Apa Yang Anda Ketahui Tentang Hukum Perlindungan Konsumen?

Secara hukum, dalam proses jual beli atau penggunaan jasa, konsumen dilindungi oleh hukum, yang dikenal dengan istilah hukum perlindungan konsumen. Lalu apa saja hal-hal yang dibahas dalam hukum perlindungan konsumen itu sendiri ?

Definisi Perlindungan Konsumen

Dalam Ketetapan MPR tahun 1993 terdapat arahan mengenai perlindungan konsumen yaitu melindungi kepentingan produsen dan konsumen. Berdasarkan arahan tersebut maka terdapat dua hal yang perlu mendapat perhatian yaitu adanya kelompok masyarakat produsen serta kelompok masyarakat konsumen dan kepentingan masing-masing kelompok perlu dilindungi. [1]

Arahan Ketetapan MPR tersebut maka terdapat pengertian mengenai hukum konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.[2]

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) disebutkan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.[3] Kepastian hukum untuk melindungi konsumen yang diperkuat oleh UUPK, memberi harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang yang dapat merugikan hak-hak konsumen. Selain itu dengan adanya UUPK dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan konsumen maka konsumen memiliki posisi berimbang. Jika terjadi suatu pelanggaran maupun tindakan yang merugikan terhadap hak-hak konsumen maka konsumen dapat menggugat atau menuntut pelaku usaha.[4]

Terdapat kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen yaitu:[5]

Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha;

Konsumen mempunyai hak;

Pelaku usaha mempunyai kewajiban;

Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional;

Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis sehat;

Keterbukaan dalam promosi barang dan jasa;

Pemerintah perlu berperan aktif;

Masyarakat juga perlu berperan serta;

Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang;

Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.

Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang/jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan masyarakat.[6]

Sedangkan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian khusus hukum konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan produk (barang/jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.[7]

Pada era reformasi, pada masa pemerintahan BJ Habibie, tanggal 20 April 1999, RUUPK diresmikan menjadi UUPK. Rasio diundangkannya UUPK adalah dalam rangka menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya.[8] Dengan diterbitkannya UUPK mengakibatkan tetap digunakannya hukum umum dalam mengatasi masalah perlindungan konsumen karena UUPK merupakan hukum khusus mengenai perlindungan konsumen yang dalam pelaksanaannya juga perlu ditunjang dengan hukum umum disamping hukum perlindungan konsumen.[9]

Dalam penjelasan UUPK, disebutkan bahwa kedudukan UUPK adalah dimaksudkan sebagai landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. UUPK merupakan ”payung” yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum perlindungan konsumen.[10] Penjelasan UUPK juga memberikan dasar terbukanya kemungkinan pembentukan undang-undang baru yang bermaksud untuk melindungi konsumen.[11]

Keberadaan UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen. Pasal 64 UUPK menyebutkan bahwa:[12]

  • Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang- undang ini.

  • Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum di bidang perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang perlindungan konsumen sebelum diundangkannya UUPK tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus atau tidak bertentangan dengan UUPK.[13]

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia terdapat beberapa asas dan tujuan guna memberikan arahan dalam implementasinya. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang kuat.

1. Asas Perlindungan Konsumen

Berdasarkan Pasal 2 UUPK, terdapat lima asas perlindungan konsumen yaitu:[14]

  1. Asas Manfaat.

Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

  1. Asas Keadilan.

Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

  1. Asas Keseimbangan.

Asas ini dimaksudkan untuk memberi keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material atau spiritual.

  1. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen.

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

  1. Asas Kepastian Hukum.

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam Pasal 3 UUPK, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut:[15]

  1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

  2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang/jasa;

  3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

  4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

  5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

  6. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau/jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Berbagai Pengertian Dasar dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Dalam Hukum Perlindungan Konsumen yang diatur UUPK terdapat beberapa pengertian dasar antara lain pengertian konsumen, pelaku usaha, dan pengertian mengenai barang dan jasa. Berikut akan dijabarkan satu persatu pengertian yang terdapat dalam hukum perlindungan konsumen.

