Apa yang anda ketahui tentang Kelelawar?

Kelelawar adalah satu-satunya mamalia yang dapat terbang. Hewan nokturnal ini biasanya dapat ditemukan di dalam gua, dan beraktifitas dimalam hari.

Kelelawar


Kelelawar merupakan fauna troglozene utama di gua-gua karst di Indonesia (Whitten et al .1999; dan Suyanto 2001). Kelelawar adalah Mamalia yang termasuk dalam ordo Chiroptera. Ciri khas ordo ini adalah tulang telapak tangan ( metacarpal ) dan tulang jari ( digiti ) mengalami pemanjangan sehingga berfungsi sebagai kerangka sayap. Sayap tersebut terbentuk dari selaput tipis ( petagium) yang membentang antara tulang-tulang telapak dan jari tangan sampai sepanjang sisi tubuh (Nowak 1994; Altringham 1996). Nowak (1994) menggambarkan struktur rangka kelelawar seperti terlihat pada Gambar dibawa ini :

image

Ordo Chiroptera terdiri atas 2 subordo, yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Kedua subordo ini diduga tidak mempunyai hubungan kekerabatan dan merupakan hasil evolusi konvergen, yaitu evolusi yang terjadi pada dua spesies yang berbeda tetapi beradaptasi dengan cara yang sama sehingga menghasilkan morfologi yang mirip (Altringham 1996). Salah satu alasan yang mendukung adalah : saraf superior colliculus (s.c) kanan pada otak tengah Microchiroptera mengatur retina mata kiri dan sebaliknya s.c kiri mengatur retina mata kanan. Hal ini ditemukan pada semua Mamalia, kecuali primata.

Pada Megachiroptera, saraf superior colliculus kanan otak tengah mengatur retina mata kiri dan mata kanan sekaligus. Keadaan ini hanya ditemukan pada Primata, Dermoptera, dan Megachiroptera (Corbet & Hill 1992; Altringham 1996). Karena alasan tersebut maka diduga Megachiroptera berasal dari nenek moyang Primata, sedangkan Microchiroptera diduga berasal dari nenek moyang bukan Primata. Penelitian HanGuan et al. (2006) tentang philogenetika kelelawar juga mendapatkan bahwa kelelawar Megachiroptera memiliki kekerabatan lebih dekat dengan primata dibandingkan dengan Microchiroptera. Saat ini diketahui terdapat 18 famili, 192 genus dan sekitar 1111 jenis kelelawar yang ada di dunia (Safi & Kerth 2004). Menurut Suyanto et al. (1998) terdapat 10 famili, 49 genus, dan sekitar 151 jenis terdapat di Indonesia.

Anggota subordo Megachiroptera makanan utamanya adalah buah ( frugivora ), selain itu juga memakan serbuk sari (polen) dan nektar. Subordo ini terdiri atas 1 famili, yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies (Nowak 1994). Menurut Altringham (1996) anggota subordo Megachiroptera memiliki ukuran yang relatif besar (bobot minimum 10 gram maksimum 1500 gram dengan bentangan sayap maksimum 1700 mm); memiliki mata besar; telinga tidak memiliki tragus; moncong sederhana dan ekor tidak berkembang; jari kedua dan jari ketiga terpisah relatif jauh dan memiliki cakar pada jari kedua, kecuali pada Eonycteris, Dobsonia, dan Neopterix.

Anggota subordo Microchiroptera kebanyakan pemakan serangga ( insectivora ). Selain itu, ada juga yang penghisap darah ( sanguivora ), misalnya Desmodus vampirus ; dan penghisap madu misalnya ( Leptonycteris curasoae). Subordo ini terdiri atas 17 famili, 150 genus, dan 945 spesies. Ciri Microchiroptera adalah berukuran kecil (bobot minimum 2 gram, maksimum 196 gram dengan bentangan sayap maksimum 70 mm); memiliki mata kecil; telinga memiliki tragus (tonjolan dari dalam daun telinga) atau anti tragus (tonjolan dari luar daun telinga); jari sayap tidak bercakar dan moncong sangat bervariasi, terutama famili Rhinolophidae dan Hipposideridae memiliki daun hidung (noselea) yang kompleks. Klasifikasi kelelawar menurut Corbet & Hill (1992) adalah sebagai berikut :

