Apa Yang Anda Ketahui Tentang Kanker Serviks?

Kanker leher rahim (serviks) atau karsinoma serviks uteri merupakan kanker pembunuh wanita nomor dua di dunia setelah kanker payudara. Setiap tahunnya, terdapat kurang lebih 500.000 kasus baru kanker leher rahim (cervical cancer), sebanyak 80% terjadi pada wanita yang hidup di negara berkembang.

Sedikitnya 231.000 wanita di seluruh dunia meninggal akibat kanker leher rahim. Dari jumlah itu, 50% kematian terjadi di negara-negara berkembang. Hal tersebut terjadi karena pasien datang dalam stadium lanjut.

Mohon bantuannya agar kita mendapatkan informasi terkait kanker servik secara menyeluruh

Kanker serviks adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada jaringan leher rahim (serviks). Kanker serviks merupakan kanker primer yang berasal dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Serviks adalah bagian ujung depan rahim yang menjulur ke vagina.[3-6]

Epidemiologi Kanker Serviks

Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat ini menempati urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita. Saat ini di Indonesia ada sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya. Kanker serviks yang sudah masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat. Selain itu, lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut.[7], [8]

Selama kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30 – 60 tahun, terbanyak antara 45- 50 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia dibawah 35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS (karsinoma in-situ) terdapat pada wanita diatas usia 35 tahun.[9]

Etiologi Kanker Serviks

Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi kanker invasif. Studi-studi epidemiologi menunjukkan lebih dari 90% kanker serviks dihubungkan dengan jenis human papiloma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan kanker dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan prognosis yang buruk. HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG (Tumor Supressor Gene) p53 akan kehilangan fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol.[4], [10]

Faktor Risiko Kanker Serviks

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker serviks, antara lain adalah:

1. Usia reproduksi

Usia pasien sangat menentukan kesehatan maternal dan berkaitan erat dengan kondisi kehamilan, persalinan, dan nifas. Proses reproduksi sebaiknya berlangsung pada saat ibu berumur 20–35 tahun, sebab pada saat itu penyulit kehamilan jarang terjadi.

Usia rata-rata dari pasien karsinoma kanker serviks dari penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Schellekens dan Ranti di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung untuk periode januari tahun 2000 sampai juli 2001 dengan interval usia mulai 21 sampai 85 tahun (N=307) mendapatkan penderita kanker serviks rata-rata berusia 32 tahun. Di tempat yang sama S. Van Loon melakukan penelitian terhadap 58 pasien dengan kanker serviks pada tahun 1996, dan mendapatkan pasien mayoritas yaitu 20,3% berusia 40-44 tahun dan usia rata-rata 46 tahun.[11], [12]

Sumber lain menerangkan usia pasien rata-rata antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50 tahun. Hal ini dikarenakan periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% wanita berusia kurang dari 35 tahun menunjukan kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosa, sedangkan 53% dari KIS (Karsinoma In Situ) terdapat pada wanita dibawah usia 35 tahun. Menurut Benson KL, 2% dari wanita yang berusai 40 tahun akan menderita kanker serviks dalam hidupnya. Hal ini dimungkinkan karena perjalanan penyakit ini memerlukan waktu 7 sampai 10 tahun untuk terjadinya kanker invasif sehingga sebagian besar terjadinya atau diketahuinya setelah berusia lanjut.[11], [12]

2. Hubungan seks pada usia muda atau pernikahan pada usia muda

Telah lama diketahui bahwa umur sangat berpengaruh terhadap proses reproduksi. Usia yang dianggap optimal untuk reproduksi antara 20-35 tahun.[12]

Pada usia 20-40 tahun, disebut sebagai masa dewasa dini yang disebut juga usia reproduktif. Sehingga pada masa ini diharapkan orang telah mampu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan tenang secara emosional, perkembangan fisiknya, maupun kemampuannya dalam hal kehamilan baik kelahiran bayinya.

Usia kawin muda menurut Rotkin, Chistoperson dan Parker serta Barron dan Richart jelas berpengaruh. Rotkin menghubungkan terjadinya karsinoma serviks dengan usia saat seorang wanita mulai aktif berhubungan seksual, dikatakan pula olehnya karsinoma serviks cenderung timbul bila saat mulai aktif berhubungan seksual pada saat usia kurang dari 17 tahun. Lebih dijelaskan bahwa umur antara 15- 20 tahun merupakan periode yang rentan. Pada periode laten antara coitus pertama dan terjadinya kanker serviks kurang lebih dari 30 tahun.[9]

