Apa yang anda ketahui tentang Situs Ratu Baka ?

Situs Ratu Baka bukanlah merupakan candi, melainkan reruntuhan sebuah kerajaan. Oleh karena itu, Candi Ratu Baka sering disebut juga Kraton Ratu Baka. Disebut Kraton Baka, karena menurut legenda situs tersebut merupakan istana Ratu Baka, ayah Lara Jonggrang. Kata ‘kraton’ berasal dari kata Ka-ra-tu-an yang berarti istana raja. Diperkirakan situs Ratu Baka dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa Syailendra yang beragama Buddha, namun kemudian diambil alih oleh raja-raja Mataram Hindu. Peralihan ‘pemilik’ tersebut menyebabkan bangunan Kraton Baka dipengaruhi oleh Hinduisme dan Buddhisme.

Apa yang anda ketahui tentang Situs Ratu Baka ?

Situs Ratu Baka atau Candi Boko (bahasa Jawa: Candhi Ratu Baka) adalah situs purbakala yang merupakan kompleks sejumlah sisa bangunan yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan dari kompleks Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Situs Ratu Baka terletak di sebuah bukit pada ketinggian 196 meter dari permukaan laut. Luas keseluruhan kompleks adalah sekitar 25 ha.

Situs ini menampilkan atribut sebagai tempat berkegiatan atau situs permukiman, namun fungsi tepatnya belum diketahui dengan jelas. Ratu Boko diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa Sailendra (Rakai Panangkaran) dari Kerajaan Medang (Mataram Hindu). Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton (istana raja). Pendapat ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleks ini bukan candi atau bangunan dengan sifat religius, melainkan sebuah istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan. Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar lokasi situs ini.

Nama “Ratu Baka” berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu Baka (bahasa Jawa, arti harafiah: “raja bangau”) adalah ayah dari Loro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada kompleks Candi Prambanan. Kompleks bangunan ini dikaitkan dengan legenda rakyat setempat Loro Jonggrang.

Secara administratif, situs ini berada di wilayah dua Dukuh, yakni Dukuh Dawung, Desa Bokoharjo dan Dukuh Sumberwatu, Desa Sambireja, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Indonesia.

Situs ini dicalonkan ke UNESCO untuk dijadikan Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.

Sejarah Situs Ratu Boko


image

Situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada tahun 1790, yang menyatakan terdapat reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Ratu Boko. Bukit ini sendiri merupakan cabang dari sistem Pegunungan Sewu, yang membentang dari selatan Yogyakarta hingga daerah Tulungagung. Seratus tahun kemudian baru dilakukan penelitian yang dipimpin oleh FDK Bosch, yang dilaporkan dalam Keraton van Ratoe Boko. Dari sinilah disimpulkan bahwa reruntuhan itu merupakan sisa-sisa keraton.

Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M merupakan bukti tertulis yang ditemukan di situs Ratu Baka. Dalam prasasti ini menyebut seorang tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana atau Rakai Panangkaran (746-784 M), serta menyebut suatu kawasan wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara (“wihara di bukit yang bebas dari bahaya”). Rakai Panangkaran mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan, salah satunya dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M. Rakai Panangkaran menganut agama Buddha demikian juga bangunan tersebut disebut Abhayagiri Wihara adalah berlatar belakang agama Buddha, sebagai buktinya adalah adanya Arca Dyani Buddha. Namun ditemukan pula unsur-unsur agama Hindu di situs Ratu Boko Seperti adanya Arca Durga, Ganesha dan Yoni.

Tampaknya, kompleks ini kemudian diubah menjadi keraton dilengkapi benteng pertahanan bagi raja bawahan (vassal) yang bernama Rakai Walaing Pu Kumbayoni. Menurut prasasti Siwagrha tempat ini disebut sebagai kubu pertahanan yang terdiri atas tumpukan beratus-ratus batu oleh Balaputra. Bangunan di atas bukit ini dijadikan kubu pertahanan dalam pertempuran perebutan kekuasaan di kemudian hari.

Di dalam kompleks ini terdapat bekas gapura, ruang Paseban, kolam, Pendopo, Pringgitan, keputren, dan dua ceruk gua untuk bermeditasi.

Keistimewaan Situs Ratu Boko


Berbeda dengan peninggalan purbakala lain dari zaman Jawa Kuno yang umumnya berbentuk bangunan keagamaan, situs Ratu Boko merupakan kompleks profan, lengkap dengan gerbang masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung.

