Apa yang anda ketahui tentang sosok Gajah Mada : Mahapatih Majapahit ?

Gajah Mada adalah seorang Mahapatih yang paling terkenal didalam sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara, terutama kerajaan Majapahit. Apa yang anda ketahui tentang sosok Gajah Mada : Mahapatih Majapahit ?

Umumnya, kajian populer terhadap Gajah Mada, selalu terkait dengan gagasan pokoknya, yakni penyatuan Nusantara. Jika kita mau merunut sejenak ke belakang, sejatinya, gagasan penyatuan wilayah-wilayah Nusantara telah muncul pada masa kerajaan Singashari, Prabu Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singashari mulai mengupayakan terwujudnya gagasan penyatuan Nusantara. Namun sebelum upayanya terwujud, Singashari mengalami kemelut politis yang disebabkan oleh pemberontakan Adipati Ja- yakatwang, yang terkena hasutan Adipati Wiraraja dari Kadipaten Sumenep-Madura, sehingga mengakibatkan gugurnya Prabu Kertanegara.

Asal Usul Gajah Mada


Ilustrasi Wajah Gajahmada
Gambar Ilustrasi Wajah Gajahmada

Menurut Kitab Usana Jawa atau sering disebut Cerita Bali, Gajah Mada dilahirkan di Pu- lau Bali Agung, dan pada suatu ketika berpindah ke Majapahit. Di sini Gajah Mada tidak memiliki ayah dan ibu, melainkan terlahir dari dalam buah kelapa, sebagai penjelmaan Sang Hyang Narayana (Dewa Wisnu) ke dunia. Dengan kata lain, Gajah Mada terlahir atas kehendak Dewa-Dewa (Yamin, 1977).

Sementara, menurut Babad Gajah Mada, ia adalah anak dari Patni Nari Ratih yang diperkosa oleh Dewa Brahma saat ditinggal suaminya (Mpu Sura Dharma Yogi) membuat huma di sebelah selatan lembah Tulis. Kelahirannya diiringi oleh berbagai peristiwa alam, selanjutnya bayi Gajah Mada diasuh oleh Kepala Desa Mada, dan setelah dewasa diajak ke Majapahit untuk mengabdikan diri kepada raja.

Menurut Babad Arung Bondan, ia adalah anak seorang Patih Majapahit, Lugender yang dikenal sebagai Logender dalam cerita rakyat Damarwulan-Menakjingga. Waktu itu, Logender menjadi Patih Ratu Majapahit yang bernama Ratu Kenya atau Kencanawungu. J.L.A. Brandes menyatakan; uraian dalam kisah Damarwulan-Menakjingga sebenarnya terjadi dalam masa pemerintahan Ratu Suhita di Majapahit. Menakjingga yang dimaksudkan dalam cerita itu setara dengan Bhre Wirabhumi, penguasa kedaton timur yang berperang melawan Majapahit. Jika tafsiran itu diikuti, maka Gajah Mada baru ada setelah Majapahit melewati masa kejayaannya.

Sementara, menurut Serat Pararaton, kitab berbahasa Jawa tengahan yang memuat riwayat sejarah raja-raja Jawa Kuno, khususnya sejak masa Singashari hingga Majapahit dan diduga dibuat sekitar abad ke-16. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan Nagarakrtagama, informasi kesejarahannya kurang akurat (Lihat penjelasan Supratikno Rahardjo dalam “Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir” , Jakarta, 2011) — di sini, Gajah Mada adalah anak Gajah Pagon, salah seorang petinggi Kerajaan Majapahit dan pengikut setia Raden Wijaya, raja pertama Kerajaan Majapahit yang memerintah pada 1293-1309 M. Dalam pengungsian Raden Wijaya ke Desa Pandakan, Madura, karena peperangan dengan tentara Kadiri. Saat itu, Gajah Pagon yang terluka dititipkan kepada Macan Kuping, Kepala Desa Pandakan. Lalu, Gajah Pagon menikah dengan anak Macan Kuping yang kemudian melahirkan Gajah Mada.

Seterusnya, menurut Kakawin Nagarakartagama. Di sini, tak sekalipun tertulis kapan Gajah Mada dilahirkan. Mpu Prapanca hanya menyebut waktu Gajah Mada mulai mengemban tugasnya, yakni pada 1331 M ketika terlibat dalam menundukkan Sadeng.

Pada masa awal Majapahit, orang yang cukup berperan dan menyandangkan kata “gajah” pada namanya hanyalah Gajah Pagon, sahabat Raden Wijaya. Jika Gajah Pagon hidup dalam masa Kartarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya). Padahal, Gajah Mada mulai dikenal sejak masa pemerintahan Jayanegara, berarti ada dua generasi raja yang berbeda. Namun, menilik sifatnya sebagaimana yang diuraikan dalam Pararaton dan sumber lainnya. Sesungguhnya, kedua orang yang menyandang nama “gajah” itu adalah sama, yakni memiliki karakter pemberani, tahan mental, tidak mudah menyerah, setia kepada tuannya dan berperilaku seperti hewan gajah dalam menghalau semua penghalang.

