Apa Yang Dimaksud Darah Haid atau Menstruasi Menurut Ajaran Islam?

Menstruasi

Menstruasi, haid atau datang bulan adalah perubahan fisiologis dalam tubuh wanita yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi baik FSH-Estrogen atau LH-Progesteron. Periode ini penting dalam hal reproduksi. Pada manusia, hal ini biasanya terjadi setiap bulan antara usia remaja sampai menopause.

Darah haid adalah darah yang keluar dari kubul (farji) perempuan dalam keadaan normal (sehat), bukan disebabkan karena melahirkan atau robeknya selaput dara. Keluarnya darah haid bagi seorang wanita adalah merupakan fitrah atau pembawaan yang dianugerahkan oleh Allah SWT.

Pada dasarnya seorang wanita yang kedatangan haid itu berusia 12 tahun, dan keluarnya darah haid itu biasa terjadi sebulan sekali sampai ia mengalami menapause. Oleh karena itu, tidak ada dalil yang menunjukkan menunjukan adanya batasan usia tertentu bagi terhentinya darah haid. Jadi sekalipun sudah tua apabila masih melihat keluarnya darah dari farjinya, maka itupun masih tergolong darah haid.

Ada beberapa pendapat para Ulama dan Imam tentang darah haid :

  • Imam Maliki: Para ulama dalam madzhab ini mengatakan apabila seorang gadis / remaja yang masih berusia 9-13 tahun telah mengeluarkan darah, maka sebaiknya ia tanyakan kepada orang-orang di sekitarnya yang lebih dewasa dan berpengalaman, apakah darah yang keluar itu termasuk da- rah haid atau tidak. Para ulama madzhab ini menambahkan, bahwa darah yang keluar dari wanita yang sudah berusia 13-50 tahun, maka sudah pasti itu darah haid, selanjutnya darah yang keluar dari wanita yang keluar di usia 70 tahun, maka dapatlah dipastikan kalau darah itu bukan darah haid tapi darah istihadhah (darah penyakit), begitu juga bagi gadis yang belum mencapai usia 9 tahun, maka darah itu bukan darah haid melainkan darah penyakit.

  • Imam Hanafi : Ulama dalam madzhab ini mengatakan apabila ada seorang gadis yang sudah berusia 9 tahun lalu mengeluarkan darah, maka itu disebut darah haid. Dan hukum dari wanita yang sudah kedatangan haid adalah meninggalkan puasa dan shalat. Ulama madzhab ini menambahkan, wanita yang usianya sudah mencapai 55 tahun lebih dan masih mengeluarkan darah (warnanya hitam/merah tua) maka darah itu disebut darah haid.

  • Imam Syafi’i : Madzhab ini mengatakan bahwa haid itu bisa datang kapan saja, tidak ada batas akhir dari wanita untuk mengeluarkan darah haid, selagi ia masih hidup ia masih bisa mengeluarkan darah haid. Walaupun pada umumnya ia akan terhenti pada usia 62 tahun, yaitu yang biasa disebut dengan masa iyas (masa putus dari haid).

  • Imam Hambali : Madzhab ini berpendapat, bahwa masa iyas (masa putus darah haid) jatuh pada seorang wanita dikala usianya menginjak 50 tahun. Jadi kalau sesudah itu ia masih juga mengeluarkan darah dari fajrinya, maka itu bukan termasuk darah haid melainkan darah penyakit.

Para ulama mengatakan bahwa “Darah haid itu adalah najis. Oleh karena itu, seorang muslim yang hendak melakukan shalat dan apabila pakaiannya terkena darah haid, maka terlebih dahulu harus dibersihkan lalu dicuci”.

Rasulullah SAW bersabda :

Dari Asma’ ra. ia berkata, “Seorang wanita datang kepada Nabi SAW. Kemudian dia bertanya : Baju salah seorang dari kami terkena da- rah haid. Bagaimana cara membersihkannya? Nabi SAW. bersabda, “Awalnya buang darahnya, sesudah itu gosok-gosokkan kain itu den- gan ujung jari dengan memakai jari, kemudian siram, lalu pakailah (untuk) shalat”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ahmad dan Abu Dawud dalam hal ini meriwayatkan, dari Abu Hurairah ra. Ia berkata:

“Sesungguhnya Khaulah binti Yasar pernah bertanya: Ya Rasulullah! Saya mempunyai kain hanya satu helai. Kain itu saya pakai selama haid. Bagaimana hal itu? Rasulullah SAW menjawab: Bila anda telah bersuci, maka bersihkanlah kain itu bagian yang terkena darah, kemu- dian pakailah (untuk shalat)”.

