Apa yang anda ketahui tentang Jugun Ianfu : Sistem pelacuran pada masa Pendudukan Jepang ?

Jugun Ianfu atau disebut para wanita penghibur merupakan para wanita dikumpulkan dalam satu rumah bordir untuk melayani kebutuhan seks tentara Jepang. Umumnya, mereka tertipu atau dijebak dan dijadikan wanita penghibur untuk para tentara Jepang. Mereka seolah menjadi korban atas kebijakan Jepang. Mereka semata-mata hanya dijadikan budak seks bagi para tentara Jepang yang haus akan kebutuhan seks di tengah berkobarnya perang Asia Timur Raya atau peeang Asia Pasifik.

Praktek pelacuran Jugun Ianfu ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara - negara jajahan Jepang yang lain. Menurt riset dari Dr. Hirofumi Hayashi seorang profesor dari Universitas Kanto Gaukin ketika melihat fenomena Jugun Ianfu di Indonesia ini, ia mengatakan bahwa Jugun Ianfu pada saat itu terdiri dari wanita - wanita Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya, Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India dan Indo Belanda. Pada saat itu diperkirakan sebanyak 20.000 hingga 30.000 wanita dijadikan Jugun Ianfu oleh pemerintah Jepang.

Apa yang anda ketahui tentang Jugun Ianfu : Sistem pelacuran pada masa Pendudukan Jepang ?

Jugun ianfu terdiri dari lima buah kanji yang masing-masing memiliki arti “pembantu” atau “pengikut”, “tentara”, “penghibur”, “tenang” atau “senang”, dan “perempuan”.24 Dengan demikian, jugun ianfu secara literatur dapat diartikan sebagai perempuan penghibur yang mengikuti tentara (Jepang), untuk memberikan kesenangan.

Jugun ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada perempuan penghibur atau dalam istilah bahasa Inggris adalah comfort women. Perempuan-perempuan ini terlibat dalam perbudakan seks selama Perang Dunia II di koloni Jepang. Kecenderungan jugun ianfu adalah mereka merupakan wanita yang berasal dari wilayah jajahan yang berhasil dikuasai oleh Jepang.

Dalam Kamus Wikipedia, dijelaskan bahwa jugun ianfu merupakan perempuan yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada masa Perang Dunia II. Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi, jugun ianfu terdiri dari perempuan Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Eurasia, Belanda, dan penduduk kepulauan Pasifik.

Selain jugun ianfu, tampaknya Jepang sebelumnya telah mengenal istilah geisha dan karayuki-san yang juga merupakan perempuan penghibur. Berbeda dengan jugun ianfu, secara literatur, geisha berarti seniman. Dapat diartikan juga sebagai perempuan penghibur yang dilatih sedemikian rupa sehingga menjadi penghibur profesional. Pelayanan mereka kepada tamu-tamunya tidak terbatas pada pelayanan seksual, namun juga pelayanan kesenian, seperti menari dan menyanyi.

Geisha sangat umum pada abad ke-18 dan abad ke-19, dan masih ada sampai sekarang ini, walaupun jumlahnya tidak banyak lagi. Tamu yang dilayani oleh seorang geisha adalah para petinggi dan orang-orang yang dapat dikatakan mampu karena biaya sewa mereka sangatlah mahal. Menurut data literatur, karayuki-san berarti orang yang bepergian ke Cina. Pada pertengahan abad ke 19, politik isolasi di Jepang runtuh karena Jepang ingin membuka negaranya untuk perdagangan. Setelah politik baru itu berjalan, maka Jepang menjadi terbuka untuk kaum pendatang. Saat itu pulalah para perempuan Jepang memiliki kesempatan untuk pergi ke negara-negara tetangga. Mereka menyelundupkan diri dan pergi ke negara luar (biasanya Cina dan Rusia) untuk bekerja, termasuk menjadi pekerja seks komersial.

Sedangkan, menurut Kodansha Encyclopedia, karayuki-san adalah: Wanita Jepang yang pergi untuk bekerja sebagai pelacur di beberapa tempat, seperti Siberia, Manchuria, Cina, Asia Tenggara, Pasifik Selatan, India, dan bahkan Amerika dan Afrika, setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868. Walaupun karayuki-san datang dari seluruh bagian Jepang, namun mayoritasnya adalah penduduk asli dari Kyushu bagian barat, khususnya wilayah Amakusa, yang merupakan tempat aslinya.30

Walaupun ada beberapa jugun ianfu yang dahulunya berprofesi sebagai karayuki-san, namun terdapat perbedaan mendasar antara perempuan jugun ianfu yang mantan karayuki-san dengan perempuan jugun ianfu yang berasal dari wilayah jajahan. Mantan karayuki-san memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan perempuan dari wilayah jajahan. Biasanya mereka menjadi mucikari yang membantu mengurus pengelolaan tempat hiburan. Sedangkan perempuan dari wilayah jajahan adalah perempuan yang menempati kedudukan yang rendah, dan mereka diharuskan melayani para tentara baik dari kalangan menengah ke bawah sampai kepada tentara dari golongan menengah ke atas. Selain itu, mereka tidak memiliki hak untuk memilih pria mana yang ingin mereka layani.

Awal Terbentuknya Jugun Ianfu


Seperti telah disebut sebelumnya, di Jepang dunia pelacuran sudah dikenal sejak lama. Setelah terbukanya politik isolasi, semakin besar pula kesempatan perempuan Jepang yang bekerja ke luar negeri untuk bekerja pada bidang yang berhubungan dengan hal tersebut. Segera setelah Restorasi Meiji, berdirinya Jepang moderen pada tahun 1868, jumlah karayuki-san bertambah secara drastis.

Di antara mereka terdapat perempuan-perempuan yang melacurkan diri, yang semakin tersebar luas bukan hanya sebatas Cina dan Rusia saja, namun juga sampai ke negara negara di Asia Tenggara, India, Australia, Hawaii, bahkan Afrika Selatan.

Pada saat wakil pemerintah Jepang dalam bidang perdagangan, Sewazaki Kazuto, pertama kali mengunjungi Vladivostok pada 1875, ia menemukan sebuah tempat pelacuran Jepang yang melayani klien Rusia. Pada tahun dua belas tahun selanjutnya, yaitu 1887, jumlah orang Jepang yang tinggal di Vladivostok bertambah antara 4000—5000 orang, dan lebih dari 200 orangnya adalah karayuki-san. Banyak di antara perempuan-perempuan ini berasal dari Shimabara di Kyushu. Dari keadaan seperti ini, maka pihak militer Jepang pada waktu itu melihat adanya kesempatan untuk melibatkan karayuki-san ke dalam sistem pelacuran yang akan mereka buat.

