Apa yang anda ketahui tentang Suku Minangkabau ?

Suku Minangkabau atau Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilandi Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang sering kali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Hal ini dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa beberapa literatur Belanda juga telah menyebut masyarakat suku ini sebagai Padangsche Bovenlanden.

Nama Minangkabau mencerminkan kecerdasan yang tinggi dan panjang akal. Secara harafiah, nama Minangkabau berarti “menang kerbau.” Menurut dongeng, kata Minangkabau berasal dari kemenangan orang Minangkabau - di bawah pimpinan Datuk Parpatih Nan Sebatang dan Datuk Katumanggungan dalam adu kerbau dengan orang-orang kerajaan Majapahit. Konon, anak kerbau orang Minangkabau berhasil membunuh kerbau besar Majapahit karena pada moncongnya diikatkan sebuah taji (minang) yang tajam. Kini, kerbau merupakan figur yang sangat kuat melekat pada mitos, budaya dan arsitektur suku Minang (atap rumah tradisional Minang bergonjong seperti tanduk kerbau).

Bagaimana sejarah Suku Minangkabau ?

Minangkabau diambil dari kata minang yang berarti kemenangan dan kabau yang berarti kerbau. Dengan kata lain Minangkabau berarti “Kerbau yang Menang”. Penamaan ini berhubungan erat dengan sejarah terbentuknya Minangkabau yang diawali kemenangan dalam suatu pertandingan adu kerbau untuk mengakhiri peperangan melawan kerajaan besar dari Pulau Jawa.

Suku Minangkabau memang mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan hewan ternak berkaki empat yang disebut kerbau. Itu antara lain terlihat pada berbagai identitas budaya Minang, seperti atap rumah tradisional mereka (Rumah Bogonjong). Rumah adat yang kerap disebut juga Rumah Gadang itu berbentuk seperti tanduk kerbau. Begitu pula pada pakaian wanitanya (Baju Tanduak Kabau).

Sudah beratus-ratus tahun lamanya kerbau menjadi salah satu hewan terfavorit di Provinsi Sumbar. Badan kerbau yang besar dan kekar dianggap mampu membantu berbagai macam pekerjaan manusia. Salah satu pekerjaan kuno yang dikerjakan dengan bantuan tenaga kerbau adalah menggiling tebu. Dengan alat sederhana, sang kerbau diikat di sebilah bambu yang terhubung pada alat pemeras tebu tradisional. Selama delapan jam bekerja, sang kerbau terus-menerus berputar mengelilingi alat pemeras. Uniknya, agar sang kerbau tidak pusing kepala, mata hewan itu ditutup dengan dua buah batok kelapa yang dilapisi kain.

Air tebu hasil perasan sang kerbau itulah yang kemudian menjadi cikal bakal pembuatan gula merah tradisional. Masyarakat Minang percaya gula merah hasil kerja keras sang kerbau lebih gurih ketimbang dari alat modern.

suku Minangkabau

Dari sisi sejarah, hewan kerbau bagi suku besar di Sumbar ini telah mengantarkan kejayaan mereka di masa silam. Konon, dahulu kala karena bantuan kerbau-lah masyarakat di Sumbar menang perang melawan suku Jawa. Akhirnya sampai sekarang mereka menamakan dirinya sebagai suku Minangkabau. “Jadi perang tak berakhir juga, jadi kami usulkan untuk adu saja kerbau. Oleh pihak penyerang dicarilah kerbau yang terbesar di daerahnya ditempatkan di tengah ladang. Orang sini hanya anak kerbau yang sedang menyusu. Karena kerbau yang sudah dua hari tak minum susu, dia lari mengejar susu ibunya. Jadi perut kerbau besar itu robek dan dia lari,” kisah Datuk Bandaro Panjang, pemuka adat.

Kisah sang kerbau ternyata tak hanya menjadi legenda semata. Hingga kini pasar ternak di Sumbar pun lebih banyak menjual kerbau ketimbang sapi. Sistem penjualan ternak orang Minang pun cukup unik. Berbeda dengan pasar sayur tradisional di pasar ternak ini tidak akan terdengar sepatah kata pun antara sang penjual dan pembeli. Transaksi yang berlaku hanya menggunakan tangan. Jari-jari tangan dipakai sebagai alat perhitungan harga jual ternak yang akan dibeli.

Sistek Kekerabatan Suku Minangkabau
Menurut Simanjuntak (2000), garis keturunan masyarakat Minangkabau diperhitungkan menurut garis ibunya atau matrilineal.
Lebih lanjut Amir (2003) mengatakan bahwa dalam sistem kekerabatan Matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan yaitu :

  • Garis keturunan menurut garis ibu
  • Perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.
  • Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan dan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

Kelompok kekerabatan terkecil dalam masyarakat Minangkabau disebut saparinduan (satu ibu), tapi dulu tidak jelas batasnya. Pertama karena menganut paham matrilineal dalam keluarga, dimana peranan ayah dalam rumah tangganya amat kecil, sebaliknya saudara laki-laki istrinyalah yang lebih banyak berperan.

Menurut Syarifudin (1984) tanggung jawab untuk memperhatikan sebuah keluarga terletak pada seorang atau beberapa orang mamak ( saudara kandung pria dari ibu ).

