Apa yang anda ketahui tentang sejarah psikologi forensik?

Psikologi Forensik

Psikologi forensik merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari subyek dari segi kognitif, afektif dan perilaku dalam kaitannya dengan proses hukum. Dengan kata lain, psikologi forensik merupakan titik temu antara bidang psikologi dan bidang penegakan hukum.

1 Like

Sejarah psikologi forensik dimulai ketika James McKeen Cattell mengadakan eksperimen tentang psikologi saksi mata terhadap beberapa mahasiswa di Universitas Columbia untuk mengukur tingkat keyakinan pribadi akan kesaksian dari setiap mahasiswa. Hasil penelitiannya cukup mengejutkan karena tingkat inakurasi yang tinggi dari jawaban-jawaban yang didapatnya. Timbul pertanyaan, bagaimana kesaksian seseorang dapat digunakan di pengadilan, jika orang itu sendiri tidak yakin akan kesaksiannya. Hal ini memancing para psikolog lainnya untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang psikologi saksi mata.

Terinspirasi oleh eksperimen Cattell, Alfred Binet mengadakan eksperimen yang serupa dan meneliti hasil-hasil dari eksperimen-eksperimen lainnya yang terkait dengan bidang hukum dan peradilan pidana. Hasil karya Binet tentang pengujian tingkat kecerdasan juga memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu psikologi forensik, karena banyak alat penelitian kejiwaan yang digunakan sekarang diambil atau bersumber dari karyanya itu.

Psikolog William Stern pada tahun 1901 juga mengadakan penelitian tentang kemampuan seseorang dalam mengingat informasi. Dalam suatu eksperimen, ia menanyakan kepada para mahasiswanya tentang apa yang mereka saksikan dari suatu peristiwa pertengkaran antara dua teman sekelas mereka. Ia menemukan adanya beberapa kesalahan yang umum dilakukan di antara mereka, dan menyimpulkan bahwa emosi turut berperan dalam menurunkan tingkat keakuratan informasi yang diingat. Oleh karena itu Stern mengadakan penelitian-penelitian lanjutan tentang kesaksian atau testimoni, dan menghasilkan jurnal akademik pertama di bidang psikologi terapan.

Pada tahun 1896, psikolog Albert von Schrenck-Notzing memberi kesaksian di sebuah pengadilan kasus pembunuhan, bahwa sifat mudah dipengaruhi (suggestibility) turut berperan dalam kesaksian seorang saksi di pengadilan. Kontribusi lainnya di dunia psikologi forensik diberikan oleh Hugo Munsterberg. Dalam karyanya On The Witness Stand yang terbit pada tahun 1908 ia menganjurkan penerapan prinsip-prinsip ilmu psikologi di bidang hukum.

Selanjutnya pada tahun 1916, Lewis Sterman merevisi dan menyempurnakan tes kecerdasan yang dilakukan Binet dan menerapkannya pada rekrutmen calon-calon anggota penegak hukum. Kemudian. pada tahun 1917 psikolog William Marston menemukan keterkaitan yang erat antara tekanan darah sistolik dan tindakan berbohong. Penemuan ini menjadi dasar dikembangkannya detector poligraf modern, yang lebih dikenal sebagai alat pendeteksi kebohongan (lie detector).

Pada perkembangan selanjutnya, kesaksian Marston dalam sidang sebuah kasus pada tahun 1923 menjadi preseden awal diterapkannya penggunaan kesaksian saksi ahli di dalam suatu sidang pengadilan. Dalam kaitan dengan hal itu, Pengadilan Banding Federal di Amerika Serikat menetapkan bahwa suatu prosedur, teknik, atau penilaian, untuk dapat dijadikan bukti di sidang pengadilan, harus lebih dahulu diterima secara umum oleh para ahli di bidang disiplin ilmu yang bersangkutan.

Tidak banyak terjadi perkembangan yang berarti dalam dunia psikologi forensik di Amerika Serikat hingga berakhirnya Perang Dunia II. Psikolog hanya diterima kesaksiannya di dalam persidangan, selama dinilai tidak melanggar kredibilitas para ahli medis, yang dianggap lebih dapat dipercaya sebagai saksi ahli. Dalam kasus Hawthorne pada tahun 1940 pengadilan menetapkan bahwa yang menjadi standar seorang saksi ahli adalah tingkat pengetahuannya dalam bidang tertentu, bukan ada tidaknya gelar medis yang dimilikinya. Dalam kasus Brown pada tahun 1954 ada beberapa psikolog yang memberi kesaksian, sekaligus baik di pihak penggugat maupun tergugat.