Dengan begitu, didapat suatu prakiraan, bahwa Gajah Mada adalah anak Gajah Pagon, salah seorang pahlawan Majapahit yang terluka di Pandakan. Tampaknya, penulis Pararaton punya maksud tertentu dengan mencantumkan kisah tentangnasib Gajah Pagon, yakniuntukmengenang jasa-jasa ayahanda Mahapatih Gajah Mada. Oleh karena itu, dapat dikatakan, sebenarnya Gajah Mada berasal dari inner circle (lingkaran dalam) penguasa Majapahit, yakni anak dari Gajah Pagon, pengiring setia Raden Wijaya.

Karir Politik Gajah Mada


image

Setidaknya ada tiga fase penting yang terkait dengan karir politik Gajah Mada selama pengabdiannya di Kerajaan Majapahit, yakni Bekel Bhayangkara, Patih, dan Mahapatih Amangkubhumi.

Bekel Pasukan Bhayangkara

Dari beberapa literatur, karir politik Gajah Mada diawali dengan menjadi Bekel atau prajurit di kesatuan khusus Bhayangkara. Perannya banyak disebut saat terjadi pemberontakan Ra Kuti 1319 M pada masa pemerintahan Raja Jayanegara. Serat Pararaton menuliskan, saat Ra Kuti melakukan pemberontakan, yang menjadi Bekel jaga di Kerajaan Majapahit adalah Gajah Mada. Ia bertugas pada saat yang tepat dengan menunjukkan loyalitas dan keberaniannya melindungi saat Raja Jayanegara terancam jiwanya (Hadi, 2003).

Saat itu, Gajah Mada tidak terpengaruh dengan gejolak politik internal Majapahit karena pemberontakan Ra Kuti, ternyata didukung oleh elite-elite kerajaan dari kubu Gayatri dan Tribhuwana Tunggadewi. Tentunya, Gajah Mada sudah mendengar adanya perpecahan antara kubu Gayatri dan Tribhuwana Tunggadewi ( kubu Jawa ) dengan kubu Indreswari ( kubu Melayu ), perselisihan karena terkait dengan faktor garis keturunan sebagai basis legitimasi raja yang di- anggap paling sah.

Dalam menyikapi pemberontakan Ra Kuti yang didukung oleh kubu Gayatri, Gajah Mada bersikap netral. Baginya, kesetiaan kepada raja adalah syarat mutlak yang harus dimiliki seorang prajurit. Konsekuensinya, otomatis, ia berada di dalam barisan Jayanegara karena tugas utamanya mengawal dan mengamankan raja dari segala bentuk bahaya, termasuk pemberontakan Ra Kuti.

Itulah sebabnya, dalam pemberontakan tersebut, Gajah Mada lebih memilih menyelamat- kan Raja Jayanegara dengan mengungsikannya ke daerah Badander di Pamotan, Lamongan, Jawa Timur. Selanjutnya, ia juga berhasil memadamkan pemberontakan Ra Kuti. Dalam konteks ini, loyalitas pasukan Bhayangkara patut dipuji. Inilah peran penting Gajah Mada pada awal karir politiknya sebagai Bekel di Kerajaan Majapahit.

Patih Kahuripan dan Daha (Kadiri)

Atas jasanya menyelamatkan Raja Jayanegara dan memadamkan pemberontakan Ra Kuti, kemudian, Gajah Mada mendapat cuti sebagai Bekel Bhayangara selama dua bulan. Setelah itu, ia pun diangkat sebagai patih (1319-1321 M) untuk mendampingi Rani Kahuripan yang saat itu dijabat Tribhuwana Tunggadewi.

Setelah menjadi Patih Kahuripan selama dua tahun. Selanjutnya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Daha untuk menggantikan Patih Arya Tilam yang telah mangkat. Di Daha, ia mendampingi Rani Dyah Rajadewi, putri bungsu Raden Wijaya, hasil pernikahannya dengan Gayatri, adik dari Tribhuwana Tunggadewi. Menurut Muhammad Yamin (1953), pemindahannya menjadi Patih Daha adalah merupakan suatu peningkatan yang luar biasa, mengingat Daha merupakan wilayah yang demikian penting, sementara, kemuliaan Kahuripan hanya merupakan kenang-kenangan terhadap Prabu Airlangga semata.

Padahal, alasan yang paling mendasar dari pengangkatan Gajah Mada sebagai Patih Kahuripan dan Daha tak lain untuk mengawasi kekuasaan kedua daerah yang dipimpin oleh Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Rajadewi, yang nyata-nyata tidak suka terhadap kepemimpinan Jayanegara. Tujuannya amat jelas, Jayanegara berharap agar Gajah Mada bisa dengan secara khusus meredam ambisi kedua putri Jawa tersebut, sekaligus membujuk keduanya agar patuh dan tunduk kepada Jayanegara.