Setelah tercatat 223 kasus perkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang, Letnan Jendral Okamura Yasuji mengajukan solusi kepada gubernur Perfektur Nagasaki pada waktu itu untuk mengirim perempuan-perempuan penghibur ke Shanghai. Setelah itu kasus pelecehan yang terjadi di Cina turun secara derastis, kemudian dengan pemikiran yang rasional ia memperluas prostitusi militer ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nyoman Buleleng, mantan tentara Jepang yang menetap di Indonesia,

“Tampaknya orang Jepang menyadari bahwa, walaupun dalam keadaan perang, para tentara memiliki kebutuhan biologis yang tidak dapat dielakkan… Secara otomatis, rumah untuk menanggapi tujuan itu didirikan di setiap wilayah yang diduduki oleh Jepang.”

Dalam Jugun Ianfu Shiryō-shū, Kementrian Peperangan Jepang memiliki dokumen yang berjudul “Hal-hal yang berkaitan dengan perekrutan perempuan dan para pekerja pada tempat hiburan” yang dikeluarkan pada 4 Maret 1938, kepada Kepala Staf Tentara Area Cina Utara dan Area Cina Pusat. Dokumen itu berisi:

Dalam perekrutan perempuan dan para pekerja dari Jepang dalam pendirian tempat hiburan di tempat di mana terjadinya Insiden Cina, beberapa pihak secara sengaja menyatakan bahwa mereka memiliki izin dari penguasa militer, sehingga merusak reputasi dari tentara dan menyebabkan kesalahpahaman dari masyarakat umum. Beberapa lainnya menyebabkan masalah sosial dengan merekrut (perempuan) secara ilegal melalui media-media pada masa perang, mengunjungi penghibur, dan semacamnya. Berkaitan dengan pemilihan agen yang tidak sesuai, beberapa diantaranya telah ditahan dan diinvestigasi oleh polisi dikarenakan metode dalam perekrutan dan penculikan. Jadi, dibutuhkan perhatian yang tinggi dalam memilih agen yang sesuai. Ke depannya, dalam merekrut (perempuan) itu, setiap tentara harus memperketat (prosedur pemilihan) dengan berhati-hati dalam memilih agen yang sesuai. Dalam perekrutan yang sebenarnya, setiap tentara harus bekerja dengan baik dengan Kempeitai lokal atau polisi yang berkuasa, dengan demikian dapat menjaga martabat tentara serta menghindari masalah sosial. Yang di atas dikeluarkan sebagai mandat.

Surat ini dibuat oleh staf dari Biro Administrasi Militer dibawah nama Kolonel Fushibuchi Senichi. Umezu Yoshijirō, yang pada waktu itu menjabat sebagai Wakil Kementrian Peperangan, menjadi orang yang mengakui surat tersebut. Hal yang paling penting di sini adalah surat tersebut merupakan ‘surat mandat’. Dengan kata lain, surat tersebut juga diakui oleh Menteri Peperangan pada waktu itu, yaitu Sugiyama Hajime.

Dokumen lain yang berisikan tentang fakta bahwa Kementrian Peperangan Jepang mempertimbangkan jugun ianfu sebagai suatu rencana yang efektif untuk memelihara kedisiplinan militer dan mencegah penyakit kelamin. Dokumen ini disebut “Tindakan untuk mempertinggi kedisiplinan militer berdasarkan pengalaman-pengalaman pada Insiden Cina”. Pada 19 September 1940, dokumen tersebut dijadikan “bahan edukasi” untuk semua unit tentara. Adapun isinya sebagai berikut:

(Sejak dimulainya Perang Sino-Jepang), walaupun hasil yang sangat baik telah diraih dalam perang, namun para serdadu kita telah melakukan berbagai kejahatan seperti perampasan, pemerkosaan, pembakaran, pembunuhan tawanan, dan semacamnya yang berlawanan dengan intisari dari prinsip yang dimiliki oleh Tentara Kerajaan. Itu menjadi penyesalan yang juga telah menjadi sesuatu yang tidak disukai baik di dalam maupun di luar Jepang, dan menjadi kesulitan untuk mencapai tujuan dari perang suci kami…

Setelah meneliti keadaan di mana terjadi kejahatan dan perbuatan tidak senonoh, kami menyadari bahwa itu semua terjadi segera setelah pertempuran…

Dalam zona perang, merupakan suatu kebutuhan untuk berupaya agar menciptakan suatu lingkungan yang baik, sedapat mungkin memperhatikan fasilitas untuk kesenangan, dan untuk menghapus juga mengontrol perasaan berat dan sedih dari para tentara…

Khususnya, efek psikologi yang diterima oleh para serdadu dari tempat hiburan adalah sesuatu yang paling mendalam, maka dari itu dipercaya bahwa peningkatan moral dari para serdadau, pemeliharaan disiplin, pencegahan kejahatan dan penyakit kelamin, bergantung pada suksesnya pengawasan dari ini (tempat hiburan).

Sebelum istilah jugun ianfu dikenal, istilah yang digunakan adalah joshi gun. Istilah joshi gun ini dapat diartikan sebagai tentara perempuan. Semenjak wilayah jajahan Jepang meluas ke berbagai penjuru, tentara-tentara perempuan ini turut dikirim ke wilayah-wilayah pendudukan Jepang.

Berdasarkan undang-undang zaman kontemporer setelah Perang Dunia II, perempuan yang berhubungan dengan pelacuran dibagi menjadi tiga, yaitu geigi, shōgi, dan shakufu. Yang paling dekat hubungannya dengan pelacuran di kalangan militer adalah shōgi, yang dilakukan di bawah kōshōseido. Menurut Takemura Tamio dalam bukunya yang berjudul Haishō Gundō, kōshōseido tidak dapat disamakan dengan pelacuran, karena adanya perasaan sukarela untuk mengabdi kepada negara. Di dalam sistem ini juga terkandung elemen feodal yang cukup kuat. Hal ini dapat terlihat dalam ungkapan berikut ini:

Kōkenryokuniyotte kōninsaretabaishun

Artinya: “pelacur yang diberikan izin demi kepentingan umum”

Hōkentekiyōsoga tabunni nokoshitabaishunno shikumi

Artinya: “pelacur yang kemungkinan menjadi unsur penting yang tersisa dalam feodalisme”

Pada awal pembentukan sistem ini, pemerintah Jepang berharap dengan adanya hiburan yang layak bagi para tentara akan meningkatkan moral dan kinerja dari para tentaranya. Selain itu, dengan pengadaan hiburan yang terkontrol, diharapkan penyebaran penyakit kelamin akan lebih mudah untuk diatur dan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan ijin istirahat bagi tentara. Untuk menunjang rencana tersebut, maka dibangunlah tempat-tempat hiburan bagi tentara di garis depan. Di tempat itulah para jugun ianfu ditempatkan untuk melayani tentara Jepang. Tempat hiburan tersebut tersebar hampir di seluruh koloni Jepang dan tempat hiburan yang pertama berlokasi di dekat kota Shanghai,
Cina, pada tahun 1932.

