Apa Yang Dimaksud Dengan Al-‘Aql atau Akal Dalam Sudut Pandang Islam?

Secara linguistik, kata al-‘aql (akal) dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi reason, intelligence, intellect, understanding, dan intellectual powers. Banyaknya kata yang digunakan untuk menerjemahkan kata al-‘aql menunjukkan kompleksitas makna kata asal tersebut.

Apa yang dimaksud dengan al-‘aql atau akal dalam sudut pandang Islam ?

Dalam bahasa Indonesia, kata al-‘aql ini biasanya diterjemahkan menjadi “akal”, yang secara simpel telah dianggap sebagai terjemahan baku dan diterima secara mutlak. Namun, sebagaimana lazimnya kasus pengalihbahasaan, kata “akal” ini tidak sepenuhnya mewakili arti yang dimaksudkan oleh kata asalnya.

Dalam konteks bahasa Indonesia misalnya, kata akal selalu dikaitkan dengan aktivitas intelektual atau penalaran rasional, atau menunjukkan potensi pemahaman seseorang, sehingga sering dipakai ungkapan “berakal” untuk menyebut seseorang yang mampu memahami dan berkomunikasi dengan orang lain, keadaan, atau suatu masalah. Di sini, efek yang seharusnya muncul dalam aktivitas tersebut menjadi tidak jelas, bahkan musnah. Akal dalam bahasa Indonesia hanya menandai aspek kognitif dan sama sekali tidak terkait dengan subjek di luar aktivitas intelektual.

Di dalam bahasa Arab, bahasa asalnya, kata al-‘aql mempunyai beberapa variasi makna sesuai dengan bentuk derivatifnya. Dalam bentuk murninya (‘aql) antara lain berarti mencegah (al-hijr) dan bijaksana (al- nuhâ). Sedangkan dalam bentuknya yang lain (mengikuti bentuk ifti‘âl), ia bermakna mencegah, melarang, merintangi, menghalangi, dan menahan (al-habs); ia juga bermakna denda (al-diyah), tuan (al-sayyid), yang paling dermawan (akrama), dan yang terhormat (mu‘azzim).

Kata ‘aql dengan arti menahan dan semacamnya, semula digunakan pada unta, sebagai kendali agar tidak menyimpang dari yang dikehendaki penunggang atau penggembalanya; seperti dalam ungkapan ‘aqal al-ba‘îr yang maksudnya thanâ wazî fuh ma‘ dhirâ‘uh fashuddahumâ fî wast al-dhirâ‘ dan dijelaskan bahwa dhâlik al-habl huw al-‘iqâl.

Pemakaian kata ini (al-‘aql) kemudian meluas pada aspek-aspek lain dengan berdasarkan pada “semangat” kata tersebut. Dari beberapa pemaknaan tersebut, berkembang pemahaman bahwa yang dimaksud dengan ‘aql bukanlah materinya, melainkan potensi dan fungsinya.

Kata ‘aql, di dalam al-Qur‟an tidak pernah digunakan dalam bentuk kata benda. Dalam ungkapan-ungkapan Arab, ‘aql muncul dalam bentuk kata kerja yang menunjuk pada proses, potensi, dan fungsi. Penggunaan kata ‘aql dalam bentuk mencegah, menahan, atau melarang biasanya dikaitkan dengan pengendalian dan pengarahan untuk suatu tujuan yang diyakini baik, seperti maslahah, dan tidak pernah digunakan untuk tujuan-tujuan yang diyakini buruk, misalnya seperti represi maupun eksploitasi (mafsadah).

Tetapi pada kenyataannya, potensi mengikat tidak hanya terjadi pada hal- hal yang benar, kemungkinan terikat pada hal-hal yang tidak benar pun juga terbuka manakala ‘aql tidak berfungsi sepenuhnya secara sempurna.

Di samping mempunyai arti-arti tersebut, kata ‘aql dalam arti proses juga bermakna mengetahui sesuai dengan kenyataan dan mampu membedakan (idrâk kull shay’ ‘alâ ha} qîqatihâ wa mayyiz). Di samping itu, ‘aql juga dipahami sebagai potential preparedness (al-quwwah al-mutahayyi’ah), yang setelah mengetahui dan membedakan ia mampu memberi pengaruh positif kepada subjeknya.

Dikemukakan bahwa al-‘aql yuqâl li al-quwwah al- mutahayyi’ah li qabûl al-‘ilm, wa yuqâl li al-‘ilm al-ladhî yastafîduh al-insân bi tilk al-quwwah ‘aql.

Jadi secara linguistik ‘aql merujuk pada potensi dan fungsi mengetahui serta kemampuan klasifikatif dan kategoris yang berdampak pada pengendalian dan pengarahan. Sedangkan secara filosofis, ketika digunakan pada aktivitas manusia, kata ‘aql dimaksudkan pada potensi intelektual yang bisa memberi umpan balik (feed-back) pada usaha pengendalian diri sesuai dengan pengetahuan yang diperoleh. Dalam konteks ini ada metafora fungsional antara apa yang digunakan pada unta juga diterapkan pada manusia.

Akal dalam Perspekstif Filsafat, Tasawuf, dan Sains

Mayoritas ulama memahami ‘aql dalam tiga kategori, yaitu :

  • Pertama, merujuk pada potensi dasar manusia dalam berbicara, bersikap, dan bertindak.

  • Kedua, potensi dalam berusaha memahami dan meneliti premis-premis umum sehingga mampu melakukan deduksi dan akumulasi premis-premis tentang tujuan dan kebaikan dalam hatinya.

  • Ketiga, validitas karakter primordial manusia, sehingga ia mampu mengetahui kualifikasi kategoris baik-buruk, sempurna-cacat, sesuatu yang diperhatikannya.

Lebih jauh, ada ulama yang berpendapat dan meyakini bahwa ‘aql adalah hidayah yang telah ditanamkan (embeded) oleh Allah ke dalam setiap manusia secara primordial, sehingga tanpa ‘aql mustahil manusia bisa menerima hidayah dan mengamalkannya.

Pendapat terakhir ini sangat dekat dengan pandangan para filosof tentang ‘aql.
Para filosof cukup beragam dalam memahami ‘aql. Diantaranya yang terpenting adalah bahwa;

  • Pertama, ‘aql merupakan substansi sederhana (basît) yang mampu mengetahui hakikat sesuatu (al-Kindî, w. 260/873), ia tidak tersusun dari substansi yang dapat menerima kerusakan (Ibn Sinâ, w. 429/1037), substansi immaterial yang di dalamnya tersimpan aktualitas (definisi al-Jurjânî). ‘Aql juga merupakan potensi rasional (al-
    quwwah al-‘âqilah), substansi sederhana (basît) yang melekat pada materi (manusia) dan tetap hidup setelah materi itu mati (al-Farabî, w. 339/950).

  • Kedua, ‘aql merupakan potensi jiwa yang mampu mendeskripsikan arti-arti, menyusun premis-premis dan analogi. Perbedaannya dengan indera, ‘aql mampu melepas arti-arti dari materi, sedangkan indra tidak. ‘Aql merupakan potensi yang memurnikan, yang mencabut arti dari meteri dan mengetahui arti-arti general seperti substansi dan aksiden, sebab dan akibat, tujuan dan sarana, baik dan buruk, dan sebagainya dan seterusnya.

  • Ketiga, ‘aql adalah potensi yang mampu mencapai ketentuan hukum yang benar (quwwat al-isâbah fî al-hukm), yang mampu membedakan antara yang haqq dari yang bâtil, yang khayr dari yang sharr, yang hasan dari yang qabîh, yang dapat dicapai secara karakteristik, bukan melalui analogi atau pemikiran.

  • Keempat, ‘aql adalah kesiapan potensial jiwa secara natural untuk mencapai pengetahuan ilmiah, yang dibedakan dari pengetahuan religius (wahyu dan keimanan). Ibn Khaldûn (w. 808/1406) memberi perhatian serius atas hal ini.

Ibn Khaldûn melanjutkan, ‘aql alami terdiri dari tiga tingkatan, yakni potensi klasifikatif (al-‘aql al-tamyîz), potensi eksperimental (al-‘aql al- tazrîbî), dan potensi penalaran (al-‘aql al-nazarî). Dengan demikian, ‘aql merupakan salah satu potensi penting potensi yang membedakan manusia dari binatang, karena ‘aql juga merupakan akumulasi kaidah-kaidah prinsipil yang menyusun pengetahuan untuk menentukan penerimaan atau penolakan, seperti kontradiktori dan kausalitas, dan secara niscaya berbeda dari pengalaman eksperimental.

Karena itu, manusia yang secara intelektual sehat tidak akan serta merta menerima suatu kebenaran dan meyakininya sebelum dia membuktikan kebenaran ini secara meyakinkan (Rene Descartes), apa pun metode pembuktian yang digunakan, baik diskursif maupun intuitif.

