Biografi Sultan Thaha Syaifuddin
Sultan Thaha Saifuddin adalah Pahlawan Nasional yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden RI No.079/TK/Tahun 1977, tanggal 24 Oktober 1977. Penganugerahan gelar tersebut sebagai penghargaan atas tindak kepahlawanannya dalam membela bangsa dan Negara. Pengharagaan itu memang layak, karena masa perjuangan pahlawan Sultan menentang penjajah Belanda berlangsung lama, yaitu 46 tahun (1858-1904). Perlawanan yang sedemikian lama dengan luas cakupan wilayah yang melebar membutuhkan penanganan dan strategi yang mantap. Semua sumber daya dan komponen pendukung berada dalam jejaring koordinasi dapat berfungsi pada status dan kedudukannya masingmasing. Katakanlah sebagai suatu sistem, perlawanan Sultan dalam masa yang begitu lama ditopang oleh kemampuan strategis dan manajerial yang mumpuni (Bustama, 1996 : 92).
Sosok Sultan Thaha Syaifuddin dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional bukan karena beliau seorang Sultan dari kesultanan Jambi. Keputusan Presiden Ri No.079/TK/Tahun 1977 tanggal 24 Oktober 1977 secara nyata kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai jasa perjuangan untuk membela bangsa dan Negara. Tentu istilah Negara dan bangsa harus diartikan sebagi lingkungan wilaya dan penduduk serta kedaulatan suatu pemerintahan yang setelah 17 Agustus 1945 menyatu dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia (Noor, 2013: 133-134).
KELAHIRAN
Sultan Thaha Syaifuddin dilahirkan di Keraton Tanah Pilih, Kampung Gedang Jambi pada pertengahan 1816. Pada masa kecil beliau biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat. Ayahnya Sultan Muhhamad Fakruddin dikenal rakyat Jambi sebagai Sultan yang saleh dan besar jasanya terhadap pengembangan agama Islam di Jambi.
Sejak kecil Raden Thaha Ningrat telah memperlihatkan tanda-tanda kecerdasan dan ketangkasan. Beliau adalah seorang bangsawan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa. Beliau dididik oleh ayahnya dengan ajaran agama Islam, sehingga pada masa kecilnya beliau telah kelihatan sebagai seorang anak yang taat beribadat. Pelajaran tauhid meresap benar ke dalam jiwanya. Beliau percaya bahwa Allah adalah Yang Maha Kuasa, lebih berkuasa dari segala yang berkuasa di dunia ini.
Dan ketaatannya terhadap agama dan kepercayaannya yang penuh kepada Keesaan Tuhan itulah timbul sifat-sifatnya yang luar biasa. Beliau seorang yang berani dan ulet dalam menghadapi segala macam pekerjaan.
Hal ini tidak mengherankan, karena menurut suatu sumber, dari pihak ayahnya Sultan Thaha adalah keturunan Ahmad Salim bangsawan Turki, penyebar agama Islam yang mula-mula di Jambi. Sedang dari pihak ibunya beliau adalah keturunan wanita Arab yang kuat rasa keagamaannya.
Sumber tersebut menyebutkan bahwa Sultan Thaha Syaifuddin (1816-1904 M) adalah anak dari Raden Muhamad gelar Sultan Muhamad Fakhruddin (1833-1841 M). Anak Raden Muhamad (Raden Danting) gelar Sultan Mahmud Mahyuddin (Sultan Agung Sri Ingalogo 1812-1833 M). Anak Ratu Kusuma yaitu anak Pangeran Temenggung Mangku Negara X, anak Sultan Ahmad Zainuddin (1770-1790 M). Anak Raden Julat gelar Pangeran Ratu (1730-1770 M). Anak Raden Penalis gelar Sultan Abdul Muhyi (Sultan Sri Ingalogo 1669-1694 M) yang merupakan keturunan dari Ahmad Salim gelar Datuk Paduko Berhalo, penyebar agama Islam yang mula-mula di Jambi sejak tahun 1460 M.
Sejak usia antara lima atau enam tahun Sultan tidak hanya dididik dalam membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan (Islam) melainkan juga ilmu-ilmu keterampilan dan bela diri, seperti berlatih menunggang kuda, menembak, memanah di atas kuda yang sedang berlari, adat-istiadat dan ilmu kubu atau guna-guna.
Karena kecerdasannya dan ketangkasannya dengan mudah Sultan Thaa menangkap segala pelajarann yang diberikan oleh guru-gurunya di Jambi. Meskipun demikian beliau belum merasa puas dengann ilmu-ilmu yang telah diperolehnya. Beliau ingin menuntut ilmu yang lebih banyak. Untuk itu Sultan Thaa kemudian meninggalkan Jambi menuju Aceh guna menambah pengetahuan umum. Seperti kita ketahui Aceh merupakan daerah di Indonesia yang kuat berpegang teguh kepada agama Islam di samping daerah Sumatra Barat dan Banten.
Di Aceh Sultan Thaha tinggal selama dua tahun. ketika beliau hendak pulang ke Jambi oleh Sultan Aceh diadakanlah upacara pelepasan yang ditandai dengan pemberian gelar “Syaifuddin” kepada beliau. “Syaifuddin berasal dari bahasa Arab yang ditejemahka dengan “Pedang Agama”.
Dengan memberikan gelar seperti tersebut di atas Sultan Ace mengharapkan agar Sultan Thaha di kelak kemudian hari akan menjadi tokoh yang senantiasa berjuang untuk membela kepentingan agama.
Dalam kesempatan upacara pelepasan itu pula Sultan Aceh berpesan:
“Nenek moyang kita telah menggariskan politiknya untuk menegakkan dan mengembagkann agama Islam terus-menerus, agar benteng Islam yang telah ada diperkuat dan yang belum ada diadakan. Menegakkan agama Islam bukan hanya melalui Khutbah-khutbah. Hal yang demikian perlu sekali mendapat perhatian dari umat Islam, apalagi mengingat bahwa sekarang Belanda telah mengelilingi kita”.
Pesan dan harapan Sultan Aceh ini ternyata tidak sia-sia, Sultan Thaha Syaifuddin dalam segala aspek terangnya senantiasa didasarkan atas agama Islam dan berusaha untuk mengembangkan dan membela agama itu.
Sumber:
http://repositori.kemdikbud.go.id/13477/1/Sultan%20thaha%20syaifuddin.PDF