Apa yang di maksud dengan efek distorsi dalam pemilu?

ds

cara teoretis, sistem pemilihan proporsional (multi-member constituency) sesungguhnya justru merupakan sistem yang mengecilkan peluang terjadinya disproporsionalitas antara jumlah suara dan jumlah kursi.

Dalam sejarah perkembangan sistem pemilihan, salah satu alasan munculnya sistem proporsional adalah reaksi terhadap mekanisme sistem distrik (singlemember constituency) yang cenderung menghasilkan sebuah efek distorsi (distortion effect). Efek distorsi adalah munculnya ketidakproporsionalan antara jumlah suara yang diraih dengan jumlah kursi yang didapatkan.

Berdasarkan pengalaman yang kerap terjadi di Inggris, sebuah partai yang memiliki jumlah suara lebih sedikit mungkin saja justru mendapatkan kursi lebih banyak di parlemen. Kehadiran efek distorsi ini karena adanya prinsip the winner takes alldan keterwakilan ruang/atau distrik. Negara dibagi menjadi beberapa distrik, kemudian partai pemenang akan mengambil jatah kursi yang ada di distrik itu (takes all), sedangkan jumlah suara yang didapatkan oleh partai yang tidak menang akan hangus dan tidak bisa diakumulasikan dengan suara yang dimilikinya di distrik lain.

Dalam situasi ini, mungkin saja sebuah partai yang sebenarnya mendapatkan suara merata dan secara akumulatif di tingkat nasional lebih banyak namun selalu tidak berhasil menjadi nomor satu di distrik-distrik yang ada,mendapatkan jumlah kursi yang sangat minim di parlemen. Dalam kasus Indonesia,efek distorsi ternyata juga dapat terjadi pada sistem proporsional.

Munculnya efek distorsi itu pada dasarnya disebabkan setidaknya oleh dua hal.Pertama,keinginan agar suara di luar Jawa lebih diperhatikan dan berimbang dengan suara di Jawa,yang lebih padat penduduknya. Akibatnya ”harga”kursi di Jawa lebih mahal ketimbang di luar Jawa. Tampaknya, semangat meng-hargai pluralisme dan proporsionalitas Jawa-non-Jawa menjadi pertimbangan utama saat UU Pemilu ditetapkan, kemudian menjadi landasan bagi Pemilu 2004.

Namun,memang belakangan partai yang memiliki konsentrasi suara di Pulau Jawa, seperti PKB, harus membayar mahal mengingat tingginya harga kursi di Jawa. Kedua, mekanisme pelaksanaan BPP yang cenderung longgar dan memberikan angin terhadap partaipartai kecil dan menengah.Hal ini karena prinsip yang digunakan adalah kursi atas dasar sisa suara dibagikan secara berurutan dimulai dari parpol yang memiliki sisa suara terbanyak sampai yang tersedikit.

Hal yang menjadi persoalan adalah jumlah suara sah partai kecil yang tidak mencapai BPP pun dianggap sebagai sisa suara. Akibatnya, mungkin saja sebuah partai yang tidak dapat menyentuh BPP,namun karena suara sahnya (sisa suara) termasuk paling banyak, partai tersebut justru mendapatkan kursi di parlemen.

Atas dasar ini,menurut PKB, perlu ada mekanisme ambang batas suara yang harus dilampaui sebuah partai sebelum dinyatakan layak untuk mendapatkan kursi atas dasar sisa suara, dengan akumulasi sisa suara ditarik sampai tingkat provinsi atau pada level nasional,sebagaimana yang diusulkan oleh Partai Golkar dan PDIP.

Sumber: Noor,Firman.Quo vadis Demokrasi kita?. Jakarta: Wahana semesta intermedia, 2015