Menurut al-Ghazālī, term ‘aql (akal) biasa dipakai untuk empat arti.
-
Garīzah (insting), yang dengannya manusia siap menerima ilmu-ilmu a priori dan
ilmu-ilmu inferensial yang dihaslkan dari eksperimen.
-
Ilmu yang muncul secara aktual pada anak mumayyiz, yakni hukum-hukum akal yang termasuk ilmu ilmu a priori.
-
Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui eksperimen mengenai suatu hal, dan
-
Keberhasilan garīzah itu dalam mengetahui akibat segala sesuatu dan mengendalikan naluri syahwat secara proporsional.
Qalbu ibarat mata, sedang akal sebagai garīzah (insting) pada qalbu ibarat daya lihat pada mata, dan ilmu ibarat penglihatan mata terhadap partikular-partikular objek. Atau diri manusa ibarat kerajaan, qalbu adalah pusat istana, sedangkan akal adalah rajanya, yang semua potensi lahir dan batin adalah aparatnya, dan semua organ tubuh adalah rakyatnya.
Ini sesuai realitas bahwa meskipun dalam qalbu terkumpul empat sifat, yakni ketuhanan pada akal ibarat hakim budiman, kehewanan pada syahwat ibarat babi, kebinatangbuasan pada gadab ibarat anjing, dan kesetanan pembuat kejahatan, tetapi ciri khas kemanusaan adalah ilmu dan ikhtiar pada akal.
Dengan demikian, akal menduduki posisi sentral dan merupakan inti hakikat manusia yang membedakannya dari hewan dan setan. Sebab itu, kadang al-Ghazālī mengidentikkan akal dengan kalbu dalam arti metafisis, sebagai inti hakikat manusia.
“Tidak boleh muncul dalam fase kewalian apa yang menurut akal irasional. Memang benar, boleh muncul padanya sesuatu yang tak terjangkau akal (transendental), dalam arti bahwa seseorang tak dapat menangkapnya dengan akal semata. Barang siapa yang membenarkan seuatu yang irasional seperti ini, benar-benar telah jatuh dari garizah akal, dan tak dapat membedakan apa yang bisa diketahui dengan apa yang tak bisa diketahui, sehingga membenarkan kebolehan tersingkapnya bagi “wali” bahwa syari’at itu batil… Barang siapa yang tidak membedakan antara apa yag dimustahilkan akal (irasional) dengan apa yang tak terjangkau akal (transcendental), terlalu rendah untuk diajak bicara. Maka tinggalkanlah ia bersama kebodohannya.”
Al-Ghazālī mengutip ḥadīts qudsi
“Sesungguhnya Aku menjadikan akal manusia bertingkat-tingkat, laksana bilangan pada bulir pasir yang ada di alam raya ini. Sebagian dari manusia ada yang diberikan beberapa bulir saja, ada pula yang diberikan kepadanya segenggam, dan demikian seterusnya hingga tak terhingga”.
Dalam pandangan Jalaluddin Rumi, terdapat beberapa tingkatan akal; ada yang layak disanjung, dan ada pula yang pantas dikecam. Maulana Rumi mengidentifikasi akal tersanjung dengan nama akal imani:
Akal imani laksana pengawal yang adil pelindung sekaligus penguasa kota hati.
Akal dalam diri, penguasa iman karena takut, nafsu jadi terbelenggu.
Kata kunci Rumi dalam membedakan akal terpuji dari akal tercela adalah “akal universal” aql kulli, dimana aql kulli adalah akal yang hanya dimiliki orang-orang tertentu dan yang paling dekat dengan Tuhan.“Akal parsial” atau ‘aql juz‘i adalah akal yang kekurangan dan mentah. Akal pada tingkatan ini tak sanggup mengecap hakikat sesuatu karena wabah khayal dan prasangka, inilah yang merapuhkan dasar pembuktian akal. Sebab itu akal parsial harus ditautkan dengan akal universal agar berubah tingkat menjadi akal universal.
Filsuf Muslim membagi akal menjadi dua, akal praktis dan akal teoritis.
Akal praktis (’amilah) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa hewan. Akal teoritis (‘alimah) yang menangkap arti-arti murni, yakni arti-arti yang tak pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, ruh, dan malaikat.