Periode rentan ini berhubungan dengan kiatnya proses metaplasia pada usia pubertas, sehingga bila ada yang mengganggu proses metaplasia tersebut misalnya infeksi akan memudahkan beralihnya proses menjadi displasia yang lebih berpotensi untuk terjadinya keganasan. Christoperson dan parker menemukan perbedaan statistik yang bermakna antara wanita yang menikah usia 15-19 tahun dibandingkan wanita yang menikah usia 20-24 tahun, pada golongan pertama cenderung untuk terkena kanker serviks. Barron dan Richat pada penelitian dengan mengambil sampel 7.000 wanita di Barbara Hindia Barat, cenderung menduga epitel serviks wanita remaja sangat rentan terhadap bahan-bahan karsinogenik yang ditularkan melalui hubungan seksual dibanding epitel serviks wanita dewasa.[9], [12]

Laporan dari berbagai pusat di Indonesia juga memperlihatkan hasil yang serupa dengan hasil penelitian di luar negeri. Marwi di Yogyakarta menemukan 63,1% penderita karsinoma serviks menikah pada usia 15-19 tahun, hasil yang serupa juga dilaporkan oleh Sutomo di Semarang.[12]

3. Jumlah paritas

Kehamilan yang optimal adalah kehamilan anak lebih dari tiga. Kehamilan setelah tiga mempunyai risiko yang meningkat.[13] Pada primigravida umumnya belum mempunyai gambaran mengenai kejadian-kejadian yang akan dialami saat melahirkan dan merawat bayinya. Oleh sebab itu penting sekali mempersiapkan ibu dengan memberikan penjelasan yang diperlukan mengenai kelahiran dan perawatan bayinya. Sedangkan pada ibu yang sudah pernah mempunyai anak akan mempunyai gambaran dan pengalaman dalam merawat bayinya, sehingga akan lebih siap dan tahu merawat bayinya.[13]

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mubasir dkk, Pada tahun 1993 menemukan lebih tinggi frekuensi kejadian kanker serviks pada pasien yang pernah melahirkan dari pada yang belum melahirkan. Multiparitas terutama dihubungkan dengan kemungkinan menikah pada usia muda, disamping itu dihubungkan pula dengan sosial ekonomi yang rendah dan higiene yang buruk.[9], [13]

Sumber lain mengemukakan bahwa paritas tinggi merupakan salah satu faktor risiko terkena kanker serviks. Bukhari L dan Hadi A menyebutkan bahwa golongan wanita yang bersalin 6 kali atau lebih mempunyai resikomenderita kanker serviks 1,9 kali lebih besar dari pada golongan wanita yang bersalin antara 1-5 kali, meskipun hal ini merupakan faktor risiko namun hal tersebut harus dijadikan perhatian kita untuk mendeteksi terhadap golongan ini. Kehamilan dan persalinan yang melebihi 3 orang dan jarak kehamilan terlalu dekat akan meningkatkan kejadian kanker seriks.[13]

Susanto dan Suardi (1987) di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dalam penelitiannya mendapatkan paritas terbanyak pasien kanker serviks yaitu paritas lebih dari lima, Sahil MF (1993) mendapatkan pada paritas 6 atau lebih cenderung terkena kanker serviks. Multiparitas diduga menyebabkan penurunan daya tahan tubuh. Pada penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa tingkat rekurensi meningkat pada paritas lebih dari tiga.[9], [13]

4. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku sesorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan. Pendidikan formal adalah segenap bentuk pendidikan atau pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan berjenjang, baik yang bersifat umum, maupun yang bersifat khusus. Pendidikan in formal adalah pendidikan dan pelatihan yang terdapat di luar lingkungan sekolah, dalam bentuk yang tidak terorganisasi.[14]

Dalam arti formal pendidikan adalah suatu proses penyampaian bahan atau materi pendidikan guna mencapai perubahan tingkah laku. Sedangkan tugas pendidikan disini adalah memberikan atau peningkatan pengetahuan dan pengertian, menimbulkan sikap positif serta memberikan/meningkatkan keterampilan- keterampilan masyarakat atau individu tentang aspek-aspek yang bersangkutan sehingga dicapai suatu masyarakat yang berkembang. Salah satu jenis pendidikan diantaranya adalah pendidikan formal yaitu pendidikan yang diperoleh dilingkungan sekolah seperti SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi dan lain-lain. Pendidikan formal berfungsi untuk mengajarkan pengetahuan umum dan pengetahuan yang bersifat khusus.22 Pendidikan formal di dapatkan dari sekolah, pendidikan informal didapatkan diluar sekolah misalnya dalam keluarga atau masyarakat.

Tingkat pendidikan seseorang dapat mendukung atau mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang dan taraf pendidikan yang rendah selalu berhubungan dengan informasi dan pengetahuan yang terbatas. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula pemahaman seseorang terhadap informasi yang didapat dan pengetahuannya pun akan semakin tinggi. Pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang tidak peduli terhadap program kesehatan yang ada, sehingga mereka tidak mengenal bahaya yang mungkin terjadi. Walaupun ada sarana yang baik belum tentu mereka tahu menggunakannya.

