Apa yang anda ketahui tentang Kritik terhadap Ekonomi Politik Karl Marx?

image
Salah satu pemikirian Karl Marx adalah kritik terhadap ekonomi politik.

Apa yang dimaksud dengan kritik terhadap ekonomi Karl Marx?

Kritik terhadap ekonomi politik merupakan bagian penting dari pemikiran Karl Marx . Hal ini menempatkan analisis Marxis tentang kapitalisme sebagai dasar ilmiah bagi gerakan buruh dengan menjelaskan hukum dari corak produksi tersebut. Dasarnya tetaplah dari sudut pandang kelas pekerja (buruh), dengan tesis pokoknya: analisis tentang eksploitasi, bukti bahwa sistem kapitalisme harus ambruk karena dasar eksploitatif tersebut.

Yang jelas analisis tersebut adalah penerapan prinsip materialisme historis pada mode produksi kapitalis, dan berakar pada analisis tentang kerja—tepatnya kerja yang teralienasi. Ini bukanlah teori tentang perasaan subjektif kaum buruh terhadap kerja atau tentang kesadaran umat manusia pada umumnya. Kerja yang teralienasi merupakan kerja yang dijual pada orang lain, kerja yang diupah (wage labour). Ia bukan hanya kondisi dalam otak manusia, melainkan merupakan fakta yang konkret. Namun, fakta ini hanya dapat dilihat dan dirasakan dari sudut pandang kelas buruh. Marx adalah seorang fi lsuf dan ekonom pertama yang meneliti proses kerja dari sudut pandang kaum buruh, yang objektif karena berdasar prinsip materialisme historis (bukan idealisme). Hal ini dikembangkan secara teoretis dan sangat panjang mulai dari Manuskrip Ekonomi dan Filsafat hingga ke Das Kapital, dari kerja terasing hingga teori nilai lebih.

Makna alienasi kerja, menurut Marx, adalah kerja bersifat eksternal bagi pekerja, bahwa kerja bukan bagian dari wataknya; dan bahwa, sebagai akibatnya, dia tidak bisa memenuhi dirinya dalam kerja. Kerja seperti itu tidak berdasarkan kebebasannya sebagai spesies, tetapi telah tereduksi demi aktivitas yang tertukar dengan uang. Pekerja tidak menjadi subjek atas dunianya, tetapi menjadi objek atas dunianya, bukan untuk pemenuhan dan ungkapan individualnya yang sejati, melainkan untuk wilayah eksternalnya, untuk kapitalis. Aktivitas yang bukan dari (dan demi) dirinya adalah aktivitas yang teralienasi. Marx menganggap alienasi aktivitas praktis manusia, yaitu kerja, berasal dari dua aspek:

  • Hubungan pekerja dan produknya sebagai objek asing yang menguasainya. Hubungan ini pada saat bersamaan merupakan hubungan dengan dunia eksternal, dengan benda-benda alam, sebagai dunia yang asing dan memusuhi; dan
  • Hubungan kerja dengan tindakan produksi dalam kerja. Ini merupakan hubungan kerja dengan aktivitasnya sebagai sesuatu yang asing dan tidak menjadi miliknya, aktivitas yang menderita (pasivitas), kekuatan sebagai ketidakberdayaan, penciptaan sebagai pengebirian, energi fi sik dan mental pekerja, kehidupan pribadinya (apa itu hidup kalau bukan aktivitas?) sebagai sebuah aktivitas yang ditujukan untuk melawan dirinya, independen darinya, dan tidak menjadi miliknya.

Sementara, teori nilai lebih berangkat dari fakta bahwa buruh tidak memiliki alat produksi sehingga ia harus menjual kerja kepada kapitalis dan mendapatkan upah. Upah adalah jumlah uang yang dibayar oleh kapitalis untuk waktu kerja tertentu. Yang dibeli kapitalis dari buruh bukan kerjanya, melainkan tenaga kerjanya. Setelah ia membeli tenaga kerja buruh, ia kemudian menyuruh kaum buruh untuk selama waktu yang ditentukan, misalnya untuk kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu atau 26 hari dalam sebulan (bagi buruh bulanan).

