Apa yang anda ketahui tentang Sunan Gunung Jati ?

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil adalah salah seorang dari Walisongo, ia dilahirkan Tahun 1448 Masehi dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim (seorang penguasa mesir) dan Nyai Rara Santang, Putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran (yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Mudaim).

Syarif Hidayatullah sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi, yang kemudian dengan dukungan Kesultanan Demak dan Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana (Raja Cirebon pertama sekaligus uwak Syarif Hidayatullah dari pihak ibu), ia dinobatkan menjadi Raja Cirebon ke-2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati.

Apa yang anda ketahui tentang Sunan Gunung Jati ?

Nyai Lara Santang sendiri lahir tahun 1426 Masehi. Di atas disebutkan bahwa Cakrabuawana beserta adiknya yang bernama Nyai Lara Santang pergi berguru kepadaSyakh Datuk Kahfi yang sudah bermukim dan mendirikan perguruan agama Islam di Bukit Amparan Jati. Atas saran Syekh Datuk Kahfi, Cakrabuwana beseta Nyai LaraSantang pergi menunaikan ibadah haji. Setelah melaksanakan ibadah haji, Cakrabuwana mendapat gelar Syekh Duliman atau Abdullah Iman,sedangkan Nyai Lara Santang mendapat gelar Syarifah Mudaim (Atja,1972:48-49).

Diceritakan bahwa Syarifah Mudaim ketika masih di Makkah dinikahi oleh Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah. Ia adalah anak dari Nurul Amin dari wangsa Hasyim yang nikah dengan puteri Mesir. Hasil dari pernikahan Syaifah Mudaim dengan Sultan Mahmud ini lahirlah Syarif Hidayat. Syarif Hidayat lahir di Makkah pada tahun 1448 Masehi.

Setelah dewasa, Syarif Hidayat kembalke tanah leluhur ibunya, Tanah Sunda. Dalam perjalanan pulang dari Mesir ke Tanah Sunda, Syarif Hidayat singgah di beberapa tempat, yaitu Gujarat, Pasai, Banten, dan Gresik.

Tempat-tempat ini terkenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di Indonesia. Ketika singgah di Pasai, Syarif Hidayat bermukim agak lama. Ia berguru kepada Syekh Ishak, ayah Sunan Giri. Ketika singgah di Banten didapatkannya di daerah itu sudah ada yang menganut Islam berkat upaya dakwahSunan Ngampel. Dari Banten Syarif Hidayat pergi ke Ampel Denta (Gresik) untuk menemui Syekh Rahmat (Sunan Ngampel) yang sudah terkenal sebagai guru agama Islam di Pulau Jawa (Ekadjati, 1975: 92).
Sunan Ngampel, sebagai pemimpin Islam di Pulau Jawa, memberi tugas kepada Syarif Hidayat untuk menjadi guru agamadan menyebarkan Islam di Bukit Sembung (Cirebon). Memenuhi perintah Sunan Ngampel tersebut, Syarif Hidayat pergi ke Cirebon dan tiba di sana tahun 1470 Masehi. Sejak itu beliau mendapat gelar Maulana Jati atau Syekh Jati.

Pada tahun 1479 Masehi Syarif Hidayat diangkat menjadi Tumenggung di Cirebon dan mendapat gelar Susuhunan Jati. Selain sebagai pemimpin pemerintahan, Susuhunan Jati mendapat tugas dari para wali untuk menjadi pemimpin agama Islam di Cirebon. Cirebon pun ditetapkan sebagai pusat penyebaran Islam di Tanah Sunda.

Pada tahun 1526 Masehi, Susuhunan Jati berkeliling ke seluruh Tanah Sunda untuk menyebarkan agama Islam. Karena kesibukan Susuhunan Jati menyebarkan Agama Islam, kedudukan beliau sebagai penguasa negeri Cirebon diwakilkan kepada puteranya yang bernama Pangeran Pasarean. Pada tahun 1552 Pangeran Pasarean meninggal dunia. Kemudian penguasa negeri Cirebon diserahkan kepada Fadhilah Khan pada tahun 1552 Masehi. Menurut naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Fadhilah Khan adalah menantu Susuhunan Jati sendiri. Fadhilah Khan berkuasa di Cirebon hingga tahun 1570.