Khaulah bertanya lagi, “Ya Rasulullah: Cukuplah kiranya engkau cuci den- gan air, bekasnya tidak memberi mudharat (tidak membatalkan bagi sesucimu).

Ada beberapa tanda yang dijadikan sebagai patokan dalam menentukan apakah darah yang keluar dari farjinya seorang wanita itu darah haid atau bu- kan? Menurut sebagian ulama dan ahli medis mengatakan bahwa sifat dari da- rah haid adalah berbau amis / anyir dan busuk. Sedangkan warna darah yang keluar dari farji wanita itu berbeda-beda, ada yang darahnya berwarna hitam, merah, kuning, hijau dan kelabu.

Para ulama sepakat dalam satu pendapat, bahwa apabila darah yang keluar dari farji wanita itu berwarna merah atau hitam, maka itu sudah bisa dipastikan sebagai darah haid.

Pendapat para ulama diatas diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW berikut ini:

Dari Urwah, dari Fatimah binti Abi Jahsy, bahwa ia mengeluarkan darah penyakit (istihadhah) maka warnanya kehitam-hitaman. Bila demikian, maka berhentilah kamu shalat. Tapi kalau tidak demikian maka berwudlulah lalu shalat. Karena (yang demikian itu) hanyalah merupakan keringat/gangguan otot”. (HR. Abu Dawud)

Daruquthni, Baihaqi dan al-Hakim menambahkan dengan sebuah hadits :

Itu tidak lain adalah penyakit yang menimpamu, atau gangguan setan, atau otot yang putus.

Asy-Syaukani mengatakan, bahwa hadits di atas dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan warna darah yang keluar dari farji wanita; termasuk darah haid atau bukan. Dengan kata lain, selain warna yang tersebut dalam hadits di atas berarti bukan darah haid melainkan darah istihadhah.

Ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan bagi mahidloh (wanita yang mengalami haid) untuk melakukannya, yaitu melakukan thawaf di Ka’bah, mengerjakan puasa, mendirikan shalat dan melakukan persetubuhan. Apabila keluarnya darah itu sudah berhenti, maka diwajibkan bagi wanita mahidlah itu untuk mandi besar/mandi wajib dan ibadah yang ditinggalkannya selama ia mengalami masa haid harus diqadha (diganti) kecuali ibadah shalat.

Para ulama mengharamkan bagi wanita yang sudah suci dari haid namun belum mandi besar dan sudah melakukan hubungan seksual (suami- istri), meskipun masa berhentinya itu pada akhir masa haid yang terpanjang.

Pendapat ulama di atas diperkuat dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

Dan janganlah kamu (hai kaum laki-laki) mendekati (menyentuh) mereka (kaum wanita) sebelum mereka suci (sebelum mereka mandi). (QS. Al-Baqarah : 222)

Para ulama dalam madzhab Hanafi mengatakan, “Bila haid itu telah mele-

wati batas maksimal dari masa haid yang terpanjang yaitu 10 hari, maka boleh saja bersetubuh, meskipun darah itu belum keluar, atau sudah berhenti tapi belum mandi besar. Namun yang lebih afdhal dan lebih mustahab (disukai) melakukan persetubuhan sesudah mandi besar”. Mereka menambahkan, “Sedangkan kalau darah itu berhenti pada akhir masa haid yang biasa dialami dalam setiap bulannya, sebelum melampaui batas maksimal masa haid tersebut, maka tetap tidak halal melakukan hubungan intim sebelum mandi, atau bertayamum bila tidak ditemukan air.

Darah Haid


Haid menurut bahasa adalah mashdar dari fi’il : (حَيْضًا َيحِيْضُ حَاضَ), artinya darah haid. Menurut W.J.SPoerwadarminta, haid artinya mendapat kain kotor (melihat bulan, datang bulan). Sedangkan pengertian haid secara istilah menurut Huzaemah Tahido Yanggo dalam bukunya Fikih Perempuan Kontemporer ada beberapa pendapat:

  1. Haid artinya darah yang keluar dari pangkal rahim perempuan setelah sampai umur balig dalam keadaan sehat, dalam waktu tertentu.