Sedangkan menurut Alexander Aphrodisias, ‘aql secara inisial adalah sebuah potensialitas murni yang diaktualkan oleh Active Intellect (Tuhan), sebagaimana dinyatakan oleh para filosof Muslim:

The active intellect (al-‘aql al-fi‘âl) is the lowest of the separate intelligence, which gives individual forms to material objects and universal form to the human intellect, hence its name: Wâhib al-Suwar (dator formarum).

Barangkali melalui deskripsi ini dapat dipahami dengan jelas bahwa ‘aql, sebagai embedded guidence - menurut istilah Gus Mus - adalah juga jalan yang dilalui hidâyah shar‘îyah yang diberikan Allah kepada hamba- hamba-Nya.

Akal dalam Perspektif Tafsir al-Qur’an

Kata ‘a-q-l, dalam bentuk derivatifnya diulang sebanyak 49 kali dalam al-Qur‟an. Bentuk-bentuk derivatif yang digunakan dalam al- Qur‟an ada lima, yaitu ‘aqalûh 1 kali, na‘qil 1 kali, ya‘qiluhâ 1 kali, ya‘qilûn 22 kali, dan ta‘qilûn 24 kali.

Kata ‘aql antara lain disandingkan dengan negasi interogatif afalâ sebanyak 15 kali, negasi () 12 kali, harapan (la‘alla) 8 kali, shart (in kuntum) 2 kali, dan hanya 12 kali berdiri sendiri. Dari 49 kali penggunaan kata ‘aql tersebut, hanya sekitar tiga kali dikaitkan secara jelas dengan aspek-aspek metafisik, sedangkan sisanya diakitakan dengan fenomena alam, yang dalam bahasa al-Qur‟an disebut tanda (âyât).

Mayoritas mufasir mengartikan dan menafsirkan kata ‘aql dalam ayat-ayat dimaksud dengan ; mengetahui (ta‘qilûn - ay ta‘lamûn), mencapai pengetahuan (idrâk), memikirkan (afalâ ta‘qilûn - ay afalâ ta‘lamûn), memahami (‘aqalûh - ay fahhamûh), dan kebijaksanaan (ta‘qilûn - ay learn wisdom).

Berkaitan dengan makna-makna yang dikaitkan dengan aspek kognitif tersebut, al-Qur‟an juga menggunakan kata lain dengan maksud yang tak jauh berbeda, seperti nazar, tadabbur, tafakkur, fiqh, tadhakkur, dan fahm, yang semuanya menunjuk pada aspek kognitif namun dengan stressing intuisi-linguistik (dhawq) yang berbeda.

Penting untuk membandingkan pemahaman para mufasir atas kata ‘aql, antara lain bisa dilihat dalam tafsiran al-Bayd}âwî (w. 791 H) ketika menafsirkan frase min ba‘d mâ ‘aqalûh dalam QS. al-Baqarah [2]: 75 dengan fahhamûh bi ‘uqûlihim wa lam yabqâ lahum fîh rayb. Sedangkan Abû Hayyân al-Andalûsî (w. 754 H) menafsirkan ayat yang sama dengan fahhamûh wa ma‘ ‘aqlihim lah ‘alâ wad‘ih yuharrifûnah ‘alâ wad‘ih.

Sekalipun aspek yang ditekankan kedua mufasir ini berbeda, mereka sepakat tentang makna kata ‘aql, yakni paham atau mengerti. Hanya saja keduanya tampak tidak bergerak lebih jauh mengembangkan dan mendiskusikan pemahaman yang lebih substantif atas kata ‘aql. Keduanya juga tidak membicarakan secara tajam dampak yang ditimbulkan oleh pemahaman tersebut. Namun ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 44, al-Baydâwî baru menguraikan lebih jauh efek yang ditimbulkan.

Dalam menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 44 ini, al-Baydâwî menegaskan arti kata ‘aql sekaligus menjelaskan penggunaannya secara metaforis fungsional pada manusia.

Dengan akal, menurutnya, manusia bisa mengetahui dan memahami, dan dengan pengetahuan dan pemahaman yang sama manusia bisa menahan diri dari keburukan dan menambatkan diri pada kebaikan, yang dalam konteks agama secara ringkas bisa dikatakan, orang yang berakal akan bertakwa, yakni mematuhi ketentuan-ketentuan agama.

Al-Qur‟an juga banyak mempertanyakan fungsi ‘aql ketika tidak mampu memahami âyât yang bertebaran di alam semesta, dan cenderung menerima begitu saja berita-berita yang bertentangan dengan kebenaran wahyu. Terhadap sikap taklid semacam itu, al-Qur‟an mengecam keras, seperti terbaca dalam QS. al-Baqarah [2]: 170-171.

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”.

Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.

Abd Allâh Yûsuf Alî menafsirkan kalimat lâ ya‘qilûn shay’ wa lâ yahtadûn (2:170) sebagai keadaan void of wisdom and guidence, alpanya kebijaksanaan dan petunjuk. Alî juga menegaskan aktivitas ta‘aqqul sebagai kebijaksanaan (wisdom), yang secara filosofis berarti kemampuan memahami secara luas, mendalam, dan detail serta merasakannya dari berbagai segi sehingga mendorong munculnya komitmen dan konsistensi antara apa yang dibaca, dipahami, dan disimpulkan dengan apa yang dilakukan.

Di dalam tafsirnya, al-Râzî menegaskan bahwa taklid dalam agama pun tidak dibenarkan. Manusia, sebagaimana dianugerahi ‘aql, wajib merenungkan (al-nazr) dan memikirkan secara mendalam (al-tadabbur). Berikutnya, al-Qur‟an sendiri menyamakan orang-orang yang taklid dengan binatang, dan bahkan lebih sesat (QS. al-Furqân [25]: 44).

atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).

Salah satu unsur terpenting bagi manusia adalah akal. Akal merupakan alat untuk berpikir dan dia tidak bisa direalisasikan dalam bentuk konkritnya, akan tetapi secara abstrak akal berupa ideal yang utama dari diri manusia. Adanya akal telah mengangkat manusia lebih jauh sempurna dibandingkan dengan makhluk lain.

Akal sering diidentikkan dengan otak yang selalu siap menerima segala rangsangan dari indra melalui rangsangan itulah kemudian lahir berbagai rasa dan karsa. Rekayasa tersebut terlihat adanya unsur kebenaran bila ditinjau dari segi peranannya, namun pada hakikatnya memiliki perbedaan yang jauh.

Otak mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sedangkan hakikat otak itu sendiri merupakan sarana untuk memahami dan menanggapi pengalaman, sementara akal sendiri bekerja lebih jauh lagi sesuai dengan potensi dan daya yang ada padanya. Akal mendapat pengetahuan-pengetahuan yang tidak terbatas dengan pengalaman indera, ia sanggup memastikan lebih mendalam melalui pendayagunaannya.

Sesungguhnya manusia mendapat penghargaan yang sangat tinggi dari Allah disebabkan akal, yaitu dijadikan khalifah di permukaan bumi ini. Berdasarkan beban yang diserahkan itu dan manusia sanggup menjalankannya. Melalui potensi akal itu telah melahirkan berbagai ilmu dan sekaligus sanggup menilai hakikat ilmu yang didapatkannya. Ia sanggup menundukkan, melahirkan nuansa baru, mengatur dan menemukan keharmonisan dalam kehidupannya.

Ditinjau dari fungsinya, akal secara umum untuk berpikir, merenungkan sesuatu dan menarik pelajaran atau i’ktibar dari kejadian-kejadian yang dilihat atau dialami, jelasnya akal tersebut adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan azasnya, baik ilmu pengetahuan eksakta maupun ilmu-ilmu pengetahuan sosial.

Menurut pendapat al-Ghazali, akal merupakan salah satu dimensi terpenting pada diri manusia, dimana akal sebagai alat berpikir telah memberi andil besar terhadap alur kehidupan manusia, mempolakan hidup dan mengatur proses kehidupan secara esensial. Akal telah bekerja menurut ukuran yang ada, justru itu maka al-Ghazali membagi akal dalam beberapa daya. Klasifikasi tentang akal ini menurut al-Ghazali dilihat dari potensi dan kadar akal dalam beberapa macam, yaitu akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan-gagasan akal teoritis kepada daya penggerak (Al- muharrikat) sekaligus merangsangnya menjadi aktual.

Akal praktis tersebut berfungsi untuk menggugah dan menggerakkan anggota tubuh secara praktis untuk melakukan kepentingan-kepentingannya. Kebutuhan-kebutuhan diri manusia itu sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapainya. Kerja akal praktis hasilnya terlihat lebih efisien dalam gerak dan wujudnya. Bahkan mampu memotivasi secara langsung oleh anggota tubuh manusia dan melahirkan pengetahuan-pengetahuan praktis.

