Perjanjian kredit perbankan merupakan ikatan atau hubungan hukum antara debitur (berhutang) dan kreditur (pemberi hutang) yang isi mengatur tentang hak dan kewajiaban kedua belah pihak, perjanjian ini biasanya diikuti dengan perjanjian “jaminan penanggungan” (perorangan).
Dalam dunia perbankan, perjanjian pinjam-meminjam dengan obyek uang dikenal dengan istilah perjanjian kredit. Perjanjian kredit itu sendiri sesungguhnya mengatur mengenai apa yang akan diperjanjikan di dalam melakukan perjanjian pinjam-meminjam dengan uang sebagai obyeknya sehingga sering disebut bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan.
Kata “kredit” berasal dari bahasa Latin credere yang berarti percaya atau to believe atau to trust. Sehingga pemberian kredit oleh suatu lembaga keuangan/bank kepada seseorang atau badan usaha berlandaskan kepercayaan (faith). Menurut Encyclopedia of professional Management, volume I, halaman 250, seperti yang dikutip oleh H. Moh. Tjoekam dalam bukunya Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersil (Konsep, Teknik dan Kasus), dari sudut ekonomi pengertian yang universal dari credere atau kredit adalah “To give or extend economic value to someone or to business firm else now on faith or trust that the economic equivalent will be returned to the extender in the future.”[1]
Perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam (verbruiklening) yang diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata. Dalam pemberian kredit sebenarnya terjadi beberapa hubungan hukum, yaitu tidak saja berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam akan tetapi terjadi juga hubungan hukum berdasarkan perjanjian pemberian kuasa, perjanjian pertanggungan (asuransi), dan lain-lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit, khususnya perjanjian kredit perbankan di dalam pelaksanaannya tidaklah sama (identik) sebagaimana diatur dalam perjanjian pinjam-meminjam (verbruiklening) dalam KUHPerdata, [2] namun bersumber dari sana untuk pengaturan umumnya.
Menurut Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, pengertian kredit adalah sebagai berikut:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga.”
Dari pengertian tersebut terlihat kontra prestasi yang akan diterima berupa bunga. Berkaitan dengan perjanjian pinjam-meminjam ini, tentunya para pihak telah mempunyai kesepakatan terlebih dahulu. Berbicara mengenai kesepakatan, Sutan Remy berpendapat bahwa kata-kata persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam di dalam definisi pengertian kredit berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan dapat mempunyai beberapa maksud sebagai berikut:
-
Bahwa pembentuk Undang-Undang bermaksud untuk menegaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual antara bank dan nasabah debitur yang berbentuk pinjam-meminjam, sehingga dalam hal ini hubungan kredit bank berlaku Buku Ketiga (tentang Perikatan) pada umumnya dan Bab Ketiga belas (tentang pinjam-meminjam) KUHPerdata khususnya.
-
Adanya keharusan dari pembentuk Undang-Undang bahwa hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Karena apabila kita melihat dari bunyi ketentuan saja, maka akan sulit untuk menafsirkan bahwa ketentuan tersebut memang menghendaki agar pemberian kredit bank harus diberikan berdasarkan perjanjian tertulis.
Berdasarkan ketentuan Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 3 Oktober 1966 jo. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/Pemb. tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I No. 2/649 UPK/Pemb. tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 10/EK/IN/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, menentukan bahwa dalam pemberian kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib mempergunakan/membuat akad perjanjian kredit.
Dalam memberikan kredit bank harus menggunakan akad perjanjian sehingga memiliki kekuatan pembuktian, maka bank biasanya menggunakan kontrak/perjanjian kredit yang bentuknya sudah baku sehingga tidak perlu untuk selalu membuat perjanjian kredit setiap saat, karena apabila bank akan memberikan kredit kepada nasabah debiturnya perjanjiannya telah siap sehingga hanya diperlukan tanda tangan nasabah debitur.
Pengertian nasabah sendiri menurut Pasal 1 angka 16 UU Perbankan menyatakan bahwa ”Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank”[3]
Atas pengertian yang demikian, maka oleh para ahli menyatakan bahwa nasabah termasuk ke dalam kategori konsumen khususnya konsumen bank. Nasabah bank terbagai atas:
-
Nasabah penyimpan, adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dan dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
-
Nasabah debitur, adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Sudah merupakan hal yang umum bahwa di dalam perjanjian kredit, kepada nasabah debitur dibebankan kewajiban membayar bunga kredit sebagai kontra prestasi dan biaya administrasi. Besar kecilnya bunga kredit biasanya ditentukan oleh bank secara sepihak menurut pedoman perhitungan yang telah dilaporkan kepada Bank Indonesia sebagai pengawas seluruh bank di Indonesia.
Keuntungan konvensional usaha bank diperoleh dari selisih bunga kredit yang diterima dari nasabah debitur dengan bunga simpanan yang diberikan kepada nasabah penyimpan, yang mana atas selisih bunga ini di dalam dunia perbankan disebut dengan istilah spread basis. Kerugian bank akan terjadi apabila bunga simpanan lebih besar dibandingkan bunga kredit, hal ini disebut negative spread.
Selain itu, dari semua yang telah dikemukakan di atas, perlu untuk diingat bahwa bisnis bank merupakan regulated business sehingga banyak terikat dengan ketentuan perbankan yang berlaku pada saat ini dan adanya campur tangan dari pemerintah termasuk di dalamnya mengenai perjanjian kredit yang dilakukan dalam bentuk baku sekalipun.
