Apa yang anda ketahui tentang Kerajaan Gowa ?

Kesultanan Gowa

Kesultanan Gowa, 1300–1946 adalah kerajaan dari Suku Makasar yang terletak di Sulawesi, Kab. Gowa, prov. Sulawesi Selatan. Apa yang anda ketahui tentang Kerajaan Gowa ?

Pada awalnya, di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari para pendahulu di Gowa mengatakan bahwa Tumanurung merupakan pendiri Kerajaan Gowa pada awal abad ke-14.


Gambar Istana Balla Lompoa di Sungguminasa, Kabupaten Gowa pada tahun 2013.

Kerajaan Gowa Abad ke-16


Tumapa’risi’ Kallonna

Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertahta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9, bernama Tumapa’risi’ Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis berkomentar bahwa “daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil”. Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa’risi’ Kallonna mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan penangkapan ikan banyak.

Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya pada abad ke-16 dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa’risi’ Kallonna diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kesultanan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.

Tunipalangga

Tunipalangga dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik (Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah:

  • Menaklukkan dan menjadikan bawahan Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai negara kecil di belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri, Panaikang, Bulukumba dan negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan.

  • Orang pertama kali yang membawa orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa.

  • Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.

  • Menciptakan jabatan Tumailalang untuk menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar leluasa mengurus perdagangan dengan pihak luar.

  • Menetapkan sistem resmi ukuran berat dan pengukuran

  • Pertama kali memasang meriam yang diletakkan di benteng-benteng besar.

  • Pemerintah pertama ketika orang Makassar mulai membuat peluru, mencampur emas dengan logam lain, dan membuat batu bata.

  • Pertama kali membuat dinding batu bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu.

  • Penguasa pertama yang didatangi oleh orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta tempat tinggal di Makassar.

  • Yang pertama membuat perisai besar menjadi kecil, memendekkan gagang tombak (batakang), dan membuat peluru Palembang.

  • Penguasa pertama yang meminta tenaga lebih banyak dari rakyatnya.

  • Penyusun siasat perang yang cerdas, seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan sangat berani.

Kerajaan Gowa Abad ke-17


Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, VOC berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik tahta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan VOC (Kompeni).

Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perjanjian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan VOC, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat milik Kesultanan Gowa yaitu Benteng Somba Opu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

Kerajaan Gowa Abad ke-20


Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa ke-1, Tumanurung, hingga mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian mengalami masa penjajahan di bawah kekuasaan Belanda. Dalam pada itu, sistem pemerintahan mengalami transisi pada masa Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin, menyatakan Kesultanan Gowa bergabung menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten Gowa pertama.

Keadaan Sosial-Budaya


image
Gambar Deretan kapal Pinisi di Pelabuhan Paotere.

Sebagai negara maritim, maka sebagian besar masyarakat Gowa adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Gowa memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. Dan masyarakat Gowa sangat percaya dan taat terhadap norma-norma tersebut.

Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan Anakarung atau Karaeng, sedangkan rakyat kebanyakan disebut to Maradeka dan masyarakat lapisan bawah disebut dengan golongan Ata[2].

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Gowa banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Gowa dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Sulawesi Selatan dan terkenal hingga mancanegara.

Sumber : wikipedia

Periode awal berdirinya kerajan Gowa sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Beberapa sumber yang ada menerangkan masalah ini sangat ringkas dan sama sekali belum cukup untuk dapat dijadikan sebagai sumber utama dalam upaya menyimak sejarah Kerajaan Gowa. Akan tetapi nama Makassar telah disebut-sebut pada abad XIV dalam kitab Nagarakertagama29 yang ditulis oleh Mpu Prapanca, pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit di Jawa (1365).

Isi dari kitab tersebut yaitu menceritakan mengenai seluruh wilayah Sulawesi menjadi daerah Kerajaan Majapahit, yaitu Bantayan (Bantaeng), Luwuk (Luwu) bisa kemungkinan Luwuk, Udamakatraya (Talaud), Makasar (Makassar), Butun (Buton), Banggawai (Banggai), Kunir (P. Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor), Muar (Kep. Kei).

Petunjuk yang disajikan dari keterangan kitab tersebut adalah nama Kerajaan Gowa tidak disebut- sebut sebagai suatu Kerajaan orang Makassar, yang mendiami Jazirah Sulawesi Selatan. Ada kemungkinan Gowa hanyalah merupakan daerah kecil yang belum memiliki peranan penting ketika itu.

Bila di Jawa, Sumatra, Bali, dan Kalimantan ditemukan beberapa prasasti (batu atau logam tembaga), namun di Sulawesi-Selatan sampai sekarang belum ditemukan satu prasasti (tulisan) di atas batu atau logam. Keberadaan prasasti ini sangat penting sekali artinya dalam pengungkapan sejarah suatu daerah atau dinasti pemerintahan, demikian pula stratifikasi masyarakat.

