Apa yang dimaksud dengan alterasi hidrotermal?

image

Alterasi hidrotermal merupakan salah satu proses geologi yang disebabkan oleh interaksi antara batuan dengan larutan hidrotermal. Larutan hidrotermal mengalami transportasi dan menyebabkan perubahan komposisi kimia pada batuan yang dilewatinya. Perubahan tersebut meliputi perubahan mineralogi, tekstur, maupun kandungan kimia dari batuan.

Larutan hidrotermal dapat didefinisikan sebagai larutan panas (~50°hingga >500°C) yang mengandung unsur terlarut yang umumnya terpresipitasi ketika larutan mengalami perubahan karakteristik secara temporal dan spasial. Larutan hidrotermal membawa mineral bijih yang kemudian mengendap pada keadaan tertentu sehingga mengendapkan mineral yang bersifat ekonomis. Studi mengenai alterasi hidrotermal penting untuk dipelajari guna mengetahui karakteristik endapan mineral sehingga dapat memberikan informasi mengenai genesa pembentukan endapan mineral.

Menurut Browne (1991) dan Corbert dan Leach (1998), terdapat enam faktor yang mempengaruhi pembentukan mineral ubahan dalam sistem hidrotermal, yaitu:

  1. Temperatur
  2. Sifat kimia larutan hidrotermal
  3. Konsentrasi larutan hidrotermal
  4. Komposisi batuan samping
  5. Energi kinetik reaksi
  6. Lama waktu kesetimbangan
  7. Permeabilitas batuan samping

Temperatur dan pH larutan merupakan faktor yang terpenting yang mempengaruhi pembentukan mineralogi dari sistem ubahan (Corbett dan Leach, 1998). Kondisi tak jenuh, panas, hidrostatik, dan tekanan langsung berhubungan dengan temperatur, sedangkan tekanan gas dan rasio dari konsentrasi elemen tercermin pada pH larutan. Faktor-faktor yang lain hanya berpengaruh sedikit pada mineralogi batuan.

Suatu daerah yang mengalami alterasi hidrotermal, dicirikan oleh adanya intrusi yang menghasilkan larutan hidrotermal, adanya batuan samping yang diterobos, terdapatnya ubahan pada batuan akibat reaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan samping, terdapat urat-urat kuarsa, dan adanya mineralisasi.

Tipe alterasi tertentu biasanya akan menunjukkan suatu zona kumpulan mineral tertentu akibat alterasi oleh larutan hidrotermal yang melewati batuan sampingnya (Guilbert dan Park, 1986; Evans, 1993). Karakteristik inilah yang dipelajari dalam penentuan jenis alterasi pada sayatan di masing-masing kedalaman sehingga dapat membantu tahap eksplorasi selanjutnya.

Mineral alterasi hidrotermal terbentuk oleh adanya interaksi antara fluida panas dan batuan pada suatu sistem hidrotermal . Oleh karena itu, mineral alterasi hidrotermal termasuk ke dalam mineral sekunder, yaitu mineral yang terbentuk setelah pembentukan batuan asalnya . Mineral alterasi dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan komposisi kimianya (Browne, 1991 ). Intensitas alterasi adalah parameter yang menunjukkan seberapa besar batuan telah mengalami proses alterasi dan menghasilkan mineral sekunder.

Intensitas Alterasi Kondisi Batuan
Lemah (1-25%) massa dasar/ massa dasar atau fenokris/ fragmen telah terubah
Sedang (25-50%) massa dasar/ massa dasar dan fenokris/ fragmen telah terubah tetapi tekstur asalnya masih ada
Kuat (50-75%) massa dasar/ massa dasar dan fenokris/ fragmen telah terubah tetapi tekstur asal dan bentuk kristalnya masih dapat terlihat
Sangat Kuat (75-100%) massa dasar/ massa dasar dan fenokris/ fragmen seluruhnya telah terubah dan sulit untuk dibedakan

Derajat alterasi merupakan parameter yang menunjukkan kondisi bawah permukaan berdasarkan identifikasi mineral alterasi (Browne, 1991). Misal, adularia memiliki derajat alterasi tinggi pada batuan yang memiliki permeabilitas tinggi, dan epidot memiliki derajat alterasi yang tinggi pada kisaran temperatur yang besar.