  • Kingdom : Animalia
  • Filum : Chordata
  • Sub Filum : Vertebrata
  • Kelas : Mamalia
  • Ordo : Chiroptera
  • Subordo : Megachiroptera
  • Famili : Pteropodidae
  • Subordo : Microchiroptera
  • Famili : Rhinolophidae, Hipposideridae, Megadermatidae, Craseonycteridae, Rhinopomatidae, Nycteridae, Emballonuridae, Phyllostomidae, Mormoopidae, Noctilionidae, Furipteridae, Thyropteridae, Mystacinidae, Myzopodidae, Vespertilionidae, Molosidae dan Natalidae

Menurut Nowak ( 1994), kelelawar ditemukan di seluruh permukaan bumi, kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terpencil. Kemampuan terbang kelelawar merupakan faktor penting dalam persebaran hewan ini. Selain itu, jenis pakannya sangat bervariasi sehingga memungkinkan hidup di berbagai tipe habitat. Menurut Altringham (1996), sekitar 200 spesies kelelawar ditemukan di Madagaskar dan Afrika; 300 spesies ditemukan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah; 240 jenis ditemukan di Asia dan Australia; dan sekitar 40 spesies ditemukan di Amerika Utara dan Eropa. Menurut Suyanto et al. (1998), di Indonesia terdapat 151 jenis kelelawar. Jenis-jenis tersebut menyebar di seluruh kepulauan Indonesia.

Lebih lanjut Kunz & Pierson (1994) menjelaskan bahwa kelelawar merupakan Mamalia paling berhasil, karena dapat ditemukan di berbagai tipe habitat dengan ketinggian mulai 10 m dpl sampai 3000 m dpl. Winkelmann et al . (2000) meneliti penggunaan habitat oleh kelelawar Synconycteris australis di Papua New Guinea. Menurut Winkelmann et al . (2000) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan kelelawar pada suatu habitat ialah :

  • Struktur fisik habitat,
  • Iklim mikro habitat,
  • Ketersediaan pakan dan sumber air,
  • Keamanan dari predator,
  • Kompetisi, dan
  • Ketersediaan sarang.

Perilaku bersarang


Sarang merupakan salah satu komponen penting dalam hidup kelelawar. Kebanyakan jenis kelelawar hidup berkoloni dalam bersarang dan pencarian makan. Menurut Zukal et al. (2005) beberapa keuntungan hidup dalam koloni adalah adanya transfer informasi, keamanan pada predator, keberhasilan reproduksi, dan thermoregulasi. Altringham (1996) menjelaskan tiga perilaku produk transfer informasi yang dilakukan dalam koloni kelelawar, yaitu:

  1. Mengikuti ( following behaviour ), yaitu perilaku yang menyebabkan anggota dalam koloni

  2. Bersama-sama menuju suatu lokasi tempat pencarian makan atau tempat bersarang;

  3. Penanda hubungan sosial ( sosial signal ), yaitu pemahaman signal-signal intensional, termasuk signal tanda bahaya;

  4. Belajar ( learning behaviour) , yaitu proses pembelajaran dari induk ke anak yang menyebabkan kelelawar muda mampu mengembangkan teknik pencarian makan, menghindar dari predator, serta hal-hal yang menguntungkan bagi kehidupannya.

Willis & Brigham (2004) meneliti pembagian sarang ( roost sharing ) dan kebersamaan sosial ( sosial cohesion ) kelelawar Eptesicus fuscus (Microchiroptera) di Cypres Hill Canada . Hasil penelitian membuktikan bahwa interaksi sosial dan kerja sama intraspesifik dalam koloni dapat menghasilkan ketahanan terhadap gangguan predator dan cuaca buruk. Penelitian Baudinette et al. (1994) di Gua Kelelawar dan Gua Robertson Australia membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan jumlah besar dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3 derajat selsius. Pada musim dingin, keadaan ini menguntungkan kelelawar karena mengurangi energi yang diperlukan untuk menghangatkan tubuh.