Seiring dengan meluasnya koloni Jepang, maka jumlah tempat-tempat hiburan bagi para tentara pun semakin bertambah. Jumlah tempat hiburan tersebut didokumentasikan pada laporan dari Kepala Seksi Urusan Medis dari Biro Medis dalam Kementrian Peperangan, Kimbara Setsuzō, saat rapat kepala seksi kementrian pada 3 September 1942. Laporan tersebut merincikan rumah-rumah hiburan yang didirikan di luar Jepang, yaitu 100 rumah di Cina Utara, 140 rumah di Cina Pusat, 40 rumah di Cina Selatan, 100 rumah di Asia Tenggara, 10 rumah di Barat-daya Pasifik, 10 rumah di Sakhalin Selatan (totalnya adalah 400 rumah).

Para jugun ianfu awalnya direkrut melalui cara yang cukup konvensional, yaitu dengan memuat iklan yang menawarkan pekerjaan sebagai pelacur. Iklaniklan tersebut muncul pada surat kabar yang terbit di Jepang dan koloni-koloni Jepang, seperti di Korea, Manchukuo, dan dataran Tiongkok. Tanggapan atas iklan tersebut awalnya cukup baik. Banyak perempuan yang dengan sukarela mendaftarkan diri mereka sendiri dan ada juga perempuan-perempuan yang dijual oleh keluarganya sendiri karena alasan ekonomi.

Perekrutan jugun ianfu yang tampak pada surat kabar Korea
Gambar Perekrutan jugun ianfu yang tampak pada surat kabar Korea

Pada salah satu iklan perekrutan jugun ianfu yang diterbitkan di surat kabar Korea, 27 November 1944, dikatakan bahwa tentara Jepang sangat membutuhkan perempuan penghibur berusia 18—30 tahun. Di dalamnya juga di cantumkan tempat tujuan pendaftaran, gaji bulanan, waktu bekerja, dan tujuan penempatan kerja.

Jawatan Khusus Cabang Shanghai, badan yang membantu pembangunan tempat hiburan, terlibat dalam pembentukan tempat hiburan ini secara tersembunyi. Mereka memiliki agen yang bertindak sebagai pesuruh, yang kemudian merekrut sebanyak mungkin perempuan untuk dijadikan jugun ianfu. Pada tahun 1932, agen tersebut menjelajah ke pelosok pulau Kyushu dan merekrut beberapa karayuki-san asal Jepang yang bebas untuk bepergian.

Setelah itu agen tersebut merekrut orang Korea yang tersisih dengan dalih akan dijadikan sebagai juru masak ataupun tukang cuci untuk tentara. Perempuan-perempuan ini kemudian dipekerjakan di tempat hiburan yang berlokasi di antara Shanghai dan Nanking, di bawah pengawasan langsung tentara Jepang.


Gambar Jugun Ianfu asal Korea bersama dengan tentara Jepang.

Apabila ditinjau dari sudut organisasi, menurut Tanaka Yuki dalam bukunya Japan’s Comfort Women: Sexual Slavery and Prostitution During World War II and The US Occupation, maka rantai kekuasaan dalam pembentukkan sistem jugun ianfu pada waktu itu adalah berpusat pada pemerintah kekaisaran Jepang, lalu turun pada Kementrian Perang dan Kepala Umum Staf Tentara Jepang. Selanjutnya, kekuasaan tersebut diturunkan kepada staf tentara di wilayah pendudukan Jepang, seperti Korea, Taiwan, dan sebagainya, termasuk Indonesia. Staf tentara di wilayah pendudukan biasanya memiliki agen khusus untuk merekrut para perempuan untuk dijadikan jugun ianfu.

Menurut Tanaka Yuki, pada Kementrian Peperangan Jepang tidak ada seksi khusus yang merancang sistem dari jugun ianfu. Tetapi ada biro yang bersangkutan yang memberikan instruksi kepada para tentara yang kemudian juga memberikan instruksi yang berkaitan dengan sistem tersebut. Contohnya, Biro Administrasi Militer memberikan instruksi yang menyangkut dengan kedisiplinan militer dan juga moral pada pasukan Jepang, yang untuk selanjutnya juga memberikan instruksi pada kedisiplinan dan moral tersebut.

Digambarkan bahwa tempat hiburan tersebut berisi sepuluh blok barak seperti gubuk-gubuk, menjadi satu dengan gubuk pengawas, dan tiap gubuknya ditutupi dengan tirai. Setiap gubuk dibagi menjadi sepuluh kamar-kamar kecil, dan setiap kamar diberi nomor, serta memiliki pintu pemisah. Umumnya tempattempat hiburan lainnya juga didesain seperti ini.


Gambar Sketsa Tempat Hiburan yang berada di Blok Militer Jepang

Tempat hiburan semacam ini kemudian menyebar dengan luas dan memiliki peraturannya masing-masing. Peraturan-praturan yang ditegakkan bergantung dari pemerintah yang berkuasa di tiap wilayah. Umumnya peraturan-peraturan itu berisi mengenai jam operasi tempat hiburan, panjangnya waktu tiap kunjungan, dan skala pembayaran. Bahkan mereka juga menyantumkan harga apabila pengunjungnya ingin melakukan seks tanpa kondom. Setelah daerah-daerah pendudukan Jepang tersebut menjadi lebih maju, contohnya seperti Shanghai, pengoperasian tempat hiburan yang sebelumnya ditangani secara langsung oleh tentara menjadi berubah ditangani oleh operator privat.

Hal ini dikarenakan dengan pendirian operator privat maka akan lebih mudah untuk ditangani atau diakses, di samping itu juga agar dapat menyediakan servis yang lebih atraktif bagi para tentara. Alasan lainnya adalah antisipasi Jepang akan adanya pengamatan dari dunia internasional mengenai ‘tentara yang menjalankan servis prostitusi’.