Dengan demikian, bila riwayat hidup Syarif Hidayat diringkaskan, maka dapat diuraikan sebagai berikut: berkait dengan nama,diperoleh sejumlah nama yang menunjukkan orang yang sama yaitu Sunan Gunung Jati, Susuhunan Jati, Syarif Hidayat, Syarif Hidayatullah, Makhdum Jati, dan Sayyid Kamil. Syarif Hidayat lahir di Mekkah tahun 1448 Masehi, meninggal di Cirebon tahun 1568 Masehi. Antara tahun 1479 –1568 Syarif Hidayat memegang kekuasaan di Cirebon sebagai kepala negara dan kepala agama dengan luaswilayah meliputi hampir seluruh Tanah Sunda bagian utara. Akan tetapi sejak 1528–1552 kekuasaan kenegaraan diwakilkan kepada puteranya, Pangeran Pasarean; dan setelah puteranya wafat dari tahun 1552 hingga 1570 kekuasaan diwakilkan kepada Fadhilah Khan

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah salah satu dari penyiar agama Islam di Tanah Jawa bersama kesembilan wali yang dikenal dengan nama Walisongo. Sunan Gunung Jati merupakan cucu dari penguasa Tanah Sunda, Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Sangat unik melihat kenyataan bahwa Sunan Gunung Jati adalah penyiar agama Islam yang terkemuka, karena Kakeknya Prabu Siliwangi adalah Raja dari kerajaan bercorak Hindu-Budha di Jawa Barat.

Cirebon baru menjadi kerajaan yang berdaulat dan tidak lagi berada dibawah kekuasaan manapun, ketika Sunan Gunung Jati berkuasa dan melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Setelah merdeka, Cirebon menjadi salah satu poros penyebaran Islam di Tanah Jawa. Sunan Gunung Jati sebagai Raja juga berperan menjadi pemuka agama Islam dan menjadi salah satu dari Walisongo.

Silsilah Syarif Hidayatullah


Menurut buku Sejarah Cirebon yang ditulis Pangeran Suleman Sulendraningrat, Sunan Gunung Jati adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad S.A.W. Sedangkan menurut J.L.A. Brandes yang mendasarkan studinya pada Babad Cirebon menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah orang Indonesia asli, putra dari Lara Santang, Putri Prabu Siliwangi.

Tentang siapa Sunan Gunung Jati sebenarnya masih sulit dipastikan hingga saat ini, tetapi penulis berpendapat bahwa diantara kedua teori tersebut memiliki perbedaan dan persamaan. Perbedaannya adalah antara buku Sejarah Cirebon disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati adalah bukan Fatahillah, sedangkan de Graff berpendapat bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah sosok yang sama yang memiliki nama lain Tagaril. Persamaannya adalah bahwa Sunan Gunung Jati dikatakan orang Indnoesia asli, yaitu merupakan putra dari Syarifah Muda’im atau Nyimas Lara Santang yang kemudian menikah dengan penguasa Mesir keturunan ke-22 Nabi Muhammad S.A.W.

Semasa membangun Cirebon, Pangeran Cakrabuana dan Nyimas Lara Santang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi untuk menunaikan ibadah haji, sedangkan Nyai Indang Geulis diperkenankan tinggal karena sedang hamil tua. Sementara Pangeran Cakrabuana dan Lara Santang menunaikan ibadah haji, Ki Gedeng Alang-Alang menggantikan Pangeran Cakrabuana untuk mengurus Cirebon.

Selama menunaikan ibadah haji, mereka tinggal di rumah Syekh Bayanullah sambil mempelajari ilmu agama Islam, seorang saudara muda dari dari Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Sesampainya di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyimas Lara Santang berguru pula pada Guru Besar Islam, Syekh Abdul Jadid, kemudian mendapat gelar haji pula darinya. Pada saat ibadah haji pula Nyimas Lara Santang dipertemukan dengan jodohnya, Syarif Abdillah Raja Mesir ayahanda Syarif Hidayatullah.