Pengetahuan yang berasal dari akal praktis, biasanya hanya terbatas dengan apa yang ada di hadapan kenyataan yang ada. Seterusnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan jiwa manusia. Pengkajian lebih lanjut tentang hakikat dari pengetahuan-pengetahuan itu sendiri menjadi tugas bagi akal yang lain yang disebut dengan akal teoritis.

Akal praktis merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, seperti perkembangan kreatifitas dan penerapan akhlak dalam diri pribadi seseorang. Kekuatan daya akal praktis harus selalu dibina agar dapat menguasai sepenuhnya terhadap daya-daya jiwa yang ada. Dengan demikian akan melahirkan kemuliaan-kemuliaan dalam tingkah manusia, artinya terwujudnya tingkah laku yang baik tergantung kepada kekuatan akal praktis menguasai daya jiwa tersebut.

Lain halnya dengan akal teoritis, al-Ghazali memberikan penjelasan tentang fungsi dan aktifitas akal teoritis. Akal teoritis merupakan daya mengetahui dalam diri manusia, maka keinginan manusia untuk mengetahui sesuatu adalah hasil kerja dari akal teoritis. Untuk itu maka akal teoritis adalah berfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang bersifat immateri dan abstrak.

Kumpulan pengetahuan yang didapatkan melalui akal teoritis tersebut hasilnya dikategorikan sesuai dengan tingkatan dan pembagian dari akal-akal teoritis itu sendiri. Dalam hal ini al-Ghazali membaginya dalam empat tingkatan :

  1. Akal hayulani (akal material), akal ini berguna untuk memahami dan mengetahui tentang kenyataan-kenyataan materi yang ada secara mendasar, maka untuk mendapatkan kebenaran akal hayulani ini harus melalui indera, karena materi merupakan akal pertama untuk mengetahui lebih lanjut tentang hakikat sesuatu,

  2. Akal naluri, akal ini bekerja dan berfungsi setelah manusia mengetahui sejumlah ilmu-ilmu dasar yang apriori. Akal ini berupaya untuk mengetahui tentang hakikat dibalik kenyataan-kenyataan yang ada. Usaha untuk mendapatkan kebenaran di luar kenyataan materi, merupakan hasil kerja akal naluri. Melalui akal naluri pengetahuan manusia akan melaju lebih jauh dari pengetahuan dasarnya dan memberi keyakinan akan kebenaran yang diperolehnya.

  3. Akal aktif (akal aktual), akal ini berfungsi untuk memperoleh pe- ngetahuan-pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Akal ini dapat mengetahui beberapa pengetahuan teoritis, sehingga ia mampu menampilkan kembali bentuk-bentuk rasional yang diketahui.

  4. Akal mustafad, akal ini menurut Al-Ghazali fungsinya lebih jauh di- bandingkan akal-akal sebelumnya. Bahkan menurut Al-Ghazali akal mustafad ini tergolong akal tingkat tinggi. Al-Ghazali menjelaskan bahwa melalui akal ini manusia mampu mengetahui dan mengenal sesuatu serta sekaligus sanggup menghubungkan diri dengan akal kesepuluh (akal fedal), potensi daya akal mustafad ini cukup besar. Bahkan ia menyerupai prinsip-prinsip wujud semata.

    Dari kerja akal mustafad telah menghasilkan pengetahuan-pengetahuan untuk mendapatkan sebuah kebenaran dan keyakinan, akal ini merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh akal-akal di bawahnya. Akal pada tingkat ini menyadari pengetahuan-pengetahuan itu secara aktual dan menyadari kesadaran secara faktual.

Kedudukan Akal Terhadap Ilmu

Eksistensi akal dan fungsinya pada prinsipnya mendapat tempat yang tinggi pada diri manusia, bahkan akal bisa menguasai manusia sepenuhnya, seseorang akan mempunyai kedudukan, mempunyai ilmu pengetahuan dan kepekaan sosial dikarenakan reaksi akalnya yang aktif dan berpotensi, namun demikian akal juga menjadi kelemahan dan keterbatasan untuk mengetahui sesuatu atau mendapatkan kebenaran pengetahuan. Dalam al-Qur’an dimintakan pada manusia untuk berpikir dan al-Qur’an juga memperhatikan mengagungkan kebesaran akal dan kedudukannya pada manusia.

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah yaitu manusia yang bisu, tuli, yang tidak cakap atau tidak pandai mempergunakan akal” (QS. al-Anfal : 22).

Dan barang siapa yang kami panjangkan umurnya niscaya kami kembalikan dia kepada kejadiannya, maka apakah mereka tidak memikirkan” (QS. Yasin : 68).

Pernyataan-pernyataan ayat al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa Allah menyuruh kita menggunakan akal sebagai alat berpikir untuk merefleksikan realitas agar dapat melahirkan pengetahuan. Bahkan wajib bagi manusia meng- gunakan akal dan memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal. Namun demikian ketika manusia menggunakan akal dalam implikasinya. Akal memiliki keterbatasan dan kelemahan. Karena itu Al-Ghazali memberikan kedudukan akal pada posisi tersendiri sehingga ia dapat menemukan titik kebenaran bukan hanya dengan akal tapi ada bentuk lain yang bisa mempengaruhinya.

Berangkat dari pengalaman, al-Ghazali mengalami proses perkembangan pemikirannya. Pada awalnya ia menguji pengetahuan yang didapatkan melalui inderawi. Berdasarkan kenyataan yang terjadi, pengetahuan-pengetahuan indera tersebut tidak dapat lari dari kesalahan-kesalahan. Langkah selanjutnya ia memberi penilaian, ternyata kesalahan pada indera itu mampu dibuktikan oleh akal melalui pengamatan dan eksperimennya. Di saat itulah hilangnya kepercayaan Al-Ghazali kepada pengetahuan indera. Akhirnya al-Ghazali lebih percaya pada pengetahuan yang diperoleh melalui akal seperti pengetahuan aksioma-aksioma yang bersifat apriori, sebab akal telah berhasil memperlihatkan kelemahan indera.

Al-Ghazali telah menempatkan akal pada posisi yang tinggi, tidak ada yang bisa mengalahkan pengetahuan yang didapatkan melalui akal pikiran. Tidak sekedar mengetahui yang dikerjakan oleh akal, tetapi akal memiliki kemampuan untuk menciptakan, melahirkan berbagai ilmu pengetahuan dari satu atau beberapa pengalaman-pengalaman dan percobaan. Dengan akal mampu mendaya- gunakan segala sesuatu untuk kemaslahatan hidup manusia dan menemukan kebenaran yang yakin. Akal bisa dipakai sebagai sumber ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dan faktual.

Kepercayaan al-Ghazali terhadap akal pada saatnya mengalami ke- goncangan dan kesangsian. Ketika itu ia kembali memikirkan apa sebenarnya dasar yang menjadikan akal tersebut dapat dipercaya, sesungguhnya dasar itulah yang lebih diyakini dan itulah yang tertinggi. Pada pengamatan berikutnya, al- Ghazali memikirkan bahwa dasar pembenaran akal itu pasti ada dan atas dasar itulah lahirnya kepercayaan pada akal terhadap suatu yang menjadi objek pemikirannya.

Al-Ghazali memperhatikan bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal semata-mata sebagai sumber ilmu pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan. Pandangan yang bertentangan serta fatwa-fatwanya sulit juga diselesaikan oleh akal itu sendiri. Akal pada dirinya membenarkan pendapat- pendapat yang bertentangan tersebut.

Pada prinsipnya al-Ghazali menginginkan sesuatu yang benar-benar mampu memberikan keyakinan seyakin-yakinnya terhadap pengetahuan yang diperolehnya, ternyata akal tidak mampu memberikan pengetahuan yang diharapkan itu. Dengan kata lain kedudukan akal dalam pandangan al-Ghazali untuk mendapatkan pengetahuan inderawi. Justru itu sumber ilmu pengetahuan yang tertinggi adalah intuisi. Kapasitas dan potensi nalar intuisi yang ada mampu membenarkan hal-hal yang berada di luar kenyataan rasional.

Intuisi sebenarnya tidak bertujuan untuk mencari koherensi intelektual, antara kenyataan-kenyataan di dunia dan di akhirat. Dengan intuisi yang ingin didapatkan adalah kedamaian jiwa dan ma’rifah yang tinggi. Semua itu tidak akan didapatkan lewat akal, akal itu lemah dan selalu mengalami keterbatasan untuk mengetahui hakikat-hakikat alam gaib secara langsung. Pengetahuan melalui akal hanya berdasarkan argumentasi saja.

Mengetahui pemikiran al-Ghazali tentang posisi akal untuk mencari pengetahuan seperti tersebut di bawah ini :

Dengan adanya Al-dzauq (intuisi) akal tidaklah hilang dari sesama pengetahuan. Kedudukan akal dibatasi pada kegiatan menangkap pengetahuan dengan jalan berpikir dan kelihatannya objeknya dibatasi pada pengetahuan yang berkaitan dengan fenomena.