  2. Haid adalah pendarahan dari uterus yang terjadi setiap bulan.

  3. Menstruasi (haid) ialah mengalirnya sejumlah kecil cairan darah dari jaringan yang semula dibentuk.

Di dalam kitab Yaqutun Nafis dijelaskan bahwa haid secara bahasa berarti mengalir, sedangkan secara istilah haid diartikan sebagai darah kebiasaan yang keluar dari pusat rahim perempuan dalam keadaan sehat dan diwaktu tertentu.

Sedangkan di dalam kitab Ianatun Nisa’ dijelaskan bahwa haid secara bahasa artinya mengalir, sedangkan secara istilah adalah darah yang keluar dari farjinya perempuan yang sudah berumur 9 tahun lebih dan bukan sebab melahirkan.

Su’ud Ibrahim Shalih didalam bukunya Fiqih Ibadah Wanita menuturkan bahwa haid merupakan bentuk mashdar dari hadha-haidh. Hadhat al-mar’ah haidhan, mahadhan, dan mahidhan berarti “ia haid”. Kata al-haidhah berarti kain yang dipakai untuk menutupi seorang wanita. Kata al-mahid dan al-haid berasal dari kata asal ( masdar ) dari fi’il (kata kerja) hada-yahidu- haidan wa mahidan , yang berarti “keluar darah” haidah “datang bulan”. Menurut Ulama‟ Hanafiyah, haid adalah nama untuk darah khusus, yaitu darah yang keluar dari tempat khusus, yaitu kemaluan perempuan, tempat keluarnya anak dan melakukan hubungan dengan cara-cara tertentu, jika ia menemukan darah itu maka ia haid dan jika di luar itu maka ia *istihadhah.

Al-Kasani dalam kitabnya Al-Bada’i yang dikutip oleh Su‟ud Ibrahim Shalih didalam bukunya Fiqih Ibadah Wanita menjelaskan bahwa haid dalam terminologi syariat adalah nama untuk darah yang keluar dari rahim yang tidak diikuti kelahiran, memiliki waktu-waktu tertentu dan tempo yang sudah diketahui.

Sedangkan menurut Ulama‟ Malikiyah mendefinisikan haid sebagai darah yang keluar sendiri dari kemaluan wanita dan biasanya wanita yang sudah bisa hamil.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa darah haid adalah darah yang keluar dari perempuan yang sudah baligh, dan darah ini keluar karena sebab alami perempuan pada waktu-waktu tertentu dan bukan karena darah penyakit ataupun karena melahirkan.

Ciri-ciri Darah Haid


Ciri darah haid seperti yang dikisahkan dalam firman-Nya QS. Al-Baqarah ayat 222, “katakanlah haid itu penyakit”, Atha‟, Qatadah, dan As-Suddi mengatakan, ia adalah kotoran, dan menurut bahasa adalah segala sesuatu yang tidak disukai.

Sedangkan darah haid memiliki ciri: pertama , berwarna hitam; kedua , terasa panas; ketiga , darahnya hitam seakan terbakar; keempat , keluarnya perlahan-lahan dan tidak sekaligus; kelima , memiliki bau yang sangat tidak enak, berbeda dengan darah lain karena ia berasal dari sisa tubuh; keenam , sangat kemerahan.

Inilah ciri-ciri utama dara haid berdasarkan nash al-Qur‟an dan Hadis Rasulullah SAW. Namun, ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa darah haid berbeda dengan darah istihadhah . Setiap darah yang keluar dengan ciri-ciri di atas ia adalah haid, dan yang tidak memiliki sifat seperti itu ia bukan haid.

Jika haid tidak bisa ditentukan, semua taklif tetap wajib dijelaskan seperti apa adanya. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa ciri-ciri itu terkadang menyulitkan sebagian orang dan membuat bingung. Allah telah menetapkan ukuran waktu secara jelas, maka kapan saja seorang wanita menemukan ada darah maka berlaku diluar waktu yang sudah ditentukan maka ia bukan darah haid, apapun bentuknya. Tujuannya jelas, menghilangkan kesusahan dan kesulitan dari seorang mukallaf. Oleh karena itu, terminilogi syariat membatasi darah haid dengan batas waktu yang sudah diketahui.

