Apa Yang Anda Ketahui Tentang Kerajaan Madura?

Kerajaan Madura terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang saling bersaing, diantaranya adalah Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Dalam sejarahnya, kerajaan-kerajaan di Madura berada dibawah kekuasaan dari kerajaan yang lebih besar yang kekuasaannya berada di Jawa.

Apa yang anda ketahui tentang Kerajaan Madura ?

Kerajaan Madura diketahui ketika kekuasaan raja Kertanegara (1268-1292), dimana untuk daerah Soengennep atau Sumenep dipimpin oleh mantan patih Daha yang bernama Adipati Banyak . Menurut cerita tutur Madura, adipati yang bergelar Aria Wiraraja itu ini berkedudukan di Batu Putih. Penunjukan langsung oleh kerajaan Singasari tentunya berkaitan dengan politik pamalayu yang dianut oleh Wishnuwardana dan kartanegara. Upaya meluaskan kekuasaan guna menancpakan umbul-umbul merah putih di wilayah melayu dan daerah luar jawa lainnya ini memerlikan tentara yang banyak. Seperti masa-masa sebelumnya para pelaut dan prajurit Madura ikut dikerahklan untuk memeberikan dukungan tenaga dan logistik.

Arya Wiraraja ini adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam pendirian kerajaan Majapahit. Untuk membalas jasa-jasa adipati Sumenep tersebut, Arya Riraraja, oleh raja Majapahit mula-mula diangkat sebagai Pesungguhan (semacam panglima atau hulubalang raja). Tak lama kemudian ia dinobatkan sebagai raja bawahan di Lumajang.

Para penggantinya di wilayah sumenep selalu berpindah keraton sebagai pusat kedudukan pemerintahan. Tempat-tempat yang pernah menjadi ibu kota keadipatian adalah Banasare (Rubaru), Aenganyar (Bluto), Keles (Ambunten), Bu-Kabu (Luk Guluk) dan Lapataman (Dungkek).

Kekuasaan Mataram


Pada seperempat pertama abad XVII, Madura terbagi-terbagi menjadi kerajaan kecil-kecil tetapi berdaulat penuh. Ketika itu cicit Kanduruwan baru dinobatkan sebagai putra mahkota kerajaan Sumenep dengan gelar Pangeran Cakranegara. Sukawati yang tua sudah menyerahkann kekuasaannya kepada anaknya Pangeran Purabaya untuk memerintah kerajaan pamekasan. Di Madura barat terjadi sedikit kericuhan penggantian raja. Sepeninggal Pangeran Tengah, maka yang menduduki tahta Arosbaja adalah adiknya (Pangeran Mas) dan bukan anaknya yang bernama Praseno. Adapun praseno hanya diberi kedudukan sebagai Adipati Sampan. Beberapa anak Lemah Duwur yang lain ditunjuk menjadi adipati Pakacangan, Bliga dan Jamburangin dan kesemuanya tunduk pada Arosbaja. Pertengkaran-pertengkaran diantara mereka selalu diselesaikan seacara kekeluargaan mengingat mereka semuanya masih keturunan Lembu Peteng. Melalui hubungan perkawinan para leluhurnya maka dalam tubuh raja Sumenep pun mengalir titisan darah tokoh tadi.

Namun kemandirian dan kedaulatan kerajaan-kerajaan kecil ini tidak dapat lestari. Perkembnagan politik di daerah lain kembali mempengaruhi jalan sejarah Madura. Pada tahun 1613 kerajaan Mataram mengangkat raja baru yang terkenal dengan sebutan Sultan Agung. Raja ini berhasrat menyatukan seluruh pulau jawa dan bahkan tempat-tempat lain di nusantara. Selain itu ia bertekad pula mengusir kedaulatan asing yang mulai bercokol di Batavia (atau Betawi ) yang sebelumnya bernama Jayakarta.

Untuk mewujudkan impiannya itu secara bersistem ia lalu menaklukkan daerah demi daerah. Pada akhir Agustus 1624 seluruh daerah Madura telah berhasil dikusai oleh tentara Mataram. Sebulan kemudian ratusan pembesar Madura yang dikalahkan di medan laga digiring oleh Tumenggung Wiraguna ke Mataram seabagai tawanan perang. Kebanyakan dari mereka dihukum mati dengan cara ditikam dengan keris. Akan tetapi Adipati Sampang yang menyerahkan diri diberi jabatan sebagai penguasa seluruh Madura. Jabatan ini sebenarnya hanya pangkat kehormatan belaka sebab ia harus berkedudukan di ibu kota mataram sebagai sandra dalam sangkar emas. Untuk lebih memudahkan pengawasan terhadap dirinya kemudian dikawinkan dengan salah seorang adik Sultan Agung.

Pemerintahan harian Madura yang berkedudukan di sampang diwakilkan kepada raden santamerta. Wilayah Pamekasan dikelola oleh pangeran Magetsari anak pangeran Jamburingin yang gugur dalam peperangan. Untuk memerintah daerah Sumenep Sultan Agung menunjuk Tumenggung Anggadipa yang sebelumnya adalah panglima armada dari Jepara.

Cerita tutur setempat menunjukkan bahwa tumenggung Anggadipa berhasil menjalankan tugas kepemimpinannya di Sumenep. Untuk lebih memantapkan kedudukan dirinya, ia mengikat tali perkawinan dengan salah seorang keturunan lemah duwur. Tumenggung Anggadipa ternyata dapat diterima karena dapat menyatu dengan masyarakat Sumenep, mungkin karena ia berasal dari jepara yang ketaatannya pada agama islam terkenal kuat. Ia memang terus dikenang sebagai orang yang mendirikan Masjid jamik Sumenep pertama di kampung kapanjin.

Raja-raja kerajaan Madura

Dalam legenda madura diceritakan, Raden Segoro putra Bendoro Gung dianggap sebagi penghuni pertama di pulau Madura. Dan diceritakan pula bahwa Raden Segoro adalah cucu dari raja Gilingwesi. Dalam prasasti canggal yang bertarikh 732 M dikatakan kerajaan mataram kamulan diperintah oleh raja dari Dinasti Sanjaya. Pada waktu itu pulau madura merupakan pulau yang terpecah belah. Dan yang nampak hanyalah Gunung Geger di daerah Bangkalan dan Gunung Payudan di daerah Sumenep.

Menurut sultan Abdurrahman, sebelum kerajaan Majapahit berdiri, di Madura Timur (Sumenep) sudah ada pusat pemerintahan di daerah Purwareja atau Mandagara. Daerah Mandagara sekarang termasuk kecamatan Ambunten kabupaten Sumenep. Sedangkan pemerintahannya pada waktu itu bernama Pangeran Rato. Karena pusat pemerintahan tersebut ada di daerah Mandagara, maka ia terkenal dengan nama Pangeran Mandagara atau R. Pitutut (1333-1339 M).
Raja-raja di kerajaan Madura antara lain :

1. Aria Wiraraja : Pemerintah Kerajaan Pertama

Arya Wiraja dilantik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Pengangkatan tersebut dilakukan oleh Prabu Kartanegara raja Singosari pata tahun 1269 M.

Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan / kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraja adalah seorang dukun. Adapun jasa-jasa Arya Wiraja:

  • Mendirikan Majapahit bersama dengan Raden Wijaya.
  • Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.

Arya Wiraraja memerintah di Sumenep antara tahun 1269-1292 M. Setelah berpindah ke Lumajang, maka tahta pemerintahan Sumenep digantikan kepada adiknya yang bernama Arya Bangah dengan gelar Arya Wiraraja II, dengan Keraton di Banasare. Perlu diketahui, bahwa pada masa Aria Wiraraja I (Banyak Wide) keraton sumenep ada di Batu Putih.

2. Arya Bangah atau Arya Wiraraja II

Arya Wiraraja II (Aria bangah) memerintah di Sumenep antara tahun 1292- 1301 M. ia dikaruniai putra bernama Aria Lembu Suranggana Danurwenda. Ketika usianya semakin tua dan tidak mampu lagi untuk memimpin Sumenep, maka Arya Wiraraja II memberikan tahta pemerintahan Sumenep pada putranga Arya Lembu Suranggana Danurwenda.

3. Arya Lembu Suranggana Danurwenda

Pada pemerintahan Arya Lembu Suranggana Danurwenda, keraton Sumenep yang semula terdapat di daerah Banasare, dipindahkan ke Aeng Nyeor Tanjung kecamatan Saronggi. Pemerintahan Arya Lembu Suranggana Danurwenda berlangsung antara tahun 1301-1311 M. dari hasil perkawinannya ia dikaruniai putra bernama Arya Asrapati.

Dalam cerita tutur dan menjadi anggapan yang berkembang di masyarakat Sumenep, bahwa kerapan sapi yang ada di pulau Madura berawal pada zaman pemerintahan Arya Lembu Suranggana Danurwenda. Sehingga sampai sekarang tradisi kebudayaan kerapan sapi di pulau Madura, menjadi kegiatan tahunan yang tetap dilestarikan. Usia yang semakin tua, dan cukup lama juga di Sumenep, kemudian Aria Lembu Sanggana memberikan tahta pemerintahan Sumenep kepada Putranya yang bernama Arya Arispati.

4. Arya Arispati

Arya Arispati memerintah antara tahun 1311-1319 M. Tidak begitu banyak perkembangan yang dicapai pada pemerintahan Arya Arispati dibandingkan pada jaman pemerintahan orang tuanya. Keraton tempat ia memerintah tidak mengalami perubahan, tetap ada di daerah Aeng Nyeor Tanjung. Arya Arispati dikaruniai putra bernama pangeran Joharsari, yang akhirnya menggantikan orang tuanya memimpin Sumenep pada tahun 1319 M.

5. Pangeran Joharsari

Sejak pemerintahan pangeran Joharsari, agama islam diperkirakan mulai masuk dan berkembang di Sumenep. Menurut keterangan para ahli pengamat sejarah, bahwa pada sekitar tahun 1330-an, yaitu pada awal pemerintahan pangeran Joharsari, telah datang seorang muballig Islam ke Sumenep. Menurut cerita Babad Sumenep, muballig Islam tersebut dengan nama Rato Pandita. Sedangkan menurut sejarah Wali Songo, muballig islam yang mula-mula datang di Sumenep bernama Syd. Ali Murtadha atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Lembayung Fadhal.

Sayid Ali Murtadha adalah adik dari Sunan Ampel yang mempunyai nama asli Raden Rahmat. Sayid Ali Murtadha dan Sunan Ampel adalah kemenakan dari raja majapahit yang bernama Kertawijaya. Menurut cerita tutur mereka berdua berasal dari Campa. Dan disebutkan pula bahwa mereka berdua adalah putra dari raja Campa Ibrahim Asmarakandi yang diutus ke Majapahit. Bahwa Syd. Ali Murtadha berlayar menuju ke arah timur dan mendarat di pulau Sepudi. Kemudian Syd. Ali Murtadha mendirikan pedukuhan sebagai pusat penyebatran agama islam di Sumenep. Pemberian nama pulau Sepudi sebenarnya diambil dari bahasa Jawa, yaitu Sepul, Dhewe. Yang artinya yaitu Sepuh (tua) Dhewe (sekali), artinya tua sekali atau lebih awal masuknya agama islam di sumenep. Kuburan Syd. Ali Murtadha berada di pulau Sepudi kabupaten Sumenep yang bernama Asta Nyamplong.

Pada pemerintahan pangeran Joharsari yang memerintah Sumenep antara tahun 1319-1331 M, sudah memeluk agama islam. Karena makam pangeran Joharsari di desa Tanah Merah Saronggi sudah menunjukkan ciri-ciri kuburan Islam. Menurut tutur cerita, bahwa setelah masuk agama islam, pangeran Joharsari merubah gelar menjadi panembahan. Hal ini dilakukannya sebagai awal karena dirinya sebagai raja yang pertama kali memeluk agama Islam untuk contoh bagi rakyat Sumenep kala itu.

Walaupun kebijakan itu juga diberikan kepada rakyatnya untuk bebas memeluk agama lain yang diyakininya. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Raden Pitutut (Pangeran Mandagara). Sementara keraton sebagai pengendali pusat pemerintahan Sumenep tetap tidak mengalami perubahan, yaitu ada di Aeng Nyeor.dua belas tahun panembahan Joharsari memerintah Sumenep, dan ketika telah berpulang ke Rahmatullah, maka dipilihlah sebagi penerus tahta pemerintahan di Sumenep adalah putranya yang bernama R. Pitutut.

6. Raden Pitutut

Raden Pitutut sewaktu memimpin Sumenep memindahkan keraton Sumenep yang semula ada di Aeng Nyeor, dipindahkan ke daerah Mandagara. Daerah Mandagara adalah termasuk kecamatan Ambunten kabupaten Sumenep. Karena pusat pemerintahan berada di daerah Mandagara, maka R. Pitutut dikenal dengan sebutan Pangeran Mandagara. Dari hasil perkawinannya R. Pitutut dikaruniai dua putra dua orang anak bernama R. Notoprojo dan R. Notoningrat. R. Pitutut memerintah di Sumenep pada tahun 1331-1339 M. berpulangnya R. Pitutut ke Rahmatullah, maka ditunjuk pengganti untuk memimpin pemerintahan Sumenep adalah putranya yang tertua yang bernama R. Notoprojo.

7. Raden Notoprojo

Raden Notoprojo memerintah Sumenep antara tahun 1339-1348 M.18 Pada waktu R. Notoprojo menjabat sebagai raja Sumenep, ada pemindahan keraton kembali yang semula ada di Mandagara, di pindahkan ke daerah Bukabu yang juga termasuk kecamatan Ambunten. Sehingga akhirnya R. Notoprojo pada akhirnya, dikenal dengan sebutan Pangeran Bukabu. Sepuluh tahun R. Notoprojo memerintah Sumenep, untuk kemudian ia dipanggil menghadap Allah SWT. Pangeran Bukabu dikaruniai putra tiga orang, yaitu R. Andasmara (dikenal dengan K. Sindir alias K. Irawan atau Gung Rahwa), R. Astamana dan Dewi Retna Sarini .