Kedudukan akal di tingkat pengetahuan bagi al-Ghazali sering mengisi untuk memperoleh ilmu dan merupakan penerangan menuju ke arah ke- sempurnaan hidup manusia. Dengan demikian, secara sistematis posisi atau kedudukan ilmu yaitu : intuisi berada pada tingkat pertama dan intuisi sering diidentifakasikan sebagai an-Nubuwwah. Pengetahuan dan daya ini hanya dimiliki oleh Nabi dan Rasul atau orang-orang yang diberi kelebihan oleh Allah.

Akal berada pada tingkat kedua, akal berusaha berdasarkan daya pemikiran yang ada untuk melahirkan kebenaran-kebenaran. Sedangkan pada posisi terakhir dan terendah adalah indera, indera hanya sekedar mengetahui apa yang dirasakan dan direfleksikan oleh indera manusia.

Pengaruh Akal

Beberapa masalah yang telah dijabarkan pemikiran al-Ghazali tentang akal, fungsi akal, dan kedudukannya terlihatlah bahwa pengaruh yang mampu dialami melalui kehadiran akal itu sendiri dalam kehidupan manusia dalam merefleksikan tentang kebenaran pengetahuan.
Substansinya bahwa akal berpengaruh besar dalam diri manusia bahkan akal menentukan kesempurnaan manusia itu sendiri. Jika diteliti lebih jauh tentang peran dan hasil yang dilahirkan dari akal itu sendiri akan terlihat dua sisinya yang saling kontradiksi, hal tersebut akan membawa kerelatifan arah kehidupan yang ingin dicapai seseorang.

Produktifitas pemikiran melalui kemampuannya yang terbatas akan menghasilkan dua hal yang saling bertentangan yaitu benar atau salah. Dua hal ini disebutkan dengan kemampuan akal tidak mampu memahami terhadap apa yang ada dibalik alam semesta, akibatnya timbul adanya bermacam-macam pendapat terhadap suatu masalah. Meskipun demikian tidak mengingkari nilai logika pada manusia, tanpa menolak hal-hal yang dapat dianalisa akal yang konkrit sehingga menghasilkan metode dari ilmu pengetahuan, meskipun pengetahuan itu bisa benar.

Manusia dengan akalnya berusaha mencari kebenaran-kebenaran berdasarkan kenyataan-kenyataan yang didapatnya. Akal manusia mampu melahirkan banyak ilmu pengetahuan, mampu mengatur dan membimbing dirinya dan lingkungannya, kebahagiaan dan kebutuhan material yang diperoleh manusia hanya berdasarkan kreatifitas kerja akalnya yang cukup berpotensi, bahkan pada tingkat-tingkat tertentu akal manusia memberi keyakinan tentang hal-hal yang berada di luar jangkauan rasio.

Apabila akal bekerja sejalan dengan tuntutan-tuntutan agama akal akan terlihat korelasi yang sungguh meyakinkan. Dimana agama yang berdasarkan wahyu menjadi panutan, sementara akal itu sendiri berusaha mencari dan merealisasikan panutan-panutan tersebut. Akal akan mempermudah untuk mengimplementasikan ajaran agama dan memberi solusi yang terbaik untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin untuk kehidupan beragama. Dengan akal akan menaruhkan kebenaran-kebenaran religius secara sistematis, terukur dan terpola dalam kehidupan yang dinamis dan harmonis.

Sumber : Fuadi, Peran akal menurut pandangan al-Ghazali, Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry

Makna akal atau ‘aql dalam al-Qur‟an adalah simbiosa potensi intuitif (kecerdsasan emosional) dan potensi diskursif (kecersasan intelektual) dalam usaha mengetahui, memikirkan, merenungkan, menyelami, memahami, dan merasakan berbagai fenomena fisik maupun informasi metafisik. Dengan menggabungkan dua kecerdasan tersebut, manusia diharapkan bisa sampai pada Hakikat Terakhir, Kebenaran Tertinggi, Asal dari semua yang ada.

Alî b. Abî Tâlib menggambarkan akal (aql) dalam bait-bait syairnya berikut ini :

Al-‘aql ‘aqlân matbû‘ wa masmû‘
Wa lâ yanfa‘ masmû‘ idhâ lam yakun matbû‘
Kamâ lâ yanfa‘ daw‘ al-shams wa daw‘ al-‘ayn mamnû‘

Alî b. Abî Tâlib menyebut ‘aql bagian pertama sebagi ‘aql matbû‘, yakni alamiah dan menjadi karakter atau watak (nature) manusia, yang dalam filsafat dikenal sebagai potensi dasar untuk menentukan yang benar (quwwat al-isâbah fî al-hukm), yang tidak diperoleh melalui pengalaman maupun analogi.

AlRâzî (w. 313/924) menyebut ‘aql jenis ini sebagai gharîzah yalzamuhâ al-‘ilm bi al-umûr al-kullîyah wa al-badihîyah, yang antara lain berfungsi menjadi potensi dasar untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.

Potensi natural (matbû‘) ini tidak lain adalah kemampuan intuitif atau potensi kecerdasan emosional yang dimiliki oleh setiap orang, yang kemampuannya akan semakin meningkat manakala senantiasa dilatih, baik melalui perenungan, empati, maupun merasakan berbagai gejala (phenomene) yang dijumpai, hingga akhirnya memahami dan merasakan titik temu antara yang fisik dengan yang metafisik, antara phenomena dengan nomena.

Sedangkan potensi yang kedua (masmû‘) lebih dekat dengan kecerdasan intelektual, yakni pengamatan (yang direpresentasi dengan mendengarkan) berbagai fenomena fisik, yang pada hakikatnya tidak akan memberikan nilai tambah ketika tidak ditopang dengan kecerdasan emosional.

Dengan perumpamaan yang cerdas Alî b. Abî Tâlib menganalogikan “benderang matahari” (fenomena fisik) yang tidak akan memberi pengaruh apa pun, termasuk tambahan pengetahuan dan pengenalan yang seutuhnya, bila ternyata mata (potensi emosional) tertutup fenomena semesta (âyât) yang hadir secara fisik dalam semesta, tapi tidak mampu menggugah kesadaran untuk mengenal yang metafisik (mâ warâ’at tabî‘ah) untuk bisa mengenal Allah.

Dengan ungkapan lain, bahwa “tahu”, tidak sereta merta membuat setiap orang yang mengetahui bisa merasakan dan lalu mengubah kesaksian, keyakinan, pengakuan, dan tingkah lakunya.

Simbiosa antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional ini bisa menghasilkan efek positif yang mampu mendorong manusia untuk kembali kepada pengakuan atau perjanjian primordial, yakni respon pada pertanyaan penegasan Allah, alast bi rabbikum?.

Idealnya, manusia akan menyadari dan mengakui adanya Tuhan, mematuhi ketentuan-Nya, dan berusaha untuk kembali kepada-Nya dengan kualitas al-insân al-kâmil. Dalam konteks ini, hubungan antara ‘aql dan qalb terlihat sangat tegas dan erat sekali.

Hubungan antara ‘aql dan qalb dapat digambarkan sebagai hubungan antara instrumen dan potensi fungsional. Perbedaan antara keduanya dapat dilakukan pada tataran analitis-teoretis, sedangkan secara faktual keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang berkaitan secara mutual komplementaris.

Bahkan aktivitas indera yang lain - sebagaimana ‘aql - semua bermuara pada qalb dengan melalui aktivitas ta‘aqqul, sebagaimana tersebut dalam QS. al-Baqarah [2]: 171.

Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.

Dalam konteks ini menarik memperhatikan pernyataan yang dikemukakan Harun Nasution bahwa pemahaman dan pemikiran tidak melalui al-qalb di dada tetapi melalui al-‘aql di kepala.

Harun Nasution mencapai kesimpulan ini dengan melacak pengertian ‘aql yang berkembang dalam tradisi filsafat Islam yang sangat ketat dipengaruhi Hellenism, dan kata ‘aql disejajarkan dengan nous, kosakata dari konsep Plotinus yang sangat kompleks.

Nous dalam term Aristoteles dikenal dengan active intellect, yang menurut Plotinus secara transenden ada di bawah Prinsip Pertama (the First Principle) yang tidak dapat dicapai baik dengan penalaran diskursif maupun intuitif. Nous adalah emanasi dari Prinsip Pertama (al-Asl alAwwal), kemudian secara hierarkis terpancar soul, motion (principl of life and motion), matter.