Imam An-Nawawi juga membedakan antara darah rusak dan darah istihadhah , yaitu: wanita itu terbagi menjadi empat macam: wanita suci, wanita haid, wanita mustahadhah , dan wanita yang memiliki darah rusak.

Wanita suci adalah yang bersih dan suci. Wanita haid adalah wanita yang melihat darah pada waktunya dengan beberapa syarat. Wanita mustahadhah adalah wanita yang melihat darah setelah selesai dari haid dengan ciri yang sama dengan haid. Sedangkan wanita yang memiliki darah rusak adalah wanita yang senantiasa keluar darah dan bukan darah haid.

Imam Asy-Syafi‟i menyatakan, jika ia (wanita) melihat darah keluar sebelum umur sembilan tahun maka itulah darah rusak dan bukan istihadhah sebab istihadhah tidak keluar, kecuali setelah selesai haid. Adapun warna darah haid ada 5 yaitu :
hitam atau merah kental (merah tua)

  1. Merah
  2. Kuning
  3. Keruh,
  4. Abu-abu (antara merah dan kuning).

Lama Masa Haid


Batas maksimum atau minimum haid itu tidak dapat dipastikan dengan jelas. Disamping itu, tidak ada keterangan yang dapat dijadikan alasan tentang penentuan batas lamanya.19 Adapun perhitungan masa haid paling sedikit adalah sehari semalam dan paling lama adalah lima belas hari lima belas malam. Adapun masa suci sekurang-kurangnya adalah lima belas hari lima belas malam. Apabila seorang perempuan mengalami haid yang pertama kali dengan mengeluarkan darah secara terus menerus, ia harus meninggalkan shalat hingga lima belas hari. Jika darah itu berhenti pada hari yang kelima belas, masa itu adalah masa haid. Akan tetapi jika lebih dari lima belas hari, perempuan itu mengalami istihadhah.

Perempuan yang mengetahui hari-hari haidnya ditandai dengan darah yang terus keluar, hendaknya mencatat waktu dirinya biasa mengalami haid, bulannya dan harus meninggalkan shalat selama hari-hari haid itu. Akan tetapi apabila telah lewat waktunya, ia harus mandi kemudian mengerjakan shalat dan berwudhu setiap kali hendak shalat.

Para ulama berbeda pendapat tentang masa haid terlama, terpendek, diantaranya adalah:

  1. Menurut pendapat Imam Syafi‟i dan Imam Hambali, adalah sehari semalam dan masa maksimal adalah lima belas hari lima belas malam.
  2. Menurut Imam Hanafi, masa minimalnya adalah tiga hari dan maksimalnya sepuluh hari
  3. Menurut Imam Maliki: Tidak ada batasan minimalnya, bisa saja satu jam, dan batas maksimalnya lima belas hari.

Haid yang Terputus-Putus


Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita yang masa haidnya terputus-putus (tidak stabil), yakni ia mengalami haid satu atau dua hari dan suci dalam satu atau dua hari kemudian haid, suci dan seterusnya, hendaknya menggabungkan atau menjumlah hari-hari haidnya itu, tanpa menghitung hari-hari yang tidak mengeluarkan darah dalam satu bulan penuh. Setiap dua hari ia merasa suci hendaknya mandi dan melaksanakan salat, karena belum jelas mungkin itu masa suci. Setelah masa mengeluarkan darah itu dijumlah dan mencapi 15 hari, maka selebihnya ia dalam kondisi istihadhah . Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi‟i.

Riwayat lain dari Imam Malik menyatakan bahwa wanita itu hendaknya memperhatikan dan memperbandingkan masa mengeluarkan darah yang tidak normal itu dengan kebiasaan haid yang ia alami sebelumnya.

Jika jumlah hari pengeluaran itu sama dengan kebiasaan haid sebelumnya, maka itulah masa haidnya. Tetapi jika darah terus keluar secara terputus-putus lebih dari tiga hari sebagai masa penelitian terhitung mulai terakhir kebiasaan masa haidnya, berarti ia dalam keadaan istihadhah .

Imam Malik juga menyatakan bahwa jumlah hari yang tidak mengeluarkan darah itu tidak dihitung karena tidak jelas. Mungkin masuk masa suci atau masuk masa haid. Jika kenyataannya masuk masa haid, tentu harus digabungkan dengan jumlah hari pengeluaran darah lantaran sudah dicelahi masa suci.

