Apa yang dimaksud Cedera ACL?

Cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL) adalah cedera lutut yang paling sering dialami atlet.

Anterior Cruciate Ligament (ACL) adalah ligamen yang terdapat pada sendi lutut. Ligamen
ini berfungsi sebagai stabilisator yang mencegah pergeseran ke depan yang berlebih dari
tulang tibia terhadap tulang femur yang stabil, atau mencegah pergeseran ke belakang yang
berlebih tulang femur terhadap tulang tibia yang stabil. Setiap cedera yang terjadi pada
ACL berpotensi menimbulkan gangguan kestabilan pada sendi lutut.

Cedera ACL adalah cedera lutut tersering yang dialami oleh atlet. Cedera ini umumnya terjadi pada olahraga yang melibatkan gerakan-gerakan zig-zag, perubahan arah gerak, dan perubahan kecepatan yang mendadak (akselerasi-deselerasi) seperti sepak bola, basket, bola
voli, dan futsal. Mayoritas cedera yang terjadi adalah non-kontak dengan mekanisme valgus lutut dan twisting (puntiran). Situasi ini sering terjadi ketika atlet menggiring bola atau salah posisi lutut ketika mendarat. Trauma juga dapat menyebabkan robeknya ACL, terutama trauma langsung pada lutut dengan arah gaya dari samping.

Robekan ACL lebih dari 50 % atau robekan total dapat menyebabkan ketidakstabilan sendi lutut. Atlet akan merasa lututnya sering “goyang”, nyeri dan bengkak berulang sehingga kinerja berolahraganya menurun. Ketidakstabilan sendi lutut jugaakan menimbulkan cedera lanjutan berupa rusaknya bantal sendi atau meniskus dan tulang rawan sendi. Banyak atlet yang akhirnya harus mengakhiri kariernya akibat cedera ACL sehingga cedera ini sering disebut Career Ending Injury. Penilaian derajat cedera ACL dapat dilakukan berdasarkan robekan yang terjadi, yaitu :

  • Derajat 1: Robekan mikro pada ligamen. Umumnya tidak menimbulkan gejala ketidak stabilan dan dapat kembali bermain setelah proses penyembuhan.

  • Derajat 2: Robekan parsial dengan perdarahan. Terjadi penurunan fungsi dan dapat menimbulkan gejala ketidak stabilan.

  • Derajat 3: Robekan total dengan gejala ketidakstabilan yang sangat bermakna.

cedera ACL berupa terapi non-operatif dan operatif. Terapi non-operatifdilakukan dengan menggunakan modalitas terapi seperti ultrasound dan diatermi, pemakaian brace lutut, serta program penguatan otot, sedangkan terapi operatif dilakukan dengan metode rekonstruksi. Rekonstruksi menjadi pilihan utama karena tindakan penjahitan ligamen ACL sering mengalami kegagalan. Hal itu disebabkan karena ligamen ACL tidak memiliki fibrin sehingga setiap robekan yang terjadi tidak dapat mengalami penyembuhan sendiri. Rekonstruksi adalah metode operatif untuk mengganti ligamen ACL dengan bahan yang lain (graft). Umumnya bahan tersebut diambil dari tendon hamstring atau tendon patella pasien itu sendiri sehingga disebut autograft.

Seiring perkembangan dunia olahraga, jumlah atlet berusia muda yang berpartisipasi dalam olahraga kompetitif semakin tinggi. Hal ini juga berdampak pada peningkatan cedera ACL pada populasi usia muda. Latihan intensif, spesifikasi kecabangan yang terlalu dini ataupun kejuaraan-kejuaraan yang dijalani oleh anak dengan pertumbuhan tulang yang belum sempurna diduga menjadi penyebab peningkatan angka kejadian cedera ACL pada populasi ini.

Pemeriksaan Secara Fisik

Pemeriksaan radiologi pada kasus trauma lutut dengan hemartrosis pada atlet anak dan remaja perlu dilakukan terlebih dahulu. Hal tersebut dilakukan untuk menyingkirkan adanya patah tulang tibia, terutama pada eminentia intercondylaris tibia, yang sering terjadi bersama cedera ACL pada anak usia 8-14 tahun. Setelah menyingkirkan diagnosis tersebut, pemeriksaan fisik pada lutut dapat dilakukan.

Pemeriksaan pada atlet berusia muda mungkin lebih sulit dilakukan karena mereka memiliki kecenderungan cemas terutama ketika merasakan nyeri. Pemeriksaan fisik pada lutut dilakukan setelah fase akut cedera terlewati yang ditandai dengan berkurangnya bengkak dan rasa nyeri. Seluruh pemeriksaan fisik harus membandingkan antara sisi tercedera dan sisi yang sehat untuk mendapatkan penilaian yang objektif.

Tes Lachmann dan tes Pivot Shift adalah dua jenis pemeriksaan fisik yang dinilai akurat dalam penegakan diagnosis ACL. Tes Lahmann dilakukan untuk melihat pergeseran antara tungkai atas dan tungkai bawah yang menunjukkan adanya ketidakstabilan lutut. Pergeseran sebanyak 5 mm dapat menjadi indikasi untuk dilakukan rekonstruksi. Tes Pivot Shift juga direkomendasikan oleh beberapa ahli untuk menilai apakah robekan parsial ACL yang terjadi menyebabkan gejala ketidakstabilan sehingga membutuhkan tindakan rekontruksi (Mall dan Paletta, 2013).

Pemeriksaan stabilitas patella juga harus dilakukan karena banyak kasus dislokasi patella yang menyerupai cedera ACL. Selain itu pemeriksaan struktur lain pada lutut yang meliputi ligamen (posterior cruciate, medial collateral, lateral collateral) dan bantal sendi harus dilakukan.