Dalam prasasti itu sering tersebut nama raja, atau tempat, serta angka tahun. Dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan suatu kerajaan atau dinasti dapat diketahui, akan tetapi tentu saja tidak semua prasasti dapat diterima begitu saja sebab ada pula terdapat beberapa salinan yang kadang-kadang terdapat kesalahan dalam menyalin.

Berhubung karena di Sulawesi-Selatan belum diketemukan suatu prasasti yang dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui waktu yang tepat pertumbuhan dan perkembangan suatu kerajaan atau dinasti, maka sebagai pegangan dasar untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di Sulawesi-Selatan, hanyalah berdasarkan cerita-cerita rakyat, benda-benda peninggalan sejarah, sumber- sumber tertulis dari bangsa asing, dan naskah-naskah lontara’.

Menurut Mattulada, sumber-sumber utama dari sejarah kuno Sulawesi-Selatan dapat diperoleh dalam berbagai macam lontara’ berupa peninggalan-peninggalan tertulis orang Bugis-Makassar dari zaman dahulu. Di dalam Lontara’ Gowa dikemukakan bahwa peletak dasar adanya raja-raja pemerintahan di Kerajaan Gowa itu ialah munculnya seorang putri di Tamalate yang dikenal dengan sebutan Tumanurung ri Tamalate sebagai raja Gowa yang pertama. Dan pada masanya lah terbentuk suatu pemerintahan dan konsep kebudayaan yang tercipta di Gowa.

Adalah jelas bahwa konsepsi Tumanurung mengandung unsur mitologis. Tetapi disini pulalah besarnya peranan dalam sejarah terbentuknya kerajaan pada banyak tempat. Pada dasarnya apa yang disebut mitos adalah sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi.

Sebenarnya konsep Tumanurung sebagai peletak dasar-dasar pemerintahan bukan hanya berlaku secara tipikal di Gowa saja, melainkan juga didapati pada banyak kerajaan kuno di Sulawesi Selatan. Namun demikian illusi tentang Tumanurung, oleh para sejarawan Kerajaan Gowa yang disebut ”palontara” senantiasa digambarkan dengan memberikan tekanan pada dimensi manusiawinya.

Sejarah Singkat Kerajaan Gowa


Lahirnya penyebutan Gowa sebagai nama kerajaan, tidak terlepas dari sejarah pengangkatanya Tumanurung menjadi raja Gowa pertama. Diriwayatkan bahwa pada masa sebelum hadirnya Tumanurung di Butta Gowa, ketika itu Gowa masih berbentuk kerajaan-kerajaan kecil yang mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan (bondgenoot), atau pemerintah gabungan (Federasi) di bawah pengawasan Paccallaya (ketua dewan Hakim Pemisah).

Terdapat sembilan negeri (Bori atau Bate) sebagai negeri yang membentuk Butta Gowa. Mula-mula kesembilan Bate itu memiliki kemerdekaan dan otonominya masing-masing. Untuk memelihara persaudaraan di antara mereka, maka ditunjuklah seorang yang bijaksana dari kalangan mereka sebagai pendamai bila terjadi sengketa. Pejabat itu disebut Paccallaya .

Kedudukan Paccallaya sebagai hakim arbitrase di kalangan mereka, yang ditaati keputusannya dan selalu didasarkan pada hasil kesepakatan dalam musyawarah, yang dituntun oleh semangat sipakatau (kesamaan dan saling menghargai). Persatuanpersaudaraan yang demikian itu akhirnya dirasakan “terlalu longgar” dan “rapuh”, sehingga timbul gagasan untuk membentuk negeri besar, yang disebut Butta atau Negara.

Rupanya federasi negeri-negeri selalu dironrong perselisihan di antara mereka sendiri dan tidak dapat diselesaikan oleh pejabat Paccallaya . Oleh karena itu mereka memikirkan suatu cara baru untuk menyatukan mereka dalam suatu wadah yang lebih baik dengan seorang pemimpin yang lebih berwibawa yang dapat dihargai oleh kalangan mereka sendiri. Dalam rangka mencari figur pemimpin yang berwibawa, disaat itulah muncul putri cantik di Takabassia, Tamalate yang disebut sebagai Tumanurung yang selanjutnya disepakati oleh Kasuwiang Salapang untuk dinobatkan sebagai pemimpin (raja) mereka. Tokoh Tumanurung dikenal dalam legenda orang Bugis-Makassar, sebagai orang yang turun dari kayangan dan melakukan perintah di atas dunia ini. Menurut perkiraan para ahli lontara di Sulawesi Selatan, Tumanurung di Gowa itu terjadi dalam permulaan abad ke XIV atau kira-kira tahun 1300.

