Prediksi mengenai perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) yang kemudian mengalami kebangkrutan merupakan suatu analisis yang penting bagi pihak- pihak yang berkepentingan seperti kreditu, investor, otoritas pembuat peraturan, auditor maupun manajemen.
Bagi kreditur, analisis ini menjadi bahan pertimbangan utama dalam memutuskan untuk menarik piutangnya, menambah piutang untuk mengatasi kesulitan tersebut, atau mengambil kebijakan lain. Sementara dari sisi investor hasil analisisnya akan digunakan untuk menentukan sikap terhadap sekuritas yang dimiliki pada perusahaan dimana ia berinvestasi.
Studi mengenai kebangkrutan perusahaan pertama kali dikemukakan oleh Beaver (1966) yang menggunakan 29 rasio keuangan perusahaan pada lima tahun sebelum terjadi kebangkrutan. Tujuan penelitiannya yaitu mengetahui apakah rasio-rasio keuangan terpilih tersebut akan menjadi sejak rasio-rasio keuangan mengalami penurunan atau menjadi tidak sehat.
Beaver membuat enam kelompok rasio yaitu cashflow ratio, net income ratio, debt-to- total asset ratio, liquid asset-to-current debt ratio, turnover ratio, dan liquid asset to-total asset ratio.
Dari keenam kelompok rasio tersebut, Beaver menemukan bahwa rasio dari aliran kas (cash flow) terhadap kewajiban total (total debt) merupakan prediktor yang paling baik untuk menentukan tingkat kebangkrutan sebuah perusahaan.
Analisis rasio keuangan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan menjadi topik menarik setelah Altman (1968) menemukan suatu formula untuk mendeteksi kebangkrutan perusahaan dengan istilah yang sangat terkenal, yang disebut Z-score.
Z-score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar dikalikan rasio-rasio keuangan yang akan menunjukan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan.
Formula Z-score dapat dituliskan sebagai berikut :
Z-score = 1,2 WC/TA + 1,4 RE/TA + 3,3 EBIT/TA + 0,6 MVE/BVD + 1,0 S/TA
dimana :
WC/TA = Working Capital/Total Asset
RE/TA = Retained Earning/Total Asset
EBIT/TA = Earning Before Income Tax/Total Asset
MVE/BVD = Market Value of Equity/Book Valued of Debt
S/TA = Sales/Total Asset
Dengan memasukkan rasio-rasio keuangan kedalam model tersebut maka dapat ditentukan besarnya kemungkinan kebangkrutan. Jika Z-score lebih kecil dibanding 2,675 maka kemungkinan perusahaan bangkrut akan lebih besar dibanding dengan perusahaan dengan skor Z diatas 2,675.
Altman menyatakan perusahaan dengan Z-score lebih dari 2,99 secara tegas dikategorikan ke dalam sektor nonbangkrut, jika Z-score menunjukan 1,81 berarti bangkrut. Sementara jika skor Z-nya diantara kedua angka tersebut maka resiko kebangkrutan perusahaan tersebut dapat diabaikan (zone of ignorance).
Pada penelitian selanjutnya Altman mengembangkan formula tersebut dan mendapat dua formula baru sebagai berikut :
Zā = 0,71WC/TA + 3,117EBIT/TA + 0,420MVE/BVD + 0,998S/TA Zā = 6,56WC/TA + 3,26RE/TA + 6,72EBIT/TA + 1,05 MVE/BVD
dengan klasifikasi sebagai berikut :
Klasifikasi |
z |
Zā |
Z" |
Bangkrut |
<1,81 |
<1,23 |
<1,1 |
Ragu-ragu (Gray -Area) |
1,81 - 2,99 |
1,23 - 2,90 |
1,1 - 2,6 |
Non Bangkrut |
>2,99 |
>2,90 |
>2,60 |
Sementara itu pada tahun 1981 Scott, seorang analisis keuangan, mengemukakan bahwa pembayaran utang/bunga (R) bisa dihasilkan dari laba berjalan sebelum bunga dan pajak (EBIT) atau dari ekuitas perusahaan. Ekuitas ini didefinisikan sebagai nilai sekarang (present value) deviden perusahaan yang akan datang dan disimbolkan dengan S.
Sehingga kebangkrutan terjadi jika :
R > EBIT + S
Dari ketiga pendekatan tersebut terbukti bahwa akurasi model Beaver, Altman, dan Scott mendekati kesamaan ketika diterapkan satu tahun sebelum kebangkrutan.