Apa yang anda ketahui tentang Kukang?

Kukang

Kukang, disebut pula malu-malu, adalah jenis primata yang gerakannya lambat. Warna rambutnya beragam, dari kelabu keputihan, kecoklatan, hingga kehitam-hitaman. Pada punggung terdapat garis cokelat melintang dari belakang hingga dahi, lalu bercabang ke dasar telinga dan mata. Berat tubuhnya berkisar antara 0,375-0,9 kg, dan panjang tubuh hewan dewasa sekitar 19–30 cm.

Dari delapan spesies kukang yang masih ada, enam di antaranya dapat ditemukan di Indonesia, yakni di pulau-pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Kukang (Nycticebus spp.) memiliki penampilan yang lucu dan menggemaskan sehingga banyak masyarakat umum yang gemar menjadikan primata ini sebagai hewan peliharaan. Karenanya, semua jenis kukang ini telah terancam oleh kepunahan. Kukang telah dilindungi oleh hukum Indonesia, sehingga memperdagangkannya tergolong melanggar hukum (ilegal) dan kriminal.

Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) atau Greater Slow Loris adalah satu dari tiga jenis kukang Indonesia. Selain Kukang Sumatera, dua jenis lainnya adalah Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) dan Kukang Kalimantan (Nycticebus menagensis).

Nama latin hewan primata ini adalah Nycticebus coucang (Boddaert, 1785). Mempunyai beberapa sinonim seperti Nycticebus brachycephalus Sody, 1949, Nycticebus buku Robinson, 1917, Nycticebus hilleri Stone & Rehn, 1902, Nycticebus insularis Robinson, 1917, Nycticebus malaiana Anderson, 1881, Nycticebus natunae Stone & Rehn, 1902, Nycticebus sumatrensis Ludeking, 1867, Nycticebus tardigradus (Raffles, 1821).

Dalam bahasa Inggris, Kukang Sumatera dikenal dengan sebutan Greater Slow Loris, Sunda Slow Loris, atau Slow Loris.

Panjang tubuh Kukang Sumatera antara 27-38 cm dengan berat tubuh berkisar antara 600-700 gram. Tubuh Kukang Sumatera ini lebih besar dibanding saudaranya, Kukang Kalimantan namun lebih kecil dibanding Kukang Jawa. Spesies ini memiliki kepala bulat dengan moncong pendek dan tubuh gempal. Warna bulu tubuhnya bervariasi, namun umumnya berwarna kemerahan. Terdapat garis sepanjang punggung yang berwarna coklat gelap. Ekor dan telinga sangat kecil, tersembunyi di antara bulu-bulunya. Wajah datar dan memiliki mata yang besar. Sebagaimana jenis kukang lainnya, Kukang Sumatera memiliki sepasang gigi taring yang beracun.

Kukang Sumatera atau Greater Slow Loris, merupakan binatang asli Indonesia yang mendiami pulau Sumatera. Daerah sebarannya Indonesia meliputi Pulau Sumatera, Batam dan Galang (Kep. Riau), Tebingtinggi dan Bunguran (Kep. Natuna). Selain itu juga di Semenanjung Malaysia, Singapura, dan Thailand. Mendiami hutan hujan tropis dataran rendah, baik hutan primer maupun sekunder di daerah dataran rendah.

Kukang Sumatera merupakan hewan nokturnal (aktif di malam hari) dan arboreal (banyak beraktifitas di atas pohon). Bergerak secara perlahan, seperti merangkak, di pepohonan. Di alam liar hidup hingga usia 22 tahun sedangkan di penangkaran dapat hidup hingga usia 25 tahun. Hewan ini juga hidup secara soliter, dengan kelompok terdiri atas sepasang kukang dewasa dan 1-3 kukang muda. Hewan langka ini termasuk omnivora. Memakan buah-buahan, batang dan kulit kayu, artropoda (seperti laba-laba), nektar, siput, dan telur burung.

