Apa yang anda ketahui tentang Perjanjian Pranikah atau Perjanjian Perkawinan?

blob

Apa yang anda ketahui tentang Perjanjian Pranikah atau Perjanjian Perkawinan ?

Berdasarkan pasal 1320 KUHPER mengatur tentang syarat sahnya perjanjian:

  • Adanya kesepakatan kedua belah pihak
  • Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
  • Adanya objek
  • Adanya Kausa yang halal

Ditinjau dari pasal 1320 KUHPER maka isi dalam perjanjian perkawinan dapat berisikan hal apa saja selama tidak bertentangan dengan syarat sah nya perjanjian. Dalam perjanjian perkawinan adanya dua orang yang melakukan kesepakatan, yaitu pihak pertama dari mempelai wanita, dan pihak kedua dari mempelai laki-laki. Dengan demikian syarat sahnya perjanjian nomor 1 adanya kesepakatan kedua belah pihdak telah terpenuhi.

Masing-masing pihak calon istri dan calon suami merupaka dua orang yang telah cakap hukum. Dalam hal ini suami dan istri telah mampu melakukan perbuatan hukum perkawinan, maka calon istri dan calon suami dikatakan seseorang yang dianggap telah cakap hukum dan diperbolehkan mebuat perjanjian .

Objek dari dalam suatu perjanjian perkawinan harus ada, dalam hal ini objek tersebut bisa merupakan hak dan kewajiban masing-masing pasangan, serta harta kekayaan dari masing-masing pasangan, selama objek perjanjian itu halal atau tidak bertentangan dengan undang-undang dan norma kesusilaan, maka objek tersebut diperbolehkan.

Berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 UU Perkawinan

  • Menentukan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan , setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Dengan demikian bentuk perjanjian perkawinan adalah bebas bisa dalam bentuk akta otentik maupun akta di bawah tangan . Namun dalam praktiknya di buat dalam bentuk akta otentik di hadapan notaris. Perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Pengesahan hanya diberikan apabila perjanjian kawin tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

  • Dengan ini selama perjanjian perkawinan tersebut memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam perkawinan, maka perjanjian tersebut diperbolehkan atau sah.

Perjanjian Perkawinan atau biasa disebut perjanjian pranikah adalah Perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) orang calon pasangan suami-isteri pada saat atau sebelum perkawinan dilakukan, untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.

Akibat hukum dari Perjanjian Perkawinan adalah terikatnya para pihak selama mereka berada dalam suatu ikatan perkawinan. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa:

  1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut;

  2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan, bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan;

  3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;

  4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali jika dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Isi Perjanjian Perkawinan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :

  1. Perjanjian Perkawinan dengan Persatuan Untung-Rugi (Pasal 155 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

  2. Perjanjian Perkawinan dengan Persatuan Hasil dan Pendapatan (Pasal 164 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata); dan

  3. Perjanjian Perkawinan-Peniadaan terhadap setiap kebersamaan harta kekayaan (pisah harta sama sekali).

Perjanjian Perkawinan wajib didaftarkan pada instansi yang telah ditentukan untuk memenuhi unsur publisitas. Pentingnya pendaftaran ini adalah agar memberikan perlindungan secara hukum yang kuat terhadap pihak yang membuatnya, dan juga agar pihak ketiga yang bersangkutan mengetahui dan tunduk pada perjanjian perkawinan tersebut. Misalnya, jika terjadi jual beli oleh suami atau isteri dan dengan adanya perjanjian perkawinan ini maka perjanjian tersebut akan mengikatnya dalam tindakan hukum yang akan dilakukannya.

Apabila Perjanjian Perkawinan tidak didaftarkan, maka perjanjian ini hanya akan mengikat dan berlaku terhadap para pihak yang membuatnya (suami-isteri). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih dan dalam Pasal 1340 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Pencatatan / Pendaftaran Perjanjian Perkawinan untuk suami-isteri yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat atau di KUA perkawinan dicatatkan. Pencatatan dan Pendaftaran untuk suami-isteri yang beragama Non-Islam dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Perjanjian Perkawinan pada dasarnya yang sudah dibuat tidak dapat dirubah selama perkawinan berlangsung, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga, sebagaimana bunyi Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu

“Selama perkawinan dilangsungkan perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.”