8. Raden Notoningrat

Melalui hasil musyawaroh sesepuh keraton, diangkat sebagai pengganti pangeran Bukabu dalam menjalankan roda pemerintahn di Sumenep adalah adiknya sendiri yang bernama R. Notoningrat berangsung antara tahun 1348-1358 M.

Pada waktu memerintah Sumenep, R. Notoningrat juga melakukan pemindahan keraton yang semula ada di daerah Bukabu, dipindahkan ke daerah Baragung yang masih termasuk kecamatan Guluk-guluk kabupaten Sumenep. Dikarenakan pusat pemerintahan ada di Baragung, maka R. Notoningrat dikenal dengan nama Pangeran Baragung. Dari hasil perkawinannya pangeran Baragung dikaruniai seorang putri yang bernama R. Ayu Dewi Endang Kilangen.

Karena dirasakan usia telah tua dan tidak sanggup lagi untuk menjalankan roda pemerintahan Sumenep, maka ditunjuk penggantinya adalah menantu Pangeran Baragung, yaitu Suami dari R. Ayu Dewi Endang Kilangen yang bernama Bramakanda dengan Gelar Gajah Pramada atau Pangeran Secodiningrat I berpangkat Tumenggung. Perkawinan R. Ayu Dewi Endang Kilangen dengan Bramakanda atau Gajah Pramada atau Pangeran Secodiningrat I dikaruniai R. Agung Rawit.

9. Bramakanda atau Pangeran Secodiningrat I

Pemerintahan Gajah Pramada atau pangeran Secodiningrat I berlangsung Antara tahun 1358-1366 M. Sementara itu pada jaman pemerintahan pangeran Secodiningrat I, keraton yang semula ada di Baragung dipindahkan ke daerah Banasare yang termasuk kecamatan Rubaru. Perlu juga diketahui, bahwasanya keturunan pangeran Bukabu tidak menginginkan menggantikan orang tuanya menjadi raja Sumenep. Karena lebih banyak mengaktifkan seluruh hidupnya demi kepentingan agama Allah SWT dengan jalan membuka pesantren. Seperti yang dilakukan oleh R. Andasman atau K. Irawan alias K. Sindir dan R. Astamana. Banyak sekali keturunan dari pangeran Bukabu yang melahirkan ulama-ulama Sumenep yang mashur. Tidak begitu lama memerintah Sumenep, sekitar delapan tahun, kemudian Pangeran Secodiningrat I berpulang ke Rahmatullah.

10. Raden Agung Rawit atau Pangeran Secodiningrat II

R. Agung Rawit memerintah Sumenep antara tahun 1366-1386 M dengan gelar Pangeran Secodiningrat II. Sebelumnya R. Agung Rawit telah memperistri bibinya sendiri yang bernama R. Ayu Dewi Retna Sarini, yaitu putri dari pangeran Bukabu. Dan pernikahan tersebut dikaruniai keturunan bernama R. Ayu Dewi Saini atau lebih dikenal dengan julukan “R. Ayu Potre Koneng” yang kisahnya menjadi legenda.

Dua puluh tahun sudah R. Agung Rawit memerintah di Sumenep, dan untuk seterusnya setelah usianya telah tua, maka pemerintahan beralih kepada Panembahan Blingi yang berkeraton di daerah Blingi Podai (Sepudi). Tidak banyak penjelasan para ahli sejarah tentang peralihan pemerintahan tersebut.

11. Panembahan Blingi

Panembahan Blingi adalah putra dari Syd. Ali Murtadha atau Sunan Lembayung Fadhal. Setelah Panembahan Blingi memimpin pemerintahan di Sumenep menggantikan R. Agung Rawit, yaitu antara tahun 1386-1399 M dengan gelar Ario Polang Jiwo yang berpangkat Tumenggung. Panembahan Blingi mempunyai dua orang putra bernam Adipodai (Panembahan winakrama) dan Adirasa (Panembahan Wirabata).

Setelah tidak mampu lagi untuk menjalankan roda pemerintahan Sumenep, maka sebagai penggantinnya adalah Adipodai (Panembahan Winakrama). Sedangkan adiknya yang bernama Adirasa (Pangeran Wirabata) lebih banyak mengabdikan hidup demi kepentingan agama Allah SWT. Bahkan dalam cerita tutur dijelaskan, bahwa sampai akhir hayat Adirasa (Panembahan Wirabata) tidak beristri.

12. Adipodai (Panembahan Wirakrama)

Adipodai (Panembahan Wirakrama) menggantiakn orang tuanya menjalankan roda pemerintahannya di Sumenep. Namun sebelumnya Adipodai memperistri R. Ayu Dewi Saini atau R. Ayu Potre Koneng, yaitu putri dari R. Agung Rawit. Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seolah-olah terkesan sebagai kehamilan diluar nikah.

Akhirnya menimbulkan kemarahan kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati. Sejak kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada orang tuanya maka kelahiran bayi R. Ayu Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.

Adipodai memindahkan pusat pemerintahan yang semula ada di Blingi Podai, dipindahkan ke daerah Nyamplong Podai. Perkawinan Adipodai dengan R. Ayu Potre Koneng dikaruniai dua putra bernama Jokotole dan Banyak Wedi. Dan pemerintahan Adipodai sendiri berlangsung antara tahun 1399-1415 M.23 Perjalanan waktu membuat usia dan aktifitasnya sebagai pemimpin pemerintahan Sumenep mulai berkurang, sehingga unutk melanjutkan tahta pemerintahan di Sumenep adalah putranya yang tertua, yaitu Jokotole. Sedangkan adiknya yang bernama Banyak Wedi menjadi Adipati Gresik menggantikan Mertuanya.

13. Pangeran Jokotole

Jokotole dan adiknya bernama Banyak Wedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Jokotole diasuh dan dididik Empu Kelleng untuk menjadi manusia yang baik. Sejak dari Kanak-kanak Jokotole senang memperhatikan Mpu Kelleng saat bekerja membuat alat-alat pertanian dari besi. Ketika Jokotole ingin membantu ayah angkatnya, karena dikkawatirkan terkena api maka Mpu Kelleng melarangnya. Suatu ketika dikala Mpu Kelleng pergi istirahat, jokotole mencoba alat-alat dari besi, dan hasilnya ternyata bagus. Setelah Mpu Kellleng mengetahui hasil karya Jokotole, ia sangat gembira dan mengagumi hasil karya anak angkatnya. Disamping itu juga Jokotole membuat keris, kemudian keris hasil buatan Jokotole terkenal sebagai Jennengan Pakadangan.

Sebelum menjadi raja di Sumenep, Jokotole pernah membantu kerajaan majapahit dalam membuat pintu gerbang yang tidak seorang empu setanah jawa dan madura mampu membuatnya. Kecuali hanya Jokotole yang mampu. Jokotole juga membantu kerajaan mojopahit memadamkan pemberontakan di Blambangan. Sehingga atas jasa jokotole, raja majapahit Prabu Kertabumi Brawijaya V menganugrahnya putrinya yang brnama R. Ayu Dewi Ratnadi untuk dijadikan istri. Selain itu Jokotole diberi gelar yaitu, Arya Kuda Panole.

