Apa yang dimaksud anemia bulan sabit?

Anemia sel sabit adalah kondisi serius di mana sel-sel darah merah menjadi berbentuk bulan sabit , seperti huruf C. Sel darah merah normal berbentuk donat tanpa lubang (lingkaran, pipih di bagian tengahnya), sehingga memungkinkan mereka melewati pembuluh darah dengan mudah dan memasok oksigen bagi seluruh bagian tubuh.

Anemia merupakan suatu bentuk kelainan pada darah yang paling sering terjadi pada masyarakat. Sebenarnya, anemia ini tidak termasuk kelainan yang berbahaya. Akan tetapi, bila tidak ditangani dengan tepat dapat memicu terjadinya penyakit yang lebih parah. Anemia yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani anhaimia yang secara harfiah berarti tanpa darah ini memiliki beberapa macam jenis yang dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya. Secara garis besar, anemia dapat dibedakan menjadi 4 kelompok :

  1. anemia yang disebabkan oleh cacat atau masalah yang ada pada faktor konstitusional dari sel darah merah

  2. anemia yang disebabkan oleh defisiensi atau kekurangan bahan-bahan yang berasal dari luar tubuh

  3. anemia karena kehilangan sel darah merah yang baik dan sehat

  4. anemia yang disebabkan karena adanya reaksi autoimun dari tubuh.

Bersadarkan klasifikasi anemia di atas, anemia sel sabit termasuk dalam jenis anemia yang pertama, yaitu anemia yang disebabkan oleh cacat pada faktor konstitusional pada sel darah merah, dalam hal ini adalah cacat pada hemoglobin, yang disebut dengan istilah hemoglobinopathy. Berdasarkan kasus yang telah dijumpai, Sickle Cell Disease (Penyakit Sel Sabit) dan thalassemia merupakan hemoglobinopati yang paling sering dijumpai.

Penyakit sel sabit sebenarnya dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

  1. penyakit sel sabit yang heterozigot

  2. penyakit sel sabit yanghomozigot

Untuk penyakit sel sabit heterozigot, hemoglobin yang terdapat dalam darah pasien tidak hanya HbS saja, melainkan bisa saja ada bentuk kelainan hemoglobin yang lain seperti HbC, HbD, HbE, maupun β-thalassemia. Sebaliknya, dalam darah pasien penderita penyakit sel sabit homozigot hanya terdapat satu kelainan hemoglobin, yaitu HbS. Kelainan homozigot ini justru merupakan kelainan yang paling parah bila dibandingkan dengan kelainan heterozigot. Berdasarkan kedua jenis tersebut,anemia sel sabittermasuk ke dalam penyakit sel sabit homozigot.

Anemia sel sabit merupakan suatu kelainan pada darah yang disebabkan karena adanya perubahan asam amino ke-6 pada rantai protein globin β yang menyebabkan adanya perubahan bentuk dari sel darah merah menjadi serupa dengan sabit, yang disebut dengan HbS.

Anemia yang disebabkan karena kelainan pada hemoglobin, hemoglobinopati, merupakan suatu bentuk kelainan yang umum terjadi di dunia hingga mencapai angka 7% dari populasi dunia. sel sabit ini termasuk kelainan genetik yang dapat diwariskan dari orang tua kepadanya anaknya. Di berbagai negara Eropa non-endemik penyakit sel sabit telah dilakukan survei untuk mengetahui jumlah karier di negara mereka, diantaranya Albania ditemukan 3% karier; Prancis 0,6%; Portugal 0,57%; Yunani 0,53%; Belanda 0,47%; Inggris 0.47%; Turki 0,44%; Skotlandia 0,01%; Finlandia 0,02%; Irlandia 0,08%; Amerika Serikat, Amerika Latin dan karibia ditemukan 8% karier.

Perubahan asam amino ke-6 pada rantai protein globin β dari asam glutamat menjadi valin ternyata membawa dampak yang sangat besar terhadap morfologi sel darah merah dan interaksi hemoglobin dalam sel darah merah tersebut. Perubahan asam amino tersebut menyebabkan HbS mempunyai kecenderungan untuk berikatan dengan HbS yang lain sehingga membentuk suatu rantai spiral yang menyerupai tali tambang ketika mengalami deoksigenasi, sehingga secara keseluruhan bentuk dari sel darah merah tidak lagi menjadi bikonkaf, tetapi menyerupai sabit. Proses pembentukan rantai spiral tersebut disebut dengan polimerisasi. Proses polimerisasi tersebut akan menyebabkan adanya peningkatan viskositas dan solubilitas dari darah, sehingga darah akan menjadi lebih kental yang kemudian dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil.

