Apa yang anda ketahui tentang sejarah bangunan suci Ka'bah ?

Ka'bah

Apa yang anda ketahui tentang sejarah bangunan suci Ka’bah ?

Ka’bah Baitullah yang terletak di kota Mekkah al Mukarramah adalah tempat suci utama dalam pelaksanaan ibadah haji. Tempat itu dipilih Allah sebagai lokasi tumbuh kembangnya agama tauhid. Dalam surat Ali Imran Ayat 96 dijelaskan :

“Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia ialah (Baitullah) di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam”.

Menurut Alqurtubi, orang yang pertama kali membangun Ka’bah Baitullah adalah Adam. Sedangkan Ali bin Ali Thalib mengatakan bahwa Allah telah memerintahkan para Malaikat untuk membangun Ka’bah Baitullah di bumi dan thawaf di sana. Peristiwa tersebut terjadi sebelum Adam datang ke Bumi. Setelah Adam di Bumi, ia melanjutkan pembangunan Ka’bah Baitullah dan thawaf di sana. Para Nabi sesudahnya juga melaksanakan demikian di sana.

Jadi, sebelum Nabi Ibrahim beserta Isterinya, Hajar dan puteranya, Ismail memasuki Mekkah, para Nabi dan umat terdahulu telah menjadikan tempat tersebut sebagai pusat peribadatan kepada Allah.

Dalam perkembangan selanjutnya, karena daerah itu menjadi gersang dan tidak bisa memberikan penghidupan kepada manusia, maka ditinggalkan penghuninya. Allah menghendaki agar tempat tersebut dihidupkan kembali dan difungsikan seperti sediakala. Allah menyuruh Nabi Ibrahim untuk menempatkan anak keturunannya, Ismail dengan ibunya, Hajar agar menetap di sana guna keperluan tersebut.

Tak dapat dibayangkan betapa beratnya perasaan Nabi Ibrahim as. menempatkan anak dan istrinya di suatu tempat yang jauh, asing, gersang, dan tak berpenghuni. Terbayang olehnya betapa sulitnya anak dan isterinya untuk bisa bertahan hidup di suatu lembah yang gersang tanpa ada tanam-tanaman dan penghuni lain sama sekali. Sebagai seorang manusia, ia merasakan kepedihan itu. Tetapi sebagai seorang Nabi, tidak ada pilihan lain baginya kecuali menuruti perintah Tuhannya. Beliau pasrahkan semuanya kepada Allah dengan penuh keyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang berusaha menaati-Nya. Ia tinggalkan isterinya, Hajar dan Ismail yang masih menyusu kemudian ia kembali ke Kan’an, Palestina.

Goresan perasaan sedih Nabi Ibrahim itu diabadikan Allah dalam surat Ibrahim ayat 37:

Ya Tuhan Kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Sepeninggal Ibrahim, Hajar dan Ismail mengalami derita yang sangat dalam. Sebagai seorang ibu yang sedang menyusui ditinggal suami pergi entah kapan kembali, dengan perbekalan serba terbatas, di tengah lembah tandus tanpa penghuni, kalau bukan karena keimanan yang amat kokoh kepada Sang Pencipta, tak mungkin berani menghadapi situasi seperti itu.

Hanya ketabahan hati dan rasa tawakkal kepada Allah yang sangat luar biasa saja yang dapat menghibur Hajar untuk tidak berputus asa menghadapi kenyataan hidup yang sangat pahit. Ketika tiba saat yang paling genting, di mana perbekalan makanan dan minuman telah habis, sementara anaknya, Ismail kelaparan karena air susu ibunya mengering, naluri seorang ibu bangkit mencari solusi untuk menyelamatkan anaknya. Ia lari ke sana ke mari, bolak-balik dari bukit Sofa ke bukit Marwah sampai tujuh kali, mencari pertolongan kalau-kalau ada orang yang bisa memberi bantuan kepadanya. Usaha mencari bantuan dari manusia gagal karena tidak ada orang lain selain mereka berdua. Ia lalu mengadu kepada Rab-nya.

Pada puncak penderitaan itulah datang pertolongan Allah berupa diketemukannya sumber air yang melimpah (sumur Zamzam). Dengan sumber air itu mereka terbebas dari kesulitan dan dengan sumber air itu pula mereka memperoleh rezeki karena para kafilah dari Yaman yang akan menuju ke Syam dan Iraq atau sebaliknya singgah dan berkemah di situ sebelum melanjutkan perjalanan.

Selama ini tempat itu tidak pernah disinggahi kafilah karena tidak ada sesuatu yang bisa diambil manfaat darinya. Tetapi setelah ditemukan sumber mata air yang melimpah oleh Hajar, maka setiap kafilah yang melewati tempat itu pasti singgah untuk mengambil perbekalan air minum. Kedatangan para kafilah itu membuat Hajar dan Ismail memperoleh rejeki sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan layak.

Dengan berjalannya waktu, setelah ± 13 tahun, Ibrahim datang ke Mekkah mengunjungi mereka. Betapa gembiranya Ibrahim melihat keadaan Istri dan anaknya hidup sehat. Ismail tumbuh menjadi anak yang patuh kepada orang tuanya. Belum puas merasakan kegembiraan dalam kerinduan itu, tiba-tiba Ibrahim diperintah oleh Tuhannya melalui mimpi untuk menyembelih anaknya, Ismail. Sebagai seorang manusia ia bimbang dengan mimpinya itu. Tetapi sebagai seorang Nabi, tidak ada pilihan lain kecuali mematuhi perintah Tuhannya. Ia yakin bahwa Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan dirinya dan keluarganya. Maka, ia lebih mendahulukan perintah Tuhannya daripada bersenang-senang bersama anak isterinya.