Berakhirnya kekuasaan Jayanegara, ternyata membuat karir politik Gajah Mada sebagai orang kepercayaan raja tidak meredup. Karirnya justru semakin melesat karena sikap satya bhakti aparabhu (setia kepada raja) mampu membuat kedua putri Jawa tersebut terkesan. Dengan kata lain, Majapahit tetap membutuhkan Gajah Mada secara utuh.

Awal memerintah Majapahit pada 1328, Tribhuwana Tunggadewi menunjuk Gajah Mada yang kala itu masih menjabat sebagai Patih Daha untuk menggelar sayembara pemilihan jodoh bagi kedua putri Gayatri. Babad Dalem menuliskan Gajah Mada ditunjuk sebagai ketua pelaksana dalam sayembara tersebut (Hadi, 2003).

Dalam Pararaton disebutkan, akhirnya Tribhuwana menikah dengan Cakradara dan Rajadewi menikah dengan Kuda Amerta yang belakangan menjadi raja di Wengker, salah satu negara di bawah Majapahit. Akan tetapi, berita ini berbeda dengan Kakawin Nagarakrtagama yang menyebutkan pendamping Tribhuwana Tunggadewi adalah Sri Kerta Wardhhana yang mukim di Singashari. Sementara, pendamping Rajadewi adalah Wijaya Rajasa yang menjadi pemimpin di Wengker. Dalam kaitan ini, agaknya apa yang dinyatakan Nagarakrtagama lebih dapat dipercaya karena ditulis sezaman dengan dua ksatria yang akhirnya sanggup menaklukkan hati kedua putri Gayatri tersebut.

Mahapatih Amangkubhumi Majapahit

Lima belas tahun setelah pengangkatannya sebagai Patih Daha ( Kadiri ), pada 1336 M, Gajah Mada pun diangkat menjadi Mahapatih Amangkubhumi Majapahit. Tentang jabatan Mahapatih Majapahit, Pararaton menyebutkan setidaknya terdapat delapan mahapatih sejak raja pertama Raden Wijaya hingga raja ketujuh Suhita ( Prabhustri ) yang berkuasa pada 1429- 1447 M, yakni Mahapatih Nambi 1294-1316 M, Mahapatih Dyah Halayuda (Mahapati) 1316- 1323 M, Mahapatih Arya Tadah (Empu Krewes) 1323-1336 M, Mahapatih Gajah Mada 1336-1364 M, Mahapatih Gajah Enggon 1367-1394 M, Mahapatih Gajah Manguri 1394-1398 M, Mahapatih Gajah Lembana 1398-1410 M, dan Mahapatih Tuan Tanaka 1410-1430 M.

Pengangkatan Gajah Mada sebagai mahapatih dilakukan oleh Tribhuwana Tunggadewi, lima tahun usai meletusnya peristiwa Sadeng 1331 M. Dalam peristiwa ini, kembali Gajah Mada menunjukkan kelebihannya dengan memadamkan pemberontakan di daerah Sadeng. Pengangkatannya sudah barang tentu didasari oleh berbagai pertimbangan.

  • Pertama , loyalitas Gajah Mada sudah benar-benar teruji, sejak di awal karirnya sebagai Bekel di kesatuan Bhayangkara, dengan menyelamatkan Raja Jayanegara dan memadamkan pemberontakan Ra Kuti.

    Ketika Tribhuwana Tunggadewi naik tahta Majapahit, Gajah Mada kembali bersikap loyal dengan menerima mandat dari Gayatri sebagai ketua pelaksana sayembara pernikahan kedua putrinya, selanjutnya, pada peristiwa Sadeng, Gajah Mada juga berhasil memadamkannya.

  • Kedua , pengalamannya sebagai Patih di Kahuripan dan Daha merupakan modal politiknya, sehingga ia memang layak untuk dipilih menjadi mahapatih.

  • Ketiga , Majapahit membutuhkan sosok mahapatih yang mampu meneruskan politik perluasan wilayah untuk menyongsong masa depan, dan Gajah Mada merupakan pilihan yang paling tepat, karena memenuhi berbagai kriteria yang digariskan.

Tidak ada yang bisa menepis, jabatan mahapatih adalah puncak pencapaian tertinggi dari seluruh perjalanan karir politik Gajah Mada, yang diraih lewat prestasi tertentu dengan semangat kerja keras, ketekunan, dan loyalitas yang tinggi. Dengan kata lain, berbagai jabatan Gajah Mada dapat dikategorikan sebagai achieved status, yakni status yang diperoleh dengan melalui kerja keras.

Majapahit dengan pasukan Sunda, sehingga mengakibatkan kematian massal di pihak Kerajaan Sunda.