Populasi Kukang Sumatera (Nycticebus coucang) diyakini terus menurun. Secara alami mereka dipredasi oleh Ular Sanca Kembang (Python reticulatus) dan Elang Brontok (Nisaetus cirrhatus). Sedangkan ancaman terhadap kelestarian Kukang Sumatera yang terbesar adalah perburuan dan penangkapan untuk diperjualbelikan sebagai binatang peliharaan (Baca: Jual Beli Binatang Langka).

Dengan populasinya yang terus mengalami penurunan, IUCN Redlist mendaftar Kukang Sumatera sebagai spesies Vulnerable (Hampir Terancam). Sedangkan CITES mendaftarnya sebagai Appendix I. Di Indonesia, Kukang ini termasuk hewan yang dilindungi berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999.

Klasifikasi Ilmiah Kukang Sumatera : Kerajaan: Animalia. Filum: Chordata. Kelas: Mamalia. Ordo: Primata. Famili: Lorisidae. Genus: Nycticebus. Spesias: Nycticebus coucang (Boddaert, 1785).

Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang penyebarannya di Indonesia meliputi pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Osman-Hill 1953; Nekaris; Jaffe 2007). Kukang dikenal juga dengan sebutan pukang, malu-malu atau lori, bersifat aktif di malam hari (nokturnal).

Populasi kukang di alam saat ini diperkirakan cenderung menurun yang disebabkan oleh perusakan habitat dan penangkapan yang terus berlangsung tanpa memperdulikan umur dan jenis kelamin (Nekaris; Jaffe 2007). Penangkapan kukang yang tidak terkendali terutama untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan. Kukang tergolong satwa pemakan segala. Seperti halnya dengan primata lainnya pakan utama adalah buah-buahan dan dedaunan. Namun kukang di habitat alami, juga memakan biji-bijian, serangga, telur burung, kadal dan mamalia kecil (Napier; Napier, 1967).

Kukang adalah jenis primata dari sub ordo Strepsirrhini , dengan nama latin Nycticebus yang berarti ‘kera malam’ (Navier; Navier,1985; Navarro; Montes, 2008). Memiliki cara berjalan yang lambat serta ciri khas pada bentuk wajah, garis sepanjang punggung (strip) dan sepasang mata yang besar dan bulat sebagai adaptasi kehidupan malam (nokturnal) (Roos, 2003). Primata kecil ini berukuran antara 259 sampai 380 mm, dengan berat badan mencapai 2 kg. Masa hidup kukang bisa mencapai 20 tahun (Wirdateti; Suparno, 2006). Makanan utamanya jenis serangga, telur burung, serta anakan burung dan buah-buahan. Mereka juga mengkonsumsi beberapa bagian pohon serta nektar (Pambudi, 2008).

Kukang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena berfungsi sebagai kontrol populasi serangga (Nandini, Kakati, Ved, 2009). Gigi kukang yang tajam memiliki racun yang sangat efektif untuk membunuh mangsanya (Swapna, 2008). Sama halnya dengan primata lainnya permasalahan yang dihadapi oleh kukang adalah hilangnya habitat karena tingginya tingkat kerusakan hutan (deforestasi, degradasi dan fragmentasi) termasuk akibat pembalakan hutan dan juga faktor lain yaitu perburuan untuk diperdagangkan sebagai binatang peliharaan, dan pada sebagian masyarakat, kukang juga dijadikan media/bahan untuk kepentingan klenik (Wiens, 2002).

Klasifikasi kukang Sumatera ( Nyctecebus coucang ) berdasarkan Napier; Napier (1985) dan Rowe (1996) adalah sebagai berikut:

  • Kerajaan : Animalia

  • Filum : Chordata

  • Kelas : Mamalia

  • Sub Kelas : Eutheria

  • Ordo : Primata

  • Sub Ordo : Prosimii/Strepsirrhini

  • Infra Ordo : Lemuriformes Super

  • Famili : Loroidea

  • Famili : Loridae

  • Genus : Nycticebus

  • Spesies : Nycticebus coucang

  • Nama lokal : Kukang

Kelas Umur Kukang


Pembagian kelas umur kukang menurut Setchell dan Curtis (2003) serta Zhang (1994) adalah neonate , infant , juvenil , pradewasa, dewasa,dan senile (tua).

