Dalam literatur-literatur agama, ibdâ’ disebutkan dalam beragam bentuk sebagai salah satu sifat Allah Swt yang terkenal, yaitu Al-Badi’. Dalam al-Quran hanya dinyatakan dalam bentuk musyabbah dengan kata badi’ seperti pada ayat berikut:
“Dia yang mula-mula mencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh sebelumnya), dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah.’ Lalu, jadilah ia.” (Qs. Al-Baqarah [2]:117)
Adapun dalam beberapa riwayat kata ibdâ’ ini dinyatakan dalam beberapa bentuk. Terkadang dengan bentuk musyabbah yaitu badi’ seperti:
Ya Badiu Ya Badi’u Ya Qawiyyu Ya Mani’u Ya ‘Aliyyu ya Râfi’i (Wahai Yang Maha Memulai, Yang Maha Pencipta Yang Baru, Wahai Yang Maha Kuat, Wahai Yang Maha Menahan, Wahai Yang Maha Tinggi, Wahai Yang Maha Meninggikan)
Terkadang dinyatakan dalam bentuk ism fâ’il dengan kata mubdi’ seperti pada riwayat, “Mubdi’ al-asyâ wa khâliquhâ wa munsyi al-asyâ biqudratihi” (Pengada segala sesuatu dan Penciptanya serta Pelaksana segala sesuatu dengan kekuasaan-Nya). Pada sebagian riwayat juga dinyatakan dalam bentuk kata kerja ibdâ’ dan ibtada’, seperti, “shawwara ma abda’a ‘ala ghairi mitsâl. Abtada’a ma khalaqa bila mitsal sabaq.”
Allamah Thabathabai berkata, “Kata badi’ adalah sifat musyabbah dari masdar bada’ah dan bada’ah segala sesuatu bermakna tiada yang serupa dengannya. Serupa di sini maksudnya adalah serupa dengan sesuatu yang dikenal oleh pikiran. Makna ini juga dapat disimpulkan dari beberapa riwayat; karena dalam beberapa riwayat sebagai ikutan dari ibdâ’ dan ibtada’, secara lahir bermakna penjelasan tiadanya yang serupa dengannya. Sebagai hasilnya, kedua kata ini akan bermakna bahwa Allah Swt merupakan Pengada (atau Pencipta) tanpa (meniru) model dan contoh yang telah ada sebelumnya.
Filosof dan ahli hikmah Ilahi sedikit berbeda pendapat terkait dengan ibdâ’; Ibnu Sina memaknai ibdâ’ sebagai penciptaan pertama. Menurutnya, mubda’ (yang diciptakan) adalah sebuah entitas yang tidak memiliki perantara alias hubungan langsung antara dirinya dan Tuhan. Sebagai hasilnya, mubda’ (baca: yang diciptakan pertama) dalam pandangan Ibnu Sina terbatas pada akal pertama.
Namun ibdâ’ dalam pandangan jumhur filosof bermakna penciptaan tanpa memerlukan materi dan masa. Karena itu, berdasarkan fondasi pemikiran mayoritas filosof, seluruh akal bahkan jiwa-jiwa selestial (nufus al-falaki) itu adalah mubda’ât (plural mubda’). Atas dasar itu, mayoritas filosof membagi tiga entitas di alam semesta: Mubda’ât, mukhtara’ât dan mukawwinât.
-
Mubda’ât adalah silsilah entitas yang tidak memerlukan materi dan durasi (masa) dalam penciptaannya seperti akal-akal non material (‘uqul al-mujarradah).
-
Mukhtari’ât adalah entitas-entitas yang dalam penciptaannya memerlukan hanya materi seperti entitas-entitas selestial.
-
Mukawwinât adalah entitas-entitas yang di samping membutuhkan materi juga memerlukan durasi (masa) yang juga disebut sebagai alam anasir dan alam kaun-fasâd (generasi-korupsi).
Karena itu, ibdâ’ berada pada posisi teratas dari keduanya. Sebagai bandingannya, Allamah Thabathabai memandang ibdâ’ tidak terbatas pada entitas dan makhluk tertentu, melainkan mencakup seluruh entitas dan makhluk. Artinya seluruh makhluk dan entitas itu adalah mubda’ât (yang diciptakan secara langsung). Nampaknya pandangan Allamah Thabathabai ini lebih sesuai dengan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang ada terkait dengan pembahasan ini.
Dalam menjelaskan pandangannya, Allamah Thabathabai berkata,
“Pengalaman empirik telah menetapkan bahwa setiap dua entitas yang dapat diasumsikan, meski pada tataran universal bahkan pada partikularnya itu adalah tunggal dan satu, sedemikian sehingga manusia mengiranya tidak terpisah, namun keduanya sejatinya memiliki perbedaan karena kalau tidak demikian dua entitas ini tidak akan menjadi dua dan apabila mata biasa tidak mampu melihat perbedaan di antara keduanya, maka teleskop yang kuat mampu melihatnya.”
Argumen filsafat juga membenarkan makna ini. Karena tatkala kita mengasumsikan dua hal sebagai dua hal yang berbeda, apabila tidak ada satu pun keunggulan dan keunikan yang keluar dari esensinya, maka kemestiannya akan menjadi penyebab adanya dualitas dan pluralitas di dalam esensinya bukan di luar esensinya. Dalam kondisi seperti ini yang diasumsikan adalah esensi murni dan esensi yang tidak bercampur lantaran esensi murni tidak memiliki dualitas dan juga tidak menerima pluralitas. Kesimpulannya apa yang kita asumsikan dua atau beberapa itu akan menjadi satu dan hal ini tidak sesuai dengan asumsi kita.
Karena itu dapat kita simpulkan bahwa setiap entitas dari sudut pandang esensi berbeda dengan entitas lainnya dan karena demikian, maka setiap entitas itu adalah badi’ al-wujud. Artinya tidak memiliki kesamaan atau keserupaan yang terlintas dalam benak penciptanya. Hasilnya, Allah Swt itu adalah mubtadi’ wa badi’ al-samawât wa al-ardh” (Pengada dan Pencipta [tanpa contoh sebelumnya] langit-langit dan bumi).