Peristiwa Bubat dapat dipandang sebagai akhir kegemilangan tugas-tugas Gajah Mada. Namun, tidak berarti setelah peristiwa Bubat, Gajah Mada menanggalkan seluruh aktivitasnya sebagai Mahapatih Majapahit, karena pada tahun yang sama, 1357 M, atau setelah peristiwa Bubat, Majapahit melakukan penyerangan ke Padompo, sehingga, patut diduga, penyerangan Gajah Mada ke Padompo dilakukan karena beberapa alasan.

  • Pertama , untuk menghindari cercaan dari dalam negeri Majapahit terhadap dirinya.

  • Kedua, sebagai bentuk meraih kembali kepercayaan keluarga kerajaan.

  • Ketiga , dapat pula dipandang sebagai bentuk hukuman yang ditujukan bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia “membuang” diri dengan memimpin armada Majapahit jauh ke arah timur untuk menaklukkan Padompo (Munandar, 2010).

Peristiwa Bubat memang menandai mulai surutnya karir politik Gajah Mada, ditunjukkan dengan Hayam Wuruk menganugerahi tanah perdikan baginya di Madakaripura (Probolinggo). Sekalipun tampak mendapatkan anugerah, tetapi tindakan Hayam Wuruk tersebut dapat ditafsirkan sebagai “anjuran” halus agar Gajah Mada menyingkir jauh-jauh dari Majapahit. Walau masih berstatus sebagai mahapatih hingga akhir hayatnya (1364 M). Akan tetapi, Gajah Mada telah menjauh dari pelbagai urusan politik kenegaraan di Majapahit (Krisna Bayu Adji dan kawan-kawan, 2013).

Yang menarik untuk dicatat adalah, progresivitas karir politik Gajah Mada dapat dikatakan cepat tanpa mengalami hambatan berarti, mulai dari Bekel di Bhayangkara hingga menjadi Mahapatih Majapahit, berhasil dicapai dalam tujuh belas tahun.

Tafsir Kekuasaan Menurut Gajah Mada


image

Secara filosofis, tafsir kekuasaan yang dilakukan oleh Gajah Mada, dipengaruhi oleh konsep kosmologi dalam ajaran Brahma. Jagat raya ini terdiri dari sebuah benua jambudvipa yang menjadi pusat dan berbentuk lingkaran, dikelilingi oleh tujuh benua dengan tujuh lautan yang berbentuk lingkaran konsentris. Di luar lautan yang ketujuh, yang terakhir, jagat raya itu ditutup oleh barisan pegunungan besar (cakravala). Di tengah-tengah jambudvipa , ada sebuah gunung yang menjadi pusat peredaran matahari, bulan dan bintang. Di puncak gunung, yang disebut Gunung Meru, terdapat kota-kota tempat tinggal para Dewa Lokapala.

Sejatinya, kosmologi dari ajaran Budhisme pada dasarnya sama, yakni memberikan pandangan bahwa bentuk jagat raya itu seperti lingkaran yang dikelilingi oleh wilayah-wilayah dan berpusat pada Gunung Meru. Dalam perkembangannya, pandangan kosmologi ini telah banyak mempengaruhi alam pikiran manusia. Oleh karena itu, konsep-konsep tentang hubungan antara dunia manusia dan jagat raya pun lahir.

Ternyata, hal itu juga mempunyai pengaruh yang tidak sedikit, baik dalam kegiatan politik maupun pada gerak hidup dan kehidupan sehari-hari. Boleh dikata, khususnya pada seluruh susunan pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara merupakan pengejawantahan dari kosmologi ini. Raja dan kerajaannya ( mikro kosmos ) merupakan gambaran riil dari jagat raya ( makro kosmos ). Raja dan keratonnya di ibu kota menjadi pusat dari susunan mikro kosmos tersebut.

Dari sudut pandang kosmogini Hinduisme, terdapat kesejajaran antara dunia manusia dan jagat raya. Bukti-bukti tentang hal ini, di Kerajaan Majapahit cukup banyak kita temukan prasasti-prasasti. Dalam Prasasti Tuhanaru, disebutkan bahwa Kerajaan Majapahit dilambangkan sebagai sebuah prasada dengan Raja Majapahit sebagai Wisnwawatara dan Rake Mapatih sebagai pranala. Kata ini berasal dari bahasa Kawi atau Bahasa Jawa Kuna yang dapat diartikan sebagai anak sungai, saluran, terusan dari kolam dan sebagainya.

Prasasti Tuhanaru berangka tahun Saka 1245 atau 1323 M, berbentuk tembaga, berbahasa Jawa Kuna dan ditemukan di Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayanegara ini berisi tentang penetapan kembali Desa Tuhanaru dan Kusambyan sebagai daerah swatantra atas permohonan Dyah Makaradhwaja. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Jayanegara karena Dyah Makaradhwaja menunjukkan kesetiaan dan baktinya kepada raja.