Jokotole menjadi raja Sumenep antara tahun 1415-1460 M dengan gelar Pangeran secodiningrat III. Perkawinannya dengan Raden Ayu Dewi Ratnadi putri Raja majapahit di karuniai putra dua orang. Yang tertua bernama Arya Wigananda, sedangkan yang kedua seorang perempuan yang dalam sejarah tidak diketahuai namanya. Namun dalam babad Sumenep diceritakan, bahwa putri Jokotole diperistri oleh R. Bendara Dwiryapada (Sunan Paddusan). Sedangkan Sunan Paddusan adalah putra dari Sunan Manyuram Mandalika (Syd. Haji Usman dimana Syd Haji Usman adalah Putra Kedua dari Syd. Ali Murtadha). Raden Bendara Dwiryapada kemudian dikenal dengan nama Sunan Paddusan salah seorang penyebar agama Islam di Sumenep.

Ketika Sunan Paddusan memperistri putri Jokotole, kemudian dikaruniai dua orang putri, yang diantaranya bernama Nyai Malaka. Dan Nyai Malaka sendiri setelah dewasa diperistri oleh Sultan Demak Raden Patah, dan dikaruniai keturunan yaitu, Pati Unus, R. Trenggono, Sekar Seda Lepen dan R. Aria Kaduruan (menjadi Adipati Sumenep) serta seorang putri yang diperistri oleh Sunan Gunung Jati.

14. Raden Aria Wigananda

R. Aria Wigananda diangkat menjadi penguasa di Sumenep pada tahun 1460- 1502 M dengan gelar Pangeran Secodiningrat IV. Sementara ketika Jokotole wafat dimakamkan di desa Sa’-asa yang termasuk kecamatan Manding. Aria Wigananda memperistri saudara sepupunya, yaitu putri dari Banyak Wedi yang masih bersaudara dengan Jokotole. Perkawinan keduanya dikaruniai keturunan dua orang, yaitu R. Ayu Ratmina dan juga seorang putri yang namanya tidak dikenal sejarah. Ada pemindahan keraton kembali yang semula pada jaman pemerintahan Jokotole ada di Banasare, maka ketika pemerintahan Aria Wigananda dipindahkan ke daerah Gapura, yang sekarang Gapura menjadi kota kecamatan terletak 13 Kilometer di sebelah timur kota Sumenep.

Pada penjelasan di awal dikatakan, bahwa Banyak Wedi memperistri putri adipati Gresik sekaligus menggantikan mertuanya menjadi adipati perkawinan banyak Wedi dikaruniai keturunan tiga orang anak yaitu Arya Banyak Mondang, Arya Susuli dan seorang putri yang menjadi istri Aria Wigananda. Putra Banyak Wedi yang bernam Arya Banyak Mondang, setelah menikah dikaruniai keturunan empat orang, yaitu Aria Wirabaya (pangeran Siding Puri), Aria Tokandur dan yang dua lainnya perempuan. Dalam Babad Sumenep diceritakan, bahwa Aria Wirabaya aau Pangeran Siding Puri memperistri saudara sepupunya yang bernama R. Ayu Ratmina dan dikaruniai keturunan tiga orang anak yang semuanya perempuan. Salah satu putri dari Pangeran Siding Puri tersebut bernama Nyai Susur. Arya Wigananda tidak dikaruniai keturunan laki-laki sebagai pelanjut tahta pemerintahan Sumenep. Maka setelah usianya telah lanjut dan tidak sanggup lagi untuk menjalankan roda pemerintahan, ditunjuk sebagai pengganti dari tahta pemerintahan tersebut adalah Aria Wirabaya.

15. Aria Wirabaya

Pemerintahan Aria Wirabaya berlangsung antara tahun 1502-1559 M dengan gelar Pangeran Secodiningrat V. Keraton yang semula ada di Gapura pada jaman pemerintahan Aria Wigananda, sertelah pemerintahan Aria Wirabaya dipindahkan ke Parsanga yang masih kecamatan kota. Arya Wirabaya adalah raja Sumenep yang mempunyai wajah tampan nan rupawan. Ketampanan Arya Wirabaya yang terkenal mewarisi rupa kakeknya, yaitu Jokotole. Karenanya Arya Wirabaya oleh banyak masyarakat kala itu diberi sebutan Pangeran Sumenep. Sehingga banyak diantara putri raja-raja kerajaan lain yang sangat tertarik pada aria Wirabaya untuk dijadikan pendamping hidupnya. Diantara yang suka akan ketampanan Aria Wirabaya adalah ratu kerajaan Japan yang bernama R. Ayu Mas Kumambang, yang masih bersaudara dengan neneknya R. Ayu Ratnadi istri Jokotole.

Akibat rasa cinta R. Ayu Mas Kumambang yang ditolak oleh Aria Wirabaya sewaktu masih menjabat raja Sumenep, maka terjadilah peperangan besar untuk menangkap Aria Wirabaya. Peperangan tersebutterjadi di daerah Pore yang masih masuk kecamatan Lenteng. Pimpinan pasukan Japan yang ditunjuk oleh R. Ayu Mas Kumambang untuk menyerang Sumenep adalah R. Aria Kanduruan, yaitu putra Sultan Demak R. Patah. Dalam peperangan tersebut pasukan Sumenep mengalami kekalahan, termasuk Aria Wirabaya wafat dalam peperangan mempertahankan kehormatan kejayaan Sumenep. Karena tempat wafat di dalam pertempuran Aria Wirabaya ada di desa Pore, maka ia dikenal juga dengan sebutan Pangeran Siding Pore.

Dampak dari setelah selesainya peperangan tersebut adalah terjadinya kekosongan pucuk pimpinan untuk dapat menjalankan roda pemerintahan di Sumenep. Sehingga untuk mengisi kekosongan pimpinan pemerintahan di Sumenep, maka mengutuslah R. Ayu Mas Kumambang kepada R. Aria Kanduruan dengan berpangkat Tumenggung. Sebenarnya putra dari Aria Wirabaya pada waktu itu masih kecil, sehingga di rasa belum pantas untuk memikul beban dan tanggung jawab sebagai pemimpin negara. Apalagi setelah pasca peperangan tersebut dianggapnya Sumenep termasuk daerah bahan kerajaan Japan.

16. R. Aria Kanduruan

Masa berlangsungnya R. Aria Kanduruan antara tahun 1559-1562 M dengan gelar Pangeran Notokusumonegoro. Walaupun pada awal pemerintahan R. Aria Kanduruan kurang mendapat dukungan dari rakyat Sumenep. Namun karena semua kebijakan secara perlahan dapat diterima oleh rakyat, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama kehadiran R. Aria Kanduruan dapat diterima pula. R. Aria Kanduruan memindahkan keraton dari Parsanga ke Karang Sabu desa Karang Duak kecamatan kota.

R. Aria Kanduruan memperistri putri dari raja Terung (Sidoarjo), yaitu R. Husein. Dari hasil perkawinan tersebut dikaruniai dua orang putra, yaitu Raden Banten atau Pangeran Lor I dan Pangeran Wetan I. Usia yang semakin lanjut dirasa tidak sanggup lagi untuk menjalankan roda pemerintahan di Sumenep, maka R. Aria Kanduruan memanggil kedua putranya R. Banten dengan Pangeran Wetan I untuk dapat menjalankan pemerintahan di Sumenep. Hal tersebut tentunya tidak lepas juga dari musyawarah sesepuh keraton. R. Aria Kanduruan wafat, jenazahnya dimakamkan di Asta Karang Sabu desa Karang Duak, yaitu bekas lokasi keratonnya.

