Apa yang dimaksud dengan Amytrophic Lateral Sclerosis?

Amytrophic Lateral Sclerosis

Dunia berduka cita atas meninggalnya Stephen Hawking, seorang ilmuwan terkenal yang telah memberikan sumbangsih besar pada dunia sains walaupun memiliki keterbatasan karena mengidap penyakit ALS yang membuatnya harus duduk di kursi roda dan bicara dengan bantuan komputer.

Penyakit ALS (Amyotrophic lateral sclerosis) merupakan sebuah kondisi saat sistem saraf di mana sel-sel tertentu (neuron) di dalam otak dan sumsum tulang mati secara perlahan. Sel ini mengirimkan pesan dari dalam otak dan sumsum tulang menuju otot. Masalah otot ringan muncul pada awalnya, tapi perlahan-lahan orang tersebut akan menjadi lumpuh. Beberapa orang ada yang mengalami penyakit ALS selama beberapa tahun. Pada akhirnya otot akan berhenti bekerja. Penyakit ini disebut juga penyakit Lou Gehrig, dinamakan setelah pemain bisbol terkenal meninggal karena penyakit ALS ini.

Ada dua jenis tipe penyakit ALS:

  • Neuron motor atas: Sel saraf di otak.
  • Neuron motorik bawah: Sel saraf di sumsum tulang belakang.

Neuron motor ini mengendalikan semua gerakan refleks atau spontan di otot lengan, kaki, dan wajah Anda. Neuron motor juga berfungsi memberitahu otot-otot Anda untuk berkontraksi sehingga Anda bisa berjalan, berlari, mengangkat benda ringan di sekitar, mengunyah dan menelan makanan, dan bahkan bernapas.

Beberapa faktor risiko seseorang berpotensi penyakit ALS, yaitu:

  1. Usia antara 55-75
  2. Gender Pada kelompok usia <65 tahun, laki-laki lebih berisiko mengalami ALS dibandingkan perempuan
  3. Faktor lingkungan macam merokok dan paparan jangka panjang
  4. Cedera karena benturan
  5. Ras dan etnis, ras Kaukasia dan non-Hispanics memiliki potensi lebih besar terkena penyakit ini

Sumber :

Penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS) disebut juga motor neuron disease (MND), Charcot disease , Lou Gehrig disease . ALS adalah penyakit neurologis progresif yang dikarakterisasikan oleh degenerasi UMN dan LMN ( upper and lower motor neuron ). ALS pertama kali diobservasi oleh neurologist Jean- Martin Charcot pada tahun 1869, barulah pada tahun 1874, terminologi ALS diperkenalkan. Penyakit ini menjadi populer setelah pemain baseball , Lou Gehrig, didiagnosis menderita ALS pada tahun 1939. Sejumlah 90-95% kasus penyebabnya belum diketahui.

EPIDEMIOLOGI


Di seluruh dunia, ALS dialami oleh 1 dari 3 orang per 100.000 ribu. Di Eropa, insiden tahunan adalah 2,16 per 100 ribu orang/ tahun. Di Indonesia, belum ada data pasti. Rasio pria:wanita adalah 1,5:1, pada ALS familial rasio ini hampir sama. Sekitar 5-10% kasus ALS diwariskan. Pada ALS tipe familial, usia terbanyak adalah 47–52 tahun. Pada ALS tipe sporadik, usia terbanyak adalah 58–63 tahun.

Kematian dapat terjadi dalam rentang waktu 3-5 tahun setelah diagnosis. Hanya 1 dari 4 penderita ALS yang dapat bertahan hidup lebih dari 5 tahun setelah diagnosis. Sebagian besar penderita ALS meninggal dunia karena gagal nafas ( respiratory failure ), rata-rata 3 tahun atau sekitar 2-4 tahun setelah onset , beberapa penderita dapat bertahan hidup hingga satu dasawarsa atau lebih.

ETIOPATOGENESIS


Penyebab pasti ALS belum diketahui. Terdapat beragam hipotesis tentang etiologi yang masih kontroversial: merokok sigaret, diet tinggi lemak atau tinggi glutamat, berpartisipasi di perang Teluk. Faktor lingkungan intoksikasi timah dan merkuri juga diduga penyebab ALS. Asumsi ini bermula dari tingginya insiden ALS di pulau Guam pada tahun 1945. Begitu pula kondisi eksitotoksik asam-asam amino, terutama glutamat, sempat diduga kuat menyebabkan ALS. Hipotesis ini memerlukan riset lanjutan, mengingat beberapa paparan lingkungan dapat mengubah genetic programming melalui mekanisme epigenetik.

Beberapa studi menunjukkan bahwa pada ALS terjadi degenerasi neuron motorik akibat apoptosis, yang dipicu oleh stres oksidatif dan disfungsi mitokondria. Disfungsi kemampuan sel-sel saraf untuk mengendalikan stres oksidatif juga terjadi pada ALS familial yang disebabkan karena mutasi gen yang mengkode cytosolic antioxidant enzyme copper/zinc superoxide dismutase (SOD1). 5,6 Neuroinflamasi jelas berperan pada ALS. Sitokin proinflamasi yang meningkat pada neuron-neuron motorik berdegenerasi juga memicu inflamasi mikroglia. Pada ALS sporadis, terjadi akumulasi proses neurodegeneratif yang kompleks.