Setiap jenis kelelawar mempunyai beberapa alternatif dalam memilih lokasi sarang, di antaranya adalah pohon yang tinggi, di balik batu, di atap rumah, dan di dalam gua. Menurut Altringham (1996), pemilihan sarang mempengaruhi distribusi lokal dan global, kepadatan, strategi pencarian makan, strategi kawin, struktur sosial, dan pergerakan musiman. Menurut Zahn & Hager (2005) proses yang terlibat dalam memilih tempat bersarang cukup kompleks. Ketersediaan tempat bersarang yang cocok misalnya, akan mempengaruhi perilaku pencarian makan, tetapi perilaku bersarang sendiri juga dipengaruhi oleh kelimpahan dan penyebaran makanan.

3 Likes

Kelelawar termasuk ke dalam Ordo Chiroptera, merupakan salah satu kelompok mamalia yang sukses beradaptasi hingga saat ini, hal ini dibuktikan dengan jumlahnya yang relatif besar dan distribusi yang luas dari kelompok mamalia setelah Ordo Rodentia. Kelelawar dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. (Voughan et al., 2000)

Pada dasarnya terdapat dua perbedaan secara fungsional pada Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera tidak melakukan hibernasi meskipun terdapat beberapa kelelawar pemakan nektar yang akan memasuki fase hipothermia dengan rata-rata metabolisme yang sangat rendah, sedangkan Microchiroptera mampu melakukan hibernasi yang sangat panjang pada musim dingin di beberapa negara yang memiliki empat musim (Lekagul dan Mcneely, 1977).

Microchiroptera umumnya menggunakan ekolokasi sebagai alat orientasi gerak di tempat gelap dengan menggunakan gelombang suara yang digunakan untuk terbang dan menangkap mangsanya (Voughan et al., 2000). Ekolokasi dilakukan dengan mengeluarkan suara mulut atau lubang hidung dengan frekuensi getaran gelombang yang sangat tinggi (ultrasonic) rata-rata 50 kilohertz di luar ambang batas pendengaran manusia yang hanya sekitar 3-18 kilohertz, apabila gelombang suara mengenai obyek yang menghasilkan gaung maka gelombang tersebut akan dipantulkan kembali sebagai gelombang suara yang selanjutnya akan diterima oleh telinga kelelawar dengan demikian keberadaan, jarak, petunjuk dari kecepatan gerakan, ukuran dan tekstur obyek yang terkena suara (Jones dan Rydel, 2003).

Berbeda dengan kelelawar Microchiroptera, Megachiroptera tidak memiliki kemampuan ekolokasi (kecuali Genus Rousettus), sehingga dalam menentukan posisinya kelelawar Megachiroptera memiliki mata yang sangat unik karena di dalam retinanya berbentuk projeksi sehingga akan memperbesar area karena reseptor terkumpul. Hal ini membantu kelelawar untuk melihat pada malam hari dapat mengetahui makanannya dengan menggunakan indera pembau dan lokasi dirinya dengan penglihatan (Lekagul dan Mcneely, 1977).

Klasifikasi dan Distribusi Kelelawar


Ordo Chiroptera dibagi menjadi dua kelompok yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Menurut Simmon (2005) kelelawar di dunia dibagi menjadi 18 famili yang terdiri dari 1030 spesies. Di Indonesia diketahui terdapat sembilan famili yang terdiri 225 spesies, dan di Sumatera terdapat 72 spesies dari sembilan famili, serta terdapat 12 spesies di Sulawesi. Kelelawar Megachiroptera dikelompokkan dalam satu famili yaitu :

  • Pteropodidae dengan 42 genus dan 175 spesies.
  • Sedangkan Microchiroptera terdiri atas 17 famili, 147 genus dan 814 spesies (Cobert dan Hill, 1992).