17. Pangeran Lor I atau R. Banten dan Pangeran Wetan I

Pangeran Lor I atau R. Banten memerintah Sumenep antara tahun 1562-1567 M. Ia tidak menikah sampai akhir hayatnya, dan lebih banyak melakukan ibadah kepada Allah SWT. Dan lebih suka menyepi (tafakkur) di tempat-tempat sunyi dalam gua di daerah Kasengan, gua Kalabangan. Sedangkan Pangeran wetan memiliki dua istri. Yang pertama R. Ayu Ratna Taluki (istri padmi), yaitu Putri dari Pangeran Nugroho (Apnembahan Bonorogo) Pamekasan dan memiliki anak bernama Raden Rajasa. Sedangkan istri yang kedua, yaitu putri dari Aria Wirabaya (Pangeran Siding Puri atau Pangeran Secodiningrat V) dan di karuniai putra bernama R. Keddu’.

Meskipun kerajaan Sumenep dipimpin oleh dua orang, namun rasa aman, tentram dan sentosa tetap dapat dirasakan oleh semua rakyat Sumenep. Semua itu dikarenakan kekompakan dan kerja sama dalam menjalankan tugas. Segala bentuk kekurangan yang ada di masyarakat selalu dicari jalan penyelesaian. Pangeran Lor I dan Pangeran Wetan I ketika wafat dimakamkan di Asta Karang Sabu desa Karang Duak juga berkumpul dengan R. Aria Kanduruan.

18. R. Keddu’ atau Pangeran Wetan II

R. Keddu’ atau Pangeran Wetan II memerintah antara tahun 1567-1574 M. kemudian Raden Keddu’ sudah tidak aktif lagi tahta pemerintahan Sumenep diganti oleh R. Rajasa.
R. Rajasa atau Pangeran Lor II menjadi penguasa di Sumenep antara tahun 1574-1589 M. dalam Babad Sumenep diterangkan, bahwa R. Rajasa memperistri R. Ayu Dewi Susila, yaitu putri dari Pangeran Batu Putih II (R. Ilyas). Sedangkan Pangeran Batu Putih II itu sendiri adalah putra dari dari Sunan Paddusan, yaitu dari hasil perkawinannya dengan putri Jokotole. Pernikahan R. Rajasa dikaruniai putra dua orang bernama R. Abdullah (Pangeran Cokronegoro I) dan R. Pandian (K. Abdul Qidam) di Larangan Pamekasan.

20. R. Abdullah atau Pangeran Cokronegoro I

R. Abdullah atau Pangeran Cokronegoro I memimpin Sumenep antara tahun 1589-1626 M. R. Abdullah menikah dengan R. Ayu Pacar dan diikaruniai putra bernama R. Bugan. Sedangkan R. Pandian saudara dari R. Abdullah lebih memilih untuk mengabdikan hidup yang hanya sebentar untuk kepentingan perkembangan agama Allah SWT, yaitu dengan jalan membuka pesantren di Larangan Pamekasan.

Selang beberapa tahun R. Abdullah (Pang. Cokronegoro I) memerintah Sumenep, Sultan Agung raja Mataram pada tahun 1623 M menyerang seluruh kerajaan kecil yang ada di Madura, termasuk Sumenep. Namun dalam penyerangan yang pertama tersebut dapat dikalahkan oleh pasukan madura. Akan tetapi dalam serangan yang kedua pada tahun 1624 M sebagian kerajaan kecil di bagian Barat Madura dapat ditaklukkan. Seperti Blega, Arosbaya dan Sampang dalam kekuasaan kerajaan Mataram. Pertempuran yang dilakukan pasukan Mataram bergerak ke daerah Pamekasan, sehingga Pangeran Pamekasan gugur dalam pertempuran bersama seluruh pasukannya di daerahnya sendiri Pamekasan. Dan daerah Pamekasan jatuh dalam kekuasaan Mataram juga.

Pada tahun 1626 M, ketika R. Abdullah didampingi orang tuanya R. Rajasa hendak melakukan kunjungan ke Demak, dalam perjalanan di daerah Sampang di cegat oleh pasukan Mataram sehingga mengakibatkan peperangan. Jumlah pasukan yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pasukan Mataram, mengakibatkan pasukan Sumenep mengalami kekalahan. Pada peristiwa pertempuran tersebut juga mengakibatkan R. Abdullah (Pang. Cokronegoror I) dengan R. Rajasa orang tuanya gugur. Keduanya kemudian dikebumikan di desa Palakaran Sampang. Tempat kedua makam Pangeran Sumenep yang gugur dalam pertempuran melawan pasukan Mataram dinamakan Asta Pangeran Sumenep.Sedangkan putra Raden Abdullah (Pang. Cokronegoro I) yang masih kecil bernama R. Bugan dilarikan dan dititipkan kepada Sultan Cerbon.

Mendengar kabar wafatnya R. Abdullah (Pang. Cokronegoro I) dan R. Rajasa dalam pertempuran melawan pasukan Mataram, maka sisa kerabat yang masih hidup berangkat ke Demak untuk melaporkan tentang kejadian dan keadaan yang menimpa Madura. Khususnya Sumenep setelah terjadinya peperangan dan dikuasai oleh Mataram. Maka setelah menerima laporan dari rombangan kerabat Sumenep, penguasa Demak keturunan R. Patah memerintahkan putra adipati Jepara yang bernama R. Mas Pangeran Anggadipa menjadi Penguasa sementara tahta pemerintahan di Sumenep pada tahun 1626 M dengan berpangkat tumenggung.

21. R. Mas Pangeran Anggadipa

R. Mas Pangeran Anggadipa adalah keturunan adipati Jepara.R. Mas Pangeran Anggadipa memperistri perempuan Madura, yaitu putri dari panembahan Lemah Duwur (R. Pranoto) Sampang yang bernama R. Ayu Mas Ireng. Berselang beberapa tahun bertugas di Sumenep dan sudah menjalankan banyak kebijakan demi mensejahterakan rakyat Sumenep, kemudian pada tahun 1639 M mendirikan masjid di desa Kapanjin termasuk kecamatan kota. Masjid tersebut kemudian dikenal dengan nama “Masjid Laju” dan termasuk masjid yang pertama kali di Sumenep. Pemerintahan R. Mas Pangeran Anggadipa berlangsung antara tahun 1626-1644 M.

Kedatangan R. Mas Pangeran Anggadipa banyak membawa perubahan yang sangat berarti di Sumenep, walaupun ia bukan keturunan asli bangsawan Sumenep. Namun segala kebijakan sangat diterima dan dirasakan oleh rakyat Sumenep. Kurang lebih tujung belas tahun R. Mas Pangeran Anggadipa kemudian di pecat dari jabatan adipati Sumenep oleh Sultan Agung. Sebagai ganti dari jabatan tahta pemerintahan Sumenep adalah R. Jaingpati. Ia adalah saudara sepupu dari pangeran Cakraningrat I (R. Praseno) di Sampang. Pengangkatan R. Jaingpati menjadi adipati Sumenep sudah di bawah kekuasaan Mataram. Pangeran Anggadipa beserta istrinya R. Ayu Mas Ireng ketika berpulang ke Rahmatullah, dimakamkan di Asta Tinggi, yaitu pada lokasi barat di kubah paling utara.