Berbeda pula dengan keraton lain di Jawa yang umumnya didirikan di daerah yang relatif landai, situs Ratu Boko terletak di atas bukit yang lumayan tinggi. Ini membuat kompleks bangunan ini relatif lebih sulit dibangun dari sudut pengadaan tenaga kerja dan bahan bangunan. Terkecuali tentu apabila bahan bangunan utamanya, yaitu batu, diambil dari wilayah bukit ini sendiri. Ini tentunya mensyaratkan terlatihnya para pekerja di dalam mengolah bukit batu menjadi bongkahan yang bisa digunakan sebagai bahan bangunan.

Kedudukan di atas bukit ini juga mensyaratkan adanya mata air dan adanya sistem pengaturan air yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kolam pemandian merupakan peninggalan dari sistem pengaturan ini; sisanya merupakan tantangan bagi para arkeolog untuk merekonstruksinya.

Posisi di atas bukit juga memberikan udara sejuk dan pemandangan alam yang indah bagi para penghuninya, selain tentu saja membuat kompleks ini lebih sulit untuk diserang lawan.

Keistimewaan lain dari situs ini adalah adanya tempat di sebelah kiri gapura yang sekarang biasa disebut “tempat kremasi”. Mengingat ukuran dan posisinya, tidak pelak lagi ini merupakan tempat untuk memperlihatkan sesuatu atau suatu kegiatan. Pemberian nama “tempat kremasi” menyiratkan harus adanya kegiatan kremasi rutin di tempat ini yang perlu diteliti lebih lanjut. Sangat boleh jadi perlu dipertimbangkan untuk menyelidiki tempat ini sebagai semacam altar atau tempat sesajen.

Arsitektur Situs Ratu Boko


Gerbang luar Situs Ratu Boko
Gambar Gerbang luar Situs Ratu Boko

Gerbang luar terdiri atas 3 gapura paduraksa yang berjajar arah utara-selatan, berhimpitan menghadap ke timur. Gapura terbesar, yang merupakan gapura utama, terletak di antara dua gapura pengapit. Ketiga gapura tersebut terletak di teras yang tinggi, sehingga untuk sampai ke pelataran teras orang harus menaiki dua tangga batu, masing-masing setinggi sekitar 2,5 m. Dinding teras diberi penguat berupa turap yang terbuat dari susunan batu andesit. Tak satupun dari ketiga gapura tersebut yang atapnya masih utuh, sehingga tidak diketahui bentuk aslinya.

image
Gambar Gerbang utama Situs Ratu Boko

Sekitar 15 m dari gerbang luar berdiri gerbang dalam atau gerbang utama. Gerbang ini terdiri atas 5 gapura paduraksa yang bebaris sejajar dengan gerbang luar. Gapura utama diapit oleh dua gapura pengapit di setiap sisi.

image

Walaupun gerbang dalam ini terdiri atas lima gapura, namun tangga yang tersedia hanya tiga. Dua gapura pengapit yang kecil tidak dihubungkan dengan tangga.

image

Tangga naik dilengkapi dengan pipi tangga dengan hiasan ‘ukel’ (gelung) di pangkal dan kepala raksasa di puncak pipi tangga.

image

Dinding luar pipi tangga juga dihiasi dengan pahatan bermotif bunga dan sulur-suluran. Atap gapura utama sudah hilang sehingga tidak diketahui bentuk aslinya, namun atap gapura pengapit yang masih utuh berbentuk limasan dengan puncak berbentuk ratna.

Candi Batukapur

image

Sekitar 45 m dari gerbang pertama, ke arah timur laut, terdapat fondasi berukuran 5x5 m2 yang dibangun dari batu kapur. Diperkirakan bahwa dinding dan atap bangunan aslinya tidak terbuat dari batu, melainkan dari bahan lain yang mudah rusak, seperti kayu dan sirap atau genteng biasa.

Candi pembakaran

image

Candi pembakaran berbentuk teras tanah berundak setinggi 3 m. Letaknya sekitar 37 m ke arah timur laut dari gerbang utama. Bangunan ini berdenah dasar bujur sangkar dengan luas 26 m2. Teras kedua lebih sempit dari teras pertama, sehingga membentuk selasar di sekeliling teras kedua.

image

Permukaan teras atas atau teras kedua merupakan pelataran rumput. Dinding kedua teras berundak tersebut diperkuat dengan turap dari susunan batu kali. Di sisi barat terdapat tangga batu yang dilengkapi dengan pipi tangga. Di tengah pelataran teras kedua terdapat semacam sumur berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 4X4 m2 yang digunakan sebagai tempat pembakaran mayat.

image

Di sudut tenggara candi pembakaran terdapat salah satu sumur tua yang konon merupakan sumber air suci.