Perilaku hidup sehat sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk. Tingkat pendidikan yang masih rendah merupakan salah satu sebab rendahnya pemahaman masyarakat terhadap informasi kesehatan serta pembentukkan perilaku sehat.[14]

Tingkat pengetahuan yang tinggi pada seseorang akan menjadikannya lebih kritis dalam menghadapi berbagai masalah. Sehingga pada wanita yang mempunyai tingkat pendidikan yang baik akan membangkitkan partisipasinya dalam memelihara dan merawat kesehatannya. Wanita yang berpendidikan tinggi cenderung akan memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya.

Pendidikan dan pendapatan keluarga dihubungkan dengan nutrisi yang dikonsumsi sehari-hari, higiene serta kepatuhan untuk melakukan pemeriksaan secara teratur. Pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang tidak mengenal bahaya yang mungkin terjadi. Walaupun ada sarana yang baik belum tentu mereka tahu menggunakannya. Dengan pendidikan yang tinggi maka semakin banyak seseorang mengetahui tentang permasalahan yang menyangkut perbaikan lingkungan dan hidupnya.[9], [14]

Selain itu peningkatan pendidikan formal wanita akan mendewasakan usia perkawinan. Hal ini membuat rentang usia subur yang dijalani dalam ikatan perkawinan semakin pendek. Tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kemungkinan bagi wanita untuk tidak menikah sama sekali selama hidupnya. Hal ini terjadi terutama karena tingkat pendidikan yang tinggi mampu membuka kesempatan yang lebih luas bagi wanita untuk bekerja, berorganisasi, dan mengembangkan kariernya di luar rumah.[15]

5. Penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang (lebih dari 5 tahun)

Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh kegiatan seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan beberapa hubungan dari salah satu studi, bahkan melaporkan proteksi terhadap penyakit yang invasif. Hubungan yang terakhir ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya bias karena peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa studi yang lebih lanjut kemudian memerlukan konfirmasi atau menyangkal observasi ini mengenai kontrasepsi oral.[9], [12]

6. Riwayat kanker serviks pada keluarga

Bila seorang wanita mempunyai saudara kandung atau ibu yang mempunyai kanker serviks, maka ia mempunyai kemungkinan 2-3 kali lebih besar untuk juga mempunyai kanker serviks dibandingkan dengan orang normal. Beberapa peneliti menduga hal ini berhubungan dengan berkurangnya kemampuan untuk melawan infeksi HPV.[9], [12]

7. Berganti-ganti pasangan seksual

Perilaku seksual berupa berganti pasangan seks akan meningkatkan penularan penyakit kelamin. Penyakit yang ditularkan seperti infeksi human papilloma virus (HPV) telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya kanker serviks, penis dan vulva. Risiko terkena kanker serviks menjadi 10 kali lipat pada wanita yang mempunyai partner seksual 6 orang atau lebih. Di samping itu, virus herpes simpleks tipe-2 dapat menjadi faktor pendamping.[6], [8]

8. Merokok

Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks di samping merupakan ko-karsinogen infeksi virus.[3], [4], [7]

9. Defisiensi zat gizi

Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan dan sedang, serta mungkin juga meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita yang makanannya rendah beta karoten dan retinol (vitamin A).[3], [7]

Selain itu, beberepa penyebab terjadinya kanker serviks antara lain ; trauma kronis pada serviks seperti persalinan, infeksi, dan iritasi menahun, Pemakaian DES (dietilstilbestrol) pada wanita hamil untuk mencegah keguguran (banyak digunakan pada tahun 1940-1970) [4], Gangguan sistem kekebalan dan Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamidia menahun [5]

Patogenesis dan Patofisiologi Kanker Serviks

Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-columnar junction (SCJ) atau sambungan skuamo-kolumnar (SSK), yaitu batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks, dimana secara histologik terjadi perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis dengan epitel endoserviks yaitu epitel kuboid/kolumnar pendek selapis bersilia. Letak SSK dipengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita muda SSK berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita berusia di atas 35 tahun SSK berada di dalam kanalis serviks.24 Oleh karena itu pada wanita muda, SSK yang berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu displasia dari SSK tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.[16]

Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks; epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SSK ini disebut daerah transformasi.[16]

Penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai salah satu faktor penyebab yang penting, terutama virus DNA. Pada proses karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen dan DNA sel host sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel.24 Sel yang mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat dan karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker.

Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi epitel skuamosa yang secara sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal, tetapi tidak memenuhi persyaratan sel karsinoma.[16] Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal epitel yang mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel. Sedangkan karsinoma in-situ adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma invasif tetapi membrana basalis masih utuh.[17]

Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS) untuk kedua bentuk displasia dan karsinoma in-situ. NIS terdiri dari : 1) NIS 1, untuk displasia ringan; 2) NIS 2, untuk displasia sedang; 3) NIS 3, untuk displasia berat dan karsinoma in-situ.

Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spekrum penyakit yang dimulai dari displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat dan karsinoma in-situ (NIS 3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Beberapa peneliti menemukan bahwa 30-35% NIS mengalami regresi, yang terbanyak berasal dari NIS 1/NIS 2.26 Karena tidak dapat ditentukan lesi mana yang akan berkembang menjadi progesif dan mana yang tidak, maka semua tingkat NIS dianggap potensial menjadi ganas sehingga harus ditatalaksanai sebagaimana mestinya.

Sistem Klasifikasi Lesi Prakanker

Ada beberapa sistem klasifikasi lesi prakanker yang digunakan saat ini, dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi dan sitologinya. Berikut tabel klasifikasi lesi prakanker[1]:

Klasifikasi Sitologi (untuk skrining) Klasifikasi Histologi (untuk diagnosis)
Pap Sistem Bethesda NIS (Neoplasia Intraepitelial Serviks) Klasifikasi Deskriptif WHO
Kelas I Normal Normal Normal
Kelas II ASC-US Atipik Atipik
ASC-H
Kelas III LSIL NIS 1 termasuk kondiloma Koilositosis
Kelas III HSIL NIS 2 Displasia sedang
Kelas III HSIL NIS 3 Displasia berat
Kelas IV HSIL NIS 3 Karsinoma in situ
Kelas V Karsinoma invasif Karsinoma invasif Karsinoma invasive

Klasifikasi histologik kanker serviks [18],[19]

WHO 1975 WHO 1994
Karsinoma sel skuamosa Karsinoma sel skuamosa
- Dengan pertandukan - Dengan pertandukan
- Tipe sel besar tanpa pertandukan - Tanpa pertandukan
- Tipe sel kecil tanpa pertandukan - Tipe verukosa
Adenokarsinoma - Tipe kondilomatosa
- Tipe endoserviks - Tipe kapiler
- Tipe endometrioid - Tipe limfoepitelioma
Karsinoadenoskuamosa (adenoepidermoi)
- Karsinoma adenoid kistik Adenokarsinoma
- Adenokarsinoma - Tipe musinosa
- Mesonefroid - Tipe mesonefrik
Tumor mesenkim - Tipe clear cell
- Karsinoma tidak berdiferensiasi - Tipe serosa
- Tumor metastasis - Tipe endometrioid
Karsinoadenoskuamosa
- Karsinoma glassy cell
- Karsinoma sel kecil
- Karsinoma adenoid basal
- Tumor karsinoid
- Karsinoma adenoid kistik
Tumor mesenkim
- Karsinoma tidak berdiferensiasi

Dari seluruh jenis kanker serviks di atas jenis skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan, yaitu ± 90%; adenokarsinoma 5%; sedang jenis lainnya 5%. Karsinoma skuamosa terlihat sebagai jalinan kelompok sel-sel yang berasal dari skuamosa dengan pertandukan atau tidak, dan kadang-kadang tumor sendiri dari sel- sel yang berdiferensiasi buruk atau dari sel-sel yang disebut small cell, berbentuk kumparan atau kecil serta bulat dan batas tumor stroma tidak jelas. Sel ini berasal dari sel basal atau reserved cell. Sedang adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel torak endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mukus.

Sistem Staging Kanker [18], [20]

International Federation of Gynecologists and Obstetricians Staging System for Cervical Cancer (FIGO) pada tahun 2000 menetapkan suatu sistem stadium kanker sebagai berikut:

Stadium Karakteristik
0 Lesi belum menembus membrana basalis
I Lesi tumor masih terbatas di serviks
IA1 Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3 mm dengan diameter permukaan tumor <7mm
IA2 Lesi telah menembus membrana basalis > 3 mm tetapi <5mm dengan diameter permukaan tumor <7mm
IB1 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer <4cm
IB2 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer >4cm
II Lesi telah keluar dari serviks (meluas ke parametrium dan sepertiga proksimal vagina)
IIA Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina
IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding panggul
III Lesi telah keluar dari serviks (menyebar ke parametrium dan atau sepertiga vagina distal)
IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal
IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul
IV Lesi menyebar keluar organ genitalia
IVA Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa vesika urinaria
IVB Lesi meluas ke mukosa rektum dan atau meluas ke organ jauh

Diagnosis Kanker Serviks


Gejala dan Tanda Kanker Serviks

Lesi pra-kanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya dapat terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer melaporkan bahwa sebanyak 76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali.[21],[22] Jika sudah terjadi kanker akan timbul gejala yang sesuai dengan penyakitnya, yaitu dapat lokal atau tersebar. Gejala yang timbul dapat berupa perdarahan pasca-sanggama atau dapat juga terjadi perdarahan di luar masa haid dan pasca menopause. Jika tumornya besar, dapat terjadi infeksi dan menimbulkan cairan (duh) berbau yang mengalir keluar dari vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan timbul nyeri panggul, gejala yang berkaitan dengan kandung kemih dan usus besar.[21],[22] Gejala lain yang timbul dapat berupa gangguan organ yang terkena misalnya otak (nyeri kepala, gangguan kesadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah), hati (nyeri perut kanan atas, kuning, atau pembengkakan), dan lain-lain.[23]