1. Konsumen

Menurut UUPK Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[16] Konsumen, sebagai pemakai barang/jasa, memiliki sejumlah hak dan kewajiban yang perlu diketahui sebagai konsumen yang kritis dan mandiri sehingga apabila hak-haknya dilanggar konsumen dapat bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Berdasarkan Pasal 4 UUPK hak konsumen sebagai berikut.[17]

  1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang/jasa;

  2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

  3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa;

  4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan;

  5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

  6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

  7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

  8. Hak Untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

  9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan undang-undang lainnya.

Hak-hak dasar umum konsumen yang dikemukakan Presiden John F. Kennedy pada tanggal 15 Maret 1962 dalam Deklarasi Hak Konsumen merupakan dasar dari perumusan hak-hak konsumen dalam UUPK. Hak-hak dasar umum tersebut adalah:[18]

  • Hak untuk Mendapat atau Memperoleh Keamanan;

  • Hak untuk memperoleh informasi;

  • Hak untuk memilih;

  • Hak untuk didengarkan.

Masyarakat Eropa (Europose Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut:[19]

  • Hak perlindungan kesehatan dan keamanan;

  • Hak perlindungan kepentingan ekonomi;

  • Hak mendapat ganti rugi;

  • Hak atas penerangan;

  • Hak untuk didengar.

Konsumen juga memiliki sejumlah kewajiban yang harus diperhatikan agar selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dan hubungan dagang. Dalam UUPK kewajiban konsumen terdapat pada Pasal 5 yaitu:[20]

  • Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

  • Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

  • Membayar sesuai nilai tukar yang disepakati;

  • Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

2. Pelaku Usaha

Pelaku usaha menurut Pasal 1 ayat 3 UUPK adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.[21]

Pelaku usaha, sebagaimana juga konsumen, juga mempunyai hak dan kewajiban untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Hak pelaku usaha antara lain berdasarkan Pasal 6 UUPK:[22]

  1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

  2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

  3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

  4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

  5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sementara itu Pasal 7 UUPK mengatur tentang kewajiban pelaku usaha yaitu:[23]

  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

  2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

  3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

  5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

  6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

  7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Selain hak dan kewajiban pelaku usaha di atas, terdapat juga tanggung jawab pelaku usaha yang merupakan bagian dari kewajiban yang mengikat kegiatan pelaku usaha dalam berusaha yang biasa disebut dengan product liability (tanggung jawab produk). Product Liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer/manufacturer), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor,assembler) atau mendistribusikan (seller/distribitor) produk tersebut.[24]

Ada pula definisi lain tentang product liability yaitu suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi.[25]

Berdasarkan Pasal 19 ayat 1 UUPK, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang diderita konsumen akibat mengonsumsi barang/jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.[26]

Dalam Pasal 19 ayat 2 UUPK dijelaskan bahwa ganti rugi bisa berupa pengembalian uang, penggantian barang/jasa yang sejenis atau yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[27] Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. Pemberian ganti rugi ini tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

Posisi konsumen yang sangat lemah dibandingkan pelaku usaha menyebabkan sulitnya pembuktian oleh konsumen. Di samping itu, konsumen juga sulit untuk mendapatkan hak ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha di kemudian hari. Oleh karena itu diperlukan penerapan konsep tanggung jawab mutlak dimana pelaku usaha seketika itu juga harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen tanpa mempersoalkan kesalahan dari pihak pelaku usaha.UUPK mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha pada Pasal 28 yaitu pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23, merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

3. Barang dan Jasa

Barang dan jasa merupakan inti dari suatu transaksi ekonomi. Tanpa adanya transaksi barang dan/ atau jasa maka tidak timbul hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha. Menurut Pasal 1 angka 4 UUPK yaitu barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.[28]

Pengertian barang dalam UUPK tersebut sangat luas sehingga dari sudut perlindungan konsumen menguntungkan konsumen. Bagi pelaku usaha pengertian tersebut merugikan, terutama pelaku usaha dari hasil pertanian primer dan hasil perburuan yang umumnya tidak melibatkan pelaku usaha secara langsung dalam menentukan kualitas barang.[29]

Jasa menurut Pasal 1 angka 5 UUPK adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.[30] Dalam hukum perlindungan konsumen terkadang menggunakan istilah produk, yang meliputi barang dan/atau jasa.