Dari beberapa literatur, tidak ditemukan uraian secara jelas bahwa aktivitas rasional (ta‘aqqul) berlangsung di kepala. Nous, dalam beberapa pengertian sering disejajarkan dengan Akal Universal, Jiwa Universal, atau Akal Aktif, atau al-‘Aql al-Fa‘âl, yang kemudian menjadi sumber emanasi (al-fayd) semesta, merupakan bagian penting yang khas pada manusia.

Nous dihubungakan dengan manusia melalui roh yang kepadanya semua potensi (al-quwwah) berhubungan. Oleh karena itu, pembagian antara kepala dan hati sebagai domain aktivitas ta‘aqqul bukanlah pemisahan, tetapi lebih sebagai pembagian partikular fungsional yang tetap debatable.

Alî juga menegaskan aktivitas ta‘aqqul sebagai kebijaksanaan (wisdom), yang secara filosofis berarti kemampuan memahami secara luas, mendalam, dan detail serta merasakannya dari berbagai segi sehingga mendorong munculnya komitmen dan konsistensi antara apa yang dibaca, dipahami, dan disimpulkan dengan apa yang dilakukan.

Tentang hubungan antara ‘aql dan qalb ini, seperti filosof Muslim lainnya, al-Ghazâlî (w. 1111) menyatakan; Inn fî qalb al-insân ‘aynân hâdhih sifah kamâlihâ wa hiyâ al-latî yu‘abbar ‘anhâ târatan bi al-‘aql wa târatan bi alrûh} wa târatan bi al-nafs al-insânî.

Pandangan al-Ghazâlî ini - hingga tingkat tertentu - dapat dibandingkan dengan penjelasan al-Tirmidhî tentang maqâmât potensi qalb seperti telah dikemukakan sebelumnya.

Maka ‘ayn al-qalb atau basîrah adalah potensi intuitif (kecerdasan emosional) yang mendukung aktivitas diskursif (kecerdasan intelektual), yang berlangsung dalam qalb.

Berkaitan dengan fungsi ta‘aqqul ini, al-Qur‟an sangat mencela mereka yang tidak mampu meraih kebenaran primordial; mengakui, meyakini, dan mengikuti ketentuan Allah, padahal âyât begitu banyak dipasang di kaki langit dan dalam diri manusia. Mereka disamakan dengan binatang, bahkan lebih sesat.

Kecerdasan intelektual semata tidak akan bisa mengantarkan manusia pada hakikat fenomena semesta, ia akan berhenti pada gejala itu saja, yang pada hakikatnya hanyalah tanda-tanda Ilahi saja, dan tidak bergerak lebih jauh darinya. Artinya, aktivitas intelektual idealnya didukung oleh aktivitas emosional agar manusia mampu merasakan dan merenungkan berbagai nomena yang ada di balik phenomena tersebut. Dengan cara demikian, harapan untuk sampai pada Hakikat Tertinggi (al-Haqq al-Qaswâ) bisa tercapai.

Al-‘Aql, sebagaimana makna generiknya, wa asl al-‘aql al-imsâk wa alistimsâk ka ‘aql al-ba‘îr, dalam arti yang sesungguhnya akan mampu mengendalikan manusia menjadi taqwâ dan menjadi al-insân al-kâmil. Tanpa kemampuan mengendalikan, manusia yang berpengetahuan tidak bisa disebut berakal, karena potensi ‘aql tidak sepenuhnya terwujud pada diri yang bersangkutan.

Catatan :

Emanasi, berasal dari bahasa Inggris emanation yang berarti proses munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang dipancarkan, substansinya sama dengan yang memancarkan.

Emanasi juga berarti realitas yang keluar dari sumber segala sumber, Allah SWT, (seperti cahaya keluar dari matahari). Dengan beremanasi itu Allah SWT tidak mengalami perubahan, emanasi itu terjadi tidak di dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu terletak pada tinggkat yang paling bawah dalam proses emanasi. Ruang dan waktu adalah suatu pengertian tentang dunia benda.

Sumber : Hodri, Penafsiran akal dalam al-qur’an, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Sumenep, Madura

Menurut al-Ghazālī, term ‘aql (akal) biasa dipakai untuk empat arti.

  • Garīzah (insting), yang dengannya manusia siap menerima ilmu-ilmu a priori dan
    ilmu-ilmu inferensial yang dihaslkan dari eksperimen.

  • Ilmu yang muncul secara aktual pada anak mumayyiz, yakni hukum-hukum akal yang termasuk ilmu ilmu a priori.

  • Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui eksperimen mengenai suatu hal, dan

  • Keberhasilan garīzah itu dalam mengetahui akibat segala sesuatu dan mengendalikan naluri syahwat secara proporsional.

Qalbu ibarat mata, sedang akal sebagai garīzah (insting) pada qalbu ibarat daya lihat pada mata, dan ilmu ibarat penglihatan mata terhadap partikular-partikular objek. Atau diri manusa ibarat kerajaan, qalbu adalah pusat istana, sedangkan akal adalah rajanya, yang semua potensi lahir dan batin adalah aparatnya, dan semua organ tubuh adalah rakyatnya.

Ini sesuai realitas bahwa meskipun dalam qalbu terkumpul empat sifat, yakni ketuhanan pada akal ibarat hakim budiman, kehewanan pada syahwat ibarat babi, kebinatangbuasan pada gadab ibarat anjing, dan kesetanan pembuat kejahatan, tetapi ciri khas kemanusaan adalah ilmu dan ikhtiar pada akal.

Dengan demikian, akal menduduki posisi sentral dan merupakan inti hakikat manusia yang membedakannya dari hewan dan setan. Sebab itu, kadang al-Ghazālī mengidentikkan akal dengan kalbu dalam arti metafisis, sebagai inti hakikat manusia.

“Tidak boleh muncul dalam fase kewalian apa yang menurut akal irasional. Memang benar, boleh muncul padanya sesuatu yang tak terjangkau akal (transendental), dalam arti bahwa seseorang tak dapat menangkapnya dengan akal semata. Barang siapa yang membenarkan seuatu yang irasional seperti ini, benar-benar telah jatuh dari garizah akal, dan tak dapat membedakan apa yang bisa diketahui dengan apa yang tak bisa diketahui, sehingga membenarkan kebolehan tersingkapnya bagi “wali” bahwa syari’at itu batil… Barang siapa yang tidak membedakan antara apa yag dimustahilkan akal (irasional) dengan apa yang tak terjangkau akal (transcendental), terlalu rendah untuk diajak bicara. Maka tinggalkanlah ia bersama kebodohannya.”

Al-Ghazālī mengutip ḥadīts qudsi

“Sesungguhnya Aku menjadikan akal manusia bertingkat-tingkat, laksana bilangan pada bulir pasir yang ada di alam raya ini. Sebagian dari manusia ada yang diberikan beberapa bulir saja, ada pula yang diberikan kepadanya segenggam, dan demikian seterusnya hingga tak terhingga”.

Dalam pandangan Jalaluddin Rumi, terdapat beberapa tingkatan akal; ada yang layak disanjung, dan ada pula yang pantas dikecam. Maulana Rumi mengidentifikasi akal tersanjung dengan nama akal imani:

Akal imani laksana pengawal yang adil pelindung sekaligus penguasa kota hati.
Akal dalam diri, penguasa iman karena takut, nafsu jadi terbelenggu.

Kata kunci Rumi dalam membedakan akal terpuji dari akal tercela adalah “akal universal” aql kulli, dimana aql kulli adalah akal yang hanya dimiliki orang-orang tertentu dan yang paling dekat dengan Tuhan.“Akal parsial” atau ‘aql juz‘i adalah akal yang kekurangan dan mentah. Akal pada tingkatan ini tak sanggup mengecap hakikat sesuatu karena wabah khayal dan prasangka, inilah yang merapuhkan dasar pembuktian akal. Sebab itu akal parsial harus ditautkan dengan akal universal agar berubah tingkat menjadi akal universal.

Filsuf Muslim membagi akal menjadi dua, akal praktis dan akal teoritis.
Akal praktis (’amilah) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa hewan. Akal teoritis (‘alimah) yang menangkap arti-arti murni, yakni arti-arti yang tak pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, ruh, dan malaikat.

Dalam hal ini al-Ghazālī membaginya dalam empat tingkatan :

  1. Akal hayulani (akal material), akal ini berguna untuk memahami dan mengetahui tentang kenyataan-kenyataan materi yang ada secara mendasar, maka untuk mendapatkan kebenaran akal hayulani ini harus melalui indera, karena materi merupakan akal pertama untuk mengetahui lebih lanjut tentang hakikat sesuatu,

  2. Akal naluri, akal ini bekerja dan berfungsi setelah manusia mengetahui sejumlah ilmu-ilmu dasar yang apriori. Akal ini berupaya untuk mengetahui tentang hakikat dibalik kenyataan-kenyataan yang ada. Usaha untuk mendapatkan kebenaran di luar kenyataan materi, merupakan hasil kerja akal naluri. Melalui akal naluri pengetahuan manusia akan melaju lebih jauh dari pengetahuan dasarnya dan memberi keyakinan akan kebenaran yang diperolehnya.