Nyimas Lara Santang mendapat jodoh Maulana Sultan Makhmud alias Syarif Abdullah, seorang putra dari Nurul Alim, dari Bangsa Hasyim, berasal dari Bani Ismail, yang pada masanya memerintah di Ibu Kota Ismailiyah / Negeri Mesir. Untuk lebih mudah diterima dikalangan lingkungan Arab, Syarif Abdillah mengganti nama Nyimas Lara Santang dengan nama Syarifah Muda’im dan Pangeran Cakrabuana menjadi Haji Abdullah Iman.

Pernikahan Syarif Abdillah dan Syarifah Muda’im dikaruniai dua anak yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Syarif Hidayatullah adalah nama asli dari pemuka Islam di Cirebon, Sunan Gunung Jati yang kemudian menjadi Sultan pertama di Kesultanan Cirebon.

Setelah selesai menunaikan ibadah haji dan belajar ilmu agama di Arab, Pangeran Cakrabuana memutuskan untuk kembali ke Cirebon. Pada saat akan kembali ke Cirebon, Pangeran Cakrabuana mampir ke Campa dengan maksud akan berguru pada Syekh Maulana Ibrahim Akbar yang menetap disana. Pangeran Cakrabuana rupanya masih belum puas apa yang telah dia dapat selama ini di Arab. Pangeran Cakrabuana masih ingin mempelajari ilmu agama, dan lain-lain dari seorang Syekh Maulana di Campa. Campa sendiri merupakan salah satu tempat berkumpulnya para orang-orang keturunan Tiongkok yang beragama Islam.

Sekembalinya Pangeran Cakrabuana di Cirebon, beliau sangat kagum atas kemajuan Cirebon. Ki Gedeng Alang-Alang sebagai pemimpin dukuh saat Pangeran Cakrabuana/Ki Kuwu ibadah haji mengembalikan kekuasaan kepada Pangeran Cakrabuana. Setelah penyerahan, Pangeran Cakrabuana meningkatkan pedukuhan Cirebon menjadi Negeri Caruban Larang beserta pemerintahannya.

Kabar mengenai Negeri Caruban Larang menyebar dengan cepat kepada Prabu Siliwangi sebagai Raja Pajajaran, karena baru pertama kali ada negeri dengan pemerintahan berpola Islam. Prabu Siliwangi yang pada awalnya gusar akan kelahiran Negeri Caruban Larang kemudian malah merestui bahkan memberi gelar pada Pangeran Cakrabuana dengan gelar Sri Manggana. Saat peresmian Negeri Caruban Larang, adik Pangeran Cakrabuana, Raja Sengara/Kian Santang yang hadir memutuskan untuk menetap di Cirebon untuk mendalami Islam.

Caruban Larang berkembang menjadi negeri yang ramai dikunjungi banyak pedagang lokal maupun pedagang asing, karena kemajuan itu sarana- prasarana terus ditingkatkan. Ia membangun istana negeri yaitu istana Pakungwati, yang diambil dari nama puterinya sendiri yang lahir ketika ia masih ditanah suci Mekah. Dalem Pakungwati adalah cikal bakal berdirinya Kesultanan Cirebon, kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Sunan Gunung Jati kelak menjadi Sultan pertama di Kesultanan Cirebon.

Sunan Gunung Jati merupakan keturunan arab dan Indonesia Asli. Dari garis keturunan ibunya, Sunan Gunung Jati merupakan cucu dari Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Sunan Gunung Jati mempunyai darah dari Nabi Muhammad S.A.W. yang diperoleh dari ayahnya, Syarif Abdillah. Dalam buku Sejarah Cirebon , Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah merupakan keturunan ke-22 Rasullullah.

Pendidikan Syarif Hidayatullah


Perjalanan Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah ke Cirebon tidak langsung, melainkan beberapa kali singgah dibeberapa tempat dengan waktu yang tidak menentu. Tampat yang mereka singgahi antara lain di Mekkah, Gujarat, dan Pasai. Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, di Mekkah Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajmuddin Al Kubri selama dua tahun, dan pada Syekh Ataulahi Sadzali yang bermahzab Syafi’i selama dua tahun. Selain Mekkah, ia juga belajar di Baghdad untuk mondok dan belajar ilmu Tasawuf. Setelah Baghdad, Syarif Hidayatullah melanjutkan perjalanan hingga sampai di Gujarat. Beberapa saat di Gujarat kemudian Syarif Hidayatullah singgah di Pasai dan berguru dipondok saudaranya yaitu Syaid Ishak, yang pernah menyebarkan Islam pulau di Jawa.