Walaupun Korea yang menjadi daerah sumber perekrutan para jugun ianfu, tetapi di daerah ini tidak banyak tampak didirikan tempat hiburan. Sejak dipindahkannya tentara Jepang ke zona perang aktif, jumlah tentara Jepang di daerah semenanjung Korea menjadi semakin kecil. Fungsi utama daerah Korea pada waktu itu berubah hanya menjadi tempat transit tentara Jepang. Seiring dengan menyebarnya daerah kekuasaan Jepang, maka penyebaran perempuan-perempuan jugun ianfu pun semakin meluas. Pada tahun 1942, Menteri Urusan Luar Negeri Jepang, Tōgō Shigenori, menginstruksikan stafnya untuk menyertakan para jugun ianfu dengan dokumen perjalanan militer dan tidak lagi memerlukan paspor untuk perjalanan ke luar negeri.

Timbul suatu pertanyaan mengenai mengapa para perempuan jugun ianfu hampir selalu berasal dari Taiwan, Cina, maupun berbagai wilayah Asia Tenggara, dan sebagian besarnya adalah Korea?

Jawabannya adalah karena Jepang mengenal kesadaran akan status yang terkait dengan etnis atau dikatakan sebagai rasisme. Jepang merasa bahwa bangsanya patut disejajarkan dengan bangsa-bangsa Barat dan merasa bahwa bangsa Asia lain berada di bawahnya. Dengan adanya perasaan rasis kepada negara-negara di Asia, maka Jepang merasa perempuan-perempuan di wilayah tersebut pantas untuk menjalankan peran sebagai jugun ianfu. Pada skala pemilihan orang Jepang terhadap jugun ianfu, tempat pertama diduduki oleh perempuan Jepang dan Okinawa, setelah itu ditempati oleh perempuan Korea, Cina, dan yang terakhir adalah perempuan Asia Tenggara yang memiliki kulit lebih gelap.

Begitu pula dengan biaya yang dikenakan pada tempat hiburan, bergantung pada rangking, sering kali dipengaruhi oleh etnis jugun ianfu tersebut.

Perempuan Korea yang awalnya digunakan oleh Jepang sebagai jugun ianfu merupakan perempuan berkebangsaan Korea atau biasa disebut dengan chōseijin, dan bukanlah perempuan warga negara Korea atau biasa disebut dengan kankokujin. Dengan kata lain, perempuan-perempuan Korea tersebut tidak tinggal pada wilayah Korea, melainkan pada daerah boneka Jepang. Namun seiring dengan tingginya permintaan akan jugun ianfu, maka munculah alternatif-alternatif perempuan dari wilayah yang berlainan seperti Cina, Filipina, dan wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yoshida Seiji, penulis buku My War Crimes: The Forced Draft of Koreans yang menceritakan pengalamannya pada saat Perang Dunia II di daerah Shanghai, pada setiap resimen terdapat paling tidak satu buah tempat hiburan. Dalam tempat hiburan tersebut umumnya berisi beberapa perempuan paruh-baya Jepang dan dua puluh sampai tiga puluh orang perempuan Korea. Bagi pegawai Jepang senior, disediakan klab khusus yang mewah dengan hiburan yang bertipe geisha. Dalam bukunya juga diceritakan pada saat ia memimpin ekspedisi ‘perekrutan budak’ atau mungkin lebih tepat dikatakan perampasan orang-orang untuk dijadikan budak. Pada waktu itu ia merekrut ribuan buruh laki-laki dan sekitar 1000 perempuan untuk menjadi penghibur.

Yamatani Tetsuo, seorang pembuat film mengenai jugun ianfu, menganalisa dan menggeneralisasikan mengenai jugun ianfu Cina menjadi tiga kategori, yaitu perempuan yang miskin dikarenakan perang dan tidak lagi merasa berarti, lalu perempuan yang dipaksa untuk masuk ke tempat hiburan, serta perempuan yang secara sukarela menjadi jugun ianfu untuk menjadi mata-mata bagi tentara Cina.

Gangguan kesehatan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dari pekerjaan semacam ini. Para tentara dianjurkan untuk menggunakan alat pengaman atau kondom, namun tidak sedikit dari mereka yang menggunakan kondom yang telah kotor, bahkan banyak juga yang tidak mau menggunakan benda tersebut. Kondom-kondom yang disediakan di tempat hiburan menjadi tanggung jawab dari Departemen Keuangan Tentara serta Markas Besar Logistik. Mereka bertanggung jawab mengirimkan kondom ke wilayah-wilayah yang diduduki oleh tentara Jepang dan juga memastikan kondisi kondom yang siap pakai. Pada tahun 1942, contohnya, terhitung 32,1 juta kondom yang telah dikirim ke berbagai unit di luar Jepang.

Walaupun demikian, tampaknya masih banyak daerah yang tidak mendapatkan kondom. Terkadang, pada saat pria-pria tersebut memiliki kemauan untuk menggunakan kondom, justru benda tersebut tidak disediakan pada tempat hiburan. Yang menjijikkan adalah adanya kabar bahwa ada beberapa tempat hiburan yang melakukan pencucian dan pemakaian kembali kondom yang sebelumnya telah digunakan.

Pada ruangan tempat jugun ianfu melayani, umumnya disediakan semacam pembersih khusus untuk membersihkan kemaluan untuk para lelaki yang telah melakukan hubungan seks. Begitu juga para jugun ianfu yang juga diharapkan untuk membersihkan kemaluan mereka setelah melakukan hubungan seks, walaupun pada akhirnya mereka hanya sempat membasuh kemaluan mereka dengan kapas.

Selain itu juga terdapat pemeriksaan medis yang dilakukan secara perodik terhadap para jugun ianfu. Terkadang dilakukan oleh petugas medis yang memiliki latar belakang ginekolog, namun lebih sering dilakukan oleh orang yang kurang berpengalaman di bidang ini. Mereka hanya memeriksa apabila ada perubahan warna ataupun nanah pada kemaluan jugun ianfu. Menurut keterangan dari Madam X, salah seorang jugun ianfu, ada salah seorang perempuan yang terkena penyakit kelamin, setelah itu perempuan tersebut diambil dan dipukuli sampai meninggal.

Di tempat hiburan militer Jepang, hak-hak reproduksi perempuan sangat diabaikan. Walaupun terkena penyakit kelamin merupakan sesuatu yang buruk bagi para perempuan ini, namun ada lagi yang lebih buruk yaitu kehamilan. Untuk mencegah adanya kasus kehamilan, umumnya perempuan-perempuan itu diberikan semacam ramuan dari tumbuh-tumbuhan untuk mencegah kehamilan. Apabila sudah terjadi kehamilan maka mereka dipaksa untuk mengaborsi janin mereka dengan menggunakan pil. Ada juga tempat hiburan yang memperbolehkan untuk melahirkan dengan ketentuan-ketentuan tertentu, namun setelah itu jugun ianfu tersebut harus kembali melayani para tentara. Selain dengan obat-obatan, ada juga tempat hiburan yang mensterilisasi jugun ianfu agar tidak lagi dapat menstruasi.