Adapun, seluruh mandala Jawa dianggap sebagai punpunan -nya, sedang Pulau Madura dan Tanjung Pura dianggap sebagai ansa -nya (Brandes dalam Djafar, 1978). Kita menemukan keterangan semacam itu di dalam Prasasti Jayapatra ( Jayason ) dari Bendosari. Prasasti ini berasal dari zaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Di dalam prasasti tersebut, Raja Hayam Wuruk diumpa- makan sebagai sebuah patung Siwa, sedang Patih

Gajah Mada diumpamakan sebagai pranala-nya (“rake mapatih pu mada…pranaraksaka sri maharaja pranalmratisubaddhaken pandiri sri maharajanken iswarapratiwimba ) (Lempeng 3 recto, baris 1-3 lihat Brandes dalam Djafar, 1978).

Oleh sebab itu, kekuasaan dalam pandangan Gajah Mada dapat ditafsirkan sebagai kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia. Sebagai seorang patih, ia memiliki sejumlah kuasa atau wewenang untuk menjalankan pemerintahan. Tentunya, legitimasi kuasa tersebut diperoleh dari berbagai prestasi yang telah diakui oleh banyak pihak, terutama di bidang kemiliteran.

Menurut Gajah Mada, tafsir kekuasaan tentu saja tidak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang konsepsi kepemimpinan. Selain sebagai tokoh yang mengikrarkan Sumpah Palapa dalam rangka mempersatukan wilayah nusantara dengan pusat pemerintahan Majapahit, Gajah Mada juga dikenal sebagai seorang penggagas falsafah kepemimpinan Tri Dharma yang terdiri dari tiga dimensi, yakni dimensi spiritual, moral, dan manajerial (Achmad , 2013). Adapun penjelasan falsafah kepemimpinan Tri Dharma adalah sebagai berikut.

  • Dimensi spiritual. Dalam dimensi spiritual, seorang pemimpin harus memiliki tiga prinsip utama, antara lain.

    • Wijaya (tenang, sabar, dan bijaksana).

    • Masihi samasta buwana (mencintai alam semesta).

    • Prasaja (hidup dan bersikap sederhana).

  • Dimensi moral. Dalam dimensi moral, seorang pemimpin harus memiliki enam prinsip utama, antara lain.

    • Mantriwira (berani membela dan menegakkan kebenaran serta keadilan).

    • Sarjawa upasama (memiliki sikap rendah hati).

    • Tan sutrisna (tidak pilih kasih).

    • Sumantri (bersikap tegas, jujur, bersih, dan berwibawa).

    • Sih samasta bhuwana (mencintai seluruh rakyat).

    • Nagara gineng pratijna (mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan dan keluarga).

  • Dimensi manajerial. Dalam dimensi manajerial, seorang pemimpin harus memiliki sembilan prinsip utama, antara lain.

    • Natangguan (mendapat dan menjaga kepercayaan masyarakat).

    • Satya bhakti prabhu (setia kepada nusa dan bangsa).

    • Wagmiwag (pandai bicara dengan sopan).

    • Wicaksaneng naya (pandai dalam berdiplomasi, mengatur strategi dan siasat).

    • Dhirotsaha (tekun bekerja dan mengabdi pada kepentingan umum).

    • Dibyacita (lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain).

    • Nayaken musuh (menguasai musuh dari dalam dan luar).

    • Ambek paramartha (pandai menentukan prioritas utama).

    • Waspada purwatha (waspada dan selalu melakukan introspeksi untuk perbaikan).

Upaya Gajah Mada Mengendalikan Kekuasaan


image

Berdasarkan sumber-sumber sejarah, setidaknya terdapat empat cara dari yang bersifat halus hingga pemaksaan yang digunakan oleh Gajah Mada dalam merebut, mempertahankan, memperluas dan mengendalikan kekuasaan, yaitu penataan birokrasi, penerapan kekuatan militer, penerapan sistem hukum, serta penanaman nilai-nilai tradisi besar dan aktivitas publik.

1. Penataan Birokrasi

Dalam penataan birokrasi, ada dua meka- nisme yang dilakukan untuk mengukuhkan pe- ngendalian kekuasaan, yakni penataan struktur jabatan dan mencari dukungan di tingkat desa. Sumber-sumber prasasti memperlihatkan, sebagian besar perintah raja disampaikan langsung kepada seseorang atau beberapa pejabat tinggi di bawah raja ( rakai atau samget ), kemudian mereka langsung meneruskannya kepada pimpinan desa yang menjadi sasarannya.

Pada masa Majapahit, muncul tokoh individual yang mewakili dewan para rama . Sebuah prasasti dari periode ini menyebutkan bahwa dewan “para rama” dengan buyut sebagai yang utama (mpu ramarama walandit, akadi buyut). Keterangan ini secara jelas menyebutkan buyut sebagai tokoh pimpinan di antara para rama, yakni seorang pemimpin semacam lurah pada masa kini yang sebelumnya tidak dikenal. Hubungan antara pemerintah desa dan pusat tidak lagi bersifat kemitraan, tetapi lebih merupakan hubungan antara atasan dan bawahan. Administrasi desa telah berubah menjadi bagian terbawah dari hierarki kerajaan.