Dalam hal ini al-Ghazālī membaginya dalam empat tingkatan :
-
Akal hayulani (akal material), akal ini berguna untuk memahami dan mengetahui tentang kenyataan-kenyataan materi yang ada secara mendasar, maka untuk mendapatkan kebenaran akal hayulani ini harus melalui indera, karena materi merupakan akal pertama untuk mengetahui lebih lanjut tentang hakikat sesuatu,
-
Akal naluri, akal ini bekerja dan berfungsi setelah manusia mengetahui sejumlah ilmu-ilmu dasar yang apriori. Akal ini berupaya untuk mengetahui tentang hakikat dibalik kenyataan-kenyataan yang ada. Usaha untuk mendapatkan kebenaran di luar kenyataan materi, merupakan hasil kerja akal naluri. Melalui akal naluri pengetahuan manusia akan melaju lebih jauh dari pengetahuan dasarnya dan memberi keyakinan akan kebenaran yang diperolehnya.
-
Akal aktif (akal aktual), akal ini berfungsi untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Akal ini dapat mengetahui beberapa pengetahuan teoritis, sehingga ia mampu menampilkan kembali bentuk-bentuk rasional yang diketahui.
-
Akal mustafad, akal ini menurut al-Ghazālī fungsinya lebih jauh dibandingkan akal-akal sebelumnya. Bahkan menurut al-Ghazālī akal mustafad ini tergolong akal tingkat tinggi. Al-Ghazālī menjelaskan bahwa melalui akal ini manusia mampu mengetahui dan mengenal sesuatu serta sekaligus sanggup menghubungkan diri dengan akal kesepuluh (akal fedal), potensi daya akal mustafad ini cukup besar. Bahkan ia menyerupai prinsip-prinsip wujud semata.
Akal bakat adalah akal yang telah mampu menangkap hal-hal abstrak; akal ini melakukan abstraksi. Akal fi’l adalah wadah untuk menyimpan pengertian (hasil abstraksi), kemudian diteruskan kepada akal mustafad menjadi pengertian sebenarnya.
Fungsi Akal
Kata ayah yang dalam bahasa Indonesia menjadi “ayat” memiliki hubungan yang sangat erat sekali dengan pekerjaan berpikir. Arti asli dari kata ayah adalah “tanda”. Ayah dalam arti ini kemudian dipakai untuk fenomena alam, yang banyak disebut dalam ayat al-kauniyah itu membawa kepada terungkapnya hukum alam yang mengatur perjalanan alam dan akhirnya kepada Tuhan.
Al-ḥadīts sebagai sumber kedua dari ajaran Islām, pun memberi kedudukan tinggi pada akal, sudah jelas dikatakan: agama dalah penggunaan akal, tiada agama bagi yang tak berakal.
Dalam ḥadīts qudsi Allah bersabda kepada akal:
“Demi kekuasaan dan keagunganKu tidaklah Kuciptakan makhluk lebih mulia dari engkau. Karena engkau Aku mengambil dan memberi dan karena engkau Aku menentukan pahala dan menjatuhkan hukuman”
Al-Ghazālī sendiri memandang akal sebagai kekuatan fitri, yang membedakan baik buruk, manfaat mudarat dan sebagi ilmu taṣawwur dan taṣdiq. Dalam Iḥyā’ ‘Ulumuddīn, akal sebagai kemampuan yang membedakan manusia dari binatang, yang bisa mengetahui dari kemustahilan, kemungkinan, dan kemestian.
Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa. Keharusan manusia menggunakan akalnya, bukan hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran alQurān.
Menurut Muhammad Abduh, al-Qurān memerintahkan kita untuk berpikir dan menggunakan akal serta melarang kita bersikap taklid.
Menurut al-Ghazālī, ada tujuh hal yang menunjukkan keunggulan akal atas indera penglihatan.
-
Pertama; Mata tidak dapat melihat dirinya sendiri, sedangkan akal mengetahui dirinya dan hal-hal di luar dirinya. Sehingga ia paham dan bahwa ia berpengetahuan dan berkemampuan, dan “ia memahami pengetahuan yang dimilikinya, pengetahuan tentang pengetahuan yang dimilikinya tentang dirinya sendiri, pengetahuan tentang pengetahuan tentang pengetahuan yang dimilikinya tentang dirinya sendiri, dan seterusnya.
-
Kedua: Mata tidak dapat melihat terlalu dekat atau jauh darinya, sementara bagi akal dekat atau jauh tidak ada bedanya.
-
Ketiga: Mata tidak dapat memahami segala sesuatu di balik hijab. Sementara akal dapat memahami segala sesuatu yang terdapat dalam alam dan langit. Malah realitas segala sesuatu tidak akan terhijab (tertutup) bagi akal.
-
Keempat: Mata hanya dapat melihat lahiriah segala sesuatu saja. Sementara akal mampu menembus bagian dalam segala sesuatu dan rahasia-rahasianya. Dan juga mampu memahami substansi segala sesuatu, penyebabnya, kausanya, tujuannya, maknanya, penciptaannya, dan susunannya dalam wujud.