Penegakan Diagnosis Kanker Serviks

Diagnosis definitif harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi dari hasil biopsi lesi sebelum sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut dilakukan.[1]

Skrining Kanker Serviks

Sejak 2 dekade terakhir terdapat kemajuan dalam pemahaman tentang riwayat alamiah dan terapi lanjutan dari kanker serviks. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) sekarang telah dikenal sebagai penyebab utama kanker serviks, selain itu sebuah laporan sitologi baru telah mengembangkan diagnosis, penanganan lesi prakanker dan protokol terapi spesifik peningkatan ketahanan pasien dengan penyakit dini dan lanjut. Penelitian terbaru sekarang ini terfokus pada penentuan infeksi menurut tipe HPV onkogenik, penilaian profilaksis dan terapi vaksin serta pengembangan strategi skrining yang berkesinambungan dengan tes HPV dan metode lain berdasarkan sitologi. Hal ini merupakan batu loncatan untuk mengimplementasikan deteksi dini kanker serviks dengan beberapa macam pemeriksaan seperti tes Pap (Pap Smear), Pap net, servikografi, Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA), tes HPV, kolposkopi dan sitologi berbasis cairan (Thin-Layer Pap Smear Preparation).[24]

Namun metode yang sekarang ini sering digunakan diantaranya adalah Tes Pap dan Inspeksi Visual Asetat(IVA). Tes Pap memiliki sensitivitas 51% dan spesifisitas 98%. Selain itu pemeriksaan Pap Smear masih memerlukan penunjang laboratorium sitologi dan dokter ahli patologi yang relatif memerlukan waktu dan biaya besar. Sedangkan IVA memiliki sensitivitas sampai 96% dan spesifisitas 97% untuk program yang dilaksanakan oleh tenaga medis yang terlatih. Hal ini menunjukkan bahwa IVA memiliki sensitivitas yang hampir sama dengan sitologi serviks (Pap smear) sehingga dapat menjadi metode skrining yang efektif pada negara berkembang seperti di Indonesia.[23]

Tes IVA

1. Definisi

Tes visual dengan menggunakan larutan asam cuka (asam asetat 3-5%) dan larutan iodium lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah dilakukan olesan. Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia sebagai salah satu metode skrining kanker serviks.[12]

2. Indikasi :

Skrining kanker serviks.[12]

3. Kontraindikasi:

Tidak direkomendasikan pada wanita pasca menopause, karena daerah zona transisional seringkali terletak kanalis servikalis dan tidak tampak dengan pemeriksaan inspekulo.[12]

4. Persiapan dan syarat

Persiapan alat dan bahan :[12]

  • Sabun dan air untuk cuci tangan

  • Lampu yang terang untuk melihat serviks

  • Spekulum dengan desinfeksi tingkat tinggi

  • Sarung tangan sekali pakai atau desinfeksi tingkat tinggi

  • Meja ginekologi

  • Lidi kapas dan kapas usap

  • Asam asetat 3-5% (cuka putih dapat digunakan)

  • Larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi instrument dan sarung tangan

  • Format pencatatan

Persiapan tindakan : [12]

  • Menerangkan prosedur tindakan, bagaimana dikerjakan, dan apa artinya hasil tes positif. Yakinkan bahwa pasien telah memahami dan menandatangani informed consent.

  • Pemeriksaan inspekulo secara umum meliputi dinding vagina, serviks, dan fornik.

Teknik/prosedur : [12]

  • Sesuaikan pencahayaan untuk mendapatkan gambaran terbaik dari serviks

  • Gunakan lidi kapas untuk membersihkan darah, mucus dan kotoran lain pada serviks

  • Identifikasi daerah sambungan skuamo-kolumnar (zona transformasi) dan area di sekitarnya

  • Oleskan larutan asam asetat secara merata pada serviks, tunggu 1-2 menit untuk terjadinya perubahan warna. Amati setiap perubahan pada serviks, perhatikan dengan cermat daerah di sekitar zona transformasi.

  • Lihat dengan cermat SSK dan yakinkan area ini dapat semuanya terlihat. Catat bila serviks mudah berdarah. Lihat adanya plak warna putih dan tebal (epitel acetowhite ) bila menggunakan larutan asam asetat. Bersihkan segala darah dan debris pada saat pemeriksaan.

  • Bersihkan sisa larutan asam asetat dengan lidi kapas atau kasa bersih.

  • Lepaskan spekulum dengan hati-hati.