Microchiroptera dibagi menjadi empat super famili yaitu :

  1. Emballonuroidea,
  2. Rhinolophoidea,
  3. Phyllostomoidea
  4. Vespertilionoidea.

Kebanyakan famili tersebar di daerah tropis. Empat famili (Molossidae, Mystracinidae, Rhinolophidae dan Vespertilionidae) dapat bertahan pada suhu dingin, sehingga famili ini dapat tersebar hingga ke daerah sedang. Emballonuridae dan Mollosidae terdapat di kedua belahan dunia tersebut meskipun terbatas oleh ketinggian tertentu (Nowak, 1994). Menurut Corbet dan Hill ( 1992) kedudukan taksonomi kelelawar adalah :

  • Kingdom : Animalia
  • Filum : Chordata
  • Subfilum : Vertebrata
  • Kelas : Mammalia
  • Ordo : Chiroptera

Kelompok Microchiroptera memiliki distribusi yang lebih luas serta memiliki jumlah spesies yang melimpah dibandingkan dengan Megachiroptera (Findley, 1993). Kelelawar merupakan kelompok hewan dengan kemampuan distribusi paling luas kecuali pada wilayah zoogeografis Artik dan kutub. Kelelawar banyak ditemukan di daerah sedang tetapi kemelimpahannya lebih tinggi di daerah tropis dan subtropis (Voughan et al., 2000).

Beberapa faktor yang mempengaruhi persebaran spesies adalah ketersediaan pakan dan kompetisi. Spesies akan mencari area yang memiliki ketersediaan pakan yang sesuai, walaupun memiliki jarak yang jauh. Kompetisi antar spesies pada area tertentu akan mengakibatkan tersingkirnya spesies tertentu pada area tersebut dan akan mencari area baru yang lebih sesuai (Bahri, 2012).

Morfologi Kelelawar


Kelelawar merupakan jenis mamalia dengan kemampuan terbang dengan menggunakan sayap. Sayap kelelawar berbeda dengan sayap yang dimiliki Ordo Aves. Perbedaan antara sayap kelelawar dengan sayap burung adalah pada perluasan tubuh yang berdaging dan sayap yang tidak berambut yang terbentuk dari membran elastis dan berotot. Kelelawar mempunyai morfologi sayap yang terdiri dari beberapa bagian yaitu plagiopatagium, propatagium, dactylopatagium, uropatagium, dan informal membran. Tulang telapak dan jari tangan kelelawar mengalami pemanjangan dan berfungsi sebagai kerangka sayap dan antara kaki belakang dan ekor membentuk membran interfemoral (Prastianingrum, 2008) (Gambar 1).

Kelelawar memiliki dua tipe sayap, tipe yang pertama adalah sayap kecil yang dimiliki oleh kelelawar yang hidup di alam terbuka. Tipe sayap ini berguna untuk terbang dengan cepat tanpa rintangan di depannya. Tipe kedua adalah sayap lebar dimiliki kelelawar yang hidup di tempat tertutup, terbang pelan di antara cabang pohon (Vaughan, 2000).

Kaki bawah kelelawar termodifikasi guna membantu patagium pada saat terbang atau menggantung. Kelelawar memiliki otot yang kuat pada jari-jari kaki untuk mencengkeram sehingga kelelawar dapat tidur posisi menggantung. Kelelawar memiliki otot pada patagium dan menggunakan otot-otot tambahan pada dada untuk menggerakkan sayap ke atas dan bawah. Tulang yang kuat pada kelelawar dipakai untuk menopang propatagium pada membran sayap sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan manuver saat terbang. Hal ini dikarenakan sayapnya yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan kelelawar Megachiroptera (Simmons dan Conway, 1997).

