Apa yang anda ketahui tentang Kerajaan Deli ?

Kesultanan Deli

Di daerah Sumatera Utara, terdapat dua kerajaan atau kesultanan Melayu yang terkenal, yaitu Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Kesultanan yang pertama kali berdiri adalah Deli. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi friksi dan konflik internal antara keluarga raja dalam kesultanan Deli tersebut. Akibatnya, muncul kemudian kesultanan baru yang memisahkan diri dari Deli, yaitu Serdang.

Apa yang anda ketahui tentang Kerajaan Deli ?

Kesultanan Deli adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan di wilayah bernama Tanah Deli (kini Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Indonesia). Kesultanan Deli masih tetap eksis hingga kini meski tidak lagi mempunyai kekuatan politik setelah berakhirnya Perang Dunia II dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.

Pendirian


Menurut Hikayat Deli, seorang pemuka Aceh bernama Muhammad Dalik berhasil menjadi laksamana dalam Kesultanan Aceh. Muhammad Dalik, yang kemudian juga dikenal sebagai Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana Khuja Bintan (ada pula sumber yang mengeja Laksamana Kuda Bintan), adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan Samudera Pasai. Dia dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah Sungai Lalang-Percut.

Dalik mendirikan Kesultanan Deli yang masih di bawah Kesultanan Aceh pada tahun 1632. Setelah Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan pada tahun 1669 mengumumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh. Ibu kotanya berada di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.

Sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang. Setelah itu, Kesultanan Deli sempat direbut Kesultanan Siak dan Aceh.

Wilayah Kesultanan Deli pada tahun 1930
Gambar Wilayah Kesultanan Deli pada tahun 1930 (pada peta berwarna kuning)

Sistem Pemerintahan


Berlainan dengan Kerajaan-Kerajaan Melayu di Sumatera Timur lainnya, pemerintahan Kesultanan Deli bersifat federasi yang longgar sesuai dengan pepatah yang terdapat di Deli “Raja Datang, Orang Besar Menanti”. Tuanku Panglima Gocah Pahlawan sebagai Raja Pertama di Tanah Deli yang ditunjuk oleh Sultan Aceh sebagai wakilnya di Sumatera Timur atau Tanah Deli.

Pada masa pemerintahan Panglima Parunggit (Raja Deli II), Deli memproklamirkan kemerdekaannya dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669 mengikuti jejak-jejak negeri pesisir, dan berhubungan dagang dengan VOC di Melaka. Pada masa pemerintahan Panglima Paderap (Raja Deli III) terjadi perluasan wilayah di pesisir pantai hingga Serdang dan Denai.

Menurut laporan Jhon Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823, bahwa Sultan Amaluddin Mangendar (Sultan Deli VI) adalah penguasa Deli pertama yang bergelar “Sultan” setelah Deli ditaklukan Kesultanan Siak pada tahun 1814. Menurut laporan Jhon Anderson pula, Sultan Deli dalam memerintah dibantu oleh 8 orang menteri dimana Sultan berkonsultasi soal perang, mengatur pemerintahan sehari-hari, mengadili perkara pidana, dan lain-lain.

Mereka itu ialah :

  • Nakhoda Ngah bergelar Timbal-Timbalu
  • Wak-Wak
  • Salim
  • Tok Manis
  • Dolah
  • Wakil
  • Penghulu Kampong

Di samping menteri–menteri, masih ada lagi Syah Bandar (Hamad) yang mengurus hubungan perdagangan dan biasanya dibantu seorang mata-mata (seorang wanita yang pandai bernama Encek Laut) yang bertugas memungut cukai. Kemudian ada lagi para pamong praja, penghulu, para panglima, dan mata-mata yang melaksanakan tugas bila di kehendaki Sultan, serta kurir istana yang mengantar surat ke berbagai kerajaan. Jika Sultan mangkat, apabila penggantinya masih belia, maka Tuan Haji Cut atau Kadi (ulama tertinggi) bertindak dan melaksanakan semua fungsi pemerintahan kerajaan. Di bidang agama Islam Tuan Haji Cut juga bertindak sebagai mufti kerajaan, kemudian di bawahnya ada bilal, imam, khalif, dan penghulu masjid. Merekalah yang menangani masalah yang berhubungan dengan keagamaan. Kehidupan mereka diperoleh dari sumbangan masyarakat.