22. R. Jaingpati

R. Jaingpati memerintah Sumenep antara tahun 1644-1648 M. sebagi pemimpin baru di Sumenep, kehadiran R. Jaingpati tidak dapat di terima rakyat Sumenep. Semua kebijakan pada semua sistem pemerintahan tidak dapat melakukan perubahan di berbagai bidang. Perekonomian, pendidikan, budaya dan keagamaan semuanya semakin memburuk. Hat tersebut membuat rakyat Sumenep tidak bersimpati terhadap kepemimpinan R. Jaingpati. Sehingga semua rakyat Sumenep berharap dan berdo’a agar R. Jaingpati secepatnya diganti oleh pemimpin dari keturunan asli Sumenep.

Raden Bugan putra R. Abdullah (Pang. Cokronegoro I) yang selamat dari peperangan melawan Mataram kini telah dewasa. Setelah beberapa tahun lamanya R. Bugan menempa dirinya dalam bidang agama di Giri dan dalam bidang tata Pemerintahan di Mataram, merasa terpanggil untuk kembali ke Sumenep meneruskan harapan semua rakyat Sumenep. Karena R. Bugan mendengar kabar bahwa Sumenep dipimpin oleh R. Jaingpati sepupu Pangeran Cakraningrat I yang tak cakap dalam menjalankan pemerintahan. Setelah melalui peperangan dan dukungan dari rakyat Sumenep serat dibantu oleh R. Trunojoyo, akhirnya R. Bugan dapat merebut Sumenep kembali pada tahun 1648 M.

23. R. Bugan atau Pangeran Yudonegoro

R. Bugan menjadi adipati Sumenep antara tahun 1648-1672 M dengan gelar Pangeran Yudonegoro berpangkat tumenggung. Sebelumnya R. Bugan (Pangeran Yudonegoro) telah memperistri anak keponakan R. Trunojoyo yang bernama Nyai Kani, yaitu putri dari K. Jumantara di Sampang. Dari hasil perkawinannya dikaruniai keturunan empat orang, yaitu R. Ayu Batur, R. Ayu Artak, R. Ayu Otok, R. Ayu Kacang.

Semenjak Pangeran Yudanegara memimpin Sumenep keadaan kehidupan masyarakat mulai agak aman. Rakyat tak begitu ketakutan baik malam maupun siang. Mereka dapat megerjakan sawah ladangnya lagi dengan tekun. Sehingga beberapa saat kemudian kemakmuran mulai dapat dirasakan. Ia dikenal amat biajak dan arif sehingga tidak mau menerima laporan dari bawahannya yang hanya bersifat issu dan mengarah kepada fitnah. Dalam melakukan tugas ke Blambangan yang diperintah Mataram, ia berhasil memadamkan pemberontakan dan Blambangan tunduk kepada Mataram. Berkat keberhasilannya memadamkan pemberontakan di Blambangan, Pangeran Yudanegara mendapat anugerah gelar Pangeran Macan Walung. Dan setelah wafat, Yudanegara dimakamkan di Banasokon desa Kebunagung, disebelah barat kota Sumenep, terletak dibawah bukit Asta Tinggi.

24. P. Panji Polang Jiwo dan P. Wirosari

R. Ayu artak diperisti oleh Pangeran Panji Polang Jiwo (R. Khas Kian). Pangeran Panji Polang Jiwa menggantikan mertuanya, Pangeran Yudhonegoro menjadi adipati sumenep, berpangkat tumenggung. Pemerintahan pangeran polan jiwa berlangsung antara tahun 1672-1678 M, bersamaan dengan pemerintahan Pangeran Wirosari (Pangeran Seppo), karena pada waktu itu kerajaan Sumenep diperintah oleh dua orang dalam waktu bersamaan.

Pangeran Wiro Sari adalah putra pangeran Wegat Sari, penguasa pamekasan. Sedangkan pangeran megat sari sendiri adalah putra dari pangeran metro sari yang masih menantu pangeran cakraningrat I (R. Praseno). Pada awalnya pangeran Wiro Sari adalah penguasa pamekasan. Ia menggantikan pangeran Megat Sari orang tuanya yang telah berpulang kerahmatullah. Namun kemudian pangeran Wiro Sari menikah dengan salah satu putri pangeran Yudho Negoro penguasa Sumenep, yang bernama R. Ayu Kacang.

Ketika pangeran Yudho Negoro tidak efektif lagi dalam pemerintahan sumenep sepenuhnya, maka pangeran Wono Sari menggantikan mertuanya menjadi penguasa sumenep, yaitu antara tahun 1672-1678 M dengan gelar pangeran Seppo. Sedangkan daerah pamekasan digantikan kepada R. Gunung Sari (R. Deksana) dengan gelar pangeran Adikoro I atau lebih dikenal dengan sebutan pangeran gatot kaca yang juga menikah dengan putri pangeran Yudho Negoro yang bernama R. Ayu Otok.

Sistem pemerintahan pangeran Wiro Sari dan pangeran Ppanji Pelang Jiwa yang sama-sama memerintah Sumenep yang masih dibawah kekuasaan Mataram, walaupun pada tahun 1680 M Sumenep lepas dari kerajaan madura dan menjadi kerajaan madura timur dengan pamekasan.

Perwilayahan kerajaan Madura pada tahun 1680 M dibagi menjadi tiga, yaitu: Sumenep, Pamekasan dan kerajaan Madura barat yang meliputi Sampang, Blega, Arosbaya,(sekarang banggalan). Sedangkan kerajaan Madura Barat, pusat pemerintahannya dikendalikan di Sampang. Ketika berpulang ke rahmatullah, pangeran Wirosari dikuburkan di Asta tinggi pada lokasi barat dikubah paling utara.

25. Pangeran Romo atau Pangeran Cokronegoro II

Pangeran Romo adalah putra dari R. Deksana (R. Gunung Sari) atau pangeran Gatut Kaca (Adikoro I) adipati pamekasan dari hasil perkawinannya dengan R. Ayu Otok, putri dari Pangeran Yudonegoro. Pada tahun 1702 M, Pangeran Romo berhasil mempersatukan kembali kepemimpinan pemerintahan sumenep secara utuh. Suatu awal keberhasilan Pangeran Romo dalam menata kembali berbagai keterpurukan dari pemerintahan sebelumnya. Pembangunan perekonomian, sosial, budaya, dan keagamaan terus diadakan perbaikan. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang dimiliki, serta sifat tangkas, tegas dan cerdas dari jiwa kepemimpinan pangeran Romo.

