Apa yang Anda ketahui tentang Taman Nasional Way Kambas?

Taman Nasional Way Kambas
Taman Nasional Way Kambas adalah taman nasional perlindungan gajah yang terletak di daerah Lampung tepatnya di Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur, Indonesia.

Taman Nasional Way Kambas terletak di ujung selatan Sumatera, 110 km dari Bandarlampung, yang Taman Nasional Way Kambas (TNWK) adalah salah satu cagar tertua di Indonesia. Ini menempati 1.300 km persegi dari hutan dataran rendah pantai sekitar Sungai Way Kambas di pantai timur Provinsi Lampung. TNWK sangat erat kaitannya dengan gajah, karena selain menjadi tempat perlindungan bagi raksasa lembut tersebut, taman nasional ini juga dikenal sebagai tempat latihan mereka.

Way Kambas didirikan sebagai cagar oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1937. Sayangnya, antara tahun 1954 dan 1974 itu intensif penebangan. Pada tahun 1978, diusulkan sebagai taman nasional, dengan deklarasi sementara pada tahun 1989, dan deklarasi akhir tahun 1997.

Hal ini diyakini bahwa sekitar 200 gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranensis) hidup dalam taman nasional. Gajah Sumatera adalah salah satu dari tiga subspesies yang diakui Asian Elephant, dan asli Pulau Sumatera. Secara umum, Gajah Asia lebih kecil dibandingkan dengan Afrika dan memiliki titik badan tertinggi di kepala. Di antara gajah Asia, gajah Sumatera adalah yang terkecil, dengan tinggi bahu berkisar antara 2 meter dan 3,2 meter (6,6 kaki. 10,5 ft). Gajah liar Sumatera yang sebelumnya ditemukan di delapan Provinsi Sumatera. Namun, vegetasi yang padat dan hutan hujan tropis yang kusut membuat sulit untuk memperkirakan jumlah pasti mereka.

Taman Nasional Way Kambas (TNWK) adalah satu dari dua kawasan konservasi yang berbentuk taman nasional di Provinsi Lampung selain Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Taman Nasional Way Kambas ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 670/Kpts-II/1999 tanggal 26 Agustus 1999. Kawasan Taman Nasional Way Kambas mempunyai luas lebih kurang 125,631.31 ha. Secara geografis, Taman Nasional Way Kambas terletak di bagian tenggara Pulau Sumatera di wilayah Provinsi Lampung antara 40°37’–50°16’ Lintang Selatan dan antara 105°33’ – 105°54’ Bujur Timur seperti terlihat pada Gambar dibawah ini :

image

Pada tahun 1924, kawasan hutan Way Kambas dan Cabang disisihkan sebagai daerah hutan lindung bersama-sama dengan beberapa daerah hutan yang tergabung didalamnya. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936 oleh Resident Lampung, Mr. Rookmaker, dan disusul dengan Surat Keputusan Gubernur Belanda tanggal 26 Januari 1937 Stbl 1937 Nomor 38.

Suaka Margasatwa Way Kambas diubah menjadi Kawasan Pelestarian Alam (KPA) oleh Menteri Pertanian dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 429/Kpts-7/1978 tanggal 10 Juli 1978 dan dikelola oleh Sub Balai Kawasan

Pelestarian Alam (SBKPA). Kemudian pada tanggal 12 Oktober 1985, Kawasan Pelestarian Alam diubah menjadi Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) yang dikelola oleh SBKSDA dengan luas sebesar 130,000 ha. Perubahan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 177/Kpts-II/1985 tanggal 12 Oktober 1985.

Pada tanggal 1 April 1989 bertepatan dengan Pekan Konservasi Nasional di Kaliurang Yogyakarta, Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam dideklarasikan sebagai Kawasan Taman Nasional Way Kambas berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 444/Menhut-II/1989 yang dikelola oleh Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Way Kambas yang bertanggungjawab langsung kepada Balai Konsevasi Sumber Daya Alam II Tanjung Karang. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-II/1997 pada tanggal 13 maret 1997, Sub Balai Konsevasi Sumber Daya Alam Way Kambas dinyatakan sebagai Balai Taman Nasional Way Kambas.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-II/1997, kawasan Taman Nasional Way Kambas memiliki peran sebagai kawasan pelestarian alam untuk melindungi kawasan yang kaya akan berbagai satwa liar, diantaranya adalah tapir ( Tapirus indicus ), gajah Sumatera ( Elephas maximus sumatranus ), enam jenis primata, rusa sambar ( Cervus unicolor ), kijang ( Muntiacus muntjak ), harimau Sumatera ( Panthera tigris ), dan beruang madu. Badak Sumatera pada saat itu belum ditemukan sehingga tidak menjadi salah satu bahan pertimbangan yang dipergunakan untuk dasar penetapan. Namun demikian, setelah ditetapkannya sebagai kawasan suaka margasatwa hampir selama dua puluh tahun, terutama pada periode 1968-1974, kawasan ini mengalami kerusakan habitat cukup berat, yaitu ketika kawasan ini dibuka untuk Hak Pengusahaan Hutan, kawasan ini beserta segala isinya termasuk satwa, banyak mengalami kerusakan. Dari jenis satwa tersebut, sampai dengan saat ini keberadaannya masih terjaga dengan baik, antara lain yang dikenal dengan The Big Five mammals yaitu tapir ( Tapirus indicus ), gajah Sumatera ( Elephant maximus sumatranus ), harimau Sumatera ( Panthera tigris ), badak Sumatera ( Diserohinus sumatranus ) dan beruang madu ( Helarctos malayanus ) ( Waykambas np 2014). Di sebelah timur, Taman Nasional Way Kambas dibatasi oleh garis pantai sepanjang 65 kilometer serta di sebelah selatan dan baratnya dibatasi oleh sungai- sungai besar, diantaranya sungai Penet (30 km), Way Sukadana (18 km), Way Pegadungan (95 km), dan Way Seputih (20 km). Di dalam kawasan Taman Nasional ini terdapat pemukiman penduduk musiman di sepanjang pantai timur, antara lain di Kuala Penet, Kuala Kambas, Kuala Sekapuk, Tanjung Sekopong, dan Kuala Wako (Hudiyono, 2008).