Ia panggil Ismail dan ia sampaikan kehendaknya untuk melaksanakan perintah Allah. Kejadian yang sangat memilukan itu direkam Allah dalam surat as-Shafat 102 -105:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya), dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Ketika mereka berdua pergi ke suatu tempat untuk melaksanakan mimpinya itu, datanglah syetan menggoda, membisikkan keraguan di hati mereka. Mereka teguh pendirian untuk tetap melaksanakan perintah. Tidak ada keraguan sedikitpun. Mereka berhasil “menghalau” syetan yang mencoba merasuki hati untuk membuat was-was agar tidak menjalankan perintah. Demikianlah, Ismail yang menjelang remaja itu tanpa ragu sedikitpun menyerahkan dirinya kepada orang tuanya demi menjalankan perintah Tuhannya.

Setelah peristiwa itu, Allah memberikan kehormatan yang tinggi kepada Ibrahim dan keluarga dengan kedudukan yang mulia di sisi-Nya. Allah menjelaskan hal itu dalam surat al-Baqarah 124 :

“… dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.

Ujian yang diberikan Allah kepada Ibrahim belum berhenti sampai di situ. Tuhan masih menambah ujian berupa tugas membangun Ka’bah. Ibrahim dan Ismail melaksanakan tugas itu dengan baik pula. Allah menggambarkan tugas yang mereka laksanakan itu di dalam surat Al-Baqarah 127 :

“… dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan Kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Nabi Ibrahim lalu diperintahkan beribadah kepada Allah dan mengajak manusia menunaikan haji ke Baitullah. Dalam surat al- Hajji ayat 26-27 dinyatakan:

"Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus3 yang datang dari segenap penjuru yang jauh”.

Seruan Nabi Ibrahim as. itu disambut oleh masyarakat Arab. Mereka mengerjakan haji ke Baitullah yang dibangun Ibrahim itu, thawaf, dan memuji Allah serta mengagungkan asma-Nya sampai ribuan tahun lamanya dari generasi ke generasi.

Ketika Nabi Muhammad saw diutus Allah sebagai Rasul-Nya, masyarakat Arab masih melaksanakan haji yang dituntunkan oleh Nabi Ibrahim. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya sudah menyimpang. Mereka membuat inovasi sendiri dalam pelaksanaan ibadah haji. Di antaranya dalam melaksanakan thawaf mereka lakukan tanpa busana dan yang mereka sembah bukan Allah melainkan berhala-berhala yang mereka pajang di sekitar Ka’bah.4 Abu Hurairah menjelaskan hal itu sebagai berikut:

" Dari Abu Hurairah ia berkata : Aku pernah diutus Abu Bakar untuk mengumumkan pada hari Nahar di Mina, bahwa sesudah tahun ini orang musyrik tidak boleh menunaikan ibadah haji dan tidak boleh tawaf di Ka’bah dengan telanjang. Dan haji akbar itu adalah hari Nahar". (H.R. Al-Bukhari)

Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk membetulkan praktik haji yang menyimpang itu sekaligus membenahinya dalam bentuk manasik haji dengan mentauhidkan Allah seperti yang diamalkan oleh umat Islam sekarang. Dalam surat Al-An’am ayat 161 Allah menyebutkan hal itu :

"Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik”.

Pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan Nabi Muhammad saw mengalami perkembangan dibanding dengan amalan haji yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Di antara pengembangannya adalah adanya sa’i, melempar jumrah, bermalam di Muzdalifah, bermalam di Mina dan di akhiri dengan tahallul. Pengembangan amalan haji sekarang ini sesungguhnya merupakan simbolisasi dari apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim bersama keluarganya, Hajar dan Ismail. Ada makna yang tersembunyi di balik amalan itu, yakni ajaran untuk meneladani perilaku Nabi Ibrahim dan keluarganya dalam mendarmabaktikan hidupnya kepada Allah.

Bahwa sumpah manusia kepada Allah sebagaimana yang diucapkan pada setiap mengawali salat. “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan alam semesta”, benar-benar telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya. Sikap pasrah seperti itulah sesungguhnya yang harus dihayati oleh seseorang dan hendaknya dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari setelah ia kembali dari mengerjakan ibadah haji.

Demikianlah, ibadah haji itu pada mulanya syari’at nabi Ibrahim, kemudian disyari’atkan pula kepada umat Nabi Muhammad saw. dengan disertai perbaikan dan penambahan. Kesemuanya itu dimaksudkan agar manusia lebih menghayati makna penyerahan diri secara tuntas kepada Allah SWT.

Referensi :

  • Sami bin Abdullah al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Terjemahan oleh Qasim Saleh, Lc. MA, 2008, Almahira, Jakarta
  • Muhammad Ilyas Abdul Ghani, Sejarah Mekkah, Mekkah : Al-Rasheed Printers, 2004
  • Syeikh Faisal bin Abdul Aziz Ali Mubarak, Nailul Authar, Terjemahan Jilid III oleh Muammal Hamidi, dkk. Surabaya : Bina Ilmu, 1993.