Apa yang di maksud dengan fana menurut ajaran Islam?

Fana

Kata “fani” akar katanya dari kata “fana” yang bermakna sirna dan lawan katanya adalah baqa (lestari).

Apa yang di maksud dengan fana menurut ajaran Islam?

Kehidupan dunia bersifat fana. Persis seperti kuncup bunga yang mekar dan wangi. Setelah itu jatuh gugur dan mengering disapu angin lalu. Tak beda dengan embun pagi. Kala mentari mulai meninggi, embun menguap tanpa meninggalkan jejak yang berarti.

Berdasarkan pandangan tauhid yang baqa dan lestari secara esensial dan zati hanyalah Allah Swt sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah Swt:

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan hanya Dzat Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (Qs. Al-Rahman [55]:26-27)

Dengan demikian, selain Allah Swt seluruh entitas dan makhluk adalah fani bidzzat (sirna secara esensial). Namun demikian kemurahan Tuhan berbeda-beda pada kelestarian makhluk-makhluk berdasarkan potensi dan kapasitasnya. Kelestarian (baqâ) setiap makhluk masing-masing berbeda satu sama lain. Karena itu, sirna dan fananya makhluk-makhluk juga berbeda satu sama lain.

Di samping itu, kriteria kelestarian setiap orang bergantung pada kadar hubungan dan sambungannya kepada Allah Swt. Dalam hal ini Allah Swt menyatakan:

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (Qs. Al-Qashash [28]:88)

Sumber : Hakikat Dunia | Almanhaj

Fana’ adalah proses beralihnya kesadaran dari alam inderawi ke alam kejiwaan atau bathin. Oleh karena itu, fana’ merupakan suatu yang paling didambakan dalam tasawuf. Bagi para penganut aliran tasawuf, mereka meyakini bahwa orang yang mendalami ilmu-ilmu mistik ini akan sampai pada tingkatan apa yang disebut dengan fana’ (ekstasi). Hal ini juga diakui oleh 'Abdul Hakim Hasan. Menurutnya bahwa yang menjadi prioritas dalam ajaran tasawuf adalah bagaimana seorang hamba bisa sampai pada Zat al- Haqq atau Mutlaq dan bahkan dapat bersatu langsung dengan Allah.

Untuk bisa mencapai pengalaman ekstasi atau fana’ ini, didahului ole pendalaman rasa cinta kepada Allah yang akan menyebabkan sang sufi akan mengalami penghayatan Wahdah as-Syuhud yaitu apapun yang dipandang tampak sebagai Tuhan. Jalan lain yang dapat mengantarkan sang sufi untuk sampai pada fana’ yaitu dengan mengkonsentrasikan diri dalam zikrullah. Hal ini menurut Imam al-Gazali dapat menghantarkan sang sufi pada pengalaman atau penghayatan fana’ fillah.

Menurut Tasawuf Islam, ada beberapa pengertian tentang fana’ kepada Allah, dan menurut para sufi, dalam mengartikan fana’ tersebut terbagi ke dalam tiga tingkatan kategoris, yaitu:

  • Fana’ fi as-Sifah maksudnya adalah hilang atau lenyapnya sifat kemanusiaan dari diri seseorang menuju Tuhannya.

  • Fana’ fi al-Af’al, maksudnya adalah hilangnya perbuatan kemanusiaan pada diri sufi, sehingga tinggallah perbuaan-perbuatan yang bersifat ilahiyah

  • Fana’ fi an-Nafs maksudnya adalah lenyapnya perasaan atau kesadaran sufi ke dalam Kemaha Kekalan Allah.

Fana’ yang dicari orang-orang sufi adalah fana’ an-nafs. Kalau seorang sufi telah mencapai fana’ an-nafs-nya maka hilanglah segala rasa yang bersifat kemanusiaan, hingga dia tidak sadarkan diri. Ucapannya tidak dapat lagi dipegangi, dia telah tetap ke dalam ke-baqa’-an Allah. Ketika ini, timbullah ke-baqa’-an, seperti dalam ungkapan berikut ini:

“Apabila tampaklah nur kebaqa’-an, maka fana’-lah yang tiada, dan baqa’-lah yang kekal”.

Menurut Abu Yazid, manusia pada hakekatnya sesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi (keberadaanya) sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana’ an nafs). Fana’ an-nafs, adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu kedalam iradah Allah, bukan jasadnya yang menyatu dengan zat Allah.