-
Kelima: Mata hanya dapat melihat sebagian kecil segala sesuatu yang ada. Ia tidak dapat memahami sama sekali hal yang logis dan banyak hal yang dapat diindera; suara, bau-bauan, dan lainnya. Ia juga tidak memahami perasaan kejiwaan seperti gembira, sedih, dan lainnya. Sementara ruang lingkup akal meliputi segala yang ada.
-
Keenam: Mata tidak mampu melihat sesuatu yang tak terhingga. Sebab ia hanya mampu melihat sifat-sifat benda yang dapat dikenal, padahal benda-benda ini memiliki batas. Sedangkan akal dapat memahami informasi-informasi yang tidak terbatas.
-
Ketujuh: Mata tunduk di bawah banyak tipu daya indera. Sehingga suatu hal yang besar tampak seolah menjadi kecil, sementara akal terhindar dari itu.
Banyak sekali kesalahan penglihatan mata, sedangkan akal terhindar darinya. Seandainya kalian berkata: “Kami lihat orang-orang berakal sering kali tersalah dalam pemikiran mereka”, maka ketahuilah berbagai khayal dan waham (persangkaan keliru) dari orang-orang itulah yang kadang-kadang membuat kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan kepercayaan-kepercayaan lama, yang mereka kira berdasarkan pemikiran akal.
Sesunggunya jika akal terhindar dari kekeruhan sangkaan dan khayalan, pasti ia tidak akan tersalah. Ia akan melihat segala sesuatunya dengan apa adanya. Tapi hal seperti ini akan dialami nanti stelah mati, dimana saat itu akan tersingkaplah “tirai penutup” terungkap pula semua rahasia.
Akal sebagai salah satu sumber ilmu memiliki peran yang sangat esensial dalam melengkapi segala kekurangan yang dimiliki oleh sumber ilmu yang lain; indera. Akal menurut para filosof muslim merupakan kecakapan jiwa yang khas dimiliki manusia, karena tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.
Menurut Naṣir alDin Ṭusi akal merupakan kesempurnaan manusia, yang di atasnya tergantung harkat dan esensi manusia. Kekuatan khas yang dimiliki akal menurut filosof adalah kemampuannya untuk mengabstrakkan dari konsep-konsep universal yang sudah diabstrakkan dari benda-benda konkret, sehingga ia mampu berpikir sesuatu yang sama sekali tidak memiliki sangkutan dengan benda-benda fisik.
Adapun cara akal untuk menyelidiki benda fisik yang sebelumnya diserap oleh indera adalah dengan mengajukan pertanyaan berdasarkan kategori-kategori mental—seperti kategori ruang, waktu substansi, kuantitas, kualitas, dan kausalitas—maka muncullah pertanyaan, apa, dimana, mengapa, siapa, berapa, yang mana, dan lain-lain. Selain itu, akal mampu mengenal atau menangkap konsep dan informasi tidak terbatas hanya pada objek-objek inderawi saja, tetapi juga dapat menangkap konsep-konsep abstrak yang tidak berdasar pada penginderaan. Misal, akal mampu memahami perasaan seseorang, seperti perasaan sedih, gembira, kecewa, dan sebagainya, padahal itu bukan entitas-entitas fisik melainkan keadaan jiwa. Dengan kemampuan yang sama juga akal mampu mengomunikasikan pikiran, perasaan, gagasan, dan lainnya, kepada sesame manusia melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan, yang disebut bahasa.
Dalam bukunya Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islām, pada bab Akal dan Tuhan, di sini dibahas mengenai menangkap Tuhan dengan akal, salah satunya dikemukakan oleh Ibn Sina, melalui dalil al-jawaz atau kontingensi (dalil ini juga disebut ontologis karena pendekatannya melalui filsafat wujud).
Ibnu Sina membagi wujud ke dalam tiga kategori:
-
Wujud niscaya (wajib al-wujud), yakni wujud yang senantiasa harus ada, dan tidak boleh tidak ada.
-
Wujud mungkin (mumkin al-wujud), yakni wujud yang boleh ada atau boleh tiada.
-
Wujud mustahil (mumtani‟ al-wujud) yakni yang keberadaannya tidak terbayangkan oleh akal.
Menurut Ibnu Sina, alam boleh ada boleh tidak, itu logis. Karenanya alam jelas bukan wajib al-wujud, sebab wajib al wujud adalah tidak boleh tidak ada. Kemudian karena alam telah wujud, berarti bukan mumtani‟ al-wujud. Dan satu-satunya yang tersisa adalah “wujud yang mugkin”.