Pada tahap awal penyakit ini, sel darah merah yang telah mengalami polimerisasi masih dapat kembali ke bentuknya semula jika mengalami oksigenasi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses polimerisasi :

  1. oksigen
  2. konsentrasi HbS dalam darah
  3. suhu

OKSIGEN

Oksigen memegang peranan penting dalam proses polimerisasi. Ketika oksigen terlepas dari sel darah merah untuk menuju ke jaringan tubuh, hal ini akan memicu terjadinya polimerisasi karena pada saat itu hemoglobin mengalami deoksigenasi. Akan tetapi, masih ada faktor lain, yang masih berkaitan dengan afinitas hemoglobin-oksigen, yang juga mempengaruhi polimerisasi, yaitu senyawa 2,3-BPG (2,3-bifosfogliserat) dan nilai pH darah. Pada proses pelepasan ikatan hemoglobin-oksigen, senyawa 2,3-BPG memegang peranan penting dalam menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen, sehingga peningkatan senyawa 2,3-BPG akan dapat memicu polimerisasi hemoglobin. Sementara itu, penurunan nilai pH akan menyebabkan jumlah ion hidrogen (H+) meningkat sehingga akan memaksa hemoglobin melepaskan oksigen untuk membentuk senyawa HHb. Dengan demikian, memicu terjadinya polimerisasi.

Konsentrasi HbS dalam darah.

Konsentrasi HbS dalam darah dapat memicu terjadinya polimerisasi. Pada umumnya, polimerisasi akan terjadi bila konsentrasi HbS naik melebihi20.8 g/dl.

Suhu.

Suhu mempengaruhi keadaan kental dari deoksiHbS. DeoksiHbS akan mengalami pencairan bila mengalami pendinginan, tetapi perlu diperhatikan pula bahwa pendinginan tersebut dapat memperburuk keadaan penderita sebab akan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Faktor yang keempat adalah hemoglobin lain selain HbS. Beberapa hemoglobin dapat menghambat terjadinya polimerisasi, sedangkan yang lainnya dapat memicu polimerisasi. HbF dan HbA merupakan contoh dari hemoglobin yang dapat menghambat proses polimerisasi. Kedua hemoglobin tersebut, ketika mengalami deoksigenasi tidak akan mengalami polimerisasi dan tidak menjadi bentuk sabit, sehingga dapat menjaga viskositas serta volume darah untuk tidak berubah menjadi lebih kental. Berkaitan dengan hal ini, agen apapun yang dapat meningkatkan volume darah akan dapat mencegah terjadinya polimerisasi. Dalam kasus ini, HbF dan HbA yang terdapat dalam darah seolah-olah menambah volume darah yang sedang mengalami perubahan menjadi lebih kental. Sebaliknya, HbC, HbD, HbO Arab dan HbJ merupakan contoh hemoglobin yang dapat memicu terjadinya polimerisasi.

Faktor kelima adalah infeksi. Beberapa infeksi dapat mempengaruhi terjadinya polimerisasi hemoglobin, seperti demam, muntah, diare dapat menyebabkan dehidrasi yang berkaitan dengan volume darah yang berkurang sehingga memicu perubahan darah menjadi lebih kental; asupan makanan yang kurang dapat menyebabkan terjadinya asidosis yang dapat menurunkan nilai pH darah sehingga memicu terjadinya polimerisasi hemoglobin, pneumonia dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia yang secara langsung mengurangi jumlah oksigen dalam darah, dengan demikian dapat menyebabkan deoksigenasi hemoglobin.