Selain penataan struktur jabatan, upaya penataan birokrasi juga dilakukan melalui pen- carian dukungan di wilayah desa. Salah satunya dilakukan melalui pemberian hak-hak khusus ( wnang ) kepada para pemegang atau kepala sima . Disebut khusus, karena biasanya, hak-hak tersebut merupakan simbol-simbol status yang hanya dimi- liki oleh raja atau elite di lingkungan keraton.

2. Penerapan Kekuatan Militer

Penaklukan dan persekutuan kekuatan militer merupakan cara yang diterapkan untuk mengukuhkan kedaulatan, melindungi rakyat setempat, dan mendapat pengakuan dari kekuatan politik pesaingnya. Berbagai sumber prasasti dan karya sastra memberikan keterangan, bahwa salah satu cara yang umum dilakukan para raja untuk memperluas pengaruhnya ke luar batas wilayah kekuasaannya adalah dengan melakukan penaklukan.

Nagarakrtagama menyebut 98 kerajaan-kerajaan kecil di wilayah nusantara sebagai negeri- negeri taklukkan, mengirimkan upeti kepada Raja Majapahit. Kitab itu juga menyebutkan bahwa mereka yang patuh dan setia akan dilindungi. Akan tetapi, yang membantah akan didatangi dan dihancurkan oleh pasukan angkatan laut.

Bentuk lain dari upaya mengukuhkan kedaulatan atas kekuasaan adalah menjalin hu- bungan secara intensif dengan sumber kekuatan politik utama di Asia, yakni Cina. Tampaknya, hal tersebut dilakukan karena Cina memiliki pengaruh besar dalam bidang kemiliteran di wilayah nusantara. Ada kecenderungan, bahwa dinasti-dinasti Cina hanya mengakui satu kekuatan utama yang mewakili suatu wilayah tertentu. Pengakuan semacam ini berlaku juga di kawasan nusantara. Di wilayah ini, hanya ada dua kekuatan utama yang tampaknya selalu bersaing untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari Cina, yakni kerajaan utama di Jawa dan kerajaan utama di Sumatera.

3. Penerapan Sistem Hukum

Sumber-sumber sejarah yang memberi keterangan mengenai masalah hukum terutama berasal dari prasasti dan karya sastra. Boechari (1975) telah mengumpulkan 12 prasasti yang me- muat masalah pelanggaran hukum yang terjadi dari pertengahan abad ke-14 hingga abad ke-19. Dari jumlah tersebut, delapan di antaranya berasal dari periode sebelum abad ke-13.

Dari isi prasasti-prasastinya, dapat dike- tahui bahwa masalah yang paling umum adalah pajak tanah dan sengketa hak waris tanah. Selebihnya adalah masalah kewarganegaraan yang juga dikaitkan dengan kewajiban membayar pajak dan utang piutang. Dari keterangan di atas, maka terdapat tiga hal penting dari penerapan sistem hukum, yakni kitab-kitab hukum tertulis yang bersifat “nasional” telah ada; hukum adat masih dijadikan sumber aturan tambahan; dan pengetahuan tentang hukum formal telah dikenal oleh penduduk pedesaan.

Pada masa Majapahit, kitab-kitab hukum menjadi semakin penting peranannya. Setidaknya, jumlah naskah hukum yang dihasilkan pada pe- riode ini dapat dijadikan ukuran. Di antara naskah hukum atau sastra yang diduga dibuat pada masa Majapahit adalah Kutaramananawa, Dewagama, Adigama, Swarajambhu, Canakya, Kamandaka, Kertopapati, Dharmmopapati, Dustakalabaya, Dewadanda, Purwadigama dan Sarasamuchaya (cf. Friederich 1887; Boechari 1978).

3. Penanaman Nilai-Nilai Tradisi Besar dan Aktivitas Publik

Nilai-nilai tradisi besar yang kemungkinan memiliki peranan dalam mengukuhkan tatanan sosial adalah penyebaran agama, penggunaan aksara dan bahasa Jawa Kuno, penggunaan nama-nama Sanskerta dan pertunjukan kesenian.

Dalam kaitan dengan aktivitas publik, setidaknya, terdapat tiga upaya yang digunakan untuk melakukan pengendalian kekuasaan, yakni pendirian bangunan peribadatan yang bersifat monumental, upacara-upacara yang diselenggarakan di keraton, dan perjalanan keliling kerajaan.

Dari sudut agama, keterlibatan para pejabat dalam aktivitas publik tersebut dapat dipandang sebagai bentuk upaya untuk meningkatkan kewajiban keagamaan. Akan tetapi, dari segi politik, upaya semacam ini dapat dipandang sebagai salah satu cara untuk mengukur kesetiaan dan sekaligus dapat digunakan sebagai sarana saling bersaing di antara para pejabat.