Sejalan dengan meluasnya kekuasaan tentara Jepang, maka bertambah pula kebutuhan akan tempat hiburan bagi tentara Jepang, dengan kata lain prostitusi yang berbasis sukarela menjadi tidak mencukupi. Pada daerah-daerah terpencil yang membutuhkan lapangan pekerjaan, maka pekerjaan dengan bayaran yang baik menjadi suatu hal yang menarik agar dapat mencukupi kebutuhan mereka. Namun pada saat taktik tersebut tidak dapat berjalan lancar guna merekrut jugun ianfu, maka perekrutan langsung pun menjadi suatu hal yang biasa.

Perekrutan langsung ini adalah perekrutan yang dilakukan secara langsung oleh polisi ataupun pemerintah lokal, yang biasanya menggunakan kekerasan terhadap para perempuan yang mereka rekrut. Mereka mendatangi rumah-rumah penduduk, kemudian menculik anak gadisnya untuk dijadikan jugun ianfu. Pada akhirnya, perempuan dikondisikan untuk menjadi budak seks di bawah Undang-Undang Umum Mobilisasi Nasional yang begitu mengikat.

Degradasi Jugun Ianfu


Terdapat pernyataaan Menteri Kehakiman Nagano yang ditulis pada buku Jugun Ianfu Mondai no Rekishiteki Kenkyuu, mengenai pelacuran yang dilakukan oleh Jepang, Inggris dan Amerika yang kemudian menuai kontroversi. Adapun pernyataan Nagano tersebut berbunyi:

Ada perbedaan derajat menyangkut jugun ianfu, walaupun toh Amerika dan Inggris melakukan hal yang sama. Jugun ianfu merupakan pelacuran legal, dan apabila dilihat dari kacamata sekarang, maka tidak bisa dikatakan sebagai pelecehan perempuan ataupun diskriminasi terhadap orang Korea.

Kesalahan fatal pernyataan Nagano terletak ketika ia menyamakan jugun ianfu dengan pelacuran yang juga terjadi di kalangan Amerika dan Inggris, sudah jelas bahwa latar belakang pihak Jepang berbeda berbeda dengan kedua pihak sebelumnya. Dalam sistem pelacuran yang dilakukan oleh Amerika dan Inggris, Departemen Peperangannya tidak mengadopsi kebijakan yang memperbolehkan pendirian tempat hiburan di bawah pengawasan mereka. Sedangkan pelacuran yang dilakukan oleh Jepang adalah suatu sistem yang di bawahi oleh Departemen Peperangan Jepang.

Selain itu, dalam pelacuran jugun ianfu yang dilakukan oleh Jepang banyak terdapat tipu daya yang dilakukan terhadap perempuan jugun ianfu. Salah satunya adalah tawaran untuk disekolahkan oleh pemerintah Jepang. Bahkan banyak pula yang diculik dari keluarganya untuk dijadikan perempuan penghibur. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelacuran yang dilakukan oleh Jepang adalah suatu bentuk pemaksaan terhadap kaum perempuan demi kepentingan tentara Jepang.

Sistem yang diterapkan oleh tentara Jepang yang pada awalnya merupakan suatu sistem yang legal. Seperti yang ditunjukkan oleh Yamatani Tetsuo, seorang pembuat film mengenai perempuan penghibur di Okinawa, pada artikel yang mucul di koran Asahi Tokyo, Jepang merekam bukti-bukti mengenai adanya tempat-tempat hiburan. Hal ini adalah suatu yang biasa di kalangan orang Jepang karena tempat hiburan semacam itu dianggap suatu kesenangan yang normal. Kempeitai atau polisi Jepang menyimpan foto foto dari perempuanperempuan jugun ianfu. Namun, sistem ini berubah menjadi sebuah eksploitasi perempuan setelah wilayah pendudukan Jepang semakin luas dan jumlah perempuan penghibur yang sebelumnya ada tidaklah mencukupi.

Banyak perempuan yang diambil secara paksa untuk dijadikan penghibur, bahkan mobilisasi perempuan-perempuan tersebut disembunyikan, dan dicatat pada daftar transportasi sebagai unit dari ‘amunisi’, ‘persediaan kantin’. Barang kali hanya sedikit yang tidak disembunyikan identitasnya sebagai manusia.

Berdasarkan dokumen dari Tentara Kwantung yang mengatakan bahwa para perempuan jugun ianfu diperlakukan sebagai ‘persediaan militer’, dapat diestimasikan bahwa jumlah perempuan yang dieksploitasi oleh Jepang berkisar antara 80.000—100.000 orang perempuan. Pada rencana militer Jepang yang dibuat pada Juli 1941, terdapat 20.000 perempuan jugun ianfu yang dibutuhkan untuk 800.000 tentara Jepang, atau dengan kata lain satu orang perempuan untuk 40 orang tentara. Namun, terdapat estimasi yang berbeda dari beberapa peneliti. Berikut ini tabel mengenai perkiraan jumlah jugun ianfu semasa Perang Pasifik.

Seorang peneliti Jepang, Kurahashi Masanao, penulis buku Jugun Ianfu Mondai no Rekishiteki Kenkyuu, mengklasifikasikan jugun ianfu ke dalam dua tipe, yaitu :

  • PSK atau Pelacur :

    • Mendapat upah
    • Menemani tentara, seperti geisha
    • Terdiri dari perempuan Jepang dan Korea, namun jumlah perempuan Korea jauh lebih banyak
    • Sistem yang dibentuk untuk mencegah perkosaan di medan perang
    • Dilakukan dengan kesadaran sang perempuan untuk mencari nafkah
  • Budak Seks (baishunfu) :

    • Tidak diupah
    • Melayani kebutuhan seksual prajurit
    • Terdiri dari perempuan dari setiap daerah yang diduduki Jepang, seperti Cina, Korea, pulau-pulau Pasifik, Asia Tenggara
    • Terjadi akibat luasnya wilayah ekspansi Jepang, sehingga baishunfu tidak dapat mencukupi, kurangnya dana
    • Direkrut secara paksa, dibujuk akan disekolahkan atau dipekerjakan

Sebenarnya bentuk seperti baishunfu telah terbentuk sejak perang antara Jepang dengan Rusia, pada saat misi di Siberia tahun 1918—1922. Setelah itu, sistem jugun ianfu di bawah kepemimpinan militer Jepang pertama kali di bentuk Shanghai pada tahun 1932. Kemudian berkembang dengan masuknya perempuan-perempuan Korea pada saat insiden di Manchuria tahun 1933.

