Tujuh puluh satu tahun yang lalu, saat perang dunia kedua berada di ujung penentuan, pasukan marinir AS menyerbu pantai di sebuah pulau milik Jepang, pulau Iwo Jima, yang menandai serangan awal pasukan sekutu menuju serangan frontal terhadap pasukan kekaisaran Jepang di kepulauan Nippon.
Pertempuran Iwo Jima tidaklah seperti pertempuran biasa dalam sejarah perang dunia kedua. Ini adalah sebuah pertempuran luar biasa dalam jarak dekat, layaknya permainan antara kucing dan tikus, sebuah sejarah heroisme yang dikenang sebagai The Battle Of Iwo Jima (19 February – 26 Maret 1945).
Pertempuran Pasifik - Pulau Iwo Jima
Pada saat awal mula pasukan AS mulai menyerang dari arah pantai tenggara pada tanggal 19 Februari 1945, kekuatan pasukan marinir AS masih dipenuhi pertanyaan apakah masih ada pasukan Jepang yang tersisa dan masih hidup di Iwo Jima. Karena sebelum penyerbuan tersebut, skuadron pesawat pasukan sekutu, kapal perang dan kapal penjelajah telah menghabiskan waktu selama dua setengah bulan untuk penghancuran total pulau tersebut dengan ribuan ton bahan peledak berkekuatan tinggi, pasukan AS membombardir hampir di setiap permukaan pulau Iwo Jima, hasil dari banjir bom tersebut meninggalkan tumpukan api membara dari batu-batu hangus dan pepohonan yang terbakar. Kabut asap mengepul dan menutupi permukaan pulau, bau mesiu dan belerang tercium berat di udara. “Tidak ada pohon dibiarkan berdiri,” demikian yang dikatakan Kopral Stacy Looney. Semua telah diratakan dengan bom!
Disisi lain 21.000 pasukan tentara Jepang bersembunyi di dalam jaringan terowongan bawah tanah menghindari hujan bom dari pesawat Amerika, pasukan yang kekurangan suplai dan amunisi, setelah armada laut utama Jepang telah dikalahkan pasukan sekutu. Tentara Jepang sadar, bahwa tak akan ada bantuan pasukan dari pulau utama yang akan datang, namun mereka tetap bertekad bahwa pulau Iwo Jima tidak akan di dapatkan dengan mudah oleh Amerika.
Pendaratan awal marinir AS di Iwo Jima
Di dukung dengan jumlah pasukan sebesar 110.00 orang dari berbagai satuan Marinir dan Angkatan Laut. Marinir AS hanya diberitahu bahwa mereka kemungkinan akan menghadapi perlawanan berat, tetapi dari gelombang pertama kapal pendarat, mereka hanya menemui beberapa serangan kecil artileri yang tersebar dengan beberapa tembakan senjata kecil. Ribuan infanteri yang mendarat, tank dan kendaraan mampu menduduki pantai dengan relatif sangat mudah. “Ada sesuatu yang ganjil,” kata salah satu kopral. Marinir AS menjadi curiga dan bertanya-tanya, apa mungkin pulau ini benar-benar telah dikalahkan. Namun begitu unit pasukan pertama mulai semakin maju kedepan meninggalkan arah pantai, segera serentak puluhan meriam Jepang meletus menyerang dengan disertai tembakan mortir dan senapan mesin, dan peluru tembakan artileri mulai menghujani pasukan dan peralatan AS yang masih berada di pantai. Pasukan AS sempat panik menghadapi serbuan tak disangka yang datang secara tiba-tiba. Dan ditengah hujan bombardir dan serbuan senapan mesin yang menghadang, pasukan AS tersadar, bahwa mereka tidak akan bisa mengambil pulau ini begitu saja tanpa adanya perlawanan, karena ternyata masih begitu banyak tentara Jepang berjuang mempertahankan pulau ini.
Setelah penembakan artileri Jepang dimulai, zona pendaratan Amerika berubah menjadi kawah dengan semburan ledakan peluru meriam dan mortir. Thomas McPhatter, salah satu dari beberapa ratus pasukan marinir Afro-Amerika yang tergabung dalam serangan itu sebagai pengemudi truk dan penanganan amunisi amfibi, menjelaskan bahwa adegan serbuan artileri Jepang itu bagaikan neraka. Dengan berbagai ledakan dimana-mana, disertai desingan peluru dari senapan mesin Jepang. “Aku melompat di lubang perlindungan dan ada seorang Marinir muda kulit putih sedang memegang gambar keluarganya,” katanya. "Dia telah terkena pecahan peluru, mengalami pendarahan dari telinga, hidung dan mulut. Ini membuatku takut. Satu-satunya hal yang saya bisa lakukan adalah berbaring di sana dan berdoa pada Tuhan, berulang-ulang. "Setelah melewati serbuan artileri intens ini, pasukan AS mulai merobohkan satu persatu parit Jepang yang berada di dekat garis pantai. Sementara lainnya bekerja keras keras berjalan melalui abu vulkanik yang dalam untuk menyeberang ke sisi barat pulau, memotong jalan dari arah selatan gunung Suribachi setinggi 550 kaki. Saat malam tiba, lebih dari 30.000 marinir AS telah mendarat di Iwo Jima.
Di hari selanjutnya pasukan AS terus merengsek maju, menguasai lapangan terbang pertama dari tiga lapangan udara yang ada, dan terus bergerak ke arah sektor utara yang dipenuhi bebatuan pulau itu. Pada tanggal 23 Februari, pasukan dari divisi marinir 28 berhasil mencapai puncak di ketinggian gunung Suribachi, dengan suara sorak sorai dan tembakan perayaan dari orang-orang yang menonton di bawahnya. Associated Press Fotografer Joe Rosenthal mengambil foto tersebut yang kini sangat terkenal, foto dari enam marinir yang sedang mengerek “Stars and Stripes” di puncak gunung, namun pengibaran bendera itu hanya kemenangan sesaat, yang setelahnya berubah menjadi pertempuran yang sangat sengit. Marinir AS terus berjuang untuk melalui bukit-bukit dan selokan-selokan dengan julukan seperti “Meat Grinder,” “Death Valley” dan “Bloody Gorge,” mereka menderita ribuan korban untuk setiap mil dari wilayah yang diperoleh dari tangan pasukan Jepang.
Pertempuran Iwo Jima seperti mengambil bentuk permainan mematikan antara kucing dan tikus. Jenderal Kuribayashi telah memerintahkan anak buahnya untuk melawan dengan cara yang lebih mirip yang disebut perang gerilya. Tentara Jepang sering menyergap satuan-satuan marinir AS dan kemudian menghilang ke dalam gua dan terowongan, hanya untuk kemudian muncul kembali di posisi baru dan menyerang lagi. “Dengan harga yang mahal, anda berada di sebuah bukit untuk kemudian menemukan musuh yang sama tiba-tiba berada di sisi atau belakang anda,” kata Fred Haynes, sehingga menghadirkan ucapan bahwa.
“Orang Jepang tidak ada di Iwo Jima. Mereka ada di dalamnya!”