Jenis Harta Peninggalan Menurut Suku Minangkabau

Menurut Syarifuddin (2001), harta peninggalan adalah semua harta kekayaan yang diteruskan orang tua selaku pewaris kepada ahli pewaris. Hal ini terjadi ketika pewaris telah meninggal dunia. Pada masyarakat adat Minangkabau, harta peninggalan diwariskan kepada anak-anak yang berjenis kelamin perempuan, dan hal ini telah ditetapkan dalam hukum adat Minangkabau. Adapun benda-benda yang diwariskan ifu berupa rumah, kebun, sawah yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan menurut adat. Apabila ditinjau dari segi asal usulnya, harta peninggalan tersebut dapat dikatagorikan sebagai harta pusaka, harta bawaan, dan harta mata pencarian

  • Harta Pusaka
    Harta pusaka merupakan peninggalan. baik yang bersifat terbagi maupun tidak terbagi (Syarifuddin, 2001). Harta pusaka sendiri dapat dibagi lagi menjadi harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan harta peninggalan turun menurun dari zaman leluhur. Harta ini merupakan milik bersama kerabat. Misalnya rumah adat (rumah gadang), lumbung padi, ataupun rumah pertemuan anggota masyarakat.

    Kemudian yang disebut harta pusaka rendah pada umumnya merupakan harta peninggalan dari suatu generasi ke atas. Harta pusaka akan bertambah dengan ma uknya harta bawaan suami atau istri, harta dari mata pencarian, dan harta bawaan (Syarifuddin, 2001). Semua harta kekayaan keluarga tersebut nantinya akan diteruskan kepada ahli warisnya.

    Namun pada saat sekarang ini tampaknya telah banyak perubahan mengenai harta pusaka tinggi. Terbukti dalam perkembangan selanjutnya harta pusaka tinngi ini telah dibagi-bagikan dan menjadi hak milik perorangan. Hal pewarisan ini terbatas hanya pada harta pusaka rendah. Hal ini disebabkan karena harta pusaka tinggi biasanya tidak terbagi, dan keberadaannya juga berada pada daerah asai suku Minangkabau di Sumatera Barat (Syarifuddin, 2001)

Harta Bawaan
Harta bawaan atau pembawaan (Syarifuddin, 2001), dapat diartikan sebagai semua harta yang dibawa oleh suami ataupun istri yang menipakan bekal dalam perkawinan mereka. harta meliputi:

  • Barang-barang sebelum perkawinan, terdiri dari:

    • Barang-barang yang telah dimiliki istri suami sebelum perkawinan
    • Barang-barang yang dimiliki istri maupun suami karena pemberian harta yang telah bertalian dengan kematian yang diperoleh dari orang tuanya masing-masing.
    • Barang-barang yang diperoleh karena warisan.
    • Barang-barang yang diperoleh karena pemberian orang lain.
  • Barang-barang selama ikatan perkawinan

    • Barang-barang yang diperoleh setiap istri maupun suami dengan usaha sendiri.
    • Barang-barang karena pembagian atau pemberian hanya jatuh kepada salah satu seorang suami atau istri.
  • Harta Mata Pencarian
    Menurut Daldjoeni (Dalam Soekanto 2010) bahwa mata pencaharian merupakan aktivitas manusia untuk memperoleh taraf hidup yang layak dimana antara daerah yang satu dengan daerah lainnya berbeda sesuai dengan taraf kemampuan penduduk dan keadaan demografinya. Mata pencaharian masyarakat berbeda satu sama lain. Perbedaan itu diantaranya dapat disebabkan oleh keadaan geografis, sosial, maupun corak budaya masyarakat setempat disamping kemampuan (skill) yang dimiliki.

    Sedangkan harta mata pencarian dapat diartikan sebagai semua harta yang didapat oleh suami istri bersama-sama ada dalam ikatan perkawinan (Syarifuddin, 2001). Pengertian harta pencarian ini tidak termasuk harta asal atau harta pemberian yang mengikuti harta tersebut. Disini tidak dipermasalahkan apakah istri hanya berstatus sebagai ibu rumah tangga saja, sebab penghasilan suami dikatagorikan sebagai hasil dari mata pencarian milik bersama pula dalam menempuh rumah tangga sebagai pasangan suami istri.

Source:

Soekanto, S. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Soekanto,

Merantau Bagi Suku Minangkabau

Rantau adalah kata benda yang berarti dataran rendah atau daerah aliran sungai. Jadi biasanya terletak dekat dari daerah pesisir. Merantau ialah kata kerja yang berawalan me- yang berarti pergi ke rantau (Naim 1979). Tetapi dari sudut pandang sosiologi, istilah ini sedikit mengandung enam unsur pokok berikut:

  • Meninggalkan kampung halaman
  • Dengan kemauan sendiri
  • Untuk jangka waktu lama atau tidak tetap
  • Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman
  • Biasanya dengan maksud kembali pulang
  • Merantau adalah lembaga sosial yang membudaya

Lebih lanjut Junus (dalam Koentjaraningrat, 2004) mengungkapkan bahwa keinginan orang minang pergi jauh dari daerah asalnya (merantau) disebabkan oleh adanya dorongan pada diri mereka sendiri, yang disebabkan oleh dua faktor.

  • Pertama, keinginan orang Minang tersebut untuk mendapatkan kekayaan tanpa mempergunakan tanah-tanah yang ada. Dalam hal ini dapat dihubungkan dengan kesadaran bahwa anak laki-laki tidak memiliki hak atas tanah warisan bagi kepentingan pribadinya. Anak laki-laki tersebut hanya akan dapat menggunakan tanah warisan tersebut untuk kepentingan keluarga matrilinealnya.

  • Kedua, disebabkan karena perselisihan, sehingga mereka yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap di tempat lain.

Source:

Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Poerwanto,

Naim, Muchtar. 1995. Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Padang: Sri Darma NV