  3. Akal aktif (akal aktual), akal ini berfungsi untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Akal ini dapat mengetahui beberapa pengetahuan teoritis, sehingga ia mampu menampilkan kembali bentuk-bentuk rasional yang diketahui.

  4. Akal mustafad, akal ini menurut al-Ghazālī fungsinya lebih jauh dibandingkan akal-akal sebelumnya. Bahkan menurut al-Ghazālī akal mustafad ini tergolong akal tingkat tinggi. Al-Ghazālī menjelaskan bahwa melalui akal ini manusia mampu mengetahui dan mengenal sesuatu serta sekaligus sanggup menghubungkan diri dengan akal kesepuluh (akal fedal), potensi daya akal mustafad ini cukup besar. Bahkan ia menyerupai prinsip-prinsip wujud semata.

Akal bakat adalah akal yang telah mampu menangkap hal-hal abstrak; akal ini melakukan abstraksi. Akal fi’l adalah wadah untuk menyimpan pengertian (hasil abstraksi), kemudian diteruskan kepada akal mustafad menjadi pengertian sebenarnya.

Fungsi Akal

Kata ayah yang dalam bahasa Indonesia menjadi “ayat” memiliki hubungan yang sangat erat sekali dengan pekerjaan berpikir. Arti asli dari kata ayah adalah “tanda”. Ayah dalam arti ini kemudian dipakai untuk fenomena alam, yang banyak disebut dalam ayat al-kauniyah itu membawa kepada terungkapnya hukum alam yang mengatur perjalanan alam dan akhirnya kepada Tuhan.

Al-ḥadīts sebagai sumber kedua dari ajaran Islām, pun memberi kedudukan tinggi pada akal, sudah jelas dikatakan: agama dalah penggunaan akal, tiada agama bagi yang tak berakal.

Dalam ḥadīts qudsi Allah bersabda kepada akal:

“Demi kekuasaan dan keagunganKu tidaklah Kuciptakan makhluk lebih mulia dari engkau. Karena engkau Aku mengambil dan memberi dan karena engkau Aku menentukan pahala dan menjatuhkan hukuman”

Al-Ghazālī sendiri memandang akal sebagai kekuatan fitri, yang membedakan baik buruk, manfaat mudarat dan sebagi ilmu taṣawwur dan taṣdiq. Dalam Iḥyā’ ‘Ulumuddīn, akal sebagai kemampuan yang membedakan manusia dari binatang, yang bisa mengetahui dari kemustahilan, kemungkinan, dan kemestian.

Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa. Keharusan manusia menggunakan akalnya, bukan hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran alQurān.

Menurut Muhammad Abduh, al-Qurān memerintahkan kita untuk berpikir dan menggunakan akal serta melarang kita bersikap taklid.

Menurut al-Ghazālī, ada tujuh hal yang menunjukkan keunggulan akal atas indera penglihatan.

  • Pertama; Mata tidak dapat melihat dirinya sendiri, sedangkan akal mengetahui dirinya dan hal-hal di luar dirinya. Sehingga ia paham dan bahwa ia berpengetahuan dan berkemampuan, dan “ia memahami pengetahuan yang dimilikinya, pengetahuan tentang pengetahuan yang dimilikinya tentang dirinya sendiri, pengetahuan tentang pengetahuan tentang pengetahuan yang dimilikinya tentang dirinya sendiri, dan seterusnya.

  • Kedua: Mata tidak dapat melihat terlalu dekat atau jauh darinya, sementara bagi akal dekat atau jauh tidak ada bedanya.

  • Ketiga: Mata tidak dapat memahami segala sesuatu di balik hijab. Sementara akal dapat memahami segala sesuatu yang terdapat dalam alam dan langit. Malah realitas segala sesuatu tidak akan terhijab (tertutup) bagi akal.

  • Keempat: Mata hanya dapat melihat lahiriah segala sesuatu saja. Sementara akal mampu menembus bagian dalam segala sesuatu dan rahasia-rahasianya. Dan juga mampu memahami substansi segala sesuatu, penyebabnya, kausanya, tujuannya, maknanya, penciptaannya, dan susunannya dalam wujud.

  • Kelima: Mata hanya dapat melihat sebagian kecil segala sesuatu yang ada. Ia tidak dapat memahami sama sekali hal yang logis dan banyak hal yang dapat diindera; suara, bau-bauan, dan lainnya. Ia juga tidak memahami perasaan kejiwaan seperti gembira, sedih, dan lainnya. Sementara ruang lingkup akal meliputi segala yang ada.

  • Keenam: Mata tidak mampu melihat sesuatu yang tak terhingga. Sebab ia hanya mampu melihat sifat-sifat benda yang dapat dikenal, padahal benda-benda ini memiliki batas. Sedangkan akal dapat memahami informasi-informasi yang tidak terbatas.

  • Ketujuh: Mata tunduk di bawah banyak tipu daya indera. Sehingga suatu hal yang besar tampak seolah menjadi kecil, sementara akal terhindar dari itu.

Banyak sekali kesalahan penglihatan mata, sedangkan akal terhindar darinya. Seandainya kalian berkata: “Kami lihat orang-orang berakal sering kali tersalah dalam pemikiran mereka”, maka ketahuilah berbagai khayal dan waham (persangkaan keliru) dari orang-orang itulah yang kadang-kadang membuat kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan kepercayaan-kepercayaan lama, yang mereka kira berdasarkan pemikiran akal.

Sesunggunya jika akal terhindar dari kekeruhan sangkaan dan khayalan, pasti ia tidak akan tersalah. Ia akan melihat segala sesuatunya dengan apa adanya. Tapi hal seperti ini akan dialami nanti stelah mati, dimana saat itu akan tersingkaplah “tirai penutup” terungkap pula semua rahasia.

Akal sebagai salah satu sumber ilmu memiliki peran yang sangat esensial dalam melengkapi segala kekurangan yang dimiliki oleh sumber ilmu yang lain; indera. Akal menurut para filosof muslim merupakan kecakapan jiwa yang khas dimiliki manusia, karena tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.

Menurut Naṣir alDin Ṭusi akal merupakan kesempurnaan manusia, yang di atasnya tergantung harkat dan esensi manusia. Kekuatan khas yang dimiliki akal menurut filosof adalah kemampuannya untuk mengabstrakkan dari konsep-konsep universal yang sudah diabstrakkan dari benda-benda konkret, sehingga ia mampu berpikir sesuatu yang sama sekali tidak memiliki sangkutan dengan benda-benda fisik.

Adapun cara akal untuk menyelidiki benda fisik yang sebelumnya diserap oleh indera adalah dengan mengajukan pertanyaan berdasarkan kategori-kategori mental—seperti kategori ruang, waktu substansi, kuantitas, kualitas, dan kausalitas—maka muncullah pertanyaan, apa, dimana, mengapa, siapa, berapa, yang mana, dan lain-lain. Selain itu, akal mampu mengenal atau menangkap konsep dan informasi tidak terbatas hanya pada objek-objek inderawi saja, tetapi juga dapat menangkap konsep-konsep abstrak yang tidak berdasar pada penginderaan. Misal, akal mampu memahami perasaan seseorang, seperti perasaan sedih, gembira, kecewa, dan sebagainya, padahal itu bukan entitas-entitas fisik melainkan keadaan jiwa. Dengan kemampuan yang sama juga akal mampu mengomunikasikan pikiran, perasaan, gagasan, dan lainnya, kepada sesame manusia melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan, yang disebut bahasa.

Dalam bukunya Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islām, pada bab Akal dan Tuhan, di sini dibahas mengenai menangkap Tuhan dengan akal, salah satunya dikemukakan oleh Ibn Sina, melalui dalil al-jawaz atau kontingensi (dalil ini juga disebut ontologis karena pendekatannya melalui filsafat wujud).

Ibnu Sina membagi wujud ke dalam tiga kategori:

  • Wujud niscaya (wajib al-wujud), yakni wujud yang senantiasa harus ada, dan tidak boleh tidak ada.

  • Wujud mungkin (mumkin al-wujud), yakni wujud yang boleh ada atau boleh tiada.

  • Wujud mustahil (mumtani‟ al-wujud) yakni yang keberadaannya tidak terbayangkan oleh akal.

Menurut Ibnu Sina, alam boleh ada boleh tidak, itu logis. Karenanya alam jelas bukan wajib al-wujud, sebab wajib al wujud adalah tidak boleh tidak ada. Kemudian karena alam telah wujud, berarti bukan mumtani‟ al-wujud. Dan satu-satunya yang tersisa adalah “wujud yang mugkin”.