Pada prinsipnya menurut Imam Malik hari-hari pengeluaran darah itu termasuk masa haid, bukan masa suci. Sebab masa suci minimal itu terbatas lebih dari satu atau dua hari. Sebenarnya darah haid dan nifas itu mengucur sampai masa haid dan nifas itu selesai. Bisa juga terjadi darah itu mengucur selama satu atau dua jam, kemudian putus dan seterusnya sampai masa haid dan nifas selesai.

Tanda Suci


Para fuqaha berbeda berpendapat tentang tanda- tanda suci dari haid, menurut sebagian fuqaha bahwa tanda suci adalah terlihatnya lendir putih atau kering. Ini adalah pendapat Ibnu Hubaib, salah seorang murid imam Malik. Baik kebiasaan wanita itu suci dengan keluarnya lendir putih atau dengan kering. Itu berarti wanita itu sudah suci.

Sedangkan fuqaha lain menyatakan bahwa jika kebiasaan wanita itu suci setelah keluar lendir putih, maka ia belum dianggap suci sebelum keluar lendir. Jika kebiasaanya itu tidak keluar lendir, maka tanda sucinya adalah kering.

Sebab perbedaan mereka itu adalah karena sebagian ulama ada yang menjaga dan memperhatikan kebiasaan sebagian ukuran, sedangkan ulama lain hanya memperhatikan terputusnya keluarnya darah saja. Tetapi, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa “wanita yang biasa kering” dapat dianggap suci dengan keluarnya lendir putih, dan yang biasa keluar lendir putih tidak dianggap suci dengan kekeringan.

Perbuatan yang Diharamkan Atas Wanita Haid


Darah haid (menstruasi) adalah darah yang kotor. Barnhard Ascher didalam kitab Fikih Kesehatan yang dikutip oleh Ahsln W. Al-Hafidz memandang menstruasi sebagai suatu peristiwa yang mengeliminasi (melenyapkan) subtansi toksis (bahan racun) dari tubuh sehingga dengan demikian, darah menjadi suci kembali.

Di dalah hukum Islam, perempuan yang sedang menstruasi dikatakan dalam keadaan berhadas besar atau janabah. Dalam keadaan tersebut terlarang baginya untuk:

  1. Shalat
    Para ulama bersepakat, wanita haid dan nifas di haramkan mengerjakan shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Mereka bersepakat bahwa kewajiban shalat gugur darinya, dan ia tidak perlu mengqadhanya jika sudah suci.25 Ini sesuai dengan hadits Rasulullah yang berbunyi :

    Dari Abi Said khudari berkata, Rasulullah SAW bersabda: bukankan bila wanita sedang haid tidak boleh shalat dan tidak tidak boleh berpuasa? Maka itulah kekurangan agamanya. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa‟: 103)

  2. Puasa

    Wanita yang haid dan nifas juga dilarang menjalankan puasa, meskipun hanya puasa sunnah, menurut kesepakatan ulama, merujuk sabda Rasulullah SAW dalam hadits narasi Abu Sa‟id Al- Khudri yang berbunyi :

    Dari Abi Said Al-Khudari R.A., ia berkata: Rasulullah keluar pada hari raya idul adha atau idul fitri menuju tempat shalat dan melewati kaum wanita, lalu beliau bersabda: “wahai kaum wanita, perbanyaklah sadaqah, karena saya melihat kalianlah penghuni neraka yang terbanyak.” mereka menjawab: “mengapa demikian wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “kalian banyak melaknat dan kufur terhadap keluarga dekat. Saya tidak melihat orang yang lebih lemah akal dan agamanya daripada kalian. “mereka bertanya kembali, “Mengapa akal dan agama kami kurang, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Bukankah persaksian seorang wanita setengah dari persaksian seorang laki- laki?” Mereka menukas “Benar” Rasulullah bersabda lagi, “itulah kekurangan akal wanita. Bukankah jika mereka haid tidak shalat dan tidak puasa?” Mereka menukas “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “ itulah kurangnya agama wanita.” (HR. Bukhari)