Paseban

image

Paseban merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berarti tempat untuk menghadap raja (seba = menghadap). Bangunan ini terletak sekitar 45 m ke arah selatan dari gapur. Paseban merupakan teras yang dibangun dari batu andesit dengan tinggi 1,5 m, lebar 7 m dan panjang 38 m, membujur arah utara-selatan. Tangga naik ke lantai paseban terletak di sisi barat. Di berbagai tempat di permukaan lantai ditemukan 20 umpak fondasi tempat menancapkan tiang bangunan) dan 4 alur yang diperkirakan bekas tempat berdirinya dinding pembatas.

Pendapa

image

Sekitar 20 m dari paseban, arah selatan dari gapura, terdapat dinding batu setinggi setinggi 3 m yang memagari sebuah lahan dengan ukuran panjang 40 m dan lebar 30 m.

image

Di sisi utara, barat dan selatan pagar tersebut terdapat jalan masuk berupa gapura paduraksa (gapura beratap).

image

Di beberapa tempat di bagian luar dinding terdapat saluran pembuangan air, yang disebut jaladwara. Jaladwara ditemukan juga di candi Banyuniba dan Barabudhur.

image

Dalam pagar batu tersebut terdapat dua teras yang dibangun menggunakan batu susunan andesit. Sepanjang tepi dinding dan di antara dua teras terdapat gang berlantai batu. Teras pertama disebut pendapa, berbentuk semacam panggung persegi setinggi 1,46 m, dengan ukuran luas 20 m2. Dalam bahasa Jawa, pendapa berarti ruang tamu atau hamparan lantai beratap yang umumnya terletak di bagian depan rumah. Tangga naik ke pendapa berada di sisi timurlaut dan baratlaut.

image

Diatas permukaan lantai pendapa terdapat 24 buah umpak batu. Teras kedua, yang disebut ‘pringgitan’ terletak di selatan pendapa. Pringgitan artinya ruang dalam atau ruang duduk. Pringgitan ini juga berdenah segi empat dengan luas 20 X 6 m. Di permukaan lantai pringgitan ditemukan 12 umpak batu.

image

Di luar dinding pendapa, arah tenggara, terdapat sebuah teras batu yang masih utuh. Di ujungnya terdapat 3 buah candi kecil yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Bangunan yang di tengah, yang berukuran lebih besar dibandingkan dengan kedua candi pengapitnya, adalah tempat untuk memuja Dewa Wisnu. Kedua candi yang mengapitnya, masing-masing, merupakan tempat memuja Syiwa dan Brahma.

Keputren

image

Keputren yang artinya tempat tinggal para putri letaknya di timur pendapa. Lingkungan keputren seluas 31 X 8 m dibatasi oleh pagar batu setinggi 2 m, namun sebagian besar pagar batu tersebut telah runtuh. Pintu masuk, berupa gapura paduraksa dengan hiasan Kalamakara di atas ambangnya, terletak di sisi timur dan barat.

image

Lingkungan keputren terbagi dua oleh tembok batu yang memiliki sebuah pintu penghubung. Dalam lingkungan pertama terdapat 3 buah kolam berbentuk persegi. Yang sebuah berbentuk bujur sangkar, berukuran lebih besar dibandingkan kedua kolam lainnya. Dua kolam yang lebih panjang bebentuk persegi panjang membujur arah utara-selatan.

Dalam lingkungan yang bersebelahan dengan tempat ketiga kolam persegi di atas berada, terdapat 8 kolam berbentuk bundar yang berjajar dalam 3 baris.

Gua

image

Di lereng bukit tempat kawasan Ratu Baka berada, terdapat dua buah gua, yang disebut Gua Lanang dan Gua Wadon (gua lelaki dan gua perempuan). Gua Lanang yang terletak di timur laut ‘paseban’ merupakan lorong persegi dengan tinggi 1,3 m, lebar 3,7 m dan dalam 2,9 m. Di dalam gua, masing-masing di sisi kiri, kanan dan belakang, terdapat relung seperti bilik. Pada dinding gua terdapat pahatan berbentuk semacam pigura persegi panjang. Mackenzie menemukan patung di depan Gua Lanang ini.

image

Gua Wadon yang terletak sekitar 20 m ke arah tenggara dari ‘paseban’ lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan Gua Lanang, yaitu tinggi 1,3 m, lebar 3 dan dalam 1, 7 m. Di bagian belakang gua terdapat relung seperti bilik.