Tasawuf atau sufisme dalam atau mistisme Islam adalah kesadaran murni yang mengarahkan Jiwa secara benar kepada amal dan ibadah yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari keduniaan, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.

Pernikahan Syarif Hidayatullah


Diceritakan di buku Sejarah Cirebon beberapa persinggahan Sunan Gunung Jati yang kemudian menikah dengan beberapa wanita. Pernikahan yang pertama adalah dengan Nyai Babadan, pada tahun 1471 M yang merupakan putri Ki Gedeng Babadan. Pada tahun 1477 M Nyai Babadan wafat tanpa putra. Kemudian pada tahun 1484 M menikah dengan Syarifah Baghdad, adik dari Maulana Abdurakhman Baghdadi dan dianugerahi dua putra yaitu Pangeran Jaya Kelana pada 1486 M, dan Pangeran Brata Kelana pada tahun 1489 M.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pada tahun 1479 M, Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyai Ratu Pakungwati yang bersemayam di Dalem Agung Pakung Wati. Dianugerahi dua anak yaitu Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin/Pangeran Pesarean. Pakungwati kemudian menjadi permaisuri Sunan Gunung Jati di Keraton Pakungwati. Dari keraton inilah perkembangan Cirebon dibawah Sunan Gunung Jati berlangsung. Tepatnya pengangkatan Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di Kesultanan Cirebon adalah pada tahun 1479 M.

Pernikahan Sunan Gunung Jati sebelumnya adalah dengan Nyai Kawunganten pada 1475 M, seorang adik dari Bupati Banten. Dari pernikahan ini Sunan Gunung Jati dikaruniai dua anak yaitu Ratu Winaon pada tahun 1477 M, dan Pangeran Sebakingkin pada 1479 M. Pangeran Sebakingkin diangkat menjadi Bupati Banten mewakili Sunan Gunung Jati pada 1526 M bergelar Pangeran Hasanuddin, ketika Sunan Gunung Jati menguasai sebagian besar wilayah Jawa Barat. Kemudian pada tahun 1568 M, saat Sunan Gunung Jati wafat, Pangeran Hasanuddin menjadi Sultan pertama Banten dengan Gelar Sultan Hasanuddin.

Pernikahan Sunan Gunung Jati terjadi pula dengan seorang berasal dari keturunan Dinasti Ming, seorang putri Raja Yung Lo bernama Hong Gie pada tahun 1485. Putri ini adalah penerus Kaisar Ong Tien (Li A Nyon Tin) dan orang mengenalnya dengan nama Putri Ong Tien. Sebenarnya Putri Ong Tien adalah Janda dari Ki Gedeng Luragung, meninggalkan seorang putra bernama Pangeran Luragung. Pangeran Luragung kemudian diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati.

Pernikahan Sunan Gunung Jati adalah salah satu bukti bahwa perkawinan merupakan cara yang efektif untuk mengikat hubungan politik. Dalam rangka memperkuat kekuatan politik, jalur perkawinan merupakan jalan yang lazim dijalani para penguasa untuk memperkuat hubungan diplomatis dengan penguasa lain, pernikahan dengan Putri Ong Tien contohnya. Dari pernikahan ini Kesultanan Cirebon memiliki banyak peninggalan khas Negeri China. Seperti halnya menurut Ibu Hasan, salah satu keturunan Keraton Kaprebonan Cirebon yang berpendapat bahwa adanya pengaruh dari China dibuktikan dengan banyaknya ornamen keramik khas China yang terdapat didinding Keraton.

