Apa yang anda ketahui tentang Aksara Jawa ?

Aksara jawa adalah aksara turunan dari aksara Brahmi. Aksara jawa ini sudah lama sekali dipakai di berbagai wilayah nusantara seperti pulau Jawa sendiri, Makassar, Melayu, Sunda, Bali, Sasak dan digunakan untuk penulisan karya sastra yang berbahasa Jawa. Awal mula diadakannya aksara jawa sendiri sudah ada semenjak abad 17 Masehi yaitu dimasa masih berdirinya kerajaan Mataram Islam dan pada masa itu juga sudah ditetapkan abjad Hanacaraka atau carakan yang sudah kita kenal sampai sekarang. Kemudian pada abad 19 Masehi cetakan aksara jawa baru di buat.

Sebenarnya aksara jawa sendiri adalah gabungan antara aksara kawi dan abugida. Berdasarkan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili 2 buah abjad aksara dalam huruf latin, bisa menjadikan bukti bahwasanya aksara jawa ini memang gabungan kedua aksara tersebut.

Apa yang anda ketahui tentang Aksara Jawa ?

Sejarah aksara Jawa selama ini dipahami melalui kisah Aji Saka dengan berbagai variansinya. Kisah Aji Saka versi pertama yang banyak digunakan sebagai bahan mengajar di sekolah adalah versi Hindu-Jawa.

Aji Saka versi Hindu-Jawa mentasbihkan bahwa Aji Saka berasal dari tanah Hindu (India). Dengan demikan Aji Saka digambarkan sebagai figur yang menyebarkan paham Hindu di Jawa. Efeknya adalah banyak nama-nama tempat di Indonesia diadopsi dari nama-nama tempat di India. Misalnya gunung Muria dan gunung Semeru, gunung tersebut identik dengan gunung Mahameru di India. Kisah Aji Saka sampai saat ini tumbuh subur di Jawa dan kisah Aji Saka menjadi inspirasi kehidupan batin orang Jawa.

Dengan adanya kisah tersebut, Aji Saka mendapat dianggap sebagai prototype yang menciptakan aksara Jawa. Melalui jalur kisah Aji Saka sukses menciptakan legitimasi bahwa dia sebagai pencipta aksara Jawa.

Aji Saka ditasbihkan sebagai orang yang medhangake kawruh artinya orang yang menaburkan kepandaian kepada orang Jawa. Melalui tokoh Aji Saka orang Jawa yang aslinya belum tahu apa-apa dan belum mempunyai pengetahuan atau pabengkong, lalu menjadi mampu membaca alam dan mempunyai pengetahuan yang luas.

Banyak orang mafhun dengan kisah Aji Saka tersebut. Di sisi lain, kisah Aji Saka secara implisit menandakan kedatangan orang manca ke Jawa yakni India sebagai tanda awal datangnya jaman sejarah. Dalam berbagai kitab kuno Prabu Aji Saka diletakkan sebagai tokoh kunci yakni sebagai awal sejarah agama di Jawa, baik secara lisan maupun tulisan. Aji Saka juga dipercayai sebagai guru yang mengajarkan huruf Jawa pertama kali. Kepandaian baca tulis Aji Saka ditularkan dan diajarkan kepada orang Jawa. Aji Saka diyakini sebagai kasta ksatria dari India, yang meletakkan dasar-dasar tata pemerintahan dan keagamaan dengan membawa berbagai kitab dari India.

Dalam khasanah sastra lisan yakni dalam lakon kethoprak dapat diketahui dengan adegan Dora Sembodo. Dora dan Sembodo adalah dua orang murid atau pengikut Aji Saka. Keduanya salah paham menafsirkan wasiat Aji Saka. Karena berselisih paham maka Aji Saka mengabadikan dengan mantra, Hana caraka, data sawala, padha jayanya, maga bathanga artinya ada utusan, terjadi pertengkaran, sama kuatnya, keduanya tewas menjadi bangkai. Mantra tersebut padat dan bermakna, masing-masing terdiri dari suku kata yang berbeda-beda sehingga menjadi huruf Jawa yang hingga kini dipakai oleh orang Jawa. jadi aksara Jawa memiliki sisi nilai historis spiritual yang tinggi dan dibuat dengan dilandasi pemikiran yang luar biasa.