Sumber :

Candi ratu boko merupakan salah satu candi populer yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini terletak di Desa Dawing dan Desa Sambireja. Letaknya ada di 19 km sebelah timur dari Kota Yogyakarta dan 3 km sebelah selatan dari Candi Prambanan. Candi Ratu Boko merupakan jenis candi dengan corak hindu dan memiliki letak yang tidak jauh dengan candi candi Hindu lainnya seperti Candi Palosan, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Sambisari dan candi lainnya.

Sejarah Candi Ratu Boko


Penemuan dari sejarah Candi Ratu Boko ini dimulai oleh orang Belanda bernama H.J. De Graff. Beliau pada saat itu (sekitar abad ke 17) mendapat informasi dari orang orang Eropa yang berkunjung ke Jawa bahwa ada peninggalan sejarah yang menarik di Bokoharjo. Mereka mengatakan bahwa ada reruntuhan keraton atau istana yang terletak di Bokoharjo tersebut

Nama Candi Ratu Boko diambil dari nama seorang raja Mataram bernama Ratu Boko. Candi ini diyakini merupakan reruntuhan istana atau keraton Ratu Boko. Raja Ratu Boko ini diyakini pula sebagai ayah dari Roro Jonggrang yang kita kenal dalam legenda populer Roro Jonggrang. Bila kita melihat sejarah Mataram Kuno pada abad ke delapan, Ratu Boko telah dipergunakan oleh dinasti Syailendra jauh sebelum Raja Samaratungga (yang merupakan pendiri Borobudur) dan Rakai Pikatan (yang membangun Prambanan).

Keturunan dinasti Syailendra yang telah memakai Ratu Boko saat itu adalah Rakai Panangkaran. Meski begitu, ada kisah lain yang cukup terkenal yakni kisah Prabu Boko yang menerangkan bahwa reruntuhan bangunan keraton ini telah ada saat masuknya agama Hindu ke tanah Jawa. Kisah ini cukup populer di kalangan cerita rakyat kuno Jawa.

Sejarah Ratu Boko Berdasarkan Prasasti


Sumber lainnya yang menerangkan tentang sejarah Candi Ratu Boko adalah Prasasti Abhayagiri Wihara tahun 792. Prasasti ini ditemukan di lokasi Candi Ratu Boko. Dalam prasasti Abhayagiri Wihara ini disebutkan bahwa ada seorang tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana atau dikenal sebagai Rajai Panangkaran dan bangunan wihara di atas bukit yang bernama Abhyagiri Wihara. Abhyagiri Wihara sendiri memiliki arti biara di bukit yang bebas dari bahaya.

Dikisahkan bahwa Raja Rakai Panangkaran mengundurkan diri sebagai Raja pada saat itu untuk mencari ketenangan batin dan memfokuskan diri pada masalah keagamaan. Salah satu caranya adalah dengan membangun wihara yang dinamakan Abhayagiri Wihara di tahun 792. Diketahui bahwa Rakai Panangkaran bergama Budha dan Wihara tersebut digunakan sebagai tempat ibadah agama Budha.
Dapat dilihat pula warisan corak Budha di Candi Ratu Boko dengan adanya Arca Dyani Budha. Meski begitu, terdapat pula corak agama Hindi di Candi Ratu Boko seperti Arca Durga, Ganesha dan Yoni.

Candi Ratu Boko atau Keraton Ratu Boko atau Situs Ratu Boko merupakan salah satu peninggalan sejarah nusantara dari abad ke VII - IX Masehi yang terletak di kawasan Yogyakarta, tepatnya di Kabupaten Sleman, tidak terlalu jauh dari Candi Prambanan. Kawasan ini memang dikenal sebagai kawasan purbakala di mana banyak ditemukan bangunan-bangunan candi yang sebagian besar mungkin masih belum ditemukan.

Candi Ratu Boko terletak di atas perbukitan di ketinggian 196 meter di atas permukaan laut, sekilas bentuknya mirip benteng pertahanan, namun sejatinya bangunan batu ini merupakan bekas komplek Wihara sebagaimana yang tercatat pada prasasti Abhayagiriwihara yang berangka tahun 792 Masehi.

Situs Ratu Boko memiliki luas 160.892 Meter Persegi atau lebih dari 16 Hektar, banyak wisatawan yang terkecoh hanya dengan melihat bagian depanya saja, sejatinya situs ini cukup luas dan terdiri dari bangunan-bangunan dengan tema berbeda, seperti bangunan Candi Pembakaran, Paseban, Alun-Alun, Batur Paseban, Pendopo Keraton, Keputren, Goa, alun-alun dan lainya.