Hak dan Kewajiban Dalam Perjanjian Kredit Perbankan
Yang menjadi hak dan kewajiban nasabah debitur dalam perjanjian kedit perbankan adalah:
-
Hak-hak nasabah debitur:
a. Hak untuk memperoleh kredit/pembiayaan;
b. Hak untuk mendapat informasi yang jelas terkati dengan segala produk bank (jasa) yang digunakannya;
c. Hak untuk memberikan pembuktian jika bank ternyata melakukan kelalaian.
-
Kewajiban-kewajiban nasabah debitur:
a. Membayar angsuran ditambah bunga;
b. Membayar denda jika terjadi penunggakan;
c. Memberikan jaminan yang sesuai dengan jumlah utangnya;
d. Mematuhi segala ketentuan yang telah disepakati.
-
Hak-hak bank:
a. Mendapatkan pembayaran angsuran disertai bunga dan biaya administrasi;
b. Menjatuhkan denda jika nasabah debitur melakukan tunggakan;
c. Mendapatkan jaminan atas pemberian kreditnya;
d. Hak untuk memberikan pembuktian jika nasabah ternyata melakukan kelalaian.
-
Kewajiban-kewajiban bank:
a. Memberikan informasi yang jelas terkait dengan segala produk yang ditawarkannya termasuk segala perubahan yang terjadi kemudian;
b. Tidak bersikap sepihak dalam menentukan segala hal yang membutuhkan persetujuan nasabah;
c. Kewajiban untuk merahasiakan data nasabah sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Perjanjian Kredit Perbankan Sebagai Perjanjian Baku
Perlu diketahui bahwa dalam memberikan kredit, pejabat/petugas perbankan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan, terutama yang tercantum di dalam Undang-Undang Perbankan maupun dalam surat-surat edaran atau surat- surat keputusan Direksi BI, khususnya mengenai masalah perkreditan mengatur mengenai keharusan menggunakan perjanjian dalam bentuk tertulis untuk melakukan perjanjian kredit.
Dalam SK Direksi BI No. 27/162/KEP/DIR dan SEBI No.27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 pada lampiran Pedoman Penyusunan Kebijaksaan Pemberian Kredit (PPKPB) angka 450 tentang perjanjian kredit dinyatakan bahwa
”Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.”[4]
Sebelum ketentuan ini terdapat ketentuan yang sama dalam instruksi Presidium Kabinet No.15/EK/IN/10/1966 tanggal 10 Oktober 1966 dan surat BI kepada semua bank devisa No.3/1093/UPK/KPD angka (4) tanggal 29 Desember 1970 mengenai pengaturan keharusan menggunakan akad dalam melakukan perjanjian kredit yang pihak krediturnya adalah bank. Lengkapnya, dalam kebijaksanaan pemberian kredit, bank-bank tidak diperkenankan untuk memberikan kredit tanpa surat perjanjian secara tertulis. Berarti setiap pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa disertai dengan surat perjanjian tertulis yang jelas dan lengkap.
Dalam perkembangannya, karena nasabah debitur bank yang begitu banyak dan tersebar luas di seluruh propinsi di Indonesia bahkan hingga ke manca negara, maka bank dalam melakukan perjanjian kredit menggunakan perjanjian yang telah dibakukan bentuknya sehingga antara bank pusat dan cabangnya yang tersebar luas dapat tercipta suatu kepastian yang bersifat homogenitas.
Ketentuan Yang Harus Diperhatikan Bank Terkait Penggunaan Perjanjian Kredit yang Dibakukan
Terkait dengan penggunan perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank, selain segala ketentuan mengenai pembatasan perjanjian baku, Pasal 4 PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah menyatakan bahwa:
-
Bank wajib menyediakan informasi tertulis dalam bahasa Indonesia secara lengkap dan jelas mengenai karakteristik setiap Produk Bank;
-
Informasi tersebut wajib disampaikan kepada Nasabah secara tertulis dan atau lisan;
-
Bank dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan atau tidak etis (misconduct).
Jika diketahui dan dapat dibuktikan bahwa bank melanggar ketentuan Pasal 4 PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, maka sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) dan (2) PBI No.7/6/PBI/2005 ditegaskan bahwa terhadap bank tersebut akan dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Perbankan berupa teguran tertulis dan dapat diperhitungkan dengan komponen penilaian tingkat kesehatan bank, yang mana berdasarkan penjelasan Pasal 12 ayat (2) perhitungan dalam komponen penilaian tingkat kesehatan Bank dilakukan pada aspek manajemen. Akan merugikan suatu bank, jika bank tersebut masuk ke dalam kategori bank yang tidak sehat sebab tentunya mereka akan kesulitan mencari nasabah dan calon nasabah yang menjadi sumber dana utama bagi kelangsungan hidupnya.
Pasal 12 PBI No.7/6/PBI/2005:
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 dikenakan sanksi administratif sesuai Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis.
(2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan dengan komponen penilaian tingkat kesehatan Bank.
Referensi:
[1] H. Moh. Tjoekam, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersil (Konsep, Teknik dan Kasus), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 1-2.
[2] Muhamad Djuamhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 385-386.
[3] Undang-Undang Perbankan, op. cit., Pasal 1 angka 16.
[4] Ketentuan tersebut mengutip dari buku Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2003.