Apa tujuan dari adanya undang-undang kepailitan ?

Kepailitan atau bangkrut

Kepailitan adalah suatu sitaan umum atas dan terhadap seluruh harta debitur agar dicapainya suatu perdamaian antara debitur dengan para krediturnya atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagikan secara adil dan proporsional di antara dan sesama para kreditur sesuai dengan besarnya piutang dari masing-masing para krediturnya terhadap debiturnya tersebut.

Apa tujuan dari adanya undang-undang kepailitan ?

Sebagaimana dikutip dari Levinthal, tujuan utama dari hukum kepailitan digambarkan sebagai berikut :

“All bankruptcy law, however, no matter when or where devised and enacted, has at least two general objects in view. It aims, first, to secure and equitable division of the insolvent debtor’s property among all his creditors, and, in the second place, to prevent on the part of the insolvent debtor conducts detrimental to the interest of his creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect the creditors, first, from one another and, secondly, from their debtor. A third object the protection of the honest debtor from his creditors, by means of the discharge, is sought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this is by no means a fundamental feature of the law.”

Dari hal yang dikemukakan di atas dapat diketahui tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah sebagai berikut:

  • Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditornya.

  • Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan – perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor.

  • Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikat baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.

Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankcruptcy tujuan umum dari hukum kepailitan adalah untuk menyediakan suatu forum kolektif untuk mengklasifikasikan (memilah-milah) hak-hak dari berbagai penagih (kreditor) terhadap harta kekayaan debitor yang tidak cukup nilainya.

Sementara itu, Profesor Warren dalam bukunya Bankruptcy Policy mengemukakan sebagai berikut:

“In bankruptcy, with an inadequate pie to divide and the looming discharge of unpaid debts, the disputes center on who is entitled to shares of the debtor’s assets and how these shares are to be divided. Distribution among creditors is no incidental to other concerns; it is the center of the bankruptcy scheme.”

Berkenaan dengan pendapat Profesor Radin dan Profesor Warren tersebut, dapat dikemukakan bahwa intinya hukum kepailitan ( bankruptcy law ) baik dahulu maupun sekarang adalah “a debt collective system”, sekalipun bankruptcy bukan satu-satunya “debt collection system.”

Sehingga secara singkat, dapat dinyatakan bahwa tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.

Dengan demikian hukum kepailitan dibutuhkan sebagai alat collective proceeding, dalam rangka mengatasi collective action problem yang timbul dari kepentingan masing – masing kreditur. Artinya, hukum kepailitan memberikan suatu mekanisme dimana para kreditur dapat bersama-sama menentukan apakah sebaiknya perusahaan atau harta kekayaan debitur diteruskan kelangsungan usahanya atau tidak, dan dapat memaksa kreditor minoritas mengikuti skim karena adanya prosedur pemungutan suara.

Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 dikemukakan mengenai beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:

  • Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.

  • Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.

  • Untuk menghindari adanya kecurangan – kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.

Ketiga hal itulah yang menurut pembuat Undang -undang Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan tujuan dibentuknya undang-undang tersebut yang merupakan produk hukum nasional yang sesuai dengan kebutuhan dan pembangunan hukum masyarakat.

Dapat dinyatakan bahwa tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah :

  • Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “semua harta kekayaan debitor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru aka nada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitor,” yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitor.

    Menurut hukum Indonesia, asas jaminan tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut di antara para kreditor terhadap harta debitor berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya undang-undang kepailitan, maka akan terjadi kreditor yang lebih kuat akan mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada kreditor yang lemah.

  • Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor konkuren atau unsecured creditors berdasarkan pertimbangan besarnya tagihan masing-masing). Di dalam hukum Indonesia asas pari passu dijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata.

  • Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor. Dengan dinyatakan seorang debitor pailit, maka debitor menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya. Putusan pailit memberikan status hukum dari harta kekayaan debitor berada di bawah sita umum (disebut harta pailit).

  • Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, kepada debitor yang beritikad baik memberikan perlindungan dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan Amerika Serikat, seorang debitor perorangan (individual debtor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaannya selesai. Untuk debitor yang nilai harta kekayaannya setelah dilikuidasi atau dijual oleh likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada para kreditornya tersebut, tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut. Kepada debitor tersebut diberi kesempatan untuk memperoleh financial fresh start. Debitor tersebut dapat memulai kembali melakukan bisnis tanpa dibebani dengan utang-utang yang menggantung dari masa lampau sebelum putusan pailit.

    Financial fresh start hanya diberikan kepada debitor pailit perorangan dan tidak diberikan kepada debitor badan hukum. Jalan keluar yang dapat ditempuh oleh perusahaan yang pailit ialah membubarkan perusahaan debitor yang pailit itu setelah likuidasi berakhir. Menurut UU Kepailitan Nomor 37 Tahun 2007, financial fresh start tidak diberikan kepada debitor, baik debitor perorangan maupun debitor badan hukum setelah tindakan pemberesan oleh kurator selesai dilakukan. Artinya, apabila setelah tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaan debitor selesai dilakukan oleh kurator dan ternyata masih terdapat undang-undang yang belum lunas, debitor tersebut masih tetap harus menyelesaikan utang-utangnya.

    Penjelasan umum dari undang-undang tersebut menyatakan “Kepailitan tidak membebaskan seorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya”. Setelah tindakan pemberesan atau likuidasi selesai dilakukan oleh kurator, debitor kembali diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaannya, artinya debitor boleh kembali melakukan kegiatan usaha, tetapi tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utang-utang yang belum lunas.

  • Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan.

  • Memberikan kesempatan kepada debitor dan para kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang debitor. Dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat, hal ini diatur di dalam Chapter 11 mengenai Reorganization. Di dalam undang-undang kepailitan Indonesia kesempatan bagi debitor untuk mencapai kesepakatan restrukturisasi utang-utangnya dengan para kreditornya diatur dalam Bab III tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Referensi :

  • Louis E. Levinthal, “ The Early History of Bankruptcy Law”, dalam Jordan, et.al., Bankruptcy , (New York: Foundation Press, 1999).
  • Robert L. Jordan, et.al., dalam Robert L. Jordan, et.al., Bankruptcy, (New York: Foundation Press, 1999).
  • Elizabeth Warrren, “Bankruptcy Policy” dalam Epstein et al. Bankruptcy St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1993.
  • Emmy Yuhassarie dan Tri Harwono, Tim Editor, Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum: Prosidings Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Cet. 2, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005).