    Para ulama telah berijma‟ bahwa wanita yang sedang haid maupun nifas wajib mengaqdha puasa tetapi tidak wajib mengqadha shalat. Hikmah yang terkandung didalamnya adalah karena shalat yang dilakukan berulang-ulang sedangkan puasa tidak, sehingga jika qadha shalat diwajibkan bagi keduanya maka akan menimbulkan masyaqqah (kesulitan). Hal ini berbeda dengan puasa yang hanya diwajibkan sekali dalam setahun, sehingga puasa yang ditinggalkan selama haid dan nifas hanya bilangan hari saja, dan karenanya tidak terlalu menyulitkan jika harus mengqadhanya. Allah berfirman dalam QS. Al-Hajj (22): 78 yang berbunyi :

    Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong. (QS. Al-Hajj (22): 78)

  3. Thawaf

    Wanita yang sedang haid maupun nifas tidak diperbolehkan melaksanakan thawaf mengelilingi ka’bah, meskipun hanya thawaf sunnah. Hal ini merujuk pada hadits Aisyah R.A. yang berbunyi :

    Dari Aisyah R.A. ia bercerita: ketika saya haid pada waktu haji, Nabi SAW berkata padanya, lakukanlah segala yang dilakukan oleh orang yang berhaji, hanya saja engkau tidak boleh tawaf di Ka‟bah hingga engkau suci. (HR. Bukhari dan Muslim)

  4. Jima‟ (Bersetubuh)

    Menyetubuhi wanita yang haid tidak diperbolehkan, baik dengan penetrasi ( coitus ) maupun hanya didaerah antara pusar dan lutut. Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang haid dan nifas dengan melakukan penetrasi ke dalam vagina ditetapkan berdasarkan al-Qur‟an, sunnah dan kesepakatan ijma‟ ulama. Sebagaimana Allah mengharamkan hal itu dengan firman-Nya QS. Al- Baqarah: 222 yang berbunyi :

    Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah: 222)

  5. Masuk Masjid

    Wanita yang haid dan nifas juga diharamkan masuk masjid, meskipun hanya sekedar lewat tanpa berdiam diri di dalamnya dan tanpa kebutuhan yang mendesak (darurat). Pendapat ini dianut oleh kalangan ulama mazhab Hanafi dan Maliki dengan mengqiyaskannya serupa atas orang junub dalam ayat junub.

    Adapun Imam Asy-Syafi‟i dan Ahmad membolehkan wanita yang haid dan nifas untuk melewati masjid jika memang darahnya tidak mengotori masjid, merujuk pada firman Allah dalam QS. An-Nisa‟(4): 43 yang berbunyi :

    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa‟(4): 43)

  6. Membaca Al-Qur‟an

    Wanita yang sedang haid maupun nifas diharamkan membaca Al-Qur‟an dengan niatan membaca, meskipun hanya sebagian ayat saja. merujuk pada hadits terdahulu yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi SAW bersabda :

    Di riwayatkan dari Ali Ibnu Hujrin dan Hasan Ibnu Arafah berkata: di riwayatkan dari Ismail bin Ayyasy dari Musa bin Uqbah dari Nafi‟ dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda: Dilarang bagi orang yang haid dan junub untuk membaca al-Qur‟an.

    Sementara itu, kalangan ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa wanita yang sedang haid dan nifas tetap boleh membaca al-Qur‟an. Meskipun tidak ada kekawatiran lupa akan ayat al-Qur‟an. Mereka membantah argumentasi kelompok pertama dengan menyatakan bahwa hadits narasi Ibnu Umar dha‟if (lemah), sebab ia berasal dari riwayat Ibnu Ayyasy dari Musa bin Uqbah. Perawi yang disebut adalah seorang hijaz dan riwayatnya dari orang-orang hijaz lemah dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hukum.

    Pangkal perselisihan kedua kelompok ini sebenarnya terletak pada kasus jika wanita yang haid dan nifas membaca al-Qur‟an dengan niat membaca. Adapun jika ia membaca dengan niat dzikir, memuji, berdo‟a atau untuk membentengi diri, atau untuk iftihah (membuka suatu perkara), maka mereka sepakat memperbolehkannya, meskipun yang dibaca mengandung ayat al-Qur‟an.