“Mungkin” dalam pengertian Ibnu Sina adalah “Potensial”, artinya sifat alam adalah potensial. Sebagai contoh, seorang wanitamuda yang sehat, bisa dikatakan untuk hamil, tapi tidak mungkin ia bisa hamil dengan sendirinya. Itulah makna mungkin menurut Ibnu Sina. Begitu juga dengan alam ini. Karena alam sebagai potensi, tidak akan ada tanpa sebab yang mengadakannya, karena alam ini telah ada, secara logis pastilah ada yang mengaktualkannya. Itulah yang kita sebut Tuhan.

Dari sini bisa kita lihat fungsi dari akal, bahwa sebelum akhirnya sampai kepada pemahaman bahwa Tuhan adalah tak tersentuh atau transenden, telah ada pemahaman secara logis bahwa alam ini mengaktual dengan sebab di luar dari alam ini sendiri. Itulah yang kita sebut sebagai Tuhan.

Sebenarnya al-Qur‟ān memang menegaskan bahwa berpikir adalah sebagian dari petunjuk Allah ke arah iman kepada-Nya. Misalnya, ditegaskan bahwa alam raya ini adalah sumber pelajaran bagi umat manusia, tapi terbatas hanya kepada mereka yang berpikir.

Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS. al-Jatsiyah: 13)

Sebab itu Allah memuji mereka yang berjiwa terbuka, suka mendengarkan pendapat orang lain, kemudian mengikuti mana yang tebaik dari pendapat tersebut, yakni setelah melakuka aktivitas berpikir dan pemeriksaan serta pemahaman yang kritis dan teliti, dalam al-Qur‟ān mereka disebut sebagai “Orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, dan orang-orang yang berakal budi”

Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. al-Zumar: 17-18).

Karena berpikir yang benar akan membawa kepada peningkatan kualitas kemanusiaan. Sedangkan berpikir salah adalah pangkal dari bencana manusia, bahkan akan menjauhkannya dari Tuhan.

Akal adalah sebagai tolak ukur, mengidentifikasi mana yang benar dan mana yang keliru. Akal bahkan menjadi satu-satunya tolak ukur penilaian bagi sebagian proposisi agama, misalnya agama Islām sering kali disebut sebagai agama yang rasional. Tentu itu semua masih terbatas dalam proposisi rasional saja, di luar dari iru akal tidak memiliki nilai validitas apa-apa.

Kemudian selanjutnya dari fungsi akal adalah membuktikan kebenaran agama sekaligus prinsip-prinsipnya. Akal mengakui keniscayaan diutusnya nabi oleh Tuhan, dan mampu membedakan mana nabi palsu dan nabi sebenarnya. Pembuktian keniscayaan ini adalah tugas dari akal, dalam tataran ini agama tidak bertentangan dengan akal.

Akal sebagai cahaya, alat memperoleh pengetahuan. Tanpa menggunakan akal siapapun tidak akan memahami hukum-hukum fisika dan syariat. Sekalipun ada kalangan yang memerhitungkan akal sebagai sumber pengetahuan agama, mereka ini juga menyadari sepenuhnya bahwa akal merupakan syarat mutlak dalam upaya menyerap hikmah dan ajaran dari al-Qur‟ān dan Sunnah.

Sumber : Tuti Aliyah, Akal Menurut Pandangan Al-Ghazali, UIN Syarif Hidayatullah

Referensi
  • Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam
  • Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazālī: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung:
  • Pustaka Setia, 2007)
  • Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulumuddīn (Ilmu dan Keyakinan).
  • Farhang va Andisyeh-e Eslom, ‘Aql va Vahy, terj. Akal dan Wahyu: Tentang Rasionalitas Dalam Ilmu, Agama, dan Filsafat, oleh Hasan Yusufian (Jakarta: Sadra Press, 2003).
  • Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistemologi Islam.
  • Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995).
  • Atang Abdul Hakim dkk, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi (Bandung:
  • Pustaka Setia,2008).
  • Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI
  • Press, 1987).
  • Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Manhaj al-Falsafi Baina al-Ghazālwa Dikart, terj. AlGhazāl Sang Sufi Sang Sufi, oleh. Ahmad Rofi‟ „Utsmani (Bandung: Pustaka, 1981).
  • Al-Ghazālī, Misykat al-Anwār, terj. Misykat Cahaya-Cahaya, oleh Muhamad Bagir
  • (Bandung: Mizan, 1991).
  • Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003).
  • Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Bandung:
  • Mizan Pustaka, 2002).
  • Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1994)

Menurut al-Ghazālī dalam Misykat al-Anwar “Akal dalam sekejap naik ke langit tertinggi, kemudian turun ke lapisan bumi paling bawah juga dalam sekejap. Dia (akal) bergerak bebas di „arsy dan kursi dan segala yang ada di balik langit, apa yang ada pada alam malaikat, seperti gerakannya pada alam yang khusus baginya dan kerajaannya yang dekat”.

Begitulah hakikat akal, ia akan mulia jika tidak tertutup oleh pandangan yang rusak, ilusi, dan keraguan. Al-Ghazālī begitu memuliakan akal, sehingga menurutnya akal dapat menyingkap rahasia-rahasia yang ada.

Kepercayaan al-Ghazālī terhadap akal, ketika telah terpenuhi syarat-syarat pandangan rasional yang sehat, tabir, ilusi, dan pendapat-pendapat yang palsu telah dihilangkan, nampak sangat berlebihan. Sebab menurutnya, jika akal telah bersih dari tirai ilusi dan khayal, maka ia tidak akan keliru bahkan akan mampu melihat hakikat segala sesuatu. Meski demikian, al-Ghazālī segera mengakui bahwa untuk memenuhi syarat-syarat yang bisa mencegah kekeliruan tersebut, terkadang tidak bisa diwujudkan kecuali setelah kematian; sebab akal, dalam pandangannya, tertutup, bahkan pada para sufi sekalipun.

Al-Ghazālī memandang akal sebagai neraca bagi kebenaran pada setiap keadaan, dan menetapkan bahwa akal, jika keliru dalam keputusannya, maka hal tersebut kembali kepada tabiatnya, yakni kembali kepada beberapa faktor eksternal yang menutupi cahaya kebenaran dari akal.

Terkait dengan kecondongan al-Ghazālī kepada akal, ia mempertanyakan, “Mengapa para sufi merendahkan arti penting akal, padahal ia berada di derajat paling tinggi?”

Sesungguhnya penyebabnya kembali kepada kenyataan bahwa manusia telah merubah nama akal dan ma’qul kepada perdebatan dan perselisihan pendapat, sehingga mereka mengecamnya, meskipun sebenarnya ia adalah mata batin yang dengannya Allah bisa dikenal dan kebenaran rasul-rasul-Nya bisa diketahui.

Lalu bagaimana mungkin akal dikecam yang justru akal dipuji Allah?
“Jika akal dikecam, apakah yang akan dipuji sesudahnya? Bagaiman akal dikecam yang dengannya agama dapat dikenal?” Dengan demikian, maka akal dalam konteks pembicaraan al-Ghazālī di sini adalah “’ainul yaqin” dan cahaya keimanan, yakni sifat yang membedakan manusia dari binatang sehingga bisa memahami hakikat-hakikat perkara.

Adanya pergolakan dan perbedaan pendapat di antara tokoh-tokoh ilmu pengetahuan tersebut, maka al-Ghazālī mencoba memberikan alur berpikir yang lebih filosofis dan hakiki tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang didapat oleh akal adalah kebenaran yang hanya terbatas tentang persoalan biasa dan tidak bisa diharapkan, dan ternyata ada kebenaran yang lebih hakiki yaitu kebenaran yang diperoleh lewat intuisi. Kapasitas penalaran intuisi mampu membenarkan hal-hal yang ada di luar kenyataan rasional.

Hakikat akal adalah insting yang disiapkan untuk mengenali informasi-informasi nalar. Seakan-akan ia adalah cahaya yang ditempatkan di dalam kalbu. Dengannya hati siap mengenali sesuatu. Kadar dari insting berbeda sesuai dengan tingkatannya.

Al-Ghazālī melihat akal sebagai jiwa rasional, yang mempunyai dua daya: Jika jiwa tumbuhan dan jiwa binatang memiliki lebih dari satu daya, maka jiwa manusia hanya memiliki daya berpikir yakni akal. Akal terbagi dua;

  1. Akal praktis (‘āmilah) menangkap arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat, memusatkan perhatian kepada alam materi, menangkap kekhususan (juz’iyāt).

  2. Akal teoritis (‘ālimah) yang menangkap arti murni yang tak pernah ada dalam materi bersifat metafisis, memusatkan perhatian kepada dunia immateri dan menangkap keumuman (kulliyāt).

Akal praktis digunakan untuk kreativitas dan akhlak manusia. Artinya, terwujudnya tingkah laku yang baik bergantung pada kekuatan akal praktis dalam menguasai daya-daya jiwa tersebut. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang bersifat immateri dan abstrak. Hubungannya adalah dengan ilmu-ilmu yang abstrak dan universal.