Pada tahap tertentu, sel darah merah yang telah mengalami polimerisasi, tidak akan dapat kembali lagi ke bentuk normalnya. Hal ini disebabkan karena perubahan bentuk hemoglobin menjadi sabit berkali-kali telah mengubah membran sel darah merah yang menyebabkan terjadinya kebocoran ion kalium dan masuknya ion natrium dan ion kalium yang hilang jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan ion natrium yang diperoleh (pada perubahan yang reversibel, ion kalium yang hilang sejumlah dengan ion natrium yang diperoleh). Selain itu, juga terjadi peningkatan jumlah ion kalsium sebanyak empat kali lipat yang menyebab adanya aliran K-Cl dan terbukanya gerbang Gardos, yang merupakan gerbang keluarnya ion kalium yang diaktifkan oleh ion kalsium, yang menimbulkan kehilangan ion kalium yang lebih banyak lagi.

Pada penderita yang masih banyak memiliki sel darah merah yang masih reversibel, sel darah merah tersebut memiliki kecenderungan untuk menempel ke sel endotelium. Hal ini berkaitan dengan terjadinya vasooklusi pada penderita anemia sel sabit. Sementara itu, pada penderita yang memiliki lebih banyak sel darah merah yang ireversibel, sel darah merah tersebut memicu akumulasi IgG pada permukaan selnya yang kemudian akan dikenali oleh reseptor makrofag sehingga menyebabkan erythrophagocytosis.

Gambaran Klinik

Gambaran klinik pada penderita anemia sel sabit dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu gambaran klinis yang bersifat akut, dan gambaran klinis yang bersifat kronis. Berikut ini beberapa gambaran klinis yang bersifat akut :

1. Penyumbatan pembuluh darah (vasoocclusive)
Penyumbatan pembuluh darah ini dapat disebabkan apabila penderita mengalami demam, dehidrasi, suhu dingin, kehamilan, tekanan emosional maupun asidosis. Penyumbatan ini akan dirasakan oleh penderita sebagai rasa nyeri. Rasa nyeri tersebut dapat terjadi diberbagai tempat, sesuai dengan tempat terjadinya penyumbatan, seperti dada, tulang, perut maupun otak. Penyumbatan yang terjadi pada otak dapat menyebabkan stroke. Rasa nyeri di perut pada umumnya disebabkan karena terjadi infark pada limpa. Rasa nyeri pada dada sering disertai dengan infeksi bakteri yang kemudian disebut dengan istilah acute chest syndrome(ACS).

2. Hand-foot syndrome
Sindrom ini ditandai dengan adanya pembengkakan pada punggung tangan dan kaki, nonerythematous, dan terasa sangat sakit yang disertai dengan demam dan peningkatan jumlah leukosit.

3. Priapismus
Priapismus ini dialami oleh sebagian besar penderita anemia sel sabit yang berusia antara 5-13 tahun dan 21-29 tahun. Hal ini umumnya dimulai malam hari ketika tidur yang disebabkan karena terjadinya dehidrasi dan hipoventasi yang kemudian menyebabkan terjadinya stagnansi aliran darah pada daerah penis. Semakin tua usia penderita, maka prognosisnya akan semakin buruk dan dapat menyebabkan impotensi.

4. Krisis aplastik
Krisis aplastik ini disebabkan karena terjadi penurunan pembentukan sel darah merah yang disertai dengan demam. Berdasarkan studi epidemiologi, hal ini disebabkan karena adanya infeksi virus, yaituhuman parvovirus B19.

5. Penggumpalan darah pada limpa
Hal ini ditandai dengan turunnya konsentrasi Hb paling tidak menjadi 2 g/dl dan terjadinya spleenomegaly.

6. Krisis hemolisis
Krisis hemolisis ini disebabkan karena terlalu pendeknya usia sel darah merah sehingga semakin cepat terjadinya hemolisis. Hal ini menyebabkan turunnya hemoglobin dan naiknya retikulosit, yang kemudian memicu terjadinyajaundice. Berikut ini beberapa gambaran klinis yang bersifat kronis :

  1. Terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan
  2. Osteonecrosis
  3. Retardasi mental
  4. Berkurangnya integrasi visual-motor
  5. Berkurangnya daya ingat
  6. Berkurangnya perhatian dan konsentrasi (attention and concentration)
  7. Cardiomegaly
  8. Obstructive lung disease
  9. Gangguan fungsi hati
  10. Hematuria
  11. Gagal ginjal
  12. Kebutaan
  13. Leg ulcer.