  • Neonate : baru dilahirkan dalam beberapa hari yang lalu.

  • Infant : belum disapih dan masih bergantung pada induk sehingga masih dibawa-bawa di pinggang induknya ataupun ditinggalkan sementara.

  • Juvenile : belum matang secara fisik maupun seksual dan masih bersama induk tetapi sudah bergerak sendiri.

  • Pradewasa : belum matang sempurna baik secara fisik maupun seksual namun secara jelas sudah dapat dibedakan dari anak yang masih bergantung pada induknya.

  • Dewasa : sudah matang baik secara fisik maupun seksual dan gigi permanen sudah komplit.

  • Senile : menunjukkan tanda-tanda penuaan seperti uban pada rambut muka, pigmentasi kulit, perilakunya menunjukkan tanda-tanda penurunan daya penglihatan, katarak, kurus, rambut yang tipis, kehilangan gigi, dan lain-lain.

Perilaku Kukang

  1. Aktivitas Harian
    Kukang pernah teramati melakukan aktivitas paling awal 2 menit sebelum matahari terbenam dan aktivitas terakhir 14 menit sebelum matahari terbit (Wiens, 2002). Infant kukang teramati mulai aktif bergerak pada 0-53 menit setelah matahari terbenam.

    Kukang lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, atau dengan kata lain satwa primata ini bersifat soliter atau penyendiri (Wiens, 2002; Wiens; Zitzmann, 2003a; Napier; Napier, 1985; Rowe, 1996). Sekitar 93,3+5,4% waktu N. coucang dihabiskan dengan sendirian dengan 6,7% diantaranya berada minimal lebih dari 10 m dari individu lainnya. Perilaku soliter ini tidak berbeda secara signifikan antara jenis kelamin dan juga tidak berbeda pada individu dewasa ataupun pradewasa (Wiens, 2002). Berdasarkan penelitian N. coucang di kandang, 90% dari waktu aktifnya dihabiskan untuk aktifitas makan (Glassman; Wells, 1984).

  2. Kelompok Spasial dan Interaksi Sosial Kukang
    Kukang membentuk kelompok spasial yang masih mempunyai hubungan keluarga, terdiri dari satu jantan, satu betina, serta hingga tiga individu lainnya yang lebih muda (Wiens, 2002). Kelompok spasial ini dapat diidentifikasi dalam suatu kelompok tidur. Interaksi N. coucang dengan individu lainnya antara lain allogroom (menyelisik individu lain), alternate click calls (suara cericit atau klik- klik yang tajam dan jelas baik rangkaian pendek maupun panjang), follow (mengikuti individu lain dengan jarak tidak jauh dari lima meter), pantgrowl (suara menggeram termasuk nafas mendengus secara berulang) dan contact sleep (tidur dengan berdampingan atau memeluk pinggang induk), serta ride/carry (menunggangi induk atau dibawa oleh induk), juga suckle (aktivitas menyusui) (Wiens, 2002).

    Interaksi sosial kukang berkisar antara 0-7,7% (Wiens, 2002). Sedangkan aktivitas menyelisik individu lain dilakukan oleh kukang tidak lebih dari 6,7% dari masa aktifnya. Infant N. coucang lebih banyak menghabiskan waktunya guna berjaga-jaga atau mengamati individu lain (40,8%) dapat dilhat dengan perbandingan aktivitas lainnya (26,5% berjalan, 6,1% siaga, 4,2% menyelisik diri sendiri, 2% berdiri, 2% bergerak berpindah dengan cepat, dan 12,3% interaksi sosial termasuk click calling ) (Wiens, 2002).