“Mungkin” dalam pengertian Ibnu Sina adalah “Potensial”, artinya sifat alam adalah potensial. Sebagai contoh, seorang wanitamuda yang sehat, bisa dikatakan untuk hamil, tapi tidak mungkin ia bisa hamil dengan sendirinya. Itulah makna mungkin menurut Ibnu Sina. Begitu juga dengan alam ini. Karena alam sebagai potensi, tidak akan ada tanpa sebab yang mengadakannya, karena alam ini telah ada, secara logis pastilah ada yang mengaktualkannya. Itulah yang kita sebut Tuhan.
Dari sini bisa kita lihat fungsi dari akal, bahwa sebelum akhirnya sampai kepada pemahaman bahwa Tuhan adalah tak tersentuh atau transenden, telah ada pemahaman secara logis bahwa alam ini mengaktual dengan sebab di luar dari alam ini sendiri. Itulah yang kita sebut sebagai Tuhan.
Sebenarnya al-Qur‟ān memang menegaskan bahwa berpikir adalah sebagian dari petunjuk Allah ke arah iman kepada-Nya. Misalnya, ditegaskan bahwa alam raya ini adalah sumber pelajaran bagi umat manusia, tapi terbatas hanya kepada mereka yang berpikir.
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS. al-Jatsiyah: 13)
Sebab itu Allah memuji mereka yang berjiwa terbuka, suka mendengarkan pendapat orang lain, kemudian mengikuti mana yang tebaik dari pendapat tersebut, yakni setelah melakuka aktivitas berpikir dan pemeriksaan serta pemahaman yang kritis dan teliti, dalam al-Qur‟ān mereka disebut sebagai “Orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah, dan orang-orang yang berakal budi”
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. al-Zumar: 17-18).
Karena berpikir yang benar akan membawa kepada peningkatan kualitas kemanusiaan. Sedangkan berpikir salah adalah pangkal dari bencana manusia, bahkan akan menjauhkannya dari Tuhan.
Akal adalah sebagai tolak ukur, mengidentifikasi mana yang benar dan mana yang keliru. Akal bahkan menjadi satu-satunya tolak ukur penilaian bagi sebagian proposisi agama, misalnya agama Islām sering kali disebut sebagai agama yang rasional. Tentu itu semua masih terbatas dalam proposisi rasional saja, di luar dari iru akal tidak memiliki nilai validitas apa-apa.
Kemudian selanjutnya dari fungsi akal adalah membuktikan kebenaran agama sekaligus prinsip-prinsipnya. Akal mengakui keniscayaan diutusnya nabi oleh Tuhan, dan mampu membedakan mana nabi palsu dan nabi sebenarnya. Pembuktian keniscayaan ini adalah tugas dari akal, dalam tataran ini agama tidak bertentangan dengan akal.
Akal sebagai cahaya, alat memperoleh pengetahuan. Tanpa menggunakan akal siapapun tidak akan memahami hukum-hukum fisika dan syariat. Sekalipun ada kalangan yang memerhitungkan akal sebagai sumber pengetahuan agama, mereka ini juga menyadari sepenuhnya bahwa akal merupakan syarat mutlak dalam upaya menyerap hikmah dan ajaran dari al-Qur‟ān dan Sunnah.
Sumber : Tuti Aliyah, Akal Menurut Pandangan Al-Ghazali, UIN Syarif Hidayatullah
Referensi
- Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam
- Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazālī: Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung:
- Pustaka Setia, 2007)
- Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulumuddīn (Ilmu dan Keyakinan).
- Farhang va Andisyeh-e Eslom, ‘Aql va Vahy, terj. Akal dan Wahyu: Tentang Rasionalitas Dalam Ilmu, Agama, dan Filsafat, oleh Hasan Yusufian (Jakarta: Sadra Press, 2003).
- Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan Pengantar Epistemologi Islam.
- Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995).
- Atang Abdul Hakim dkk, Filsafat Umum dari Metologi sampai Teofilosofi (Bandung:
- Pustaka Setia,2008).
- Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI
- Press, 1987).
- Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Manhaj al-Falsafi Baina al-Ghazālwa Dikart, terj. AlGhazāl Sang Sufi Sang Sufi, oleh. Ahmad Rofi‟ „Utsmani (Bandung: Pustaka, 1981).
- Al-Ghazālī, Misykat al-Anwār, terj. Misykat Cahaya-Cahaya, oleh Muhamad Bagir
- (Bandung: Mizan, 1991).
- Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003).
- Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Bandung:
- Mizan Pustaka, 2002).
- Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1994)