Al-fana’ dalam pengertiannya yang umum dapat dilihat dari penjelasan Al-Junaidi yang dikutip oleh Ibrahim Basyuni, berikut ini.

“Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera”.

Berdasarkan pengertian di atas terlihat, bahwa yang lebur atau fana’ itu adalah kemampuan atau kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi (jasad) manusianya tetap utuh sama sekali tidak hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebgai manusia, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qusyairi berikut ini:

“Fana’-nya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada, tetapi dia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya”.

Dalam proses al-fana’ ada empat situasi getaran psikis yag dialami seseorang, yaitu al-sakr, al-satahah, al-zawal al-hijab, dan ghalab al-syuhud.

  • Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya, seperti apa yang telah dialami oleh Nabi Musa As di Tursina.

  • Secara bahasa, Satahah berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakr

  • Al-zawal al-hijab, diartikan dengan bebas dari dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah ber"ada" di alam ilahiyah sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan. Nampaknya pengertian ini mirip dengan al-mukasyafah.

  • Ghalab al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, pada tingkat di mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanyalah Allah seutuhnya.

Dalam literatur Barat ditemukan pengertian al-fana’ sebagai

“the passing Hawai of the sufi from his phenomenal existente, involves baqa’, the continuance of his real existence”.

Apabila dilihat dari sudut kajian psikologis, terlihat suatu karakteristik fana’ mistis, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, di mana seseorang (baca: sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak pula merasakan ke-aku-annya serta alam sekitarnya. Dengan demikian terlihat, bahwa fana’ adalah kondisi intuitif, di mana seseorang untuk beberapa saat kehilangan kesadarannya terhadap ego-nya, yang dalam bahasa awam barangkali dapat dikatakan sebagai terkesima. Karena, apabila diteliti apa yang dikatakan oleh al-Qusyairi di atas, bahwa fana’ itu adalah terkesimanya seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran, yaitu Zat Muthlak.

Hanya satu daya yang mendominasi seluruh ekspresinya, yaitu daya hakikat Tuhan, dan itulah yang disebut fana’ dari makhluk. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka fana’ itu sebenarnya adalah suatu keadaan insidental, artinya tidak berlangsung terus-menerus. Perlu dicatat bahwa menurut penganut paham fana’, kemampuan itu adalah karunia dari Allah sehingga tidak bisa diperoleh melalui latihan dan sebagainya.

Pada perkembangannya yang awal, kelihatanya ada dua aliran al-fana’, yaitu :

  • Aliran pertama berpaham moderat yang diwakili al-Junaid al-Baghdadi, biasanya disebut fana’ fi at-tauhid. Kalau seseorang telah larut dalam ma’rifatullah dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana’ dalam tauhid.

  • Aliran fana’ yang kedua dipelopori oleh Abu Yazid al-Bustami yang mengartikan fana’ sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan. Dengan demikian, pada umumnya diasumsikan bahwa tujuan dari semua kehidupan tasawuf seorang sufi adalah untuk mencapai penyatuan (ittihad) dengan Allah yang diistilahkan dalam simbol "fana’ ". Sebelum masa Abu Yaz id, fana’ diartikan kaum sufi sebagai “pengabdian”, sehingga fana’ diri berarti pengabdian kesadaran diri atau pengabdian kualitas diri.

Setelah munculnya Ibn ‘Arabi, ia mendefinisikan fana’ pada dua pengertian, yakni:

  • Fana’ dalam pengertian mistis, yaitu “hilangnya” ketidaktahuan dan tinggallah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu. Sufi tidak menghilangkan dirinya, tetapi ia “menyadari” non-eksistensi esensial itu sebagai suatu bentuk.

  • Fana’ dalam pengertian metafisika, yang karena “hilangnya bentuk-bentuk” dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu. Menghilangnya suatu bentuk adalah “fana’nya” bentuk itu pada saat Tuhan memanifestasi (tajalli) dirinya dalam bentuk lain. Oleh karena itu, Ibn ‘Arabi mengatakan, fana’ yang benar itu adalah hilangnya “diri” dalam keadaan pengetahuan intuitif di mana kesatuan esensial dari keseluruhan itu diungkapkan.