Seiring dengan ekspansi Jepang selama 15 tahun (1931—1945), sistem ini berubah menjadi sebuah eksploitasi terhadap perempuan. Selain itu dengan adanya penolakan pengeluaran visa perjalanan bagi pelacur Jepang oleh Menteri Luar Negeri Jepang pada waktu itu, maka sistem yang sebelumnya telah diterapkan mengalami hambatan yang cukup besar. Hal itu membuat tentara Jepang mencari perempuan dari wilayah-wilayah di mana mereka ditempatkan dengan berbagai macam cara.

Pada wilayah perkotaan, iklan konvensional melalui orang ketiga disalahgunakan bersama dengan penculikan. Namun, di garis depan, terutama di negara di mana orang ketiga jarang tersedia, militer secara langsung memerintahkan pemimpin lokal untuk menyediakan perempuan untuk rumah bordil. Situasi ini menjadi buruk ketika perang berlanjut. Di bawah tekanan perang, militer menjadi tidak bisa menyediakan persediaan perempuan yang cukup untuk tentara Jepang, lalu sebagai tanggapan dari hal tersebut, tentara Jepang meminta atau merampok perempuan dari daerah setempat.

Di wilayah Korea dikenal adanya The Women’s Voluntary Service Corps, yaitu sebuah badan yang beranggotakan perempuan-perempuan yang secara sukarela mengabdikan diri mereka dalam perang. Seharusnya mereka dipekerjakan di pabrik untuk membuat barang-barang militer, namun pada kenyataannya sering kali disalahgunakan menjadi suatu tindakan prostitusi.

Mereka yang tergabung dalam lembaga-lembaga sukarela semacam ini sering kali diberikan janji-janji apabila Jepang menang dalam perang, maka mereka akan mendapatkan juga kemenangan seperti apa yang diterima oleh pihak Jepang. Orang-orang Korea yang minim pengetahuan mengenai Jepang maka akan dengan mudah menerima janji-janji seperti ini. Pada akhirnya mereka menyerahkan diri, termasuk menyerahkan anak-anak perempuan mereka kepada pihak tentara Jepang.

Anak-anak perempuan dari kelas tuan tanah dan pejabat lokal umumnya menjalankan peraturan ini, karena pihak Jepang memiliki wewenang untuk mengatur mereka dengan dalih untuk mengatur populasi pedesaan. Seorang guru sekolah dasar mengabarkan bahwa ia diinstruksikan untuk memilih sejumlah dari anak didiknya yang telah senior untuk dimasukkan dalam daftar pekerja, dengan spesifikasi yaitu harus berasal dari keluarga yang miskin yang lebih mungkin lebih mudah setuju dikarenakan alasan finansial.

Jugun Ianfu Setelah Perang Dunia II


image

Penjajahan Jepang terhadap perempuan-perempuan malang ini berakhir pada saat dijatuhkannya bom di Horoshima dan Nagasaki, Jepang. Setelah itu pihak Jepang menarik seluruh pasukannya ke Jepang untuk memperbaiki keadaan Jepang yang porak-poranda. Bersamaan dengan itu, maka para jugun ianfu dilepaskan oleh tentara Jepang. Sebagian dari mereka ada yang dikembalikan ke tempat asal mereka, namun sebagian sisanya tinggal di tempat yang sama, yaitu tempat di mana mereka ditinggalkan oleh tentara Jepang.

Kim Hak Sun adalah jugun ianfu pertama asal Korea yang bersedia menceritakan kisah hidupnya kepada dunia luas sebagai bagian dari aksinya untuk menuntut pemerintah Jepang dengan legal. Berkat keberaniannya, banyak para jugun ianfu yang mengikuti jejaknya. Perempuan-perempuan itu kemudian menuntut haknya pada Tokyo District Court, 6 Desember 1991.

Di persidangan itu, Kim Hak Sun menuntut adanya kompensasi bagi para jugun ianfu dan juga adanya pengakuan dari pemerintah Jepang atas perekrutan mereka sebagai perempuan penghibur. Namun yang disayangkan adalah sulitnya ditemukan dokumen yang secara resmi berkaitan dengan adanya tempat hiburan para tentara Jepang ini. Setelah Perang Dunia II, dokumen-dokumen semacam ini dihancurkan oleh pihak Jepang, sehubungan dengan dokumen-dokumen resmi tersebut dikhawatirkan nantinya akan dijadikan sebagai bukti kejahatan Jepang pada masa Perang Dunia II.

Pada tahun 1996 pemerintah Jepang membentuk Asian Women Fund sebagai penebus kesalahan mereka pada masa lalu. Lembaga swadaya masyarakat ini dibentuk untuk mengumpulkan dana masyarakat guna membayar kompensasi para perempuan korban perbudakan seksual balatentara Jepang

Sumber : Dimar Kartika Listiyanti, FIB UI, 2008

Referensi :

  • Andrew N. Nelson, Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia, Jakarta: Kesaint Blanc, 2005.
  • George L. Hicks, Comfort Women: Japan’s Brutal Regime of Enforced Prostitution in the Second World War, London: Paperback, 1997.
  • Yoshimi Yoshiaki, Comfort Women: Sexual Slavery in the Japanese Military During World War II, Suzanne O’Brien (Trans.), New York: Columbia University Press, 2000
  • Masanao Kurahashi, Jugun Ianfu Mondai no Rekishiteki Kenkyuu, Tokyo, 1994.

Jugun ianfu merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan yang dilakukan Jepang pada masa pendudukannya. Tidak hanya di Indonesia tetapi di negara-negara yang diduduki Jepang pun terdapat jugun ianfu.

Tujuannya adalah agar tentara Jepang tidak melakukan hubungan seksual dengan pelacur atau melakukan kekerasan terhadap perempuan pribumi. Hal inilah memicu banyak tentara Jepang yang terkena penyakit kelamin. Kejadian tersebut menyulitkan pemerintah Jepang dalam melakukan ekspansinya ke daerah lainnya, karena dapat mengganggu mental para tentaranya. Sehingga pemerintah harus mensterilkan tempat-tempat pelacuran, yaitu dengan membuat tempat khusus bagi para tentaranya.

Kemudian mengurangi tindak perkosaan terhadap penduduk. Kebutuhan tentara Jepang terhadap perempuan menyebabkan pemerintah Jepang harus mendirikan kamp-kamp khusus perempuan berdampingan dengan barak tentara di garis depan.