  7. Memegang dan Membawa Sesuatu yang Memuat Al- Qur‟an

    Wanita yang haid dan nifas dilarang memegang dan membawa sesuatu yang memuat ayat al-Qur’an, meskipun berupa lembaran kertas, uang, maupun yang tertulis di dinding (misalnya lukisan kaligrafi al-Qur’an), tanpa adanya kebutuhan yang mendesak (darurat). Ketentuan ini menjadi pendapat resmi keempat Imam mazhab. Karena jika dalam keadaan darurat, maka ia boleh memegang dan membawanya, misalnya jika khawatir benda yang mengandung al-Qur’an tersebut akan terbakar tenggelam, atau terkena najis. Berdasarkan firman Allah Surat Al-Waqi‟ah: 79 yang berbunyi :

    Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.(QS. Al-Waqi‟ah: 79)

Referensi :
  • Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer , (Ghalia Indonesia: 2010)
  • Sayyid Ahmad Bin Amar Ash Syatiri , Yaqutun Nafis , (Tabi‟ Hadzal Kitab, t.t )
  • Muhammad Ustman, Ianatun Nisa’, (Petok 1/5 Mojo Kediri 64162, t.t)
  • Su‟ud Ibrahim Shalih, Fiqih Ibadah Wanita , (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011)
  • Su‟ud Ibrahim Shalih, Fiqih Ibadah Wanita , (Bumi Aksara, 2013)
  • Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas , Fiqih Ibadah (Thaharah, shalat, Zakat, Puasa dan Haji) , (Jakarta: AMZAH, 2009)
  • Asmaji Muchtar, Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi’i (Masalah Ibadah) , (Jakarta: Amzah, 2014)
  • Syaikh al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi, 2013)
  • Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Analisis Fiqih para Mujtahid), ( Jakarta: Pustaka Amani, 2002)
  • Ahsln W. Al-Hafidz, Fikih Kesehatan , (Jakarta: Amzah, 2007)
  • Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah (Thaharah dan Shalat) Jilid I , (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006)
  • Ibnu Hajjar al Asqalani, Buluhul humaram, (Surabaya: Imaratullah, t.th )
  • Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah (Thaharah dan Shalat) Jilid I , (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006)
  • Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II, (Jakarta, Lentera Abadi, 2010)
  • Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah (Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji), (Jakarta:AMZAH, 2009)
  • Mustafa Muhammad Imarah, Jawahirul Bukhari , (Indonesia: t.th )
  • Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid VI,(Jakarta, Lentera Abadi, 2010),
  • Ibnu Hajjar al Asqolani, Buluhul humaram, (Surabaya: Imaratullah, t.th )
  • Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah (Thaharah dan Shalat) Jilid I
  • Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah (Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji) , (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009)
  • Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid I, (Jakarta, Lentera Abadi, 2010),

Haid


Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut arti syara’ ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena haid adalah darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuaikondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.

Hikmah Haid

Adapun hikmahnya, karena janin yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan anak diluar kandungan, dan tidak mengkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah subhaanahu wa ta’aala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta. Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa penyusuan.

Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya. Para ‘ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut ?

Ad Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam masalah ini, mengatakan :

“ hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”.

Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah subhaanahu wa ta’aala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini , wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.

MASA HAID


Para ‘ ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini. Ibnu Al Mundzir mengatakan :

“ Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.

Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika. Dalil pertama: Firman Allah subhaanahu wa ta’aala :

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “ haid itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu , hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah : 222)

Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya(larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci ( tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.

Dalil kedua :
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan Ihram untuk umrah :

“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”( HR. Muslim)

Kata Aisyah: “ Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.

Dalam shahih Al- Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah :

“Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke tan’im”.

Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.

Dalil ketiga :
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha’ dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, padahal ini masalah penting, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’aala, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasulnya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan, dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang zakat : jenis hartanya, nisabnya, persentasenya, dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa ; waktu dan masanya, tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang
Darah Kebiasaan Wanita 9etika makan, minum, tidur, jima’ ( hubungan suami istri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum mu’minin. Firman Allah ta’ala :

“…Kami turunkan kepadamu Kitab ( Al Qur’an ) untuk menjelaskan segala sesuatu ( QS. An Nahl : 89)”

“ … Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu … ( QS. Yusuf : 111)

Oleh karena itu pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut ada atau tidak adanya haid.

Dalil ini – yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah- berguna bagi anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar’i dari kitab Allah, atau Sunnah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya mengatakan :

“Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci di antara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barang siapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah. (Risalah fil asmaa allati ‘allaqa Asy Syaari al ahkaama bihaa, hal : 35)"

Dalil keempat :
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoranpun ada. Tidak hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari ke enam belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke delapan belas dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam illat.