasan, feminisme, dan lokalitas apa saja.

Kalau antropolog akan menggunakan data-data sastra pun, sebenarnya bukan hal yang salah karena karya sastra sebenarnya merupakan refleksi kehidupan manusia, lengkap dengan budayanya. Manusia adalah pencipta dan sekaligus perilaku budaya. Kepiawaian manusia mengolah imajinasi akan melahirkan aneka budaya yang tersembunyi dan kental makna. Konteks inilah yang merapatkan fenomena antropologi dan sastra semakin sulit terpisahkan. Keduanya adalah bangunan hidup yang penuh simbol humanistis.

Antara Sastra, Antropologi, dan Budaya

Sastra itu sebuah cipta budaya yang indah. Sastra dipoles dengan bahasa keindahan. Sastra adalah wilayah ekspresi, sedangkan budaya adalah muatan di dalamnya. Adapun antropologi adalah ilmu kemanusiaan, maka antropologi sastra merupakan ilmu yang mempelajari sastra yang bermuatan budaya. Dalam kaitan ini, pemikiran mendasar dari Wellek dan Warren (1989) tentang sastra yang memuat aspek dulce et utile, beautiful and useful, sudah banyak dipakai para pemerhati sastra. Persoalan keindahan adalah aspek estetika yang lebih dekat dengan bahasa kias.

Adapun persoalan guna terkait dengan makna keindahan bahasa sastra itu. Bahasa tersebut di cabang antropologi sudah disentuh oleh antropologi linguistik. Adapun ihwal kegunaan sastra, sebagian besar karena karya sastra adalah cermin budaya. Sastra adalah potret keanekaragaman budaya. Potret ini biasanya menarik bagi pemerhati antropologi sastra.

Pemikiran “indah dan berguna” sudah banyak menarik perhatian Abrams, Teeuw, Fokkema, dan sejumlah penulis teori sastra lain. Kunci utama sastra memang pada daya tarik dan pragmatikanya. Atas dasar alasan itu, sastra, budaya, dan antropologi memang tiga hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sastra merupakan bingkisan budaya yang menggetarkan pemerhati antropologi sastra.

Secara harfiah, sastra merupakan alat untuk mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi yang baik, sedangkan kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Jadi, sastra dan kebudayaan berbagi wilayah yang sama, yakni aktivitas manusia, tetapi dengan cara yang berbeda; sastra melalui kemampuan imajinasi dan kreativitas (sebagai kemampuan emosional), sedangkan kebudayaan lebih banyak melalui kemampuan akal sebagai kemampuan intelektual.

Kebudayaan mengolah alam yang hasilnya adalah perumahan, pertanian, hutan, dan sebagainya, sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan, membangun dunia baru sebagai “dunia dalam kata”, hasilnya adalah jenis-jenis karya sastra seperti puisi, novel, drama, cerita-cerita rakyat, dan sebagainya.

Pijakan Haviland (1984:14) tentang antropologi budaya sebagai bagian penelitian yang mengkhususkan diri pada pola-pola kehidupan masyarakat layak dipertimbangkan dalam antropologi sastra. Gagasan itu sebenarnya hendak menyatakan bahwa di dalam budaya tertentu (culture-bound), ada wilayah dan ruang yang tersembunyi, yaitu dunia estetis yang disebut sastra.

Sastra adalah warisan budaya yang memuat pola-pola kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya, jarak antara antropologi, sastra, dan budaya tidak selayaknya diperdebatkan. Peneliti antropologi sastra sudah semestinya mencari benang-benang merah penelitian antropologi sastra dengan mempertimbangkan aset budaya di dalamnya.

Pada prinsipnya, hubungan antara sastra dan kebudayaan (antropologi sastra, sosiologi sastra, atau psikologi sastra) lahir karena analisis dengan memanfaatkan teori-teori strukturalisme yang terlalu asyik dan monoton dengan unsur-unsur instrinsik (tema, alur, penotokohan, latar) sehingga melupakan aspek-aspek lain.

Para pemerhati strukturalisme telah lelah dan terjebak pada aspek di luar sastra yang tidak kalah unik. Ahli-ahli struktural umumnya jenuh setelah membedah unsur intrinsik sastra. Begitu pula dengan ahli antropologi struktural, baik struktural fungsional maupun strukturalisme Levi-Strauss. Kedua penelitian struktural itu sebenarnya sudah lama mengidolakan strukturalisme dinamik, tetapi belum juga atau bahkan tidak menggembirakan hasilnya. Oleh karena itu, belakangan muncul antropologi sastra yang berupaya memandang berbagai unsur di luar sastra, yaitu aspek sosio kulturalnya.

Intensitas hubungan antara sastra dan kebudayaan juga dipicu lahirnya perhatian terhadap kebudayaan sebagai penelitian kultural sastra. Kenyataan menunjukkan bahwa telah terjadi kesalahpahaman dalam menjelaskan hubungan sekaligus peranan sastra terhadap penelitian kebudayaan. Kesalahan tersebut sebagian besar diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam menyimak hakikat sastra sebagai fakta imajinasi, rekaan, dan kreativitas, termasuk pemakaian bahasa metaforis konotatif.