Aji Saka membangun sistem beberan keaksaraan Jawa. Beberan aksara Jawa digambarkan sebagai sebuah wacana fiksi mitologis. Secara simbolis memiliki nilai historis yaitu mengenai tokoh fiksi historis Dora dan Sembodo sebagai caraka yakni utusan pengikut setia Aji Saka. Hal itu dilakukan sebagai rekaman proses pembudayaan manusia di tanah Jawa yang semula kasar, sebagai raksasa Dewata Cengkar di negeri Medangkamulan oleh intervensi budaya India ke pulau Jawa Aji Saka angejawantah. Aksara Jawa sering dikaitkan dengan kisah Aji Saka, yakni orang yang dianggap menciptakan 20 aksara Jawa, dikaitkan dengan dua orang pengiring Aji Saka yang bernama Sembada dan Dora yang tinggal di Pulau Majeti.

Dalam filsafat keaksaraan huruf Jawa ha,na, ca, ra, ka; da, ta, sa, wa, la; pa, dha, ja, ya, nya; ma, ga, ba, tha, nga , suku katanya sebanyak 20 macam dengan sistem silabik. Perwujudannya merupakan perubahan dari huruf devanagari (Sanskerta) dan huruf pallava (huruf Jawa yang lebih tua) secara evolutif dengan motif papak (persegi), bunder (bulat), ataupun lancip (runcing).

Pallawa adalah nama dinasti yang berkuasa di wilayah Asia Selatan. Dinasti inilah yang menciptakan aksara Pallawa. Aksara Jawa yang kita kenal sekarang ini merupakan perkembangan dari aksara Pallawa. Perkembangan aksara Jawa dimulai Pallawa awal aba ke 5 M, Pallawa akhir 732 M, Kawi awal 750-925 M, Kawi akhir 925-1250 M, Aksara Jawa Majapahit 1250-1450 M dan Aksara Jawa dari abad ke XV.

Buku De Casparis, Indonesian Palaeography menerangkan sejarah aksara Jawa ada lima periode pembentuk aksara Jawa yakni:

  1. Pallawa (sebelum 700)

  2. Kawi tahap awal (750-925)

  3. Kawi tahap akhir (925-1250)

  4. Majapahit (1250-1450)

  5. Jawa baru (sampai sekarang).

Bukti-bukti sejarah yang digunakan untuk menyusun aksara Jawa terdapat dalam prasasti-prasasti di antaranya adalah:

  1. Prasasti Yupa di Kalimantan Timur dan prasasti kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat menggambarkan akasara Pallawa awal

  2. Tipe Pallawa akhir adalah dalam prasasti kerajaan Sriwijaya dan prasasti Canggal di Jawa Tengah

  3. Tipe Kawi awal adalah di prasasti Dinoyo, Plumpunga, prasasti dari Raja Rakai Kayuwangi dan Rakai Balitung

  4. Tipe Kawi akhir dalam prasasti Raja Airlangga dan Kediri

  5. Tipe aksara Jawa Majapahit misalnya terdapat dalam prasasti Kawali, Kabantenan, dan Batutulis

  6. Tipe aksara Jawa dari abad ke 15 terdapat dalam prasasti Suradakan

  7. Penggunaan aksara Jawa baru pada abad ke 16 terdapat dalam suluk Seh Bari.

Analisa aksara Jawa di atas menggunakan model statis, yakni huruf akasara Jawa dianggap sebagai susunan garis, penyelidikannya dengan cara dikupas satu demi satu. Sebagian berpendapat bahwa aksara Jawa merupakan hasil gerakan tangan (analisa dinamis). Model analisa dinamis diperkenalkan oleh ahli paleografi Prancis, Jean Mallon dalam bukunya mengenai sejarah tulisan Latin (Mallon, 1952). Pendekatannya meliputi lima segi rupa yakni; (1) bentuk lahiriah, (2) sudut tulisan: sudut antara posisi alat menulis dengan arah tulisan, (3) duktus: urutan penulisan garis dan arahnya, (4) ukuran: panjang lebarnya huruf, (5) ketebalan: garis tipis atau tebal.

Sejarah aksara Jawa dapat ditinjau dengan dua pendekatan yakni pendekatan mitos melalui cerita Aji Saka dan melalui pendekatan ilmiah. Pendekatan mitos melalui jalur legenda Aji Saka paling banyak digunakan dalam menguraikan sejarah terbentuknya aksara Jawa. Sisi menariknya dari jalur mitos cerita Aji Saka adalah penerimaan masyarakat dengan sejarah aksara Jawa.

Masyarakat lebih mudah menerimanya sebagai sumber sejarah dalam memahami aksara Jawa. Dari cerita Aji Saka terdapat makna yang simbolnya digunakan untuk memahami konsep ketuhanan salah satunya. Sedangkan jalur ilmiah jarang digunakan untuk menjelaskan sejarah aksara Jawa. Jalur ilmiah penting digunakan untuk melihat fakta sejarah dari aksara Jawa sehingga aksara Jawa tidak hanya dipahami dari jalur cerita Aji Saka.