Corbett dan Leach (1998) membagi zona alterasi hidrotermal ke dalam enam zona ubahan berdasarkan kumpulan dan asosiasi mineral ubahan yang muncul pada kondisi kesetimbangan yang sama dan derajat pH sebagai berikut:

  • Argilik lanjut ( advanced argillic ) , terdiri dari fasa mineral pada kondisi pH rendah (≤ 4) atau asam, yaitu kelompok silika dan alunit. Meyer dan Hemley (1967) menambahkan kelompok kaolin temperatur tinggi seperti diktit dan pirofilit.

  • Argilik , merupakan zona yang ditandai dengan pembentukan mineral lempung bertemperatur rendah seperti kaolinit, mornmorilonit dan ilit. Zona ubahan ini dapat didominasi oleh kaolinit dan smektit, mungkin juga terdiri dari klorit dan ilit. Temperatur pembentukan relatif rendah (<200-250 °C) dengan pH 4-5.

  • Filik , terbentuk pada pH yang hampir sama dengan pH ubahan argilik, namun temperaturnya lebih tinggi daripada temperatur ubahan argilik (>200 – 250 °C). Filik dicirikan dengan kehadiran mineral serisit, ilit, kuarsa, pirit dan anhidrit. Pada zona filik dapat juga hadir kelompok mineral kaolin temperatur tinggi yaitu pirofilit dan andalusit dan juga mineral klorit. Zona filik biasanya terbentuk pada daerah permeabel dan dekat dengan jalur urat.

  • Propilitik , merupakan zona yang terbentuk pada kondisi pH mendekati netral hingga alkali dengan temperatur (<200°C - 300°C). Mineral pencirinya adalah mineral klorit, epidot, kuarsa, albit, kalsit dan anhidrit (Meyer dan Hemley, 1967). Pada zona ini dapat juga ditemukan mineral k-feldspar dan albit sekunder. Pada temperatur yang relatif rendah (<200-250°C), dicirikan oleh ketidakhadiran epidot yang dikenal sebagai zona subpropilitik.

  • Potasik , merupakan zona alterasi yang berada dekat dengan intrusi. Potasik terbentuk pada temperatur larutan hidrotermal tinggi, lebih dari 300°C dengan salinitas tinggi. Dicirikan dengan kehadiran mineral biotit dan/atau k-feldspar ± magnetit ± aktinolit ± klinopiroksen.

  • Skarn , merupakan zona yang berada di dekat kontak antara intrusi larutan hidrotermal dengan litologi gampingan. Terbentuk pada temperatur 300° - 700°C. Mineral pencirinya adalah garnet, klinopiroksen, vesuvianit, skapolit, epidot, amfibol, magnetit dan kalsit.

Berikut adalah tabel pembagian zonasi alterasi berdasarkan himpunan dan asosiasi mineral menurut Corbett dan Leach (1998).

image

Terdapat beberapa model sebaran spasial zonasi himpunan dan asosiasi mineral alterasi yang berhubungan langsung dengan tubuh intrusi. Lowell dan Guilbert (1970) memodelkan sebaran zonasi alterasi pada sistem endapan porfiri sebagai zonasi sirkular di sekitar tubuh intrusi.

Selain itu Sillitoe (2010) juga memodelkan sebaran intrusi berdasarkan kondisi geologi dan juga sebaran mineral alterasinya.

Model lain adalah model zona dengan jenuhan H2O terbentuk pada bagian atas dari intrusi porfiri. Model konseptual ini dijelaskan oleh Burnham (1979). Ketika sebuah tubuh intrusi membeku maka pembentukan akan didominasi oleh mineral-mineral anhydrous . Akibat dari peristiwa kristalisasi magma ini, maka konsentrasi volatile dan H2O mengalami kenaikan dan membentuk bagian dengan komposisi aqueous yang memiliki fasa kimia berbeda dari magma.

Silika (SiO2) akan terkayakan selama proses kristalisasi tahap akhir yang mengakibatkan terbentuknya zona jenuh H2O yang melingkupi intrusi (dalam model ini berupa granodiorite). Adanya akumulasi dari uap memicu confining pressure dan terbentuklah energi mekanik yang dapat mendeformasi batuan. Deformasi akibat hydrofracturing tersebut mengakibatkan terbentuknya breksi hidrotermal sekaligus sebagai zona permeabel fluida meteorik tersirkulasi dan menguban batuan.

image