Apa yang dimaksud dengan Al-Haliim atau Maha Penyantun ?

al-Haliim

Nilai yang terkandung di dalam al-Haliim:

Barangsiapa yang beriman dan membaca “Ya Haliim” sebanyak mungkin di setiap kesempatan, Insya Allah kita dituntun oleh Allah SWT untuk menjadi pribadi yang penyantun.

Apa yang dimaksud dengan Al-Haliim atau Maha Penyantun ?

Kata halim bisa disandang oleh Allah dan makhluk-Nya, manusia. Bagi Allah kata ini menjadi nama dan sifat-Nya yang berarti Yang Maha Penyantun. Bagi manusia berarti penyantun.

Kata Al-Halîm berasal dari kata halima. Di antara maknanya adalah tidak tergesa-gesa. Kata Al-Halîm yang tertuju untuk Allah dalam Al-Qur`an terulang sebanyak 11 kali. Semuanya dirangkai dengan nama-nama Allah, seperti Al-Ghafûr, Al-Ghaniy, Al-‘Alîm, Asy-Syakûr.

Allah Al-Halim, Allah Yang Maha Penyantun, tidak mudah menyiksa hamba-Nya dan tidak tergesa-gesa menjatuhkan sangsi kepada para pendurhaka, padahal Dia mampu. Allah terus memberikan kesempatan kepada orang kafir dan para pendurhaka untuk bertobat, memperbaiki diri, dan menemukan jalan yang benar.

Allah Al-Halim, tetap memberi orang yang durhaka rezeki dan berbagai kemudahan dalam menjalani kehidupan. Allah tangguhkan siksanya sampai pada waktu yang telah ditentukan. Ketika telah datang masanya, maka tidak ada seorang pun yang dapat menolak atau menghindar dari keputusan Allah.

Allah menangguhkan, itu bukan berarti Allah mengabaikan kelakuan manusia. Kita bisa melihat bagaimana Allah menyiksa umat-umat durhaka terdahulu, misalnya siksaan yang diturunkan kepada kaum Nabi Nuh yang tidak mau beriman, termasuk anaknya sendiri.
Allah berkalam, yang artinya,

“Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hûd: 43).

Penundaan Allah untuk tidak segera menyiksa hamba-Nya yang durhaka, selain memberikan kesempatan untuk intropeksi diri dan bertobat, bisa juga menjadi sebentuk istidraj (pembiaran) kepada mereka yang terus-menerus dalam kedurhakaan. Sehingga, mereka tidak sadar ketika Allah turunkan siksaan. Sebagaimana Allah kalamkan yang artinya,

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (al-A’râf: 182).

Sifat Al-Halîm ini hendaklah diteladani oleh segenap manusia. Salah satu orang yang mampu meneladaninya secara sempurna adalah Rasulullah saw. Hamba yang meneladani sifat Al-Halîm akan selalu berusaha menahan amarah dan emosinya. Tidak mudah terpancing dengan ejekan dan provokasi orang lain. Ia tidak membalas keburukan dengan keburukan, padahal ia mampu. Ia mudah memaafkan dan melupakan keburukan orang lain terhadap dirinya, serta tidak memiliki sifat pendendam. Sifat Al-Halîm akan selalu membawa kebaikan dan kedamaian di mana pun ia berada.

Referensi :

  • Dr. Hasan el-Qudsy, The Miracle of 99 Asmaul Husna, Ziyad Book, 2014
  • Sulaiman Al-Kumayi, Asma’ul Husna For Super Woman, Semarang, Pustaka Nuun, 2009