  3. Infant Parking
    Infant parking merupakan perilaku meninggalkan infant saat induk pergi mencari makan (Napier; Napier, 1967; Nekaris; Bearder, 2007). Di penangkaran Infant parking pada kukang teramati pada hari ke dua setelah lahir (Zimmermann, 1989). Wiens (2002) dua kali mengamati Indikasi infant parking di alam saat menjumpai infant , masing-masing dengan berat tubuh 105 g dan 119 g, sendirian di semak dan pohon pada saat tengah malam (pukul 00:35 dan 02:05). Ketinggian infant yang teramati dari permukaan tanah adalah 2,2 m di semak dan 3,5 m di pohon. Semak dan pohon tersebut merupakan vegetasi untuk tidur pada siang hari.

  4. Habitat dan Sumber Pakan Kukang
    Odum mendefinisikan habitat merupakan tempat organisme tinggal dan hidup, atau tempat seseorang harus pergi untuk menemukannya. Famili Lorisidae memiliki kecenderungan mendiami berbagai tipe strata dan substrata (Nekaris; Bearder, 2007). Kukang menyuka habitat hutan hujan tropis dan subtropis di dataran rendah dan dataran tinggi, hutan primer, hutan sekunder, serta hutan bambu (Rowe, 1996; Nekaris; Shekelle, 2007). Kukang menyukai habitat perifer (tepi) karena di bagian ini terdapat kelimpahan serangga dan faktor pendukung lainnya. Tahun 1986 dari seluruh area yang mungkin menjadi habitat kukang, hanya 14% saja yang berada di dalam kawasan dilindungi (MacKinnon; MacKinnon, 1987). Kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi penyebaran dan produktivitas suatu satwa. Habitat yang mempunyai kualitas yang tinggi nilainya, diharapkan akan menghasilkan kehidupan satwa yang lebih baik. Habitat yang rendah kualitasnya akan menghasilkan kondisi populasi satwa yang daya reproduksinya rendah (Prowildlife, 2007).

Vegetasi Pakan Kukang


Pakan kukang secara umum adalah berupa tumbuhan (50% buah-buahan dan 10% getah, 40% lainnya dari sumber pakan hewan). Sedangkan kukang Sumatera lebih menyukai getah atau cairan tumbuhan (34,9%) dan bagian bunga (31,7%) daripada buah-buahan (22,5%) dan arthopoda (Wiens, 2002; Streicher, 2004; Swapna, 2008). kukang Sumatera di Kabupaten Manjung Malaysia Barat menggunakan 27 spesies tumbuhan dari 15 famili sebagai sumber pakan (Wiens, 2002; Streicher, 2004; Swapna, 2008). Infant kukang Sumatera memakan sumber pakan tumbuhan pertamanya pada umur 4 minggu untuk nektar, 17 minggu untuk sari bunga, dan 19 minggu untuk getah (Wiens; Zitzmann, 2003b).

Penggunaan Vegetasi dan Tinggi Posisi Tidur Kukang


Dahan, ranting, pelepah palem, ataupun liana yang memungkinkan mereka bersembunyi dengan aman biasanya dipilih sebagai tempat tidur oleh kukang. Selain bagian vegetasi tersebut kukang tidak pernah menggunakan lubang pohon atau tempat tidur lainnya (Wiens, 2002).

Kukang Sumatera di Manjung Malaysia Barat memilih tmpat tidurnya 73,7% pohon; 19,2% palem-paleman; 5,9% semak; 1,2% liana dengan tinggi di atas permukaan tanah 1,8-35 m. Setiap sepuluh hari N. coucang yang diamati Wiens (2002) menggunakan 7,4 vegetasi tidur yang berbeda. Vegetasi tidur yang digunakan kukang di Indonesia adalah jenis pohon dan epifit (Streicher, 2004). Posisi tidur kukang dari atas permukaan tanah berkisar 10-30 m.

1 Like