Berbagai hiasan keramik China di dinding keraton ini terdapat di sebagian besar Keraton Kasepuhan Cirebon, bukti dari adanya hubungan antara Kesultanan Caruban dengan kerajaan di China.

image

Pemerintahan Syarif Hidayatullah


Sunan Gunung Jati selain dikenal sebagai ulama besar di tanah Sunda, beliau juga dikenal sebagai pendiri dinasti kerajaan Islam di Jawa Barat. Sebelum sampai di Cirebon, Syarif Hidayatullah singgah di Banten yang sebagian besar masyarakatnya telah memeluk Islam. Sunan Ampel atau Sayid Rahmat ternyata telah mengislamkan daerah ini. Disini Syarif Hidayatullah menyadari tugas para Wali menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing, dan Syarif Hidayatullah mendapat tempat di Cirebon (Pesambangan) bersama Pangeran Cakrabuana/Walangsungsang. Hubungan keluarga antara Syarif Hidayatullah dan beberapa anggota Walisongo mempermudah Syarif Hidayatullah dalam memulai Islamisasi di Cirebon.

Sesampainya di tanah Cirebon, Syarif Hidayatullah berkembang menjadi sosok besar, mubaligh Islam di Cirebon yang juga dijuluki Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah juga mendirikan Kesultanan Cirebon dan menjadi Sultan pertama sebagai pendiri dinasti dan melepaskan diri dari pengaruh Pajajaran.

Dibawah kekuasaannya, Cirebon menjelma menjadi kerajaan Islam yang besar, pengaruh Islam bisa berkembang hingga hampir keseluruh Jawa Barat dan Sunda Kelapa. Perannya sebagai salah satu dari Walisongo juga mempermudah sosialisasi Islam di seluruh Jawa bersama para Wali Lainnya.

Sementara itu, Pangeran Cakrabuana atau Abdullah Iman atau Walangsungsang menyiarkan agama Islam di Caruban dan lambat laun banyak orang memeluk Islam hingga Abdullah mendirikan Masjid Jelagrahan dan rumah besar.

Masjid Jelagrahan ini adalah masjid pertama di Cirebon dan masih ada hingga saat ini. Hingga saat ini perkembangan Caruban masih signifikan didalam wilayah Caruban dengan makin banyaknya pemeluk Islam.

Perkawinan Walangsungsang dengan Nyai Indang Geulis dikaruniai seorang putri yang kemudian diberi nama Nyai Pakungwati. Nama Pakungwati pulalah yang dijadikan nama keraton pertama yang dibangun Walangsungsang.

Keraton Pakungwati ini adalah cikal bakal berdirinya Keraton Kasepuhan yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati. Hal ini terjadi karena sesampainya Syarif Hidayatullah di Caruban ia dijodohkan dengan Nyai Pakungwati dan mendirikan Keraton Kasepuhan sebagai keraton utama, Keraton Pakungwati kemudian berada di sebelah barat Keraton Kasepuhan sekarang yang selanjutnya pemerintahan Cirebon diteruskan oleh keturunan Sunan Gunung Jati secara turun-temurun.

Seperti kutipan dari buku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon dibawah ini :

Syahdan pada suatu hari para murid pada berkumpul. Ki Kuwu sudah menghadap. Pangeran Panjunan, Pangeran Kejaksan, Syekh Datuk Kahfi, Syekh Majagung, Syekh Lemah Abang, Syekh Bentong, Syekh Magrib dan para Gegedeng sudah pada datang. Ki Kuwu berkata,”Sekarang Rama memasrahkan putri saya nama Ratna Pakung Wati dan keratonnya berikut seluruh wilayah Cirebon yang dapat Babakyaksa/membangun si Rama pribadi, terimalah semuanya, semoga putra menjabat sebagai Nata/Raja Cirebon memangku Keraton Pakung Wati.” Jeng Maulana menerimanya menurut kehendak Rama Uwa/Pak dhe. Berkata Pangeran Panjunan,”Pla si Raka (Kakak) menyerahkan adik Siti Baghdad serombongannya berikut Dukuh Panjunan serakyatnya, hanya semoga rakyat Panjunan diberi tanah untuk penghidupannya (tanah liat untuk membuat keramik) seturunannya, oleh karena si Raka mau pergi bertapa.” Syekh Datuk Kahfi dan Pangeran Kejaksan pula menyerahkan penganut-penganutnya, Jeng Maulana menerimanya.