Sebagaimana digambarkan dalam uraian asal usul nama Gowa di atas, maka tonggak peristiwa sejarah yang menandai terbentuknya kerajaan Gowa secara resmi adalah dimulai ketika kehadiran Tumanurung di Takakbassia Tamalate, berdasarkan perjanjian pemerintahan antara Tumanurung dengan Sembilan Kasuwiang, yang terjadi sekitar tahun 1300. Sesuai kesepakatan antara Tumanurung dan Sembilan Kasuwiang itu, dinyatakan berdirinya sebuah kerajaan berdasarkan kesediaan sembilan Kasuwiang menyerahkan daerahnya masing-masing dan tunduk dibawah pemerintahan Tumanurunga sebagai “ Somba ri Gowa ” (Raja Gowa), yang sekaligus merupakan simbol persatuan seluruh orang Makassar pada masa itu.

Seorang yang disebut tu Manurung tidak ada hubungan kekerabatanya dengan kesembilan ketua kaum itu, juga tidak diketahui siapa kedua orang tuanya, dan darimana asal-usulnya. Ia datang dengan cara istimewa untuk dijadikan simbol atau lambang persatuan, dari Sembilan negri dan menyebutnya Butta Gowa.

Tu Manurung di Gowa adalah seorang perempuan. Suaminya adalah orang terkemuka dari tanah Luwu yang bernama Karaeng Bayo. Ia ditemani oleh Lakipadadang dari Tana Toraja. Hubungan itu dimaksudkan untuk mendapat makna, legitimasi dan pengakuan dari negeri (yang dipanda) tertua di Sulawesi Selatan. Dengan To Manurung itu, para Gallaraang, kepalanya kaum yang empunya negeri, mengadakan “perjanjian Ullu-Kana” yang kini menjadi pedoman dasar penataan Butta Gowa.

To Manurung dijadikan Tu Nisomba (pujaan) dan ditetapkan dengan segala kemuliaan dalam istana yang dibuat oleh rakyat baginya. Kepadanya dan keluarganya dijamin keperluan hidupnya. Tetapi kepadanya tidak diberikan “kekuasaan pemerintahan” atas negeri-negeri asal Buta Gowa. Kesembilan Negeri itu tetap dalam kekuasaan masing-masing Gallarang yang secara bersama disebut Bate Salapang.

Tidak diketahui secara pasti tentang lamanya Tumanurunga berkuasa. Lontara Makassar menyebutkan bahwa ia digantikan oleh Putranya yang bernama Tomassalangga Barayang. Tidak banyak yang bisa diungkapkan tentang periode Tumanaurunga. Sumber-sumber lokalpun tidak banyak memberikan keterangan tentang periode ini.

Kerajaan Gowa atau kadang di sebut kerajaan Makassar adalah salah satu kerajaan terbesar yang ada di Sulawesi selatan. Keberhasilan kerajaan Gowa memperoleh hegemoni kekuasaan di tanah Makassar dan berhasil memaksakan beberapa Kerajaan Bugis untuk mengakuinya, telah memberi peluang dan potensi yang cukup baik bagi kerajaan Gowa untuk mempertahankan dan mengembangkan kerajaannya dan memperluas pengaruh kekuasaannya.

Pada tahun 1600-an Belanda mulai berusaha mengadakan hubungan dagang dengan Gowa, dan baru berhasil pada tahun 1601.8 Pada tahun 1601, Belanda mengadakan kontrak untuk pertamakalinya dengan raja Gowa, I Mangarangi Daeng Manrabia. Pada tahun 1603 para pedagang Belanda di Banda menyurat kepada raja, agar diperkenankan mendirikan kantor dagang di bandar kerajaan Gowa. Permintaan itu dipenuhi oleh beliau dengan syarat bahwa mereka datang hanya semata-mata untuk berdagang. Pemimpin kantor dagang Belanda yang pertama di Makassar adalah Claes Luersen yang bertugas selama empat tahun lamanya. Selanjutnya pada tahun 1607 Laksamana Belanda Cornelis Matelieff yang baru saja merebut Malaka dari Protugis, mengirim utusanya Abraham Matysz untuk mempererat hubungan dagang, sekaligus mengajak Gowa bekerja sama menaklukkan Banda dengan perjanjian bahwa Belanda yang nanti akan memonopoli rempah-rempah negeri Gowa, Namun ajakan ini di tolak oleh raja Gowa. Akibatnnya hubungan kedua belah pihak berkembang menjadi permusuhan, terutama Belanda, dengan berbagai cara bermaksud memancing perselisihan terbuka.

Puncak kejayaan Kerajaan Gowa berada dibawah kekuasaan Raja Gowa ke-16, Sultan Hasanuddin (1653-1669). Beliau telah menjalankan politik non kompromis dengan Belanda (VOC). Sikap dan tindakan-tindakan Raja Gowa ini sangat menjengkelkan bagi pihak pemerintah Belanda di Batavia, akibatnya terjadi persaingan Politik antara kerajaan Gowa dengan Belanda (VOC) untuk memperebutkan kawasankawasan perdagangan yang strategis di Indonesia Bagian Timur.