  • Catat hasil pengamatan, dan gambar denah temuan.

  • Hasil tes (positif atau negatif) harus dibahas bersama pasien dan pengobatan harus diberikan setelah konseling, jika diperlukan dan tersedia.

5. Komplikasi/efek samping:

Tidak ada. [12]

6.Interpretasi

Klasifikasi IVA sesuai temuan klinis

Klasifikasi IVA Temuan Klinis
Hasil Tes-Positif Plak putih yang tebal atau epitel acetowhite, biasanya dekat SSK
Hasil Tes-Negatif Permukaan polos dan halus, berwarna merah jambu, ektropion, polip, servisitis, inflamasi, Nabothian cysts.
Kanker Massa mirip kembang kol atau bisul

7. Kriteria wanita yang dianjurkan untuk menjalani tes

Menjalani tes kanker atau prakanker dianjurkan bagi semua wanita berusia 30 dan 45 tahun. Kanker serviks menempati angka tertinggi di antara wanita berusia 40 hingga 50 tahun, sehingga tes harus dilakukan pada usia dimana lesi prakanker lebih mungkin terdeteksi, biasanya 10 sampai 20 tahun lebih awal. Wanita yang memiliki faktor risiko juga merupakan kelompok yang paling penting untuk mendapat pelayanan tes. [12],[25]

8. Waktu untuk menjalani tes :

Tes IVA dapat dilakukan kapan saja dalam siklus menstruasi, termasuk saat menstruasi, pada masa kehamilan dan saat asuhan nifas atau paska keguguran.

Untuk masing-masing hasil akan diberikan beberapa instruksi baik yang sederhana untuk pasien (mis. kunjungan ulang untuk tes IVA setiap 5 tahun) atau isu-isu khusus yang harus dibahas bersama, seperti kapan dan dimana pengobatan yang diberikan, risiko potensial dan manfaat pengobatan, dan kapan perlu merujuk untuk tes tambahan atau pengobatan yang lebih lanjut.[12],[25]

9. Penilaian responden [12], [26]

Tes untuk kanker serviks biasanya dilakukan sebagai bagian dari program skrining kesehatan reproduksi atau pelayanan kesehatan primer. Sehingga perlu ditanyakan riwayat singkat kesehatan reproduksinya antara lain:

  • Riwayat menstruasi

  • Pola perdarahan (mis. paska koitus atau mens tidak teratur)

  • Paritas

  • Usia pertama kali berhubungan seksual

  • Penggunaan alat kontrasepsi

10. Manfaat [12],[25]

  • Memenuhi kriteria tes skrining yang baik

  • Penilaian ganda untuk sensitifitas dan spesifisitas menunjukkan bahwa tes ini sebanding dengan Pap smear dan HPV atau kolposkopi

  • Berpotensi untuk pendekatan kunjungan tunggal

  • Tidak memerlukan alat/perawatan selain pasokan asam asetat (cuka), spekulum dan sumber cahaya (lampu/senter)

  • Dapat dilakukan di semua tingkat sistem pelayanan kesehatan, oleh petugas yang telah dilatih

11. Keterbatasan [12], [25]

  • Sedikit penelitian tertulis yang mencatat nilai lebih sebagai tes penapisan yang digunakan dalam skala luas

  • Positif palsu dapat membuat sistem rujukan mendapat banyak pasien rujukan (overload)

  • Perlu pelatihan berbasis kompetensi untuk memeriksa dan membuat penilaian (assessment)

Pencegahan Kanker Serviks


Tidak dapat dipungkiri cara terbaik untuk mencegah kanker serviks saat ini adalah dengan screening gynaecological dan jika dibutuhkan dilengkapi dengan treatment yang terkait dengan kondisi prakanker. Namun demikian, dengan adanya biaya dan rumitnya proses screening dan treatment, cara ini hanya memberikan manfaat yang sedikit di negara-negara yang membutuhkan penanganan. Beberapa hal lain yang dapat dilakukan dalam usaha pencegahan terjadinya kanker serviks antara lain:

1. Vaksin HPV

Sebuah studi menyatakan bahwa kombinasi vaksinasi HPV dan skrining dapat memberikan manfaat yang besar dalam pencegahan penyakit ini. Vaksin HPV dapat berguna dan cost-effective untuk mengurangi kejadian kanker serviks dan kondisi pra- kanker, khususnya pada kasus yang ringan. Vaksin HPV yang terdiri dari 2 jenis dapat melindungi tubuh dalam melawan kanker yang disebabkan oleh HPV (tipe 16 dan 18). Salah satu vaksin dapat membantu menangkal timbulnya kutil di daerah genital yang diakibatkan oleh HPV 6 dan 11, juga HPV 16 dan 18. Manfaat tersebut telah diuji pada uji klinis stahap III dan harus dapat diwujudkan dalam waktu dekat. Keyakinan hasil uji klinis tahap III ini menunjukan bahwa vaksin-vaksin tersebut dapat membantu menangkal infeksi HPV dari tipe-tipe diatas dan mencegah lesi pra- kanker pada wanita yang belum terinfeksi HPV sebelumnya.[2]