Akan tetapi, bagaimana kapitalis atau (pemerintah dalam masyarakat kapitalis ) menentukan upah buruhnya sebesar 591.000 per bulan (di DKI, misalnya) atau 20 ribu per hari (untuk 7 jam kerja, misalnya)? Jawabannya adalah karena tenaga kerjanya adalah barang dagangan yang sama nilainya dengan barang dagangan lain, yaitu ditentukan oleh jumlah kebutuhan sosial untuk memproduksikannya (cukup agar buruh tetap punya tenaga untuk bisa terus bekerja).

Kebutuhan hidupnya yang penting adalah kebutuhan pangan (misalnya, tiga kali makan), sandang (membeli pakaian, sepatu, dan lain-lain), dan papan (biaya tempat tinggal), termasuk juga untuk untuk menghidupi keluarganya. Dengan kata lain, cukup untuk bertahan hidup, dan sanggup membesarkan anakanak untuk menggantikannya saat ia terlalu tua untuk bekerja, atau mati. Lihat misalnya, konsep upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.

Jadi, upah yang dibayarkan oleh kapitalis bukanlah berdasarkan berapa besar jumlah barang dan keuntungan yang diperoleh kapitalis. Misalnya saja, sebuah perusahan besar (yang telah memperdagangkan sahamnya di pasar saham) sering mengumumkan keuntungan perusahaan selama setahun untung berapa ratus miliar. Akan tetapi, dari manakah keuntungan ini didapat?

Jelas keuntungan yang didapat berasal dari hasil kegiatan produksinya. Akan tetapi, yang mengerjakan produksi bukanlah pemilik modal, melainkan para buruh yang bekerja di perusahaannyalah yang menghasilkan produksi ini. Yang mengubah kapas menjadi benang, mengubah benang menjadi kain, mengubah kain menjadi pakaian, dan semua contoh kegiatan produksi atau jasa lainnya. Kerja kaum buruhlah yang menciptakan nilai baru dari barang-barang sebelumnya.

Contoh sederhana, misalnya: seorang buruh di pabrik garmen dibayar 20.000 untuk kerja selama 8 jam sehari. Dalam 8 jam kerja, ia bisa menghasilkan 10 potong pakaian dari kain 30 meter. Harga kain sebelum menjadi pakaian per meternya adalah 5000 atau 150.000 untuk 30 meter kain. Sementara, untuk biaya benang dan biaya-biaya produksi lainnya (misalnya, listrik, keausan mesin, dan alat-alat kerja lain) dihitung oleh pengusaha sebesar 50.000 seharinya. Total biaya produksi adalah 20.000 (untuk upah buruh) + 150.000 (untuk kain) + 50.000 (biaya produksi lainnya) sebesar 220.000. Akan tetapi, pengusaha dapat menjual harga satu kainnya sebesar 50.000 untuk satu potong pakaian atau 500.000 untuk 10 potong pakaian di pasaran. Oleh karena itu, kemudian ia mendapatkan keuntungan sebesar 500.000 - 220.000 = 280.000.

Jadi, kerja 8 jam kerja seorang buruh garmen tadi telah menciptakan nilai baru sebesar 240.000. Akan tetapi, ia hanya dibayar sebesar 20.000. Sementara, 220.000 menjadi milik pengusaha. Inilah yang disebut “nilai lebih”. Padahal, bila ia dibayar 20.000, ia seharusnya cukup bekerja selama kurang dari 1 jam dan dapat pulang ke kontrakannya. Namun tidak, ia tetap harus bekerja selama 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha untuk bekerja selama 8 jam. Jadi, buruh pabrik garmen tadi bekerja kurang dari satu jam untuk dirinya (untuk menghasilkan nilai 20.000 yang ia dapatkan) dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam lebih untuk pengusaha (220.000).