Apa yang anda ketahui tentang Kesultanan Jambi ?

Kesultanan Jambi

Apa yang anda ketahui tentang Kesultanan Jambi ?

Menurut M.M. Sukarto K. Atmojo (1992) dalam buku Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi: Studi Pada Masa Kolonial (2001), dinamika perkembangan kerajaan Melayu di Jambi dapat digambarkan sebagai berikut:

  • Pertama, Kerajaan Melayu I yang mulai berkembang kira-kira sebelum tahun 680 M. Dalam berita Dinasti Tang disebutkan bahwa pada tahun 644 dan 645 M utusan dagang dari Kerajaan Mo-lo-yu datang ke negeri Cina.

  • Kedua, Kerajaan Melayu II yang menurut J.G. de Casparis, berkembang sekitar abad XI sampai sekitar tahun 1400. Pada masa tersebut kerajaan Melayu II telah mengadakan kontak dengan Jawa yang dibuktikan lewat adanya Ekspedisi Pamalayu pada 1275 dan pengiriman arca Amoghapasa Lokeswara pada 1286 ke Padang Roco (Jambi Hulu). Besar kemungkinan kerajaan yang dimaksud oleh Casparis adalah Kerajaan Darmasraya.

  • Ketiga, Kerajaan Melayu III yang telah terpengaruh oleh unsur Islam. Pengaruh ini dibuktikan dengan pemberian gelar sultan serta nama-nama Islam pada raja-raja yang memerintah, seperti Sultan Taha Saifuddin, Sultan Nazaruddin, dan lain-lain (Budihardjo, 2001:30-31).

Kerajaan Melayu III atau disebut pula Kesultanan Jambi mulai dapat terekam perkembangannya sekitar akhir abad ke-19. Kerajaan ini muncul ketika pengaruh kekuasaan Kerajaan Darmasraya mulai melemah. Kerajaan Darmasraya sendiri mulai kehilangan pengaruh sejak adanya Ekspedisi Pamalayu pada 1275 (M.D. Mansoer, et.al., 1970:51). Ekspedisi Pamalayu merupakan sebuah ekspedisi untuk menaklukkan Melayu dengan pusat Kerajaan Darmasraya di Swarnnabhumi (Sumatera). Ekspedisi ini merupakan buah pemikiran dari Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari yang naik tahta pada 1254 (Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 1993:410).

Secara politik, sejak 1275 Kerajaan Darmasraya telah berada di bawah pengaruh Kerajaan Singasari. Pengaruh ini kembali dikukuhkan ketika Ekspedisi Pamalayu jilid 2 kembali dilakukan. Kali ini bukan di bawah panji Kerajaan Singasari, melainkan dibawah panji Kerajaan Majapahit. Adityawarman sebagai utusan sekaligus pemimpin pasukan dari Majapahit, sukses mendapatkan kembali pengaruh di Kerajaan Darmasraya yang sebelumnya direbut oleh Kesultanan Aru Barumun yang mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar. Pada 1347 Adityawarman menyatakan diri sebagai raja dari kerajaan di Swarnnabhumi (Sumatera) yang meliputi kawasan Sungai Langsat-Sungai Dareh-Rambahan-Padang Roco yang merupakan kawasan di Minangkabau Timur yang dekat dengan Batanghari (M.D. Mansoer, et.al., 1970:55).

Suksesnya misi Ekspedisi Pamalayu jilid 2 membuat kedudukan Adityawarman semakin kuat sebagai penguasa di tanah Melayu. Daerah kekuasaannya kini meliputi seluruh Alam Minangkabau, bahkan sampai ke Riau Daratan. Pusat pemerintahan dipindahkan lebih masuk ke daerah pedalaman Alam Minangkabau, tidak lagi di Rantau Minangkabau, sampai akhirnya Luhak Tanah Datar menjadi pilihan untuk membangun pusat pemerintahan. Dengan demikian, Kerajaan Darmasraya di Jambi lambat laun berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung Minangkabau, bahkan tidak salah jika dikatakan berubah menjadi Kerajaan Minangkabau (M.D. Mansoer, et.al., 1970:56). Dari sinilah terjadi perpindahan pusat kerajaan, yaitu dari di Muaro Jambi kemudian Darmasraya lalu ke Saruaso (Kozok, Uli, 2006:25-26).

