Apa Yang Anda Ketahui Tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank?

Pembahasan mengenai perkreditan perbankan tentu tidak dapat dipisahkan dari sebuah pedoman dalam menyelenggarakan suatu perjanjian kredit. Adapun pedoman tersebut biasa disebut dengan Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB). Lalu apa yang dimaksud dengan Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank itu sendiri ?

Secara teoritis, menurut Kamus-Bank Sentral Republik Indonesia, Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank atau PPKPB merupakan panduan bagi bank dalam menyusun Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KPB), yaitu: (1) KPB harus mampu mengawasi portfolio perkreditan secara keseluruhan dan menetapkan standar dalam proses pemberian kreidit secara individual; (2) KPB juga harus memiliki standar atau ukuran yang mengandung pengawasan intern pada semua tahapan dalam proses pemberian kredit.

Dalam penjelasan pasal 8 Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan ditetapkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank untuk mengurangi resiko tersebut adalah keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Guna memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur. Untuk itu peranan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KPB) sangat penting karena berfungsi sebagai panduan dalam pelaksanaan semua kegiatan yang terkait dengan perkreditan yang sehat dan menguntungkan bagi bank. Dengan adanya KPB ini maka bank diharapkan dapat menerapkan asas-asas perkreditan yang sehat secara lebih konsisten dan berkesinambungan. Selain itu, tujuan dari penerapan KPB secara konsekuen dan konsisten, diharapkan bank juga dapat terhindar dari kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam pemberian kredit.[1]

Selain itu, panduan mengenai aspek dan standar minimal yang wajib dimuat dalam KPB dicantumkan dalam suatu Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB). Bank dapat memperluas KPB sesuai dengan kebutuhan masing-masing bank. Adapun dasar hukum yang mengatur mengenai PPKPB, selain dijelaskan dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 pasal 29 ayat (4), PPKPB juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995. Dalam menjaga keefektivitasan KPB, maka selama-lamanya setiap tiga tahun sekali bank harus melakukan kajian berkala (periodical review) terhadap KPB dengan tetap mengacu kepada cakupan PPKPB ini. Adapun cakupan dari PPKPB ini terbagi menjadi dua, yaitu cakupan umum dan cakupan khusus.

Dalam cakupan umum sekurang-kurangnya mengatur mengenai hal-hal sebagai berikut.

  • Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan; sekurang-kurangnya harus meliputi kebijakan pokok dalam perkreditan, tata cara penilaian kualitas kredit dan profesionalisme serta integritas pejabat perkreditan.

  • Organisasi dan manajemen perkreditan; setiap bank wajib pula memiliki Komite Kebijaksanaan Perkreditan (KKP) yang bertugas membantu direksi bank dalam merumuskan kebijaksanaan, mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan, memantau perkembangan dan kondisi portofolio perkreditan serta memberikan saran-saran langkah perbaikan, dan Komite Kredit (KK) yang merupakan komite operasional yang membantu direksi dalam mengevaluasi dan atau memutuskan permohonan kredit untuk jumlah dan jenis kredit yang ditetapkan oleh direksi.

  • Kebijaksanaan persetujuan kredit; mencakup konsep hubungan total pemohon kredit, penetapan batas wewenang kredit, tanggung jawab pejabat pemutus kredit, proses persetujuan kredit, perjanjian kredit dan persetujuan pencairan kredit.

  • Dokumentasi dan administrasi kredit; bank wajib melaksanakan dokumentasi kredit yang baik dan tertib, mengingat dokumentasi kredit merupakan salah satu aspek penting yang dapat menjamin pengembalian kredit.

  • Pengawasan kredit; setiap bank wajib menerapkan dan melaksanakan fungsi pengawasan kredit yang bersifat menyeluruh, mengingat perkreditan merupakan salah satu kegiatan usaha bank yang mengandung kerawanan yang dapat merugikan bank yang pada gilirannya dapat berakibat pada kepentingan masyarakat penyimpan dana dan pengguna jasa perbankan.

  • Penyelesaian kredit bermasalah; mencakup pelaporan kredit bermasalah kepada Bank Indonesia, pembentukan satuan kerja penyelesaian kredit bermasalah, penyusunan program penyelesaian kredit bermasalah, pelaksanaan program penyelesaian kredit bermasalah, hingga evaluasi efektivitas program penyelesaian kredit bermasalah.[2]

Sedangkan dalam cakupan khusus, PPKPB menetapkan bahwa pengertian kredit yang dimaksudkan dalam PKB tidak terbatas hanya pada pemberian fasilitas kredit yang lazim dibukukan dalam pos kredit pada aktiva neraca bank, namun termasuk juga pembelian surat berharga yang disertai Note Purchase Agreement atau perjanjian kredit, pembelian surat berharga lain yang diterbitkan oleh nasabah, serta pengambilan tagihan dalam rangka anjak piutang.

Adapun keterkaitan antara PPKPB ini dengan Bank Indonesia adalah bahwa mengingat Bank Indonesia sangat menaruh perhatian atas penyaluran kredit yang sehat oleh bank dalam rangka mewujudkan perbankan yang sehat, maka bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia KPB yang telah memuat semua aspek dalam PPKPB dan telah disetujui oleh dewan komisaris bank. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia KPB tersebut belum memuat aspek– aspek dalam PPKPB secara rinci, maka bank wajib melakukan perbaikan untuk disempurnakan. Kemudian, Bank Indonesia akan memantau dan mengawasi apakan KPB telah diterapkan dan dilaksanakan secara konsekuendan konsisten oleh bank. Penilaian KPB oleh Bank Indonesia tersebut merupakan salah satu penilaian atas ketaatan bank dalam melaksanakan ketentuan intern bank sendiri (self regulation). Selanjutnya pelaksanaan PPKPB ini oleh bank merupakan salah satu aspek pembinaan dan pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh sebab itu, setiap bank wajib memiliki dan mentaati segala aspek yang tercantum di dalam PPKPB ini guna menunjang berbagai kegiatan perbankan khususnya dalam hal perkreditan. Hal ini berguna bagi kelangsungan bank itu sendiri agar memperkecil atau menghindari resiko yang dapat merugikan bank atau bahkan dapat merugikan nasabahnya.[3]

Referensi:
[1] Lampiran Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/Kep/Dir tanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB).
[2] Ibid.
[3] Ibid.