Di antara berbagai upacara yang mungkin dilakukan di keraton, ada dua yang diuraikan cukup rinci dalam kitab Nagarakrtagama, yakni upacara Sraddha dan perayaan tahunan. Upacara sraddha adalah aktivitas keagamaan yang diselenggarakan untuk memperingati dua belas tahun setelah seseorang meninggal dunia. Keterangan ini diper- oleh dalam kitab Nagarakrtagama. Terdapat kemungkinan bahwa peristiwa ini digunakan juga sebagai sarana untuk mengukur loyalitas para pejabat kerajaan. Penyelenggaraan upacara ini diawali dengan pengumuman yang disampaikan oleh Gajah Mada. Salah satu pesan yang disampaikan adalah bahwa para pejabat kerajaan diharapkan memberikan sumbangan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.

Dari perjalanan panjang pada 1359 ke Lumajang yang diuraikan dalam Nagarakrtagama, dapat diketahui bahwa ada tiga aspek yang terkait, yakni aspek keagamaan, ekonomi, dan politik. Aspek pertama tercermin dalam kebiasaan raja untuk singgah di tempat-tepat suci dan juga menyempatkan untuk melakukan pemujaan di candi- candi pen- dharma -an nenek moyangnya. Aspek ekonomi tercermin dalam kenyataan bahwa sang raja sering memberikan bermacam hadiah kepada para pejabat setempat berupa barang-barang produksi kota. Sebaliknya, para pejabat setempat memberikan barang-barang produksi pertanian.

Aspek politik tercermin dari tokoh-tokoh yang menyambut kedatangan sang raja. Lebih dari itu, di dalam rombongan juga disertakan para kerabat raja yang diketahui menjadi penguasa- penguasa daerah. Dalam iring-iringan perjalanan itu, Gajah Mada tampak menjadi pemimpin yang ditampilkan secara lebih menonjol (Pigeaud 1962). Maksud sesungguhnya dari perjalanan ini tidak sepenuhnya diketahui. Tetapi mengingat komposisi rombongan yang dilibatkan, cukup alasan untuk menduga adanya maksud politik di balik perjalanan tersebut. Di antaranya mengontrol tingkat kesetiaan para penguasa daerah dan seka- ligus memperlihatkan kekuatan.

Gayatri : Tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Gajah Mada


image

Sejatinya, pelbagai pemikiran politik Gajah Mada banyak dipengaruhi oleh Gayatri, putri bungsu Kertanegara, Raja Singashari yang berkuasa pada 1268-1292 M. Di mata Gayatri, Gajah Mada adalah sosok yang sangat cerdas dan memiliki minat besar untuk belajar tentang seni pemerintahan.

Setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadi tema penting dari dialektika pemikiran antara Gayatri dengan Gajah Mada.

  • Pertama, loyality (kesetiaan). Ketika Jayanegara memutuskan merekrut Gajah Mada sebagai pasukan pengawal keraton, Gayatri menyatakan persetujuannya. Gayatri menganggap Gajah Mada sebagai sosok yang cerdas, berani, bertabiat keras dan sejak lahir memiliki bakat menjadi panglima pasukan. Gayatri memuji Gajah Mada atas kese- tiaannya kepada Raja Jayanegara, yang tak lain adalah pemimpin tertinggi dan atasannya.

    Berkait dengan loyalitas, Gayatri menjelaskan buah pikirannya tentang kesetiaan. Ia menjelaskan, ketika seseorang memberikan kesetiaannya kepada seseorang yang jahat, artinya kesetiaannya itu tidak diabdikan pada tujuan yang lebih mulia, maka kesetiaan semacam itu hanya akan merendahkan dirinya sendiri.

    Menurut Gayatri, tugas seorang yang bermoral adalah mengenali suatu tujuan yang mulia dan setia pada tujuan tersebut. Bentuknya bisa dengan mengabdi pada bangsa atau agama. Ia mengingatkan Gajah Mada bahwa kasusastraan Jawa, baik yang berasal dari India maupun karya setempat, menekankan dualitas pertarungan abadi antara baik dan buruk.

  • Kedua, perluasan teritorial kerajaan. Dalam banyak diskusinya dengan Gajah Mada, salah satu tema yang menjadi fokus Gayatri adalah perluasan teritorial kerajaan, yaitu menyatukan seluruh negeri tetangga di seantero kepulauan nusantara ke dalam sebuah federasi yang dilandasi oleh jalinan- jalinan kebudayaan, bahasa, agama, serta peluang mencapai kemajuan ekonomi dan kekuatan politik bersama. Rencana ini sebenarnya telah dirintis oleh Raja Kertanegara pada masa Singashari akhir. Akan tetapi, kandas karena serangan Mongol dan pemberontakan-pemberontakan lokal.