2. Penggunaan kondom

Para ahli sebenarnya sudah lama meyakininya, tetapi kini mereka punya bukti pendukung bahwa kondom benar-benar mengurangi risiko penularan virus penyebab kutil kelamin (genital warts) dan banyak kasus kanker leher rahim. Hasil pengkajian atas 82 orang yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine memperlihatkan bahwa wanita yang mengaku pasangannya selalu menggunakan kondom saat berhubungan seksual kemungkinannya 70% lebih kecil untuk terkena infeksi human papilloma virus (HPV) dibanding wanita yang pasangannya sangat jarang (tak sampai 5% dari seluruh jumlah hubungan seks) menggunakan kondom. Hasil penelitian memperlihatkan efektivitas penggunaan kondom di Indonesia masih tergolong rendah. Dari survey Demografi Kesehatan Indonesia pada 2003 (BPS- BKKBN) diketahui bahwa ternyata penggunaan kondom pada pasangan usia subur di Negara ini masih sekitar 0,9%.[27]

3. Sirkumsisi pada pria

Sebuah studi menunjukkan bahwa sirkumsisi pada pria berhubungan dengan penurunan risiko infeksi HPV pada penis dan pada kasus seorang pria dengan riwayat multiple sexual partners, terjadi penurunan risiko kanker serviks pada pasangan wanita mereka yang sekarang.[9]

4. Tidak merokok

Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclicaromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi ko-karsinogen infeksi virus.[9]

5. Nutrisi

Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan anti-oksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya alpukat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Vitamin E, vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan kacang- kacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan.[9]

Prognosis Kanker Serviks


Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5- years survival rate untuk stadium I lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%.

Stadium Kemungkinan Sembuh
Stadium 0 100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh.
Stadium 1 Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi 2, IA dan IB. dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar 95%. Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%.
Stadium 2 Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. dari semua wanita yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70 - 90%. Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60 sampai 65%.

Kekambuhan Kanker Serviks

Terdapat macam-macam kekambuhan kanker serviks, antara lain:

1. Kekambuhan Lokal [20]

Kekambuhan lokal meliputi kekambuhan di porsio, kekambuhan di puncak vagina. Kekambuhan lokal pasca pembedahan dapat diterapi dngan pembedahan atau terapi radioterapi. Kekambuhan lokal pasca radioterapi dapat diterapi dengan pembedahan atau terapi radiasi (bila terapi radioterapi yang lalu lebih dari satu tahun yang lalu). Pembedahan histerektomi radikal merupakan salah satu pilihan pada kekambuhan lokal ataupun persisten pada pemberian pengobatan dengan radioterapi. Pembedahan histerektomi radikal pada kekambuhan atau persisten pasca radioterapi mempunyai risiko komplikasi yang cukup besar. Komplikasinya berupa stenosis ureter, fistula baik vesikovaginal ataupun uretero-vaginal dan rekto-vaginal. Kejadian komplikasi ini dapat mendapat mencapai 44%.

Dengan demikian pembedahan tersebut sangat menuntut kehati-hatian, karena faktor penyembuhan perprimam nampaknya menjadi kendala utama, sehingga faktor seleksi pasien sangat menentukan.

Kemampuan pasien atau survival rata-rata dengan pembedahan histerektomi radikal pada 44% penderita dengan keadaan residif dapat mencapai 81 bulan dan 53% penderita meninggal dengan rata-rata survival 22 bulan, dan survival 5 tahun 49%.

2. Kekambuhan Sentral [20]

Kekambuhan sentral adalah kekambuhan di uterus dengan atau vesika urinaria, rektum, ataupun parametrium. Kejadian kekambuhan sentral pada 5 tahun pertama berkisar 6,8% pada 10 tahun pasca terapi 7,8% dan pada 20 tahun 9,6%. Hasil terapi yang menderita rekurensi >36 bulan lebih baik jika dibandingkan dengan yang benar <36 bulan. Kekambuhan sentral pasca pembedahan dapat diterapi dengan pembedahan (eksenterasi bila memungkinkan) atau terapi radioterapi. Kekambuhan sentral pasca radioterapi dapat diterapi dengan pembedahan (histerektomi radikal atau eksenterasi bila memungkinkan) atau terapi radiasi.

Pembedahan eksenterasi pada kekambuhan dapat menolong pada kondisi tertentu, lesi yang tidak mencapai dinding panggul atau lebih jauh merupakan syarat utama keberhasilan pembedahan eksenterasi. Adanya penyebaran atau metastasis tumor ke kelenjar getah bening pelvik dan paraaorta meruapakan petunjuk telah lanjutnya proses penyebaran tumor, dan keadaan ini mengindikasikan bahwa pembedahan bukan merupakan terapi pilihan. Analisa terhadap 70% pasien yang dilakukan pembedahan (dilakukan pembedahan eksenterasi) dengan kekambuhan sentral didapatkan angka mortalitas 9% dengan morbiditas pembedahan 44% sedangkan survival 5 tahun sebesar 23%.