Pada saat terbang kelelawar membutuhkan oksigen jauh lebih banyak dibandingkan ketika tidak terbang (27 ml berbanding 7 ml oksigen/1 gram bobot tubuh). Denyut jantung juga berdetak lebih kencang (822 kali berbanding 522 kali/menit) untuk mendukung kebutuhan tersebut, jantung kelelawar berukuran relatif lebih besar yaitu 0,9% atau 0,5% dari bobot tubuh. Kebutuhan energi yang tinggi pada saat terbang mengharuskan kelelawar makan dalam jumlah banyak (Yalden dan Morris, 1975).

Kelelawar Megachiroptera mempunyai mata yang besar dan menonjol seperti cahaya merah pada malam hari. Bentuk telinga relatif kecil dan sederhana. Moncong terlihat seperti bentuk anjing, tanpa modifikasi dan lipatan-lipatan. Lubang hidung berkembang dengan baik, terkadang lubang hidung berbentuk seperti pipa. Ekor pendek atau tidak ada dan membran interfemoral relatif sempit (Payne et al. , 2000). Ukuran kepala dan panjang tubuh bervariasi mulai dari 50 hingga 400 mm tergantung dari jenisnya. Ekor pendek bahkan kadang menghilang kecuali pada marga Notopteris . Kelompok kelelawar dewasa mempunyai rentang berat mulai dari 15 gram untuk pemakan nektar dan lebih dari 1500 gram untuk kelelawar pemakan buah (Nowak, 1994).

Sebaliknya kelelawar pemakan serangga yang paling kecil mempunyai bobot dua gram dan paling besar 196 gram dengan lengan bawah sayap 22-115 cm, umumnya berat badan terkonsentrasi pada bagian dada dan otot-otot terbang (Lekagul and Mcneely, 1977).

Microchiroptera memiliki telinga yang baik dan terdapat lipatan-lipatan khusus serta tragus dan antitragus yang berperan dalam menerima gelombang suara, ciri yang tidak dimiliki oleh kelelawar Megachiroptera (kecuali Genus Rousettus ) (Nowak, 1994).

Berdasarkan jenis pakannya kelelawar dapat dibedakan menjadi kelelawar pemakan buah, serangga, dan madu. Kelompok Megachiroptera umumnya adalah herbivora dengan memakan buah, nektar dan serbuk sari. Hampir 260 jenis kelelawar Megachiroptera merupakan kelompok pemakan buah, serbuk sari, daun dan nektar (Nowak, 1994).

Mamalia yang termasuk pemakan buah cenderung membawa, memakan, dan menelan buah kemudian mensekresikan feses yang mengandung biji yang termakan, biasanya cenderung mempunyai rata-rata waktu semai lebih tinggi daripada biji yang tidak termakan (Vaughan et al. , 2000). Menurut Moermond dan Denslow (1985) mamalia pemakan buah harus memakan sebanyak dua gram buah setiap gram berat tubuh. Kelelawar pemakan buah pada umumnya akan memakan daging buahnya saja dan menelan biji yang relatif kecil dan memuntahkan biji yang besar. Biji akan dimuntahkan sewaktu kelelawar terbang. Jarak pemencaran biji oleh kelelawar mampu mencapai 200 m (Pijl, 1968). Kelelawar membutuhkan energi dan nitrogen dengan mengkombinasikan makanannya. Oleh karena itu, kelelawar akan mengurangi aktivitas hariannya hanya untuk aktivitas makan untuk mendapatkan protein tinggi (Flemming, 1988).

Buah mempunyai senyawa seperti feromon pada hewan yang dapat menarik hewan untuk mengadakan interaksi. Senyawa itu meliputi terpenoid, alkaloid, dan fenol. Senyawa tersebut berasal dari hasil metabolisme sekunder tumbuhan (Harborne, 1988). Buah mempunyai aroma yang berbeda-beda.