Menurut Tamengkel menyatakan bahwa

Perjanjian Perkawinan biasanya dibuat jika seseorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan, maka adakalannya diadakan Perjanjian Perkawinan. Karena Perjanjian Perkawinan ini adalah hak masing-masing pihak apakah ia akan mengadakan perjanjian perkawinan atau tidak dan apa yang melatarbelakangi pihak-pihak tersebut mengadakan perjanjian adalah hak mereka masing-masing. Tapi yang jelas, dengan diadakannya Perjanjian Perkawinan terdapat kepastian hukum terhadap apa yang diperjanjikan mereka untuk melakukan suatu perbuatan hukum terhadap apa yang diperjanjikan.”

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak diatur mengenai peraturan tentang pembuatan Perjanjian Kawin setelah perkawinan dilangsungkan. Ketentuan dalam Undang-Undang tersebut hanya mengatur Perjanjian Kawin yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa:

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.”

Dalam beberapa peraturan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan, terdapat perbedaan dan persamaan peraturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel Perbedaan dan Persamaan Peraturan Mengenai Pembuatan Perjanjian Perkawinan yang Diatur Baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
image

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan, yang mana peraturan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memiliki perbedaan yang mendasar dengan peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan dengan jelas bahwa perjanjian perkawinan itu dibuat sebelum perkawinan berlangsung, dan dibuat dengan Akta Notaris juga tidak perlu disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Sedangkan, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, dimana perjanjian ini dibuat dalam bentuk tertulis, terlepas dengan Akta Notaris pun tetap dibuat secara tertulis.

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menjelaskan lebih jelas apakah yang dimaksud dengan tertulis itu dengan Akta Notaris atau perjanjian dibawah tangan yang memerlukan pengesahan dari Kantor Catatan Sipil bagi para pihak yang beragama Non-Islam dan juga Kantor Urusan Agama (KUA) bagi para pihak yang beragama Islam.

Disamping perbedaan yang ada, dari ketiga peraturan ini memiliki persamaan juga, baik peraturan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Persamaannya yang pertama, adalah dari ketiga peraturan tersebut mengatur untuk para pihak yang membuat perjanjian perkawinan, isinya tidak bertentangan dengan hukum, tata tertib umum, agama, dan kesusilaan yang dianut oleh masing-masing pihak.

Persamaan yang kedua, pembuatan perjanjian perkawinan itu harus dibuat berdasarkan atas kesepakatan dari kedua belah pihak, tidak boleh hanya salah 1 (satu) pihak saja yang menghendaki. Kesepakatan dari kedua belah pihak ini menjadi hal utama yang diperhatikan, karena dari kehendak para pihak tersebut dapat memberikan akibat adanya persetujuan dan kesepakatan dari antara mereka, dimana mereka pun juga wajib untuk mentaati peraturan yang dibuat di dalamnya. Apabila perjanjian dibuat tidak berdasarkan atas kesepakatan dari kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), maka telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum / tidak diatur dalam undang-undang tersebut, maka peraturan lama dapat dipergunakan (Pasal 66 UU Nomor 1/1974).8 Dalam perjalanan dan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ternyata memunculkan persoalan hukum bagi warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara asing.

Seperti yang terjadi pada kasus Ny. Ike Farida yang merasa dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah merasa didholimi karena merasa sebagai warga negara Indonesia namun hak-haknya untuk memiliki rumah susun di Jakarta tidak dapat terwujud karena bersuamikan warga negara asing (warga negara Jepang).

Seperti pada kasus tersebut bahwa sebagai warga negara pemohon bermaksud membeli sebuah rumah susun namun ditolak oleh developer karena diketahui bersuamikan warga negara asing. Dengan adanya kasus tersebut, maka pemohon mengajukan uji materi atas undang-undang tersebut di atas. Hasil uji materi menyatakan bahwa merngabulkan permohonan pemohon dalam uji materi tersebut dan hakim berkeputusan bahwa pasal-pasal yang diuji materikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selanjutnya atas permohonan demikian itu MK berpendapat dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa: Tegasnya, ketentuan yang ada saat ini hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, padahal dalam kenyataannya ada fenomena suami- istri yang karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat perjanjian kawin selama dalam ikatan perkawinan. Selama ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perjanjian demikian itu harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta Notaris.

Perjanjian Perkawinan ini mulai berlaku antara suami dan istri sejak perkawinan dilangsungkan. Isi yang diatur di dalam Perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon suami dan istri, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan, adapun terhadap bentuk dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya (sesuai dengan hukum “kebebasan berkontrak”).

Referensi
  • Tamengkel, Filma, jurnal Lex Privatum, Vol.III/No. 1/Jan-Mar/2015
  • Adjie, Habib. Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Kumpulan Tulisan Tentang Notaris dan PPAT, (Surabaya: PT Citra Adtya Bakti, 2008).