Apa sajakah jenis-jenis majas?

Majas

Dalam suatu karya sastra kita mengenal istilah majas yang akan menambah “rasa” dari karya sastra tersebut. Apa sajakah jenis-jenis majas yang ada?

Majas diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan atau analogi ciri semantis yang umum dengan umum, yang umum dengan yang khusus, ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam melukiskan citraan atau gagasan baru (Aminuddin, 1995).

Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik untuk pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi, majas merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan pemanfaatan bahasa kias. Sebenarnya masih ada hubungan makna antara bentuk harfiah dengan makna kiasnya, tetapi hubungan itu bersifat tidak langsung, atau paling tidak ia membutuhkan interpretasi pembaca. Penggunaan bentuk- bentuk kiasan dalam kesastraan, dengan demikian, merupakan salah satu bentuk penyimpangan kebahasaan, yakni penyimpangan makna (Nurgiyantoro, 1998).

Majas terbagi menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought: tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rethorical figure: tuturan figuratif yang terkait dengan penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat (Aminuddin, 1995). Majas dalam kajian ini merujuk pada tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan. Majas diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan atau analogi ciri semantis yang umum dengan umum, yang umum dengan yang khusus, ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam melukiskan citraan atau gagasan baru (Aminuddin, 1995).

Majas (figure of thought) merupakan teknik untuk pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi, majas merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan pemanfaatan bahasa kias. Sebenarnya masih ada hubungan makna antara bentuk harfiah dengan makna kiasnya, namun hubungan itu bersifat tidak langsung, atau paling tidak ia membutuhkan interpretasi pembaca. Penggunaan bentuk-bentuk kiasan dalam kesastraan, dengan demikian, merupakan salah satubentuk penyimpangan kebahasaan, yakni penyimpangan makna (Nurgiyantoro, 1998).

Pengungkapan gagasan dalam dunia sastra–sesuai dengan sifat sastra yang ingin menyampaikan pesan secara tidak langsung—banyak mendayagunakan pemakaian bentuk-bentuk bahasa kias itu. Pemanfaatan bentuk-bentuk kias tersebut di samping untuk membangkitkan suasana dan kesan tertentu, tanggapan indera tertentu, juga untuk memperindah peneuturan itu sendiri. Jadi, majas menunjang tujuan estetis penulisan kary sastra itu sebagai karya seni. Kehadiran majas dalam karya sastra dengan demikian merupakan sesuatu yang esensial.

Penggunaan style ’gaya bahasa’ yang berwujud majas, mempengaruhi gaya dan keindahan bahasa karya sastra. Majas yang digunakan secara tepat dapat menggiring ke arah interpretasi pembaca yang kaya dengan asosiasi, di samping dapat mendukung terciptanya suasana dan nada tertentu. Bahkan, penggunaan majas yang baru akan memberikan kesan kemurnian, kesegaran, dan mengejutkan, dan karenanya bahasa menjadi efektif.

Majas menurut Scott (1980) mencakup metafora, simile, personifikasi, dan metonimia. Merujuk pandangan Scott (1980) dan Pradopo (2004) majas yang akan dikaji daam kajian RDP ini meliputi metafora, simile, personifikasi, metonimi, dan sinekdoke (pars pro toto dan totem pro parte)

JENIS-JENIS MAJAS


  • Metafora
    Metafora adalah majas seperti simile, hanya saja tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker dalam Pradpo (2000). Menurut Altenbernd dan Lewis (1970), metafora itu menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau setaraf dengan hal lain, yang sesungguhnya tidaklah sama.

    Metafora adalah salah satu wujud kreatif bahasa di dalam penerapan makna. Artinya, berdasarkan kata-kata yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen, pemakai bahasa dapat memberi lambang baru pada referen tertentu, baik referen baru itu telah memiliki nama lambang (sebutan ataupun kata) maupun belum. Metafora terutama terdapat dalam karya sastra ataupun dalam bidang pemakaian lainnya (misalnya lawak). Metafora dapat memberi kesegaran dalam berbahasa, menghidupkan sesuatu yang sebenarnya tak bernyawa, menjauhkan kebosanan karena ketunggalnadaan (monoton), dan mengaktualkan sesuatu yang sebenarnya lumpuh (Subroto, 1996).

    Metafora ini merupakan bahasa figuratif yang paling mendasar dalam karya sastra, terlebih puisi (Cuddon, 1979