Secara perlahan kamp-kamp khusus ini menjadi sebuah sistem tersendiri, yaitu dengan membuat jaringan yang akan mengatur perekrutan hingga kepada pengiriman perempuan-perempuan ke berbagai tempat di daerah yang di duduki oleh Jepang. Sistem ini bahkan melibatkan pejabat setempat untuk perekrutan perempuan-perempuan pribumi. Sehingga menjadi suatu sistem yang terstruktur selama pendudukan Jepang berlangsung. Tujuan Jepang adalah untuk mendirikan persemakmuran Asia Timur Raya.

Jepang sudah masuk ke dalam masa Imperialisme Modern layaknya bangsa Barat. Maka yang dibutuhkan oleh Jepang adalah persediaan bahan mentah yang melimpah dan menjadikan wilayah yang sudah diduduki sebagai tempat pemasarannya. Ketika Jepang mulai melakukan invasi ke negara-negara disekitarnya, seperti Korea dan Cina. Dengan cepat Jepang mulai menginvasi negara-negara lainnya untuk sampai ke Indonesia.

Selama invasi berlangsung Jepang juga mulai memanfaatkan potensi yang ada di negara tersebut. Ketika Korea dan Cina sudah diduduki Jepang, para tentaranya banyak yang pergi ke tempat pelacuran. Selain itu, tindak perkosaan terhadap perempuan pribumi pun semakin meningkat. Tentara Jepang tidak segan untuk melakukan pelecehan seksual kepada perempuan, selain itu mereka melakukannya secara bersama-sama dan bergiliran.

Dampaknya banyak tentara yang terkena penyakit kelamin. Dr. Aso Tetsuo yang merupakan salah satu dokter dari Jepang didatangkan untuk meneliti penyebab menyebarnya penyakit kelamin. Kemudian Dr. Aso Tetsuo berpendapat bahwa sebagian besar para tentara yang terkena penyakit kelamin tersebut didapatkan karena melakukan hubungan seksual dengan banyak perempuan, seperti di tempat pelacuran.

Oleh karena itu, Dr. Aso Tetsuo menyarankan agar pemerintah pusat di Jepang untuk menyediakan tempat khusus pelacuran bagi para tentara tersebut. Langkah awalnya Dr. Aso Tetsuo menyarankan dengan mendatangkan Karayuki dari Jepang. Kedatangan Karayuki tersebut setidaknya dapat mengurangi jumlah tentara yang terjangkit penyakit kelamin.

Ketika jumlah tentara semakin banyak, maka kebutuhan tentara Jepang terhadap perempuan penghibur pun semakin meningkat. Pemerintah menyarankan untuk mencari sendiri perempuan pribumi di daerah yang didudukinya. Maka dibuatlah sistem jugun ianfu untuk mengatasi masalah kekurangan jumlah perempuan penghibur.

Inilah alasan mengapa Jepang sangat memerlukan sistem yang disebut dengan jugun ianfu pada awal pendudukannya di Korea dan Cina. Kemudian sistem jugun ianfu ini dijalankan diseluruh barak tentara Jepang berada. Tetapi, dilokasi-lokasi tertentu seperti di dalam kota pun terdapat jugun ianfu.

Jugun Ianfu merupakan perempuan penghibur yang mendampingi tentara Jepang selama periode perang. Sesuai namanya, sejak tahun 1942-1945 atau periode Perang Asia Pasifik mereka diharuskan untuk memenuhi kebutuhan biologis tentara militer Jepang secara kasar, tidak manusiawi, dan dalam jumlah besar. Para Jugun Ianfu sebenarnya mengerti mereka telah melawan rambu normalitas ataupun budaya Timur, namun tipu muslihat, ancaman, dan teror tentara Jepang berhasil menaklukan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain selain menjadi Jugun Ianfu .

Awal Mula Keberadaan Jugun Ianfu

Ianjo resmi pertama Jugun Ianfu pertama kali didirikan pada tahun 1932 di Shanghai. Pendirian itu dilatarbelakangi oleh merebaknya kasus perkosaan yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa Perang Jepang-Cina. Perkosaan brutal itu menyebabkan penyakit kelamin merebak di antara tentara-tentara Jepang.

Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Oleh sebab itu muncul gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal, menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang.

Pada awal pembentukan sistem Jugun Ianfu , pemerintah Jepang berharap dengan adanya hiburan yang layak bagi para tentara dapat meningkatkan moral dan kinerja serta menghindari penyakit kelamin tentaranya. Untuk menunjang rencana itu maka dibangunlah tempat-tempat hiburan/ Ianjo bagi tentara digaris depan. Di Ianjo-Ianjo inilah para Jugun Ianfu ditempatkan untuk memuaskan nafsu tentara Jepang. Sistem Jugun Ianfu dibuat secara terorganisir dengan perencanaan yang matang.

Pada awal Perang Asia Pasifik, pemerintah Jepang merekrut Jugun Ianfu secara masif melalui cara konvensional yaitu dengan memuat iklan yang menawarkan pekerjaan sebagai pelacur. Iklan-iklan tersebut muncul pada surat kabar yang terbit di Jepang dan koloni-koloni Jepang, seperti di Korea, Manchukuo, dan dataran Tiongkok. Tanggapan atas iklan tersebut awalnya cukup baik. Banyak perempuan yang dengan sukarela mendaftarkan diri mereka sendiri dan ada juga perempuan-perempuan yang dijual oleh keluarganya sendiri karena alasan ekonomi.

Meskipun demikian, banyak wanita yang tertipu atau ditipu agar bergabung dengan bordil militer. Bahkan Jepang memaksa gadis muslim Hui di Cina untuk melayani mereka sebagai budak seks dengan mendirikan sekolah “Huimin Girl ” dan mendaftarkan anak perempuan Hui ke sekolah untuk dijadikan sebagai Jugun Ianfu.

Kehidupan Sehari-hari para Jugun Ianfu

Gangguan kesehatan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dari pekerjaan semacam ini. Oleh karena itu, tentara dianjurkan untuk menggunakan alat pengaman atau kondom, namun tidak sedikit dari mereka yang menggunakan kondom yang telah kotor, bahkan banyak juga yang tidak mau menggunakan benda tersebut.

Kondom-kondom yang disediakan di tempat hiburan menjadi tanggung jawab dari Departemen Keuangan Tentara serta Markas Besar Logistik. Mereka bertanggung jawab mengirimkan kondom ke wilayah-wilayah yang diduduki oleh tentara Jepang dan juga memastikan kondisi kondom yang siap pakai. Pada tahun 1942, contohnya, terhitung 32,1 juta kondom yang telah dikirim ke berbagai unit di luar Jepang.