Aroma buah berasal dari zat kimia yang dikeluarkan oleh buah. Aroma inilah yang akan menarik kelelawar untuk mendekati buah. Kelelawar mempunyai spesifikasi tinggi terhadap pakannya. Hal ini dikarenakan organ olfaktori yang berkembang sangat baik. Buah mengandung tiga komponen gula penting yang berbeda sesuai dengan proporsi masing-masing buah yaitu, glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Komponen inilah yang digunakan kelelawar untuk melangsungkan aktivitasnya, salah satunya adalah aktivitas laktasi pada kelelawar betina (Elangovan et al. , 2010).

Habitat Kelelawar


Habitat merupakan tempat organisme biasa ditemukan, memiliki beberapa komponen yang penting untuk mendukung kehidupan suatu satwa (Odum, 1994). Habitat bagi kelelawar merupakan suatu hal yang memiliki kekhasan tersendiri. Habitat kelelawar berhubungan erat dengan tempat mencari makan ( foraging area ) dan sarang/tempat tinggal ( roosting area ). Tempat mencari makan dan tinggal dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk tipe tempat bertengger, makanan dan air, morfologi terbang, ukuran koloni, serta siklus reproduksi. Jarak antara area roosting dan mencari makan sering kali terpisah beberapa kilometer sehingga sulit mengamati habitat alami kelelawar secara tepat (Kunz dan Lumsden, 2003).

Hodgkison et al. (2004) menyatakan bahwa penggunaan habitat oleh kelelawar berhubungan dengan morfologi. Morfologi berkaitan dengan kemampuan terbang dan manuver pada masing-masing spesies kelelawar. Spesies dengan wing loading (perbandingan berat badan terhadap luasan terbang (Barclay and Harder, 2003) rendah, memiliki kemampuan manuver yang baik memilih lantai dasar hutan sebagai pilihan habitat (Hodgkison et al., 2004). Peningkatan berat badan menurunkan manuver (Barclay dan Harder, 2003).

Lokasi dekat air merupakan daerah penting dalam pemilihan area beristirahat kelelawar. Beberapa kelelawar pemakan serangga mencari makan seringkali terkonsentrasi tepat di perairan atau daerah pinggiran-pinggiran sungai.

Karena sumber air (sungai) menyediakan fasilitas minum bagi banyak spesies. Kelelawar banyak mengunjungi perairan karena tersedianya nutrien seperti kalsium dan sodium, selain itu kelelawar dalam masa reproduksi akan memilih lokasi dekat air (Kunz dan Lumsden, 2003). Kelelawar memiliki musuh alami seperti ular sanca, ular hijau, elang, kucing dan burung hantu. Namun ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan habitat tempat tinggal dan tempat mencari makan (Francis et al. , 1999).

Roost Kelelawar


Roost kelelawar merupakan tempat untuk melakukan berbagai aktifitas, seperti roost sebagai tempat untuk bereproduksi, tidur, makan, istirahat, pengasuhan anakan dan berlindung dari predatornya. Kelelawar memiliki roost yang beragam, yaitu gua, celah bambu, rerimbunan dedaunan, gulungan daun (palem atau pisang), lubang-lubang batang pohon baik yang mati maupun yang hidup, kolong atap-atap rumah, terowongan-terowongan, dan bawah jembatan, (Suyanto, 2001). Penggunaan nama roost sebagai tempat tinggal kelelawar untuk melakukan berbagai aktifitasnya sama seperti mamalia lain dalam penggunaan sarang seperti pada babi hutan yang menggunakan sarang sebagai tempat untuk melahirkan dan pengasuhan anak (Eisenberg, 1981).

Dalam memilih roost biasanya kelelawar pemakan buah lebih suka tinggal di pohon yang tidak terlalu terbuka tutupannya sedangkan kelelawar pemakan serangga biasanya lebih banyak ditemukan di gua hutan primer, selain itu atap-atap rumah dan bangunan menjadi salah satu roost kelelawar (Prastianingrum, 2008).

Pemilihan lubang pada tegakan pohon sebagai roost kelelawar dipengaruhi beberapa faktor yaitu struktur, usia, ukuran, dan ketinggian pohon (Wunder dan Carey, 1996). Pada daerah perkebunan kelelawar banyak menggunakan daun pisang dan kelapa sebagai roost siang beberapa spesies kelelawar (Ariyanti et al. , 2012).