Jika dilihat dari garis keturunan, Adityawarman sebenarnya adalah cucu dari Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa (Raja Kerajaan Darmasraya ketika Ekspedisi Pamalayu dilakukan oleh Kerajaan Singasari pada 1275). Akan tetapi kenyataan ini ternyata tidak menjadikan Adityawarman secara otomatis dapat menduduki tahta di Kerajaan Darmasraya. Besar kemungkinan karena alasan inilah, Adityawarman kemudian mendirikan kerajaan baru yang bernama Kerajaan Pagaruyung di Nagari Bukit Gombak, Saruaso, Luhak Tanah Datar, Sumatera Barat (Darman Moenir et.al., 1993:19).

Kerajaan Darmasraya sendiri tetap berdiri di Jambi dengan Maharaja Mauli, yaitu keturunan Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa sebagai rajanya. Hanya saja secara politis Kerajaan Darmasraya di Jambi tetap menjadi daerah taklukan yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau. Pengaruh Kerajaan Pagaruyung terhadap Kerajaan Darmasraya mulai melemah ketika Kerajaan Pagaruyung yang telah menjadi kesultanan karena pengaruh Islam mengalami pergolakan akibat perseteruan antara Kaum Paderi dan Kaum Adat. Perseteruan mencapai puncaknya ketika terjadi pembunuhan keluarga Kesultanan Pagaruyung yang dilakukan oleh Kaum Paderi di bawah pimpinan Tuanku Lelo, bawahan dari Tuanku Rao pada 1809.

Akibat pembunuhan ini tercerai-berailah anggota keluarga Kesultanan Pagaruyung yang saat itu diperintah oleh Sultan Arifin Muning Alamsyah (Sultan Bagagar Alamsyah). Perseteruan yang tidak berkesudahan membuat anggota Kesultanan Pagaruyung yang masih tersisa meminta bantuan Belanda untuk mengusir Kaum Paderi. Belanda menyanggupinya dengan kompensasi bahwa Kesultanan Pagaruyung berada di bawah pengaruh Belanda. Akan tetapi setelah kesepakatan antara pihak Belanda dan Kesultanan Pagaruyung telah tercapai, justru kini Kaum Adat berbalik bekerjasama dengan Kaum Paderi untuk memerangi Belanda. Akibatnya pada 2 Mei 1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Bagagar Alamsyah, raja terakhir Kesultanan Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.

Sepeninggal Sultan Bagagar Alamsyah, perlawanan secara gerilya masih dilakukan oleh Sultan Sembahyang III. Akan tetapi perlawanan ini hanya terjadi sesaat karena pada 1870 Sultan Sembahyang III meninggal dunia di Muara Lembu (Datoek Toeah, 1976:367). Dengan meninggalnya Sultan Sembahyang III, maka berakhir pula sejarah Kerajaan Pagaruyung yang didirikan oleh Adityawarman pada 1347.

Runtuhnya Kesultanan Pagaruyung membuat kendali pengaruh atas Kerajaan Darmasraya menjadi hilang. Kerajaan Darmasraya kemudian muncul kembali ke permukaan sebagai kerajaan baru yang dikenal dengan Kesultanan Jambi. Kesultanan menjadi bentuk baru kerajaan karena pengaruh Islam yang didapat ketika Kerajaan Darmasraya berada di bawah taklukan Kesultanan Pagaruyung.

Sejarah awal Kesultanan Jambi cukup sulit untuk ditelusuri. Hanya satu patokan yang cukup jelas bahwa sejarah awal berdirinya Kesultanan Jambi bersamaan dengan kebangkitan Islam. Sedangkan Islamisasi di Sumatera umumnya diyakini bermula pada abad ke-15 (Locher-Scholten, Elsbeth, 2008:43).