Terdapat neuron-neuron motorik yang rentan, dibuktikan dengan adanya neuronal inclusions , termasuk untai ubikuitin ( ubiquitinated skeins ) atau Lewy-like formations dan Bunina bodies . Struktur ini dijumpai pada sebagian besar penderita ALS sporadik. Pada ALS familial, dijumpai bentuk berbeda, yaitu hyaline conglomerate yang termasuk neurofilamen dan tidak mengandung ubiquitin .8Antigen neuron di dalam inclusions yang dikenal oleh antibodi untuk ubiquitin telah teridentifikasi sebagai TDP-43 (protein yang dijumpai pada HIV). Mutasi pada gen TDP-43 (TARDBP) telah teridentifikasi sebagai penyebab ALS tipe sporadik dan familial . Identifikasi TDP- 43 penting di dalam menegakkan diagnosis postmortem ALS.

Penemuan mutasi patogenik pada TARDBP mengimplikasikan TDP-43 sebagai mediator aktif neurodegenerasi pada proteinopati TDP- 43, termasuk ALS.9 Hal lain yang menarik, terjadi kehilangan selektif EAAT 2, astrocyte-selective glutamate transporter , di bagian motor cortex dan spinal cord penderita yang meninggal dunia karena ALS.10 Riset molekuler berhasil mengungkap 12 gen/lokus kausatif pada ALS familial, misalnya :

  • ALS1/21q22.1,
  • ALS2/2q33-35,
  • ALS3/18q21,
  • ALS4/9q34,
  • ALS5/15q15-q22,
  • ALS6/16q15-q22,
  • ALS7/20ptel,
  • ALS8/20q13.33,
  • ALS9/14q11,
  • ALS10/1q36,
  • ALS-FTD/9q21-22
  • ALS-FTD/9p13.2-21,3.

Sedangkan untuk ALS sporadik, beberapa gen yang rentan, misalnya :

  • SOD1,
  • HFE ( human hemochromatosis protein ),
  • MAPT ( microtubule-associated protein tau ),
  • NEFH ( neurofilament, heavy polypeptide ),
  • PRPH ( peripherin ),
  • DCT1 ( divalent cation transporter 1),
  • PON 1-3 ( paroxonase 1-3),
  • Progranulin ,
  • ANG ( angiogenin, ribonuclease, RNase A family, 5 ),
  • APEX,
  • SMN1 ( survival of motor neuron-1 ),
  • SMN2, TDP-43, UNC13A

BIOMARKER


Biomarker yang ideal dapat mendeteksi ciri atau karakteristik fundamental patofisiologi suatu penyakit sekaligus mampu membedakan penyakit dari kondisi lainnya dengan nilai prediktif positif dan negatif yang diterima. Uji dan pemeriksaan biomarker haruslah sederhana dan mudah, relatif noninvasive , murah, terpercaya, akurat, mudah direproduksi di semua laboratorium. Teknologi terbaru dengan platform (teknik) “ omics ”, seperti: genomics, transcriptomics, proteomics dan metabolomics berupaya menemukan biomarker ALS. Beragam teknologi ini, memungkinkan identifikasi biomarker yang tervalidasi, yang berasal dari jaringan otak, sel-sel, dan cairan tubuh.

Untuk memeriksa klasifikasi pola protein yang canggih pada cairan serebrospinal, digunakan alat liquid chromatography-Fourier transform ion cyclotron resonance mass spectrometry (LC- FTICR-MS) kapiler. Ditemukan mutasi genetik dan perubahan protein spesifik pada cairan biologis atau biofluids (misalnya: cerebrospinal fluid dan darah) dan/atau jaringan penderita ALS. Contoh biomarker ALS adalah TDP- 43 (TAR DNA-binding protein 43 kDa), phosphorylated neurofilament heavy subunit* (pNF-H), neurofilament light chain (NFL). TAR DNA binding protein of 43 kDa (TDP-43) adalah protein khas utama pada penderita ALS. TDP-43 diukur dari cairan serebrospinal dengan metode ELISA. Rendahnya kadar TDP-43 menunjukkan akumulasi TDP-43 di neuron motorik kortikal dan spinal sehingga kelangsungan hidup menjadi lebih pendek, meskipun hasil ini memerlukan riset prospektif lanjutan. Proses immunoreactivity TDP-43 di jaringan otak yang berkaitan dengan penyakit direfleksikan oleh peningkatan kadar TDP-43 di CSF. Dengan analisis receiver operating characteristic (ROC), diketahui bahwa sensitivitas TDP-43 mencapai 59,3% dan spesifisitasnya mencapai 96%. pNF-H adalah suatu komponen struktural utama di akson motorik. Pada ALS, dijumpai peningkatan konsentrasi pNF-H di plasma, serum, dan cairan serebrospinal. Hal ini berkaitan erat dengan laju perkembangan penyakit.

Kadar neurofilament light chain (NFL) pada cairan serebrospinal digunakan sebagai parameter aktivitas dan proses perjalanan penyakit. Tingginya kadar NFL pada penderita ALS menunjukkan proses neurodegenerasi yang terjadi pada ALS. Penggunaan berbagai protein biomarker bertujuan untuk menegakkan diagnosis secara cepat, memfasilitasi intervensi terapeutik yang efektif dan memantau efektivitas obat. Selain itu, kombinasi berbagai biomarker bermanfaat sebagai efek terapeutik dini.