Sumber : Kesultanan Deli - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sejarah Kerajaan Deli


Kerajaan Deli berdiri sejak paruh pertama abad ke-17 M, hingga pertengahan abad ke-20, ketika bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kini masih eksis sebagai sebuah kesultanan, namun baru setakat Sultan sebagai pemangku adat. Selama rentang masa yang cukup panjang tersebut, kerajaan Deli mengalami masa pasang surut silih berganti. Selama dua kali, Deli berada di bawah taklukan kerajaan Aceh. Ketika Kerajaan Siak menguat di Bengkalis, Deli menjadi daerah taklukan Siak Sri Indrapura, kemudian menjadi daerah taklukan penjajah Belanda. Yang terakhir, Deli bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wilayah Kerajaan Deli mencakup kota Medan sekarang ini, Langkat, Suka Piring, Buluh Cina, dan beberapa negeri kecil lainnya di sekitar pesisir timur pulau Sumatera. Pada masa pemerintahan Belanda wilayah Deli termasuk ke dalam Sumatera Timur. Namun setelah Indonesia merdeka Deli ini termasuk ke dalam Provinsi Sumatera, yang kemudian berkembang pula menjadi Provinsi Sumatera Utara.

Kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan. Permaisuri Sultan bergelar Tengku Maha Suri Raja, atau Tengku Permaisuri, sedangkan putera mahkota bergelar Tengku Mahkota. Putera dan puteri yang lain hanya bergelar tengku. Keturunan yang lain berdasarkan garis patrilineal hingga generasi kelima juga bergelar tengku. Dalam kehidupan sehari- hari, sultan tidak hanya berfungsi sebagai kepala pemerintahan, tapi juga sebagai kepala urusan agama Islam dan sekaligus sebagai kepala adat Melayu. Untuk menjalankan tugasnya, raja atau sultan dibantu oleh bendahara, syahbandar (perdagangan), dan para pembantunya yang lain.

Kemudian pada awal abad ke-17 terjadi beberapa gelombang perpindahan suku-suku Karo yang berada di Bukit Barisan, ke wilayah Langkat, Deli, dan Serdang. Selain itu suku Simalungun hijrah ke kawasan budaya Melayu di Batubara dan Asahan. Sedangkan suku Mandailing dan Angkola pindah ke Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah.

Kesultanan Deli ini, memiliki nama resmi yaitu Kerajaan Al-Mu’tasim Billah Deli. Sejak awal menjadi pusat perdagangan yang pesat dan maju di kawasan Selat Melaka. Kesultanan Deli ini juga menjadi tempat pertemuan antara suku-suku yang ada di kawasan Sumatera dan Nusantara lainnya serta pendatang Dunia seperti Tamil, Benggali, Tionghoa, dan Eropa.

Peta kependudukan Kesultanan Deli juga semakin berkembang sejak kawasan ini menjadi pusat pertanian tembakau Deli yang termasyhur ke seluruh dunia. Karena kemakmurannya ini, maka tiada halangan bagi kesultanan ini untuk membina tamadunnya, dengan berbagai ikon Melayu dan kesultanannya. Di antara ikon itu adalah Istana Maimun dan Mesjid Raya Al-Mansun.

Karena kemasyhurannya sebagai kekuatan politik Melayu, maka wilayah Sumatera Timur sendiri disebut dengan wilayah Deli, yang merangkumi semua kawasan-kawasan Melayu dan etnik-etnik natif di wilayah ini. Istilah Deli ini sendiri mencakup makna budaya dan sosial.

Simbol Kerajaan Deli


Sebagai sebuah kerajaan, Kesultanan Deli memiliki lambang kerajaan, yang unik, spesifik, dan menarik untuk dikaji makna-makna yang terkandung di dalamnya. Makna-m,akna ini berdasar kepada peradaban Melayu Deli dan dijiwai dengan nilai-nilai Islam di dalmnya.