Dengan dua pendekatan tentang sejarah aksara Jawa baik jalur mitos maupun jalur ilmiah, memberikan wacana dalam memahi sejarah aksara Jawa. Aksara Jawa tidak hanya dipahami dari mitos saja namun dari ada keilmiahannya. Kisah Aji Saka memberikan gambaran yang memiliki nilai historis spiritual. Di mana dalam kisah Aji Saka dan aksara Jawa terdapat makna simbolisme bagi orang Jawa yakni dasar filosofi konsep ketuhanan dan dijadikan pijakan dalam kebatinan Jawa. Sampai saat ini diamini oleh orang Jawa dan lestari konsep gagasan dari kisah Aji Saka.

Aksara jawa menyimpan misteri dan ada makna simboliknya. Misteri dan makna simboliknya adalah Aji Saka merupakan tokoh sentral yang digambarkan sebagai seorang kasta kstaria yang memberikan pengajaran di Jawa dan memberikan perubahan besar di Jawa. Aksara Jawa adalah hasil pengetahuan yang di ajarkan di Jawa. Abdi Aji Saka menggambarkan sifat manusia yakni antara sifat baik dan buruk yang selalu bergulat dalam diri manusia.

Dewata Cengkar digambarkan sebagai manusia Jawa yang belum mempunyai tatanan, aturan yang gumathok dan agama yang kuat sehingga Dewata Cengkar disifati dur angkara. Dengan pengatahuan yang dibawa oleh Aji Saka dan diajarkan di Jawa, orang Jawa mempunyai pengetahuan yang luas dan mempunyai aturan, tatan yang gumathok dan agama yang kuat.

Di sisi lain analisa aksara Jawa adalah digunakan sebagai penananda dimulainya jaman sejarah di Jawa. Jaman sejarah di Jawa dimulainya orang Jawa mengenal sistem penulisan yakni aksara Jawa. Jaman sejarah merupakan jaman peralihan dari yang semula belum mengenal tulisan menjadi mendapatkan pengetahuan tentang tulisan. Maka kesimpulannya adalah Jawa dengan mengenal sistem penulisan dengan aksara Jawa sudah memasuki jaman sejarah.

Analisa dalam aksara Jawa adalah gagasan konsep satu kesatuan yakni tentang konsep ketuhanan, antara manusia, tuhan dan alam dalam satu hubungan. Manusia dan Tuhan menandakan hubungan vertikal dan manusia dan alam hubungan secara horisontal. Dan dapat dipahami sebagai harmonisasi.

Dengan demikian orang Jawa dalam memahi konsep ketuhanan disimbolkan, yakni dalam aksara Jawa. Simboliasasi dalam aksara Jawa memudahkan orang Jawa dalam memahi konsep ketuhanan dan semakin dekat dengan Tuhannya.

Aksara Jawa merupakan salah satu aksara yang digunakan dalam penulisan naskah Jawa. Penulisan aksara Jawa bersifat silabis, artinya satu aksara melambangkan satu silabel atau satu suku kata (Darusuprapta, 1984). Selain itu, aksara Jawa tidak mengenal pemisahan kata yang dikenal dengan istilah scriptiocontinuo ‘tulisan yang ditulis secara terus menerus’, artinya penulisan tanpa memisahkan kelompok kata. Dengan demikian, untuk memisahkan kelompok aksara Jawa dalam bentukan kata-kata diperlukan bekal perbendaharaan kata bahasa Jawa yang cukup agar tidak terjadi kesalahan dalam pengelompokan kata yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam pemaknaannya (Mulyani, 2009).

Aksara Jawa baku berjumlah 20 aksara, yaitu ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, nga (Padmosoekotjo 1989). Setiap aksara baku mempunyai pasangan ‘aksara Jawa yang menjadikan aksara sebelumnya atau aksara yang diberi pasangan kehilangan vokalnya, sehingga menjadi konsonannya saja’. Selain aksara baku, aksara Jawa juga memiliki aksara lain, yaitu: aksara murda ‘aksara kapital yang fungsinya berbeda dengan aksara kapital dalam aksara Latin; aksara rekan, yaitu aksara yang dibuat untuk menuliskan kata-kata dari bahasa lain yang tidak ada dalam aksara bahasa Jawa; aksara swara ‘vokal’; sandhangan ‘penanda’; pangkon, yaitu penanda konsonan penutup suku kata; dan angka dalam aksara Jawa (Mulyani,2009).

Ragam tulisan atau bentuk aksara naskah berbeda-beda. Ada aksara yang berbentuk aksara persegi (mbata sarimbag), bulat (ngêtumbar), runcing (mucuk êri), atau kombinasi (pemakaian ketiga ragam tersebut) (Mulyani, 2009).