Tahapan-Tahapan Transaksi

Transaksi konsumen adalah proses terjadinya peralihan pemilikan barang atau pemanfaatan jasa konsumen dari penyedia kepada konsumen. [31] Terdapat tiga tahapan dalam transaksi konsumen.

1. Tahap Pra Transaksi

Tahap pra transaksi adalah tahap sebelum peralihan pemilikan barang atau pemanfaatan jasa. Yang berpengaruh dalam tahap pra transaksi adalah informasi yang benar, jelas dan jujur. Terdapat dua sifat informasi yaitu informasi wajib yang merupakan informasi berdasarkan undang-undang, seperti label, tanda, etika dan iklan. Sifat informasi yang kedua yaitu informasi sukarela yang disediakan pihak tertentu secara suka rela melalui brosur, pamflet, pameran, dan lain sebagainya.

Terdapat tiga sumber informasi bagi konsumen yaitu sumber pertama dari pemerintah, seperti penetapan harga, larangan impor dan lain-lain. Sumber kedua berasal dari konsumen misalnya informasi dari mulut ke mulut, informasi organisasi konsumen, hasil survey, surat pembaca di media pers. Sumber ketiga adalah dari pelaku usaha yaitu dengan kegiatan pemasaran, periklanan melalui media cetak maupun elektronik.[32]

2. Tahap Transaksi

Tahap transaksi adalah tahap peralihan pemilikan barang atau pemanfaatan jasa. Suatu transaksi dapat terjadi apabila perikatan pembelian, penyewaan barang atau pemanfaatan jasa telah terjadi. Beberapa hal yang berpengaruh dalam tahap transaksi antara lain syarat-syarat perikatan, khususnya perikatan dengan klausula baku. Kemudian adanya praktek bisnis mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar seperti kegiatan pemasaran, penjualan berhadiah bahkan persaingan tidak sehat dan/atau monopoli.[33]

3. Tahap Purna Transaksi

Tahap purna transaksi disebut juga tahap purna jual, yaitu masa penggunaan barang dan/atau jasa. Terdapat berbagai permasalahan yang dapat muncul dalam tahap purna transaksi ini, yaitu:[34]

  1. Kondisi barang dan jasa tidak sesuai dengan janji, tertulis atau lisan, label, iklan, brosur, standar, persyaratan kesehatan yang berlaku.

  2. Pelaku usaha wajib sediakan garansi/jaminan produk konsumen. Banyak pelaku usaha yang menyediakan garansi tetapi pada kenyataannya sulit untuk diminta garansi tersebut.

  3. Penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan secara damai maupun dengan mengajukan gugatan pada BPSK atau pengadilan apabila terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.

Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen

Tujuan perlindungan konsumen adalah untuk mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen yaitu dengan cara menghindarkan konsumen dari ekses negatif pemakaian barang/jasa. Oleh karena itu terdapat beberapa bentuk perbuatan yang dilarang oleh UUPK agar tidak melanggar hak-hak konsumen. UUPK diharapkan mampu menciptakan norma hukum perlindungan konsumen dan memberikan rasa tanggung jawab kepada dunia usaha.64 Berikut ini perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha.

1. Perbuatan yang Dilarang

Di dalam UUPK terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha antara lain:

  1. Dalam Pasal 8 ayat 1 UUPK guna melindungi kepentingan konsumen. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan jasa yang:[36]

    • tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    • tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

    • tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

    • tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

    • tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

    • tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

    • tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

    • tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

    • tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

    • tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

    Pelaku usaha juga dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.66 Pelaku usaha juga dilarang memperdagangkan persediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.[38]

    Jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, barang dan/atau jasa tersebut wajib ditarik dari peredaran.[39] Pelaku usaha juga dilarang, dalam menawarkan barang dan/atau jasa, melakukan dengan cara pemaksaaan atau cara lain yang bisa menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.[40]