Menurut Mulyadhi Kartanegara, kelebihan yang paling istimewa pada akal terletak pada kecakapan atau kemampuannya untuk menangkap “kuiditas” atau “esensi” dari sesuatu yang diamati atau dipahami. Dengan kecakapan ini, akal manusia dapat memahami konsep universal dari sebuah objek yang diamatinya lewat indera yang bersifat abstrak dan tidak lagi berhubungan dengan data-data partikular.

Ketika kita memahami “esensi” manusia, kita bukan lagi sedang memahami manusia a b atau c, melainkan memahami manusia dalam pengertian yang universal. Misal, ketika kita berbicara tentang meja, bukan lagi kita sedang memahami meja yang berbentuk segitiga, segiempat, segilima atau bentuk yang lainnya, melainkan kita berbicara tentang hakikat yang meliputi semua meja.

Melihat kemampuan akal yang luar biasa, cukupkah kita mengandalkan indera dan akal sebagai sumber pengetahuan?

Akal boleh memiliki kecakapan yang luar biasa, baik untuk menangkap objek-objek fisik maupun nonfisik, tetapi ia juga memiliki keterbatasan-keterbatasannya yang fundamental. Ibnu Khaldun mengatakan “Sebagai timbangan emas dan perak, akal adalah sempurna; tapi masalahnya adalah mampukah timbangan emas dipakai untuk menimbang gunung?

Dengan demikian, betapapun sempurnanya akal, tetap saja menurut para pemikir Muslim, memiliki kekurangan-kekurangan yang fundamental karena masih banyak hal besar yang berada di luar jangkauan akal. Akal hanya menjadi alat analisis dan sumber ilmu hanya pada sektor tertentu, tetapi bungkam pada sektor yang lainnya.

Epistemologi yang dikembangkan al-Ghazālī pada kenyataannya sangat terikat pada ilmu yang bersifat intuitif. Bagi al-Ghazālī, ilmu memang diklasifikasikan menjadi dua; ilmu yang dicapai dan ilmu yang dihadirkan. Pembagian ini didasarkan atas perbedaan paling mendasar berkenaan dengan cara cara mengetahui. Pengetahuan yang dihadirkan (intuitif) ia bersifat langsung, serta merta, supra rasional, dan kontemplatif.

Al-Ghazālī menyebut pengetahuan ini dengan beberapa sebutan, diantaranya adalah ilmu laduni (pengetahuan dari yang Tinggi) dan ilmu al-mukasyafah (pengetahuan tentang penyingkapan misteri-misteri Ilahi). Pengetahuan yang dicapai bersifat tidak langsung, rasional, logis dan diskursif. Pengetahuan intuitif bagi al-Ghazālī jauh lebih unggul dari pengetahuan yang dicapai, karena ia terbebas dari kesalahan dan keraguan.

Pengetahuan kategori ini juga memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual.

Al-Ghazālī membagi pengertian akal itu sendiri ke dalam pembagiannya, yakni :

  • Pertama, akal sebagai sifat tabi‘iyyah (alami) yang dengannya ilmu secara teori diketahui dan dipahami.

  • Kedua, akal sebagi ḥikmah atau kebijaksanaan yang mulai muncul pada masa anak-anak, kemudian tumbuh seiring berjalannya pertumbuhan usia.

  • Ketiga, akal sebagai pengetahuan yang didapat dari pengalaman yang berjalan.

  • Keempat, yakni akal ketika daya alamiah seseorang mencapai suatu tahap dimana ia bisa mengetahui akibat atau hasil dari tindakannya, serta mampu mengendalikan nafsu seksual yang dimilikinya, maka ia dikatakan sebagai manusia yang berakal.

Tingkatan Akal pada Manusia

Dalam bukunya Misykat al-Anwar, al-Ghazālī mengatakan bahwa akal lebih patut disebut cahaya dari pada indera, sebab akal lebih lengkap menjelaskan keadaan sebuah objek dibanding dengan indera. Misalnya, indera, katakanlah mata, tidak pernah melihat bulan secara utuh. Setiap kali kita melihat bulan, hanya separuh permukaannya yang dapat kita lihat. Tetapi akal kita bisa “melihat” bulan secara utuh sebagai sebuah bola. Kebenaran-kebenaran matematis pun dapat dirumuskan oleh akal, bukan oleh indera.

Sebagaimana lapisan pada tanah yang bertingkat-tingkat, demikian juga secara naluriah akal manusia juga berbeda tingkatannya. Perbedaan akal di antara sesama manusia ini juga dapat dipahami dari atsar para sahabat.

Dalam buku Mulyadhi Kartanegara; Gerbang Kearifan, dikatakan bahwa, selain manusia memiliki daya tumbuhan dan daya hewan, manusia juga memiliki daya lain, yang khas manusiawi—bahkan menjadi pembeda yang fundamental manusia dengan jenis hewan lainnya, yang disebut daya atau nafsu nuṭqiyyah atau jiwa rasional, sehingga Aristoteles, misalnya, mendefinisikan manusia sebagai “al-hayawān al-nāṭiq”, makhluk rasional.

Akal, yang merupakan penjelmaan dari jiwa rasional manusia, tentu memiliki daya-daya yang tidak dimiliki oleh tumbuhan ataupun hewan. Di antaranya adalah kemampuan akal untuk mengabstraksikan makna, baik dari benda-benda yang diinderainya, maupun dari kata-kata yang keluar dari mulut teman-temannya. Kemampuan manusia menganstraksikan makna, dan memahami kata atau simbol inilah yang menyebabkan manusia mampu menciptakan sistem komunikasi simbolis yang disebut “bahasa”, yang dalam bahasa Arab disebut “nāṭiq”, sehingga “al-hayawān al-nāṭiq bisa juga berarti hewan yang mampu berbicara, yakni berbahasa. Dengan kemampuanya ini, manusia memiliki potensi untuk menyusun sebuah bangunan ilmu yang beragam, yang sangat berguna, tentunya bagi perkembangan dan peradaban manusia.

Selain daya rasional, manusia juga memiliki unsur malakut dan ilahi, karena di dalamnya terdapat jiwa dan ruh, sebagai organ-organ rohani dan juga hati (qalb), yang memungkinkan manusia, tidak hanya berkomunikasi dengan entitas-entitas ruhani, tetapi juga mencerap sikap-sikap para nabi, malaikat, dan ilahi, yang tidak mungkin dilakukan oleh hewan manapun.

Demikianlah atas kelengkapan daya itu yang menjadikan manusia sebagai makhluk mikro-kosmik.

Kedudukan akal seperti seorang raja. Memiliki banyak pasukan, yaitu tamyiz (kemampuan membedakan), daya hafal dan pemahaman. Kebahagiaan spiritual adalah akal, karena menyebabkan aspek fisik memperoleh kekuatan. Di dalam al-Qur‟ān, dijelaskan bahwa manusia-manusia yang seperti ini tidak ubahnya binatang ternak bahkan jauh lebih rendah daripada binatang. Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (Al-A‟rāf, 7 : 179).

Dengan kata lain akallah makhluk Tuhan yang paling tinggi dan akallah yang membedakan manusia dengan binatang dan makhluk lainnya. Karena akalnyalah manusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya dan akal yang ada dalam diri manusia itu yang dipakai Tuhan sebagai pegangan dalam memberikan penentuan pahala atau hukuman kepada seseorang. Makhluk selain manusia karena tidak memiliki akal, tidak ada tanggungan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Begitulah tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islām, tinggi bukan hanya soal-soal keduniaan melainkan juga dalam soal-soal keagamaan sendiri. Penghargaan tinggi terhadap akal ini sejalan dengan ajaran Islām lain yang erat hubungannya dengan akal, yakni menuntut ilmu.

Sumber : Tuti Aliyah, Akal Menurut Pandangan Al-Ghazali, UIN Syarif Hidayatullah

Referensi
  • Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam,
  • Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006),
  • Al-Ghazālī, Hirarki Ilmu dalam Kehidupan (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002). Judul asli Fatihatul „Ulum penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut.Terj.Ma‟ruf Asrori.
  • Al-Ghazālī, Iḥyā’ al- ‘Ulumuddīn (Ilmu dan Keyakinan) (Jakarta: Republika, 2011).
  • Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam
  • (Bandung: Mizan, 2003).
  • Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu (Jakarta: UIN Press, 2005).
  • Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1980).
  • Al-Ghazālī, Faishal al-Tafriqah Baina al-Haq wa al-Zindiqah Qisṭas al-Mustaqim Qawa’id al-‘Asyr Qanun al-Ta’wil, terj. Meretas Jalan Kebenaran di Belantara Pertentangan Pemikiran dan Madzhab-Madzhab, oleh. Masyhur Abadi (Surabaya: Pustaka Progressif, 2003).