Dalam perkembangannya, masuknya psikologi ke dalam proses hukum belum sepenuhnya diterima dan masih menuai pro dan kontra. Sebagian kalangan masih cenderung mrnggunakan pendekatan ilmu sosial dalam penyelesaian kasus-kasus hukum. Namun seiring perkembangan zaman di mana semakin banyak kasus kriminal yang didapati melibatkan pelaku-pelaku yang mengalami tekanan atau gangguan mental yang melatarbelakangi tindakan mereka, maka semakin intensif juga peran psikolog dilibatkan secara aktif dalam mengusut dan memperjelas berbagai kasus hukum yang terjadi.

Psikologi forensik terus mengalami perkembangan selama tiga dekade terakhir. Ada beberapa program pascasarjana yang menawarkan gelar ganda di bidang psikologi dan hukum, dan ada pula yang menawarkan spesialisasi khusus di bidang psikologi forensik. Pada tahun 2001 Asosiasi Psikologi Amerika secara resmi mengakui psikologi forensik sebagai salah satu bidang spesialisasi dalam ilmu psikologi.

Pada tahun 1901, Willian Stern melaporkan bahwa dia sedang meneliti ketepatan ingatan orang, suatu rintisan awal dalam penelitian yang banyak dilakukan pada masa kini tentang ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam ceramahnya kepada sejumlah hakim Austria pada tahun 1906, Freud mengatakan bahwa psikologi dan hukum memiliki kesamaan kepentingan.

Pada tahun 1908 Hugo Von Munsterberg menerbitkan bukunya tentang The Withness Stand. Dia mengeluh banwa tidak ada orang yang lebih resisten dari pada insan hukum terhadap gagasan bahwa psikolog dapat berperan dalam pengadilan. Dia menuduh bahwa pengacara, hakim, dan bahkan juga anggota juri tampaknya berpendapat bahwa yang mereka butuhkan agar dapat berfungsi dengan baik hanyalah common sense.

Prof. John Wigmore (1909), seorang profesor hukum terkemuka di Northwestern University, memandang dakwaan Munsterberg itu sebagai arogansi. Untuk menanggapi dakwaan tersebut, Wigmore menulis sebuah fiksi karikatur yang menggambarkan pengadilan terhadap Munsterberg. Munsterberg dituntut karena telah menyebarkan fitnah, dituduh membesar-besarkan peranan yang dapat ditawarkan oleh seorang psikolog, mengabaikan pertentangan pendapat yang terjadi dikalangan para psikolog sendiri, dan tidak memahami perbedaaan antara hasil laboratorium dan realita persyaratan hukum. Tentu saja “pengadilan” itu menempatkan Munsterberg pada posisi yang kalah dan harus membayar denda.

Serangan Wigmore ini demikian pintar dan menghancurkan, sehingga baru 25 tahun kemudian psikolog dipandang tepat lagi untuk berperan sebagai seorang saksi ahli. Akan tetapi, tidak lama menjelang kematiannya sekitar 50 tahun kemudian, Wigmore memperlunak kritiknya. Dia mengatakan pengadilan seyogyanya siap menggunakan setiap cara yang oleh para psikolog sendiri disepakati sebagai cara yang sehat, akurat dan praktis.

Namun demikian, pengaruh langsung psikologi relatif kecil terhadap hukum hingga tahun 1954. Pada tahun tersebut Kejaksaan Agung akhirnya memberi perhatian pada ilmu-ilmu sosial dalam kasus disagregasi Brown V. Board of Education. Kemudian pada tahun 1961 hakim Bazelon yang menulis tentang He U.S court of Appeals untuk the District of Columbia Circuit untuk pertama kalinya bahwa psikolog yang berkualifikasi dapat memberikan kesaksian di pengadilan sebagai saksi ahli dalam gangguan mental.

Kini, psikolog selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir semua bidang hukum termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum tata usaha. Disamping itu, mereka juga berperan sebagai konsultan bagi berbagai lembaga dan individu dalam sistem hukum. Kini psikologi forensik telah tiba pada suatu titik dimana terdapat spesialis dalam bidang penelitian psikolegal, program pelatihan interdisiplin sudah menjadi suatu yang lazim dan berbagai buku dan jurnal dalam bidang keahlian ini sudah banyak diterbitkan.