Sumber yang mengungkapkan sejarah awal Kesultanan Jambi pasca Kerajaan Darmasraya juga masih sedikit. Beberapa sumber tidak membicarakan secara spesifik tentang sejarah awal Kesultanan Jambi, namun berbicara tentang keadaan Jambi pada masa tersebut. Misalnya saja, pada abad ke-17, Kesultanan Jambi masih mengontrol daerah subur Kerinci di sebelah Tenggara. Akan tetapi sejak pertengahan abad ke-18 daerah tersebut tidak lagi mempedulikan kedaulatan kekuasaan Kesultanan Jambi. Sultan Jambi yang memerintah saat itu tidak bisa memberlakukan kewenangannya di daerah-daerah tenggara yang lain seperti Serampas dan Sungai Tenang (Locher-Scholten, 2008:39-40).

Sumber tersebut tidak menyebutkan secara terperinci tentang siapa sultan yang memerintah saat itu atau tindakan apa yang diambil sehubungan dengan sikap pembangkangan dari daerah Kerinci, Serampang, ataupun Sungai Tenang.

Sedikit keterangan lainnya tentang sejarah awal Kesultanan Jambi dapat dilihat ketika Kesultanan Jambi mengalami kejayaan di sektor perdagangan sekitar abad ke-16 sampai 17. Menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008), sekitar pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, sektor perekonomian (perdagangan) di Kesultanan Jambi mengalami masa keemasan. Perdagangan yang dilakukan antara Kesultanan Jambi dengan Portugis, Inggris, dan Hindia Timur Belanda, sangat menguntungkan Kesultanan Jambi. Bahkan pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh. Akan tetapi situasi ini mulai berubah sekitar tahun 1680-an.

Pada tahun tersebut Jambi mulai kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada utama di pesisir timur Sumatera pasca perseteruan dengan Johor, disusul kemudian dengan pergolakan internal. Inggris yang melihat hilangnya prospek yang menguntungkan atas kerjasama perdagangan dengan Jambi, akhirnya meninggalkan pos dagangnya pada 1679. Situasi ini dimanfaatkan oleh VOC untuk menanamkan pengaruh lebih kuat, meskipun waktu itu VOC hanya memperoleh keuntungan yang sangat kecil. Pada 1688, Belanda menangkap Sultan Jambi dan membuangnya ke Batavia. Tindakan ini mengakibatkan terbelahnya Kesultanan Jambi menjadi dua kesultanan, hulu dan hilir (Locher-Scholten, 2008:43-44).

Masih menurut buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (2008), sejak terbelahnya Kesultanan Jambi, kejayaan akan perdagangan yang sempat dirasakan sekitar pertengahan tahun 1550-an hingga akhir abad ke-17, tidak pernah lagi diperoleh oleh Kesultanan Jambi. Bahkan setelah penyatuan kembali Kesultanan Jambi pada 1720-an, kejayaan di sektor perdagangan ini tidak pernah kembali dirasakan oleh Kesultanan Jambi. Penyebab utama karena pada akhir abad ke-18, terjadi pergeseran seputar komoditi utama dari Kesultanan Jambi. Jika sebelumnya lada menjadi komoditi utama, maka kini berubah menjadi emas. Dalam perdagangan emas ini, Kesultanan Jambi hanya memperoleh untung sedikit karena penambang emas yang didominasi orang dari Minangkabau mengekspor komoditi emas mereka ke tempat di manapun yang menjanjikan keuntungan tinggi, sehingga tidak selalu melalui ibukota Jambi. Ditambah lagi pihak Kesultanan Jambi tidak mempunyai otoritas efektif atas tindakan para pedagang ini, karena telah kehilangan pengaruh. Pihak Kesultanan Jambi tidak bisa mengambil tindakan sepihak karena menjadi negara vasal di bawah Kesultanan Minangkabau (Kesultanan Pagaruyung). Segala keputusan yang diambil oleh Kesultanan Jambi harus mendapat persetujuan dari Kesultanan Pagaruyung, bahkan hingga urusan pemilihan sultan. Keadaan ini memaksa pihak Kesultanan Jambi tidak bisa leluasa mengambil tindakan atas apa yang telah dilakukan oleh para pedagang Minangkabau, karena para pedagang ini mendapat perlindungan langsung dari Kesultanan Pagaruyung (Locher-Scholten, 2008:44-45).