Setiap bentuk persoalan yang muncul cepat diatasi tampa menunda-nunda secara berlarut. Sikapnya yang sederhana, sabar, tekun dan tegas adalah modal utama dalam memperoleh kepercayaan rakyat. Jiwa kepemimpinannya yang tentunya mewarisi dari kakeknya, yaitu Pangeran Yudonegoro. Dalam menghormati jasa para pemimpin sumenep yang telah mendahuluinya, maka pada sekitar tahun 1695 M, Pangeran Romo membangun pesantren di asta tinggi, yaitu sekaligus dengan memberi pagar batu pada sekeliling pesantrentersebut, lengkap dengan gapuranya. Pembangunan asta tinggi yang dibangun oleh Pangeran Romo adalah merupakan tahap awal. Bertujuan untuk mengigatkan pada generasi selanjutnya, termasuk juga masyarakat sumenep, akan perjuangan leluhur dalam membangun dan memperjuangkan sumenep tempo dulu.

Pangeran Romo memerintah sumenep menggantikan Pangeran Panji Polang Jiwa dan Pangeran Wirosari antara tahun 1678-1709 M, dengan Pangeran Colronegoro II. Pangeran Romo memperistri saudara sepupunya sendiri yang bernama R. Ayu Gumbrek, yaitu putri dari pangeran Panji Polong Jiwo.Pada akhir hayatnya Pangeran Romo dimakamkan diasta tinggi pada lokasi bangian barat kubah paling utara. Makam Pangeran Romo juga berkumpul dengan Pangeran Anggadipa, Pangeran Wirosari, R. Ayu Artak dan juga Pangeran Panji Polang Jiwo.

26. Raden Tumenggung Wiromenggolo

Raden Tumenggung Wiromenggolo atau Pangeran Purwanegara, putera dari Pangeran Seppo. memerintah di Sumenep menggantikan pangeran Romo antara tahun 1709-1721 M. dan keberadaan keraton tidak berubah dengan raja sebelumnya yaitu bertempat di Karang Toroi.

27. Raden Ahmad atau Pangeran Jimat

Pangeran Jimat adalah putra dari pangeran romo dari hasil perkawinannya dengan R. Ayu Gumbrek, putri dari pangeran panji Polang Jiwo. Raden Jimat menggantikan orang tuanya Pangeran Romo mengjadi adipati Sumenep karena berpulang ke Rahmatullah. Sehingga oleh VOC ditunjuk sebagai penggantinya. Sedangkan untuk daerah Pamekasan ditunjuk oleh VOC saudara Pangeran Romo yang bernama R. Djoyonegoro berpangkat tumenggung.

R. Jimat memerintah di Sumenep tahun 1721-1744 M. dengan saat itu juga posisi keraton tetap di Karang Toroi. Setelah R. Ahmad (Pangeran Jimat) menjadi adipati Sumenep, ada upaya R. Ahmad (Pangeran JImat) untuk memperluas kekuasaan ke daerah Pamekasan. Raden Ahmad (Pangeran Jimat) merasa berhak terhadap keris pusaka yang ada di tangan R. Asral (Adikoro II). Alasannya karena Pangeran Romo adalah putra dari istri padmi Adikoro I. Sedangkan R. Asral (Adikoro II) adalah putra dari istri selir.

Kemudian timbullah perselisihan, sampai menjadi perang saudara antara Raden Asral (Adikoro II) dengan R. Akhmad (Pangeran Jimat). Pasukan Sumenep lebih kuat, sehingga pasukan Pamekasan dapat dipukul mundur. Disamping memperluas ke daerah Pamekasan, ada upaya Pangeran Jimat untuk memperluas daerah kekuasaan ke daerah Basuki dan Belambangan. Pangeran Jimat membabat hutan Besuki dan hutan Blambangan, kemudian melakukan migrasi penduduk ke daerah yang baru dibukanya. Kondisi masyarakat Pangeran Jimat sangat aman, sentosa, adil dan makmur. Pangeran Jimat tidak hanya pandai memberi nasehat, akan tetapi dia lebih dahulu melaksanakannya.

28. Raden Alsa atau Pangeran Lolos

Raden Alsa (Pangeran Lolos) memerintah Sumenep pada tahun 1744-1749 M. Pada saat pemerintahan R. Alsa, Sumenep pernah terjadi pemberontakan yang dipimpin K. Lesap dari Bangkalan. Hal tersebut terjadi pada tahun 1749 M. konon Ke Lesap adalah putra dari Pangeran Cakraningrat V dari hasil perkawinannya dengan gadis desa. Sehingga setelah dewasa Ke Lesap merasa pantas dan berhak atas kedudukan yang baik dan sah. Walaupun ibunya Ke Lesap tahu ibunya termasuk istri Selir.

Karena kekalahan dalam melawan Ke Lesap, R. Alsa melarikan ke Surabaya untuk meminta bantuan kepada kompeni. Hasil dari meloloskan diri dari sergapan K. Lesap, maka R. Alsa dikenal dengan julukan Pangeran Lolos.

Karena dianggap tidak cakap dalam memimpin tahta pemerintahan Sumenep, maka R. Alsa (Pangeran Lolos) diberhentikan oleh VOC belanda dari jabatan adipati Sumenep. Berdasarkan musyawarah sesepuh keraton, ditunjuklah sebagai pengganti Pangen Lolos adalah R. Ayu Dewi Rasmana (R. Ayu Potre Koneng II).

29. K. Lesap

K. Lesap memerintah Sumenep antara tahun 1749-1750 M. di mana keraton masih berada pada posisi di Karang Toroi. Pada tahun 1749 Sumenep harus menghadapi pemberontakan Ke’ Lesap yang mengharu-biru seluruh Madura. Konon tokoh pemberontak adalah anak dari Panembahan Cakraningrat V dengan seorang gadis desa. Setelah besar oleh ibunya K. Lesap diberi tahu siapa dirinya yang sebenarnya, sehingga ia merasa berhak mendapat kedudukan yang baik selayak anak seorang bupati. K. Lesap diberi kekuasaan atas beberapa desa. Namun karena tidak merasa puas, ia melarikan diri kepegunungan di wilayah Sumenep (Gunung Payudan). Di daerah pelariannya itu ia meneruskan bertapa sambil membina pengikutnya yang terdiri dari rakyat kecil. Sedangkan kondisi rakyat madura pada saat itu membutuhkan pemimpin yang peduli dengan munculnya K. Lesap, seakan- akan menemukan panutan baru yang bersendikan ajaran agamanya.

Kemudian oleh R. Tirtanegara keraton Sumenep diserang kembali sehingga timbul perang tanding dihalaman keraton Sumenep, antara R. Tirtanegara dengan R. Buka. Pada pertarungan tersebut R. Buka kena tombak lambungnya oleh R. Tirtanegara, dan langsung mati. Sisa prajurit R. Buka dari Bangkalan yang masih hidup banyak yang lari ke Pamekasan untuk memberi tahukan kepada K. Lesap bahwa Sumenep telah direbut kembali oleh R. Tirtanegara.,

30. R. Ayu Dewi RasmanaTironegoro dan R. Bendara Moh. Saud

Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah kerajaan Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Dan bindara Saod memerintah di Sumenep antara tahun 1750-1762 M.keberadaan keraton yang awalnya di Karang Toroi pada masa pemerintahan ini di pindah Pajagalan. R. Ayu Dewi Rasmana disarankan oleh sesepuh keraton untuk mencari pendamping hidup, agar tugas dalam menjalankan roda pemerintahan Sumenep tidak berat. Kemudian R. Ayu Dewi Rasmana melakukan Istikharah selama 40 hari 40 malam untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.