Sufisme yang sempurna adalah seseorang yang melihat Tuhan dan “dirinya” sendiri di dalam pengalaman mistikal, baik dengan pengetahuan yang bersifat mistikal ataupun penghayatan esoteris. Artinya, seorang sufi yang sempurna adalah seseorang yang mengakui adanya Esensi dan bentuk (form),tetapi menyadari kesatuan esensial serta kemuthlakan non-eksistensi dari form atau bentuk itu. Ini adalah fana’ yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh seorang sufi.

Referensi :

  • Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam (Jakarta: Grafindo Persada, 2002)
  • Yunasril Ali, Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid’ah dan Khurafat (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992)
  • Ibrahim Basyuni, Nas-ah at-Tasawuf al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma’`arif, 1969)
  • Abu Qasim 'Abd al-Karim al-Qusyairi, ar-Risalah al-Qusyairiyah (Kairo: t.p. 1966)
  • R.A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1966)
  • A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufistik, (Yogyakarta: Raja Grafindo Persada, 1999).
  • Ibn 'Arabi, Fusus al-Hikam, (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1980).

Kata ” fana ” mempunyai arti : hancur, sirna, dan lenyap.3 Juga berarti keadaan dari sesuatu yang tidak berakhir.

Menurut kaum mutakallimin (para ahli teologi skolastik Islam) mengartikan yaitu: proses menghilangnya sifat sesuatu. Menurut kalangan sufi adalah hilangnnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Dengan kata lain tergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat ketuhanan.

Dalam hal itu, Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Senantiasa diliputi sifat hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam baru, alam rupa atau dari alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam cipta atau dari alam makhluk.

Sebagai akibat dari al-fana ’ adalah al-baqa ’ yang berarti terus menerus sebagai lawan dari al-Fana ia berarti tetap ada dan merupakan sifat wajib Tuhan.

Menurut teolog, bahwa hanya Allah yang baqa’. Dan tidak mengalami kehancuran (al-fana), melainkan kekal selamanya (al-baqa). Didasarkan firman Allah Q.S. al-Qasas/28: 88.

Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah saru-satuNya yang bersifat baqa’ (ada selama-lamanya tanpa berkesudahan), sementara alam ciptaanNya bersifat fana’ (akan hancur). Dilain ayat dipertegas lagi dalam Q.S. al-Rahman /55: 26-27.

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Dalam ajaran tasawuf dipahami baqa sebagai kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia, karena lenyapnya sifat basyariyah, maka yang tetap adalah sifa-sifat Ilahiyah.

Fana’ dan Baqa’ merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan datang secara beriringan. Ibnu Qayyum menyebutkan bahwa al-Fana’ dan al-Baqa’ itu dua bentuk yang pada hakekatnya adalah satu. Dicontohkan Ibn al-Saraj al-Thusiy bahwa sifat kemanusiaan senantiasa ada sebagaimana warna hitam tidak hilam dari warna hitamnya dan warna putih tidak hilang dari warna putihnya, tetapi yang berubah dan hilang adalah sifat kemanusiaannya atau akhlaknya.

Mengenai asal-usul pemikiran al-fana’ ini terdapat beberapa versi, ada yang menyatakan berasal dari diluar agama Islam yaitu India melalui Persia masuk dalam Islam. Ada pula yang menganggap sumbernya dari unsu-unsur kebudayaan luar Islam yang kemudian membentuk dirinya sendiri dalam Islam. Tapi yang jelas bahwa pemikiran tidak bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya.

Al-Jurjani memandang bahwa fana’ itu dari aspek akhlak adalah gugurnya sifat-sifat tercela sebagaimana baqa’ menunjukkan adanya sifat terpuji. Fana’ itu terbagi kepada dua, yaitu: pertama, aspek akhlak yang diperoleh dengan memperbanyak riyadlah , dan kedua, tidak merasakan lagi adanya alam beserta segenap isinya, yaitu dengan tenggelam dalam keagungan Tuhan dan menyaksikan al-Haq.

Lain halnya al-Sarraj, dia berpendapat fana’ itu suatu keadaan yang membawa kekhususan yang positif bagi al-fana yang disebut al-baqa’.

Fananya kebodohan adalah baqanya ilmu, fananya kemaksiatan adalah baqanya ketaatan, fananya kelalaian adalah baqanya ingatan, dan fananya penglihatan hamba adalah baqanya penglihatan inayat Allah.