Banyak wisataan yang datang ke Situs Ratu Boko pada sore hari untuk dapat melihat keindahan sunset dari atas bukit ini, bagian depan GapuraKeraton Ratu Boko yang memiliki bentuk unik dan khas memang tepat menghadap ke Barat sehingga perpaduan eindahan matahari terbenam berpadu dengan keindahan arsitektur Gapura Candi menjadi daya tarik terutama untuk mereka yang menyukai fotografi.

Situs Ratu Boko merupakan bangunan peninggalan sejarah yang bercorak Hinduisme sekaligus juga memiliki sejarah corak Budhisme. Peninggalan sejarah yang menunjukan corak Budhisme di Ratu Boko antaralain ditemukanya reruntuhan Stupa dan Arca Dayani Budha, hal ini sesuai dengan apa yang ditulis dalam Prasasti Abhayagiriwihara yang menuliskan bahwa bangnan ini pada mulanya diperuntukan sebagai bangunan Wihara.

Sekitar tahun 856 Masehi, SitusRatu Boko perubah menjadi rumah kediaman seorang penguasa yang bernama Rakai Walaing Pu Kumbhayoni yang beragama Hindu. Hal ini dikuatkan dengan temuan 3 buah Prasasti Ratu Boko (a,b dan c) berangka tahun 856 Masehi yang kesemuanya menceritakan tentang pendirian lingga yang berkaitan dengan agama Hindu. Prasasti lain yang ditemukan yaitu prasasti Pareng berangka tahun 862 Masehi yang menceritakan pendirian sebuah bangunan suci untuk dewa Siwa yaitu Candi Badraloka. Peninggalan arkelologi lain yang bersifat Hinduisme di Situs Ratu Boko antaralain adalah ditemukanya Arca Durga, Ganesha, Yoni dan sebuah prasasti yang terbuat dari lempengan emas.

Masuk ke dalam kawasan Candi Ratu Boko, setelah melewati jalan setapak dan beberapa anak tangga, pengunjung akan tiba di Gapura Keraton Ratu Boko, bentuk gapura ini sangat terkenal, bahkan bisa dikatakan hampir semua foro-foto wisatawan tentang Ratu Boko mengambil lokasi di tempat ini. Pintu Gapura ini menghadap ke barat, sehingga berhadapan langsung dengan pemandangan matahari terbenam.

Masuk melewati gapura, di sebelah kiri anda terdapat bangunan batu tinggi yang bernama Candi Pembakaran. Bangunan candi ini terbuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 22.6 meter, lebar 22.33 meter dan tinggi 3.82 meter. Disebut sebagai candi pembakaran karena di dalam candi ini pernah ditemukan abu bekas pembakaran yang pada mulanya dipercaya sebagai abu dari pembakaran jenazah raja, namun dari hasil penelitian abu tersebut merupakan hasil dari pembakaran kayu dan tiak diketemukan unsur tulang atau unsur tubuh manusia lainya. Di dalam Candi Pembakaran terdapat sumur suci, air sumur dengan kedalaman sekitar 5 meter ini dipercaya mempunyai tuah dan digunakan sebagai air suci pada kegiatan keagamaan di Candi Pembakaran. Sampai saat ini air dari sumur suci masih digunakan pada pada upacara keagamaan Tawur Agung menjelang Hari Raya Nyepi. Air dari sumur ini dibawa ke pelataran Candi Prambanan sebagai tempat dilaksanakanya upacara Tawur Agung.

Menyusuri jalan setapak ke sebelah kanan wisatawan akan menemukan bangunan lain yang diberi nama Paseban, Paseban merupakan bangunan yang diperuntukan sebagai ruang tunggu bagi tamu yang akan menemui raja.

Keluar dari Gapura di sebelah selatan, menuruni anak tangga wisatawan akan menyadari bahwa komplek Ratu Boko memiliki area yang cukup luas, di sekitar lokasi ini wisatawan akan melihat beberapa objek antara lain Pendopo Keraton, Keputren dan Goa. Pendopo berukuran besar dengan pagar yang tinggi diperkirakan merupakan bangunan utama, bangunan pendopo sebelumnya diperkirakan memiliki tiang-tiang kayu, atap dan dinding layaknya bangunan pendopo keraton yang mewah.

Selain menyimpan sejarah yang tinggi, Situs Ratu Boko merupakan tempat yang nyaman untuk bersantai di sore hari saat matahari terbenam, di saat sore banyak wisatawan yang berfoto dan bersantai sambil menikmati keindahan alam. Tiket masuk Ratu boko untuk dewasa ialah Rp. 25.000, tiket parkir mobil Rp. 10.000.

sumber : http://www.indotravelers.com/yogyakarta/wisata_di_ratu_boko.html