    Menurut Gayatri, karena saat itu ancaman Mongol nyaris lenyap setelah wafatnya Kublai Khan, maka potensi pemberontakan- pemberontakan lokal dapat diminimalisir apabila raja yang sekarang bersedia kembali ke garis kebijakan Raden Wijaya yang mengutamakan negoisasi. Kublai Khan adalah penguasa Kekaisaran Mongol dan kaisar Dinasti Yuan. Pada 1293 M, Kublai Khan mengirim invasi besar ke pulau Jawa dengan 20.000 sampai 30.000 tentara. Invasi ini adalah ekspedisi untuk menghukum Raja Kertanegara dari Kerajaan Singashari yang menolak membayar upeti. Invasi yang berakhir gagal tersebut merupakan ekspedisi militer terakhir Kublai Khan. Sementara itu, Majapahit kemudian menjadi negara paling kuat pada masanya di Nusantara.

    Gajah Mada bersemangat menyambut rencana perluasan teritori kerajaan, terutama pencaplokan Bali, karena ia mengagumi budayanya. Gayatri pun menyukai semangat dan kebulatan tekad Gajah Mada untuk memperluas kerajaan. Namun, ia mencemaskan niat Gajah Mada untuk menggunakan kekerasan jika diperlukan demi menjadikan Majapahit kerajaan Jawa yang kian luas, alih-alih sekadar sebuah federasi nusantara semata.

    Gayatri berusaha meyakinkan Gajah Mada tentang bagaimana cara memperoleh kekuasaan. Dalam hal ini, Gayatri tidak percaya bahwa penaklukkan adalah cara yang paling efektif untuk menciptakan persatuan yang langgeng. Impiannya adalah mengajak negeri-negeri itu bergabung dalam konfederasi yang dipimpin Majapahit, sembari tetap mempertahankan pemerintahan dan adat setempat, dengan tetap bergandengan tangan untuk meraih tujuan-tujuan bersama, terutama dalam perdagangan dan pertahanan. Sementara, Gajah Mada tetap pada pendiriannya, kekerasan yang terukur pasti dibutuhkan agar orang terdorong melakukan sesuatu yang dapat menjamin keamanan dan kemakmuran diri mereka dan tetangganya.

  • Ketiga, tema tentang pembangunan tata hukum bersama. Tujuan upaya menciptakan se- perangkat hukum adalah untuk menggantikan banyaknya peraturan dan sangsi tradisional serta agama yang membingungkan dan saling tumpang tindih, yang diterapkan secara gegabah di banyak wilayah kerajaan yang berbeda.

    Gajah Mada menyambut gembira usulan ini. Setelah diangkat menjadi mahapatih, bersama para pakar, ia bekerja keras menyusun Kutara Manawa Sastra yang sekaligus mencakup peraturan pidana dan perdata karena keduanya memang saling berdekatan. Kombinasi dua tata hukum itu meliputi dua ratus tujuh puluh paragraf tentang sejumlah topik, delapan jenis kejahatan terkaitdenganpembunuhandandelapanpencurian, kekerasan, kebohongan dan fitnah, penganiyaan terhadap orang lain, perbudakan, pegadaian, penyimpanan uang, utang, jual-beli, perkawinan dan perceraian, hasutan, dan kepemilikan tanah. Sebelum memimpin persidangan, maka, seluruh klaim hak sipil dan agama diwajibkan untuk menguasai hukum ini (Muljana, 1976).

  • Keempat, tema tentang pentingnya pembangunan monumen peninggalan dinasti penguasa Majapahit. Gayatri menekankan, pembangunan monumen-monumen tersebut dimaksudkan untuk mengajarkan kepada khalayak tentang peninggalan agung dinasti Majapahit agar dapat menjadi sumber kebanggaan bangsa dan modal kepercayaan diri para pemimpin.

    Pembangunan kuil, di antaranya adalah Candi Jawi, yang dibangun untuk menghormati Raja Kartanegara. Gayatri menyadari, bahwa penghormatan kepada leluhur sangat penting bagi kelangsungan kehidupan suatu kerajaan.

Sumber : Yusak Farchan dan Firdaus Syam, Tafsir Kekuasaan Menurut Gajah Mada, Universitas Nasional Jakarta.

Referensi :

  • Adji, Krisna Bayu dan kawan-kawan. 2013. Majapahit, Menguak Majapahit Berdasarkan Fakta Sejarah . Yogyakarta: Araska.
  • Althusser, L. 1984. Essays on Ideology. London: Verso.
  • Yamin, Muhammad. 1953. Gajah Mada Pahlawan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Hadi, Kuncoro.2003. Gajah Mada, Wilwatikta, Sumpah Palapa, Pasundan Bubat . Bandung: Nuansa Cendekia.
  • Munandar, Agus Aris. 2010. Gajah Mada, Biografi Politik . Jakarta: Komunitas Bambu, 2010.
  • Djafar, Hasan. 1978. Girindrawarddana; Beberapa Masalah Majapahit Akhir . Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Budhhis Nalanda.
  • Achmad , Sri Wintala. 2013. Falsafah Kepemimpinan Jawa . Yogyakarta: Araska.
  • Muljana, Slamet. 1976. Story Of Majapahit. Singapura: Singapore University Press.
  • Pecheux, Michel. 1982. Language, Semantic and Ideology. New York: ST Martin’s Press.