Kekambuhan Regional [20]

Kekambuhan regional adalah kekambuhan yang meliputi organ genital dan mencapai dinding panggul. Kekambuhan regional pascapembedahan dapat diterapi denan radioterapi. Kekambuhan regional pasca radioterapi dapat diterapi dengan radioterapi.

Referensi :
  1. World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential Practice. Geneva: WHO; 2006.

  2. Sankaranarayanan R, Budukh AM, Rajkumar R. Effective Screening programmes for cervical cancer in low and middle-income developing countries. Bull WHO 2001;79:954-62.

  3. Anonim. Kanker Leher Rahim. Diunduh dari www.medicastore. com / Mei 2009.

  4. Garcia A. Cervical Cancer. Diunduh dari www.emedicine. com / Mei 2009.

  5. Mardjikoen. Tumor ganas alat genital. Dalam: H. Wiknjosastro, AB Saifuddin, T. Rachimhadi. Ilmu kandungan. Edisi 2. Jakarta: Yayasan bina pustaka Sarwono Prawirohardjo; 1999. h. 367 - 405.

  6. Aziz F, Nugroho K, Ratna SS. Karsinoma serviks Uterus, Bagian / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UI - RS dr. Ciptomangunkusumo Jakarta; 1985.

  7. Anonim. Bahaya Kanker Serviks Bagi wanita, www.kesrepro.info. 2006.

  8. DEPKES RI, Penanggulangan Kanker Serviks dengan Vaksin HPV, Departemen Kesehatan RI; 2005.

  9. Legra TL, Guerreiro TC. Prevalence and Risk Factors In Positive Cervix Cytology. Diunduh dari : (medicc. org/publications/medicc_review/1004/pdfs/Cuban%20Me dical%20Literature_3.pdf); 2004. .

  10. Putri H. Manajemen Karsinoma Serviks, Referat, Bagian / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UGM - RS dr. Sardjito Yogyakarta; 2000.

  11. Female Cancer Program. Indonesia: Mutual Enthusiasm About Working Together. Diunduh dari: (femalecancerprogram. org/FCP/whoareourpartners/Indonesia/defa ult /.)

  12. Rasjidi I. Manual Prakanker Serviks. Jakarta: Sagung Seto; 2008.

  13. Anonim. What Are The Risk Factors For Cervical Cancer?. Diunduh dari: (cancer. org/docroot/CRI/conten.asp /)

  14. Anonim. Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

  15. Soegiyanto H. Paritas Penduduk di Daerah Pedesaan Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Surakarta: Disertasi Pengukuhan Guru Besar UNS; 2008.

  16. Morrow CP, Curtin JP, Townsend DE. Synopsis of Gynecologic Oncology. New York: Churchill Livingstone; 1987.

  17. Goodman HM, Nelson JH. Cervical malignancies. In: KC Knaap, RS Berkowitz (eds). Gynaecology Oncology. New York: Macmillan Publ Co; 1986. p. 225-65.

  18. Benedet JL, Ngan HYS, Hacker NF. Staging Classifications and clinical practice guidelines of gynecologyc cancers. Int J Gynecol Cancer 2000;70:207-312.

  19. Krivak TC, McBroom JW Elkas JC. Cervical and vaginal cancer. In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA, (editor). Novak’s ginecology. 13th ed. Baltimore: Lippincot Williams & Wilkin; 2002. p. 1199-244.

  20. Andrijono. Kanker Serviks, Divisi Onkologi, Dep. Obstetri-Ginekologi FKUI; 2007.

  21. Boon ME, Suurmeijer AJH. The Pap smear. Leiden: Coulomb; 1991.

  22. Pretoriun R, Semrad N, Watring W, Fotherongham N. Presentation of cervical cancer. Gynecol Oncol 1991;42:48-52.

  23. Nuranna, L. Penanggulangan Kanker Serviks yang Sahih dan Andal dengan metode Proaktif-VO (Proaktif, koordinatif dengan skrining IVA dan terapi krio). Desertasi program Doktor. Jakarta: FKUI; 2005.

  24. Kitchener HC, Symonds P. Detection of cervical intraepithelial neoplasia in developing countries. Lancet 1999;353:856-7.

  25. Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran 2001;133:9-14.

  26. Female Cancer Program Foundation. Who Are Our Partners. Diunduh dari: (femalecancerprogram. org/FCP/whoareourpartners/default/default/).

  27. Petignat P, Roy M. Diagnosis and management of cervical cancer. Br Med J 2007;335:765-8.