Iklim di Taman Nasional Way Kambas


Menurut Hadiyono (2008), Taman Nasional Way Kambas terletak di daerah yang beriklim basah dengan musim kemarau antara bulan Juli sampai Oktober.

Berdasarkan curah hujan bulanan dari stasiun pengukur curah hujan Braja Sakti, curah hujan rata-rata per tahun sebesar 2496 mm per tahun dengan rata-rata musim kemarau 3 bulan dan rata-rata musim penghujan 8 bulan. Jadi, kawasan Taman Nasional Way Kambas dan sekitarnya termasuk dalam tipe iklim B.

Iklim mikro di dalam kawasan telah mengalami perubahan penting yang disebabkan oleh pembalakan dan pembakaran hutan pada beberapa wakttu yang lalu. Keadaan kelembaban, suhu udara dan tanah bervariasi kecil sekali pada hutan primer tetapi fluktuasi harian tempat terbuka seperti alang-alang dan hutan sekunder sangat besar.

Besarnya curah hujan di musim kemarau dari bulan April sampai Mei dan Oktober sampai November sangat bervariasi, sedangkan di musim penghujan hanya sedikit variasinya. Selain musim kemarau, seluruh kawasan menerima curah hujan rata-rata 200 mm per tahun yang berarti sedikit di bawah rata-rata curah hujan di kawasan pegunungan Sumatera yang berkisar antara 4.500-5.000 mm per tahun.

Ekosistem Hutan dan Vegetasi di Taman Nasional Way Kambas


Taman Nasional Way Kambas mempunyai keanekaragaman jenis flora yang tersebar kedalam tipe-tipe vegetasi dan ekosistem hutan mangrove, hutan rawa, hutan dataran rendah dan hutan pantai (Hadiyono, 2008) :

  1. Ekosistem hutan mangrove, didominasi oleh jenis api-api (Avicennia marina Vierh), Rhizopora sp, dan Nypa fruticans Wurmb . Tipe tersebut terdapat di sepanjang Way Kambas, Sekapuk, Wako, dan Way Pedagungan.

  2. Ekosistem hutan rawa, yang terdapat pada daerah rawa, didominasi tanaman Gelam (Melaleuca leucadendro), Nimbung (Oncoasperma tigilaris B1) . Tipe ini terdapat di Way Biru, Wako dan Way Penet.

  3. Ekosistem hutan dataran rendah, yang ada didominasi oleh tanaman jenis Meranti (Shore sp), Salam (Eugeniapolyantha ), Rawang (Glochidion arborescens) dan Minyak (Dipterocarpus gracilis) . Tipe ini terdapat di daerah Susukan Baru, Plang Hijau, Way Kanan, Rantau Jaya Ilir dan di daerah Rasau.

  4. Ekosistem hutan pantai, dengan jenis vegetasi seperti Ketapang (Terminatia catappa), Cemara Laut (Casusriana equisetifolia) dan Pandan (Pandanus sp). Tipe ini terdapat di sepanjang pantai dari Kuala Penet sampai Kuala Seputih.

Hutan Way Kambas telah mengalami kerusakan pada 20 tahun terakhir ini, karena adanya kegiatan pembalakan dalam skala besar pada tahun 1968-1974. Menurut FAO (1979), flora Way Kambas terbagi dalam tipe vegetasi yaitu hutan sekunder 5.200 Ha, semak belukar 65.000 Ha dan alang-alang 26.000 Ha serta mangrove 1.300 Ha (Anonim, 1990). Flora yang mendominasi hutan sekunder adalah Meranti (Shore asp), Minyak (Dipterocarpus gracilis), Sempur (Dillenia excels), Puspa (Schima walichi), Jabon (Anthocephalus cadambe), dan Rengas (Gluta rengas. Daerah rawa atau daerah yang selalu basah ditumbuhi oleh Nimbung Oncosperma tigilaria), Rotan (Calamus sp), Pandan (Pandanus sp), Gelam (Melaleuca leucodendro), Pinang merah (Chirtotachy tekka) dan jenis rumput. Jenis tanaman reboisasi adalah Lamtorogung (Leucena leucochepala), Kaliandra (Caliandra sp), dan Jambu monyet (Anacardium occentale) (Hadiyono, 2008).