Menurut hikayat R.Ayu Dewi Tirtonegoro pada suatu malam bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara Saod, seorang Penyabit rumput dari desa Lembung Barat kecamatan Lenteng… Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata sepakat dan mendapat restu dari istri pertamanya (Nyai Izzah), perkawinan dilaksanakan, Bindara Saod menjadi suami Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro. R. Ayu Dewi Rasmana wafat setelah seminggu dari wafatnya Bendara Moh. Saod. Dan keduanya dimakamkan bersebelahan, yang bertempat di Asta Tinggi.

31. Panembahan Notokusumo Asiruddin

Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2 orang anak. Pada saat kedua anak Bindara Saod itu datang ke keraton memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang bernama Somala terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu sedangkan kakaknya mendahulukan menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). Saat itu pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.

Masa memerintah di Sumenep 1750-1811 M. Pada pemerintahan Asiruddin (Panembahan Semolo), dalam menjalankan sangat berhati-hati sekali takut sampai melanggar norma-norma agama serta merugikan rakyat. Musyarawarah dalam mencapai mufakat tetap dilakukannya dalam menjalankan setiap kebijakan demi kepentingan rakyat.

32. Sultan Abdurrahman

Sultan Abdurrahman mempunyai 4 orang Istri. Namun menurut cerita tutur yang berkembang beliau mempunyai banyak istri. Bahkan diantara banyak istri beliau diantaranya adalah, putri Adipati Semarang R. Suryomenggolo V, putri adipati Bone, dan putri Adreina yaitu putri dari kerajaan Belanda. Dan dari semua istri tersebut Sultan Abdurrahman dikaruniai keturunan 32 orang putra-putri. Dan diantara putra putri tersebut yang menjadi penerus Sultan Abdurrahman setelah wafat adalah putranya sendiri yaitu R. Aria Moh. Saleh.

33. Panembahan Moh. Saleh

Menjadi raja Sumenep dengan Gelar Natakusuma II. Pada masa memerintah antara tahun 1854-1879 M. Dalam memerintah ia menderita kelumpuhan pada seluruh anggota tubuhnya, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan dibantu oleh saudaranya sendiri, antara lain yaitu:

  • Pangeran Aria Jakfar Sadik Suryaamidjaya, yang ditunjuk sebagai sekretaris pribadi.

  • Pangeran Aria Mas’ud Suryaadiputra, ditunjuk mengurus bagian keuangan (bendahara) keraton.

Panembahan Natakusuma II tidak menunjukkan hal-hal yang istimewa. Bahkan pada masa Panembahan, isi keraton semakin berkurang karena diberikan kepada orang-orang yang datang mengunjunginya. Pada tahun 1857 M untuk memperkuat kontrol politik pemerintah Kolonial Belanda atas madura, maka dibentuklah Karesidenan Madura dengan ibu kotanya di Pamekasan. Pada tahun 1868 M masalah pengaturan irigasi pertanian oleh pemerintah Hindia Belanda diserahkan kepada Panembahan.

34. Pangeran Pakunataningrat

Karena mengepalai daerah yang diperintah langsung oleh penjajahannya, bupati tidak lagi menandatangani kontrak sebagai ikatan politik. Bupati hanya mendapatka beslit atau surat pengangkatan dan harus puas dengan uang gaji tanpa menguasai tanah apanage. Sejak saat itu bupati tak lebih dari pegawai pemerintah kolonial. Agar tidak menimbulkan gejolak sosial yang membahayakan, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan uang ganti rugi. Uang ganti rugi itu, kemudian diganti menjadi tunjangan bangsawan yang jumlahnya semakin lama semakin berkurang. Pada tahun 1879-1884 M, pangeran Pakunataningrat ditetapkan sebagi wakil bupati Sumenep. Kemudian tahun 1884 M mendapatkan surat pengukuhan (beslit) sebagia Le Regent di Sumenep.

35. R. Pratamingkusumo

Pada waktu R. Tumenggung Pratamingkusumo menjabat sebagai bupati Sumenep yang memerintah antara tahun 1901-1926 M, ia membangun sebuah menara di Masjid Jamik Sumenep, yang ditempatkan disebelah barat (belakang Masjid). Juga ia melaksanakan pembangunan jalan (rel) kereta api tahun 1897-1901 M yang menghubungkan Kamal sampai ke Kalianget Timur. Jaringan komunikasi banyak mengalami perubahan, dengan adanya jalan kereta api. Dan untuk menunjang sarana transportasi, memperlancar jalannya perekonomian rakyat, maka diadakan juga tranportasi kapal laut dari Kalianget menuju Panarukan (Situbondo).

Banyak pula pemuda madura yang bergabung ke dalam gerakan nasional “Yong Islamietan Bond” (Persatuan Pemuda Islam). Gerakan politik Yong Islamietan Bold dan Serikat Islam yang berdasarkan keagamaan di Madura ini memang cepat mendapat dukungan dan pengikut yang luas oleh orang Madura. Pada waktu itu, pendiri Serikat Islam H.O.S. Cokroaminoto di anggap sebagai malaikat penyelamat terhadap tindakan Pangreh Praja.

Dua tahun sesudah berdiri, Serikat Islam berhasil menanamkan pengaruhya di kalangan orang Madura. Pusat perwakilan partai politik ini terbentuk di Sampang (1911), Sepudi (1913), Bangkalan (1914), Sumenep (1914), Pamekasan (1914), dan perenduan (1916). Hampir seluruh pengurus cabangnya memiliki gelar kebangsawanan sedangkan sisanya merupakan kiyai dan Haji. Dipakainya Islam sebagai landasannya menyebabkan partai ini mampu ikut menanamkan rasa nasionalisme dikalangan anggotanya.

36. R. P. Ario Prabuwinoto

Pada masa pemerintahan R. Tumenggung Ario Prabuwinoto antara tahun 1926- 1930 M, hanya sempat mengubah pagar tembok Masjid dan keraton dibagian depan dengan pagar besi. Perubahan tersebut mngundang reaksi dari para sesepuh, karena tidak melalui musyawarah. Reaksi dari para sesepuh dan keluarga keraton tersebut karena pembangunan pagar tembok di sekeliling masjid bertujuan agar ummat islam yang melakukan shalat dan mendengarkan khotbah bisa berkonsentrasi.

Referensi :

  • R. Werdisatra dan R. Sastra Widjaja, Bhabhad Songennep, (Balai Poestaka1921).
  • Mien A. Rifai, Lintasan Sejarah Madura, (Surabaya: Yayasan Lebbur Legga 1993 ).
  • Sejarah Sumenep, disusun oleh Tim Penulis Sejarah Sumenep dalam makalah disampaikan pada seminar buku Penulisan Sejarah Sumenep yang diselelnggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep pada hari Rabu, 10 Desember 2003 bertempat di Pendopo Agung Sumenep
  • H.J. Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, (Jakarta: Grafitipress 1986)
  • Bindara Akhmad, Lintasan Sejarah Sumenep dan Asta Tinggi Beserta Tokoh di Dalamnya, (Sumenep: Barokah, 2010),