Spesifikasi jenis roost kelelawar pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti morfologi, kemampuan ekolokasi terbang, ketersediaan sumber daya (makanan, air, tempat hibernansi), faktor iklim, dan ketersediaan roost. Roost kelelawar cukup beragam, sebagian besar spesies memanfaatkan pohon (lubang/celah, pada batang/ranting), dedaunan (dibalik daun/di dalam dedaunan), gua atau pada celah bebatuan (Kunz and Lumsden, 2003).

Wunder dan Carey (1996) menyatakan sebagian spesies kelelawar di daerah tropis memanfaatkan dedaunan sebagai roost. Penggunaan dedaunan sebagai roost lebih potensial ditemukan dibanding di lubang-lubang pohon dan gua. Tetapi tempat yang terbuka membuat kelelawar beresiko terhadap gangguan satwa lainnya.

Kelelawar hidup dalam koloni yang besar, namun ada beberapa spesies yang ditemukan secara soliter pada beberapa roost, seperti pada gua-gua di Texas, spesies Tadarida brasiliensis membentuk koloni dengan anggota kurang lebih 20 juta individu. Jenis Chaerephon yang ditemukan di Kamboja dengan anggota koloni mencapai 1,5 – 2 juta individu. Daerah jelajah pada kelelawar juga sangat bervariasi, mulai dari 3 km hingga 60 km (Nowak, 1994).

Dalam upaya mencari makan dan tempat beristirahat, kelelawar dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya tipe dan ketersediaan area, ukuran sayap, ukuran koloni dan siklus reproduksi. Microchiroptera seringkali melakukan aktifitasnya kurang dari beberapa kilometer antara posisi istirahat dan mencari makan (Jones dan Rydel, 2003).

Peranan dan Manfaat Kelelawar dalam Ekosistem


Kelelawar memiliki peranan penting dalam pemulihan suatu ekosistem hutan. Kelelawar berperan dalam penyebaran biji tanaman buah-buahan dan sebagai polinator. Masyarakat memanfaatkan daging kelelawar sebagai bahan makanan dan obat asma yang memiliki protein tinggi, kelelawar juga dikenal sebagi penghasil pupuk guano (fosfat) yang diperlukan banyak bagi pertanian tanaman pangan (Walker, 1964).

Menurut Howell dan Roth (1981) keberadaan kelelawar pemakan buah mempengaruhi penyerbukan yang dapat menghasilkan 3800 biji dari 780000 bakal biji per tanaman. Restorasi secara alami dapat dilakukan melalui proses penyebaran biji polinasi dengan bantuan kelelawar. Proses penyebaran biji oleh dua tipe habitat yang berbeda menjadi hal yang penting dalam menentukan komposisi dan struktur vegetasi (Ingle, 2002).

Kelelawar pemakan buah dalam komunitas vegetasi menjadi sangat penting karena dalam luasan satu hektar lahan 13,7% di antaranya sangat tergantung pada kelelawar (Hodgkinson dan Balding, 2003). Pada daerah topis terdapat kurang lebih 300 tanaman yang pembuahannya dipengaruhi oleh kelelawar dan diperkirakan 95% regenerasi hutan dilakukan oleh kelelawar pemakan buah atau madu (Satyadharma, 2007).

Kelelawar pemakan serangga memerlukan serangga untuk dikonsumsi seberat setengah dari total berat tubuhnya dalam satu malam. Hal itu sama dengan 600 ekor nyamuk yang dimakan hanya dalam satu jam, atau jika diakumulasi dalam satu tahun kelelawar memerlukan lebih dari 2000 ton serangga untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya (Kingston et al., 2006). Hal ini menunjukkan bahwa kelelawar pemakan serangga penting dalam suatu ekosistem sebagai pengendali biologis dan predator beberapa serangga yang mungkin berbahaya bagi kesehatan.

1 Like