Simbol Kesultanan Deli terdiri dari alat-alat regalia kerajaan, tumbuhan, kosmologi khususnya bintang, fauna, dan disertai warna- warna yang memiliki makna tersendiri. Simbol-simbol yang digunakan ini sebenarnya amat dekat dengan kehidupan seputar istana dan budaya Melayu. Simbol-simbol ini juga mengandung cita-cita peradaban dan kekuasaan Kesultanan Melayu sebagai salah satu peneraju khalifah di dunia, yang menyebarkan ajaran-ajaran Islam dalam konteks keselamatan manusia di dunia dan akhirat. Budaya Melayu sebagai rahmat kepada sekalian alam, sebagaimana yang diajarkan di dalam Islam.

Simbol Kesultanan Deli dikreasikan dan diciptakan semasa Pemerintahan Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah. Bentuk selengkapnya adalah seperti yang terbentang di bawah ini.

image

Peradaban Melayu Deli


Penulisan sejarah yang pada umumnya terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana, menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosiobudaya (sosial-budaya) pada suatu kerajaan secara lengkap. Kehidupan sosial budaya berikut ini pun sebenarnya tidak lepas dari pusat kekuasaan sultan dan keluarganya.

Sejarah telah lama mencatat bahwa, ketika Belanda menguasai Sumatera Timur, perkebunan tembakau dibuka secara luas. Tidak ada yang menduga bahwa dalam perkembangannya di kemudian hari, ternyata tembakau Deli ini sangat disukai di negeri yang menjadi jantung kolonialisme dunia yaitu Eropa. Berkat perkebunan tembakau tersebut, Sultan Deli yang berkongsi dengan Belanda dalam membuka dan mengelola lahan perkebunan kemudian menjadi kaya raya. Dengan kekayaan yang melimpah ini, para sultan kemudian membangun istana yang megah dan indah, membeli kuda pacu, mobil mewah, sekoci pesiar, serta mengadakan berbagai pesta untuk menyambut para tamunya.

Namun demikian para raja juga tidak melupakan membangun artefak kerajaannya sebagai bahagian dari modernisasi dan perwujudan masyarakat yang madani. Salah satu bukti kemajuan ekonomi dan pembangunan artefak Kesultanan Deli adalah Istana Maimun (ejaan lama Maimoon) dan Mesjid raya Al-Mansun (ejaan lama Al-Manshoon). Walaupun dikatakan oleh beberapa pakar sejarah sosial dan budaya, kekayaan Negeri Deli hanya dinikmati oleh keluarga raja dan kerabatnya

saja, namun sesungguhnya menurut ajaran Islam tidaklah demikian. Raja adalah wakil Allah di muka bumi. Ia harus mempertanggungjawabkan permasalahan sosial yang dihadapi rakyatnya. Para sultan di Negeri Deli pun mengetahui dan mengamalkan ajaran agama ini dalam konteks pemerintahannya. Walaupun ada juga tidak dapat dipungkiri terjadi pula distorsi ekonomi dan wewenang politik. Ini terjadi hampir di semua kerajaan dan negara bangsa, bukan hanya di Kerajaan Al-Muktasim Billah Deli saja.

Walau bagaimanapun Kesultanan Deli dan masyarakatnya telah menghasilkan sebuah peradaban agung, yang dalam bahasa Melayu Lama lazim disebut dengan tamadun. Ini terbentuk juga karena faktor kemajuan ekonomi dan munculnya kota-kota di wilayah ini. Salah satu faktor pemicu munculnya peradaban adalah ekonomi dan perkotaan yang menjadi pusat perniagaan atau bisnis. Begitu juga kawasan pesisir dan pelayaran yang strategis bagi perdagangan yang merupakan kultur masyarakat Melayu. Demikian pula Kesultanan Deli sejak menjadi pusat tembakau Deli menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang paling pesat di kawasan ini. Oleh karena itu, kejayaan ekonomi Negeri Deli ini secara signifikan membentuk peradabannya dalam konteks Dunia Melayu dan Dunia Islam.

Pada bahagian ini penulis akan menyoroti tiga ikon Melayu Deli yang merupakan ciri khas kebudayaan atau tamadunnya. Ketiganya adalah Istana Maimun, Mesjid Raya Al-Mansun, dan seni budaya Melayu Deli. Namun demikian, sebelumnya akan diuraikan dahulu konsep peradaban dalam konteks budaya Melayu dan Islam sebagai berikut.