Di tempat hiburan militer Jepang, hak-hak reproduksi perempuan sangat diabaikan. Walaupun terkena penyakit kelamin merupakan sesuatu yang buruk bagi para perempuan ini, namun ada lagi yang lebih buruk yaitu kehamilan. Untuk mencegah adanya kasus kehamilan, umumnya perempuan-perempuan itu diberikan semacam ramuan dari tumbuh-tumbuhan untuk mencegah kehamilan. Apabila sudah terlanjur hamil maka mereka dipaksa untuk mengaborsi janin mereka dengan menggunakan pil.

Namun ada juga tempat hiburan yang memperbolehkan para Jugun Ianfu untuk melahirkan dengan ketentuan-ketentuan tertentu, tetapi setelah itu mereka harus kembali melayani para tentara. Selain dengan obat-obatan, ada juga tempat hiburan yang mensterilisasi Jugun Ianfu agar tidak lagi dapat menstruasi. Sejalan dengan meluasnya kekuasaan tentara Jepang, maka bertambah pula kebutuhan terhadap tempat hiburan bagi tentara Jepang, dengan kata lain prostitusi yang berbasis sukarela menjadi tidak mencukupi. Pada daerah-daerah terpencil yang membutuhkan lapangan pekerjaan, maka pekerjaan dengan bayaran yang baik menjadi suatu hal yang menarik agar dapat mencukupi kebutuhan mereka.

Namun pada saat taktik tersebut tidak dapat berjalan lancar guna merekrut Jugun Ianfu , maka perekrutan langsung pun menjadi jalan keluar. Perekrutan langsung ini adalah perekrutan yang dilakukan secara langsung oleh polisi ataupun pemerintah lokal, yang biasanya menggunakan kekerasan terhadap para perempuan yang mereka rekrut.Mereka mendatangi rumah-rumah penduduk, kemudian menculik anak gadisnya untuk dijadikan Jugun Ianfu . Pada akhirnya, perempuan dikondisikan untuk menjadi budak seks di bawah Undang-Undang Umum Mobilisasi Nasional yang begitu mengikat.

Menjadi Jugun Ianfu yang di paksa adalah derita sepanjang hari. Terdapat kebutuhan hidup para Jugun Ianfu , sikap Jepang dapat dibedakan dalam dua priode yaitu priode awal pendudukan, yang ditandai oleh kelimpahan, di mana kebutuhan bagi para Jugun Ianfu terpenuhi, seperti makanan bergizi, obat-obatan, sampai pada sarana mandi, dan periode sulit, pada sekitar tahun 1943, yang ditandai dengan makin menurunya persediaan makanan dan penjatahan yang ketat. Sedangkan untuk hiburan para Jugun Ianfu , pihak pengelola rumah bordil tidak memberikan fasilitas khusus kecuali di Telawang berupa tiket untuk menyaksikan sandiwara. Di dekat rumah bordil tersebut ada pula rumah makan yang terkadang Jugun Ianfu diajak oleh tamunya untuk makan dan minum di rumah makan tersebut

Salah satu praktek menarik dari rumah bordil Jepang adalah adanya sistem penggantian nama, dari nama lokal menjadi nama Jepang. Semua orang yang direkrut Jepang akan langsung diberi nama Jepang dan tidak boleh lupa menggunakanya.

Para Jugun Ianfu tidak tahu persis mengapa ada penggantian nama tersebut. Mereka sendiri tidak berani mempermasalahkan penggantian nama tersebut. Namun mereka menduga bahwa penggantian tersebut dimaksudkan untuk memberi efek tersendiri bagi orang Jepang yang masuk kerumah bordil tersebut, karena mereka juga memanggil nama Jugun Ianfu dengan menggunakan nama Jepang tersebut

Jugun Ianfu di Indonesia

Di Indonesia sendiri praktek Jugun Ianfu mulai berlangsung sejak kedatangan tentara Jepang. IanjoIanjo didirikan di kota-kota penting di Jawa seperti Batavia, Bandung, Ambarawa, Muntilan dan Semarang. Tidak hanya perempuan-perempuan lokal yang dijadikan sebagai Jugun Ianfu, tetapi perempuan Belanda juga tidak luput dari proses perekrutan. Perempuan-perempuan yang tidak mau melayani nafsu Tentara Jepang diancam disiksa dan keluarganya akan dibunuh. Mereka tidak jarang dipukuli, ditendang, dan diperkosa pada malam pertama. Beberapa dari wanita ini diperkosa oleh pemimpin tentara dan juga oleh beberapa manajer rumah bordil. Salah satu petugas medis, yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap para wanita ini, juga memperkosa mereka. Menurut kesaksian, seorang wanita mencoba bunuh diri dengan mengambil kina dosis besar, tetapi gagal. Iia kemudian dikirim ke rumah sakit jiwa. Wanita lain juga mencoba untuk bunuh diri dengan memotong pembuluh darahnya, namun tidak berhasil. Beberapa wanita mencoba melarikan diri dari rumah bordil, tetapi mereka segera ditangkap dan dibawa kembali. Seorang gadis tidak sadarkan diri selama dua hari karena terkejut karena diperkosa. Beberapa hamil dan melakukan aborsi.

Penghibur telah menambah daftar panjang praktik kekerasan selama masa pendudukan Jepang. Perlakuan tidak manusiawi yang mereka terima menyebabkan trauma luar biasa pada saat itu. Tidak hanya itu, mereka juga harus menanggung warisan psikologis bahkan setelah setengah abad kemudian.

Terbongkarnya Praktek Jugun Ianfu

Pada Tahun 1992, untuk pertama kalinya Kim Hak Soon korban asal Korea Selatan membuka suara atas kekejaman militer Jepang terhadap dirinya ke publik. Setelah itu masalah Jugun Ianfu terbongkar dan satu persatu korban dari berbagai negara angkat suara. Kemudian tahun 2000 telah digelar Tribunal Tokyo yang menuntut pertanggung jawaban Kaisar Hirohito dan pihak militer Jepang atas praktek perbudakan seksual selama perang Asia Pasifik. Tahun 2001 final keputusan dikeluarkan di Tribunal The Haque. Setelah itu tekanan internasional terhadap pemerintah Jepang terus dilakukan. Pada Oktober 2007 Kongres Amerika Serikat mengeluarkan resolusi tidak mengikat yang menekan pemerintah Jepang memenuhi tanggung jawab politik atas masalah ini. Meski demikian pemerintah Jepang sampai hari ini belum mengakui apa yang telah diperbuat terhadap ratusan ribu perempuan di Asia pada masa perang Asia Pasifik.