Ki Kuwu berkata, ”Putra semoga memasuki Keraton Pakung Wati dan hari besok dinobatkan.” Jeng Maulana menyetujuinya. Segera dari Gunung Jati Jeng Maulana diiring oleh rombongan segenap para murid, para Syekh, para Pangeran, para Gegedeng, bertolak ke Keraton Pakung Wati, datang sudah didalam Keraton. Ki Kuwu bergembira sekali menyelenggarakan hidangan kehormatan, dan malam jumat Jeng Maulana lalu menikah dengan Putri Sri Mangana yang bernama Pakung Wati. Jeng Maulana Insan Kamil atau Sunan Gunung Jati seba’danya nikah pada waktu tengah malam pergi ke Gunung Jati shalat hajat empat rokaat, semoga keridhoan Allah menjadi Nata/Raja mohon terus langsung seketurunannya dan ridha-Nya bumi suka Negara …

Kutipan di atas menceritakan tentang pernikahan Syarif Hidayatullah yang kemudian dijuluki Sunan Gunung Jati dengan putri dari Kuwu Cerbon/Pangeran Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana, Nyai Pakungwati. Pernikahan ini dilangsungkan dihadapan para penguasa Caruban sekaligus penyerahan Keraton Pakungwati dan wilayah disekitar Caruban untuk kemudian menjadi dibawah kekuasaan Syarif Hidayatullah sebagai pemimpin Cirebon selanjutnya. Para penguasa ini memiliki nama julukan sesuai dengan nama daerah tempat bersemayamnya, seperti Panjunan, Kejaksan, dsb. Selain para penguasa Caruban, pernikahan ini disaksikan juga oleh para Wali.

Kutipan diatas juga memberi beberapa fakta tentang beberapa nama tokoh yang terlibat dalam pernikahan Syarif Hidayatullah dengan Nyai Pakungwati. Fakta yang pertama adalah nama lain dari Pangeran Walangsungsang adalah Sri Mangana, Ki Kuwu , Pangeran Cakrabuana, dan Haji Abdullah Iman. Terakhir adalah nama lain dari Syarif Hidayatullah adalah Sunan Gunung Jati, dan Maulana Insan Kamil. Penyebutan nama ini sering berubah-ubah sesuai dengan kondisi tertentu, dimana orang yang dimaksud tetap orang yang sama.

Kutipan selanjutnya dari Babad Tanah Sunda Babad Cirebon yang menceritakan tentang berdirinya Keraton Kasepuhan adalah sebagai berikut :

… Jeng Maulana sudah dikabul hajatnya oleh Allah keridhoannya jadi Nata/Raja, lalu pulang ke Keraton Pakung Wati terus shalat subuh dalam Masjid Jelagrahan. Seluruh para Wali dan Wadya Cirebon sudah berkumpul, para Pangeran, para Gegedeng, dan Ki Kuwu Sri Mangana, setelah Jeng Maulana/Syarif Hidayatullah dinobatkan oleh Wali Sang Jawa Dwipa sebagai Kepala Negara Cirebon, antara ba’da Jum’at mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwasannya Jeng Maulana Insan Kamil menjabat sebagai Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata Agama Aulya Allah Kutubijaman Kolifaturrasulullah s.a.w., pada tahun 1479 M. Patih Keling diangkat menjadai patihnya disebut Dipati Suranenggala, Pepatih

Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon. Jeng Maulana sesudah dinobatkan sebagai Yang Sinuhun. Kanjeng susuhunan Cirebon yang bersemayam di Keraton Pakung Wati Cirebon. Susuhunan Cirebon diakui pula oleh Wali Sanga Jawa Dwipa sebagai Panetep Panata Agama seluruh Sunda. Sejak tahun ini pula Cirebon memberhentikan upeti tahunannya kepada Pajajaran dan Rajagaluh. Pada tahun ini pula Wali Sanga Jawa Dwipa mengakui Raden Patah sebagai Sultan Demak. Namun, Brawijaya Majapahit masih mengakui Negara Demak sebagai Negara bagian Majapahit, hanya Majapahit tidak mengadakan tindakan apa-apa.