  2. Dalam Pasal 9 UUPK, dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan secara tidak benar seolah produk barang/jasa itu:[41]

    • barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

    • barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

    • barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

    • barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

    • barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

    • barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

    • barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

    • barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

    • secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/atau jasa lain;

    • menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;

    • menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

    Barang dan jasa tersebut di atas, sangat dilarang untuk diperdagangkan. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut dilarang untuk melanjutkan kegiatan penawaran, promosi, dan pengiklanan.[42]

  3. Berdasarkan Pasal 10 UUPK, pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan mengenai:[43]

    • harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

    • kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

    • kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

    • tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

    • bahaya penggunaan barang dan/atau jasa;

  4. Dalam Pasal 11 UUPK dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mengelabui atau menyesatkan konsumen dalam hal penjualan yang dilakukan dengan cara obral atau lelang, dengan:[44]

    • menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;

    • menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;

    • tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;

    • tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;

    • tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;

    • menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral;

  5. Dalam Pasal 13 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. [45] Pelaku usaha juga dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.[46]

  6. Berdasarkan Pasal 14 UUPK, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:[47]

    • tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;

    • mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;

    • memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

    • mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

  7. Dalam Pasal 16 UUPK diatur ketentuan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang/ jasa melalui pesanan dilarang untuk: [48]

    • tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;

    • tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau pretasi.

Referensi

[1] Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2006) Hal. 34.
[2] Ibid., hal. 37
[3] Indonesia, Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen. UU No 8 Tahun 1999 LN No 42 Tahun 1999, TLN No 3821, Pasal 1 angka 1.
[4] Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Visimedia, 2008., hal. 4.
[5] Ibid., hal. 2.
[6] Az. Nasution, op. cit., hal. 37.
[7] Ibid.
[8] wikipedia
[9] Az. Nasution, op. cit., hal. 37.
[10] Happy Susanto, op. cit., hal 11.
[11] Ibid., hal. 3.
[12] Indonesia, op. cit., Pasal 64.
[13] Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan. Cet.1(Jakarta: Rajawali Pers 2007). Hal. 293.
[14] Indonesia, op. cit., Pasal 2.
[15] Ibid., Pasal 3.
[16] Ibid., Pasal 1 angka 2.
[17] Ibid., Pasal 4.
[18] Happy Susanto, op. cit., hal 24.
[19] Ibid.
[20] Indonesia, op. cit., Pasal 5.
[21] Ibid., Pasal 1 angka 3.
[22] Ibid., Pasal 6.
[23] Ibid., Pasal 7
[24] Saefullah, Tanggung jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum yang Di5imbulkan dari Produk pada Era Pasar Bebas,(Bandung: Mandar Maju, 2000). Hal 46.
[25] N. H. T Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: panta Rei, 2005). Hal. 16.
[26] Ibid., Pasal 19 ayat 1.
[27] Ibid., Pasal 19 angka 2
[28] Ibid., Pasal 1 angka 4.
[29] Happy Susanto, op. cit., hal 27.
[30] Indonesia, op. cit., Pasal 1 angka 5.
[31] Bahan Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen Tanggal 21 Maret 2007 di FHUI. Hal 42.
[32] Ibid., hal 43.
[33] Ibid., hal 44.
[34] Ibid., hal 45.
[35] Happy Susanto, op. cit., hal 30.
[36] Indonesia, op. cit., Pasal 8 Ayat 1.
[37] Ibid., Pasal 8 ayat (2).
[38] Ibid., Pasal 8 ayat (3).
[39] Ibid., Pasal 8 ayat (4).
[40] Ibid., Pasal 15.
[41] Ibid., Pasal 9.
[42] Ibid., Pasal 9 ayat (2) dan (3).
[43] Ibid., Pasal 10.
[44] Ibid., Pasal 11.
[45] Ibid., Pasal 13.
[46] Ibid., Pasal 13 ayat (2).
[47] Ibid., Pasal 14.
[48] Ibid., Pasal 16