Dalam hubungan inilah disebutkan bahwa kenyataan dalam karya sastra sebagai kenyataan yang “mungkin” telah dan akan terjadi. Dunia mungkin itulah yang selayaknya menarik minat para pemerhati antropologi sastra. Sastra mungkin menyimpan aneka kultur yang tidak terjelaskan lewat pemahaman struktural.

Penelitian terhadap dongeng yang sebagian besar isinya adalah khayalan tidak dengan sendirinya akan menghasilkan penelitian yang bersifat khayalan. Sebuah cerpen dengan tokoh utama tanpa kepala, misalnya, hasil analisisnya akan memberikan kesimpulan bahwa pada suatu masa tertentu, telah lahir para pemimpin yang tidak bijaksana sebab para pemimpin tidak memiliki otak.

Analisis bait dan baris-baris puisi Chairil Anwar, “Aku ini binatang jalang” tidak berarti manusia sama dengan binatang sebagai analisis biologis, melainkan melalui pemahaman sifat manusia pada saat tertentu, dalam hal ini masa penjajahan. Pada saat itu, bangsa Indonesia mengidentifikasikan dirinya sebagai binatang buas. Kebenaran hasil analisis ini tentunya dapat dibuktikan setelah dikaitkan dengan berbagai masalah lain (ekstrinsik). Dalam hal inilah terkandung peranan sastra dalam penelitian kultural. Karya sastra adalah rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan.

Sebagai rekaman budaya, sastra layak dipahami lewat antropologi sastra. Antropologi sastra akan memburu makna sebuah ekspresi budaya dalam sastra. Sastra dipahami sebagai potret budaya yang lahir secara estetis.

Menurut Sudikan (2007), paling tidak antropologi sastra memiliki dua keperluan, yaitu:

  1. Sebagai pembanding dengan psikologi sastra dan sosiologi sastra dan
  2. Untuk pertimbangan kekayaan budaya sebagai warisan.

Antropologi sastra justru melengkapi psikologi sastra dan sosiologi sastra, bahkan antropologi sastra juga mencerahkan pandangan etnologi dan etnolinguistik yang telah berkembang beberapa tahun. Hal ini penting sebab harus diakui bahwa dalam beberapa buku antropologi seperti karya Keesing dan Haviland, sama sekali tidak pernah dibahas sastra di salah satu etnis. Padahal, setiap masyarakat tentu sudah memiliki sastra lisan yang kaya makna budaya.

Masalah-masalah perempuan Indonesia, misalnya, dapat dijelaskan lebih mendalam setelah membaca novel-novel Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan novel-novel populer yang terbit tahun 1970-an. Jika hendak mengetahui budaya Bali, dapat membaca novel Jawa berjudul Puspitasari karya Any Asmara. Konteks budaya Bali yang ditulis oleh novelis Jawa tentu akan berbeda dengan para sastrawan dari Bali yang melukiskan wilayahnya. Kekayaan budaya itulah yang menandai kerja antropologi perlu serius sampai memahami akar-akar budaya. Akar budaya lokal biasanya yang paling banyak menarik minat ahli antropologi sastra. Lokalitas itu yang banyak menawarkan sendi-sendi kehidupan etnis.

Sastra senantiasa lahir dalam konteks budaya, tidak jatuh dari gunung. Imajinasi dan fantasi sastrawan pun tidak mungkin tercerabut dari akar budayanya. Oleh karena itu, kehidupan priayi Jawa dapat dipahami secara intens melalui Para Priyayi (Umar Kayam), kasta di Bali melalui Tarian Bumi (Oka Rusmini), ronggeng di Jawa melalui karya-karya Ahmad Tohari, komunisme di Indonesia melalui karya-karya para pengarang Lekra.

Tanggapan masyarakat Barat terhadap Timur terkandung dalam beberapa karya Shakespeare. Masih banyak lagi karya-karya sastra etnis, termasuk etnis Tionghoa, kolonialisme, dan sejumlah etnis pedalaman. Getaran emosi tiap etnis akan merekam budaya masing-masing secara estetis.

Sebagai dimensi pluralitas, teks (sastra) menampilkan keragaman budaya. Sastra modern seperti novel, puisi, cerpen, dan drama, demikian juga sastra lama seperti babad, dongeng, dan cerita rakyat, termasuk peribahasa, humor, pantun, dan berbagai tradisi lisan yang lain merupakan objek penelitian kebudayaan yang kaya dengan nilai.

Sebagai dimensi pluralitas, teks (sastra) menampilkan keragaman budaya, menembus makna di balik gejala. Untuk menembus makna di balik gejala itu, diciptakan jalan dan jembatan, salah satunya antropologi sastra.

Referensi

http://staffnew.uny.ac.id/upload/131872518/penelitian/metodologi-antropologi-sastra.pdf