Pernikahan Sunan Gunung Jati yang disertai penyerahan kekuasaan Pangeran Cakrabuana ke Sunan Gunung Jati juga menjadi penanda bahwa pada sekitaran tahun 1479 Negara Cirebon telah merdeka. Langkah besar yang diambil Sunan Gunung Jati adalah pada tahun 1483 menghentikan pengiriman bulubekti /upeti berupa garam dan terasi pada Kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini direstui oleh Pangeran Cakrabuana dan mendapat dukungan para walisongo. Dengan pemberhentian upeti Cirebon pada Pajajaran maka Kesultanan Cirebon dibawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati merdeka dan tidak berada dibawah pengaruh Kerajaan Pajajaran yang Hindu.

Selain itu, pengangkatan Syarif Hidayatullah menjadi Sultan di Cirebon menandakan bahwa Cirebon sudah memiliki hubungan dengan kekuatan Islam lainnya disepanjang Jawa. Selain itu, gelar yang didapat Sunan Gunung Jati sebagai Penata Agama wilayah Sunda menandakan bahwa kekuatan Islam yang disimbolkan dengan berdirinya Kesultanan Cirebon adalah bentuk nyata proses pengislaman yang dilakukan ditanah Jawa umumnya, tanah sunda khususnya. Selain berperan sebagai mubaligh di wilayah Cirebon untuk mengembangkan Islam ke seluruh Jawa Barat.

Sunan Gunung Jati juga mendapat gelar sebagai Wali Kutub setelah ada kesepakatan diantara dewan Walisongo. Penobatan wali kutub Sunan Gunung Jati ini merupakan hal yang sudah lama direncanakan para mubaligh Islam. Strategi perluasan Islam oleh para mubaligh yang kebanyakan keturunan nabi Muhammad S.A.W. ini termasuk di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, para tokoh penyebar Islam ini menghendaki pengangkatan Sunan Gunung Jati sebagai wali kutub dari daerah masrik /timur yang berkedudukan di Cirebon. Pengangkatan Sunan Gunung Jati dilakukan setelah wafatnya wali kutub dari daerah magrib /barat Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Wali Kutub berarti pemimpin para wali, setelah Sunan Ampel Denta Wafat, Dewan Walisongo sepakat mengangkat Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin, dank arena letak Cirebon berada ditengah-tengah pulau Jawa, maka Cirebon dijadikan Negara Puser Bumi berarti pusat negeri.

Pada tahun 1478 M pula Walisongo mengakui Raden Patah sebagai Sultan Demak, akhirnya Kesultanan Demak berdiri pada 1478 menjadi kerajaan Islam pertama di Jawa. Hal ini menandakan pengaruh Walisongo sangat besar dalam perkembangan agama Islam di Jawa. Baik di Demak maupun di Cirebon, Walisongo hadir dalam upacara-upacara penting.

Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari dua tahun setelah Syarif Hidayatullah lahir, Syarifah Muda’im kembali melahirkan Syarif Nurullah. Tidak lama kemudian ayahandanya, Syarif Abdillah meninggal dunia. Sepeninggal Syarif Abdillah, Kesultanan Mesir untuk sementara dilimpahkan kepada saudaranya Mahapatih Unkha Djutra dengan gelar Raja Onkah. Kedua pangeran ini belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Mesir.

Menurut buku Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon Syarif, Abdillah meninggal saat usia Syarif Hidayatullah menginjak usia dua puluh tujuh tahun. Sebagai putra tertua, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan ayahandanya memerintah dikota Isma’illiyah, akan tetapi Syarif Hidayatullah telah bertekad untuk melaksanakan harapan ibundanya Syarifah Muda’im/Lara Santang untuk menjadi mubaligh di tanah Jawa, di Caruban khususnya, akhirnya kekuasaan Kesultanan Mesir dilimpahkan ke adiknya, Syarif Nurullah.

Antara kedua buku diatas ada perbedaan tentang usia Syarif Hidayatullah dan kematian Syarif Abdillah beserta pelimpahan kekuasaannya. Usia Syarif Hidayatullah saat kematian Syarif Abdillah masih harus dikaji lebih mendalam karena belum ada kejelasan. Tentang pelimpahan kekuasaannya juga bisa jadi dari Syarif Abdillah turun ke Raja Onkah (Maha Patih Kesultanan Mesir) lalu setelah usianya mencukupi baru dilimpahkan kembali kepada Syarif Nurullah. Sedangkan Syarif Hidayatullah kembali ke Caruban bersama Syarifah Muda’im/Lara Santang. Syarif Hidayatullah dan Syarifah Muda’im kembali ke Caruban beberapa bulan setelah pengangkatan Syarif Nurullah sebagai Sultan Mesir. Seperti dikutip dalam kitab Purwaka Caruban Nagari berikut ini :

… kemudian Ki Syarif kembali pulang kembali ke negerinya (Mesir). Sang Mahapatih Unkha Jutra yang menjabat sebagai kedudukan ayahandanya almarhum –Syarif Hidayatullah- menyerahkan kepadanya pemerintahan dan kepemimpinan agama Islam di seluruh Kerajaan Mesir. Sedangkan untuk kepemimpinan agama Ki Syarif diberi nama Ibrahim. Beliau (Unkha Jutra) berkata pada Ki Syarif, “putraku, terimalah kedudukan ayahmu sebagai Sultan Mesir dan uruslah rakyat sebaik-baiknya.”

Dibalas oleh Syarif Hidayatullah dengan hormat, “betul paman, akan tetapi maafkanlah saya, seyogyanya adik saya Nurullah yang menjadi Sultan Mesir, kesukaanku adalah mengabdi kepada Ilahiku, saya berkehendak menyiarkan Agama Islam di Jawa Dwipa.”

Menuruti kehendak Syarif Hidayatullah, maka adiknya dinobatkan menjadi Raja Mesir bergelar Sultan Syarif Nurullah. Kemudian Syarif Hidayatullah yang telah diberi nama Sayid al Kamil oleh gurunya di Mekah bertolak menuju Jawa.

Menurut data yang diuraikan diatas, Syarif Hidayatullah lahir pada tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. Data sejarah lain dibuku Babad Tanah Sunda Babad Cirebon menyatakan bahwa berdirinya Kesultanan Cirebon yang bersemayam di Keraton Kasepuhan adalah seiring pengangkatan Sunan Gunung Jati sebagai Sultan pertama menggantikan Pangeran Cakrabuana/Kuwu Cerbon yaitu pada tahun 1479 M. Maka dari itu, berarti usia Syarif Hidayatullah ketika diangkat menjadi Sultan Cirebon adalah kurang lebih saat beliau menginjak umur 31 tahun. Saat pengangkatan, Syarif Hidayatullah pun mulai dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Negeri Caruban karena penguasa sebelumnya Pangeran Cakrabuana hanya menjadi penguasa daerah bergelar Kuwu Cerbon.

Pada tahun 1482 M Pangeran Cakrabuana mendapat warisan Kerajaan Pajajaran setelah prabu Siliwangi wafat, setelah itu Pangeran Cakrabuana memberikan tahta kerajaan pada Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu, daerah kekuasaan Pajajaran kemudian berada dibawah Cirebon dan membuat kedaulatan Cirebon sebagai kerajaan Islam di Jawa Barat semakin kuat.

Meskipun sebagian besar wilayah bawahan Pajajaran telah berada di bawah Cirebon, tetapi Raja Galuh merupakan kerajaan yang masih merdeka. Raja Galuh merupakan daerah disebelah barat Cirebon yang masih memegang ajaran Hindu. Akan tetapi pada tahun 1528 M, Kesultanan Cirebon berhasil memenangkan peperangan dengan Raja Galuh yang kemudian makin memperkuat kedaulatan Cirebon. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Sunan Gunung Jati merupakan pendiri dinasti di Kesultanan Cirebon setelah pengangkatannya pada tahun 1479 M. Pengangkatan beliau sebagai Sultan juga berperan sebagai ulama yang bergelar Sunan Gunung Jati berkedudukan di Cirebon.

Referensi :

  • Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon . (Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001).
  • A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia . (Yogyakarta: Ombak, 2012).
  • Pangeran Aria Carbon, Purwaka Caruban Nagari. terj. P. S. Sulendraningrat, (Jakarta: Bhratara, 1972).
  • Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia . (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm.
  • P. S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon . (Cirebon: Pustaka Cirebon, 1984).
  • Zaenal Masduqi, Cirebon Dari Kota Tradisonal Ke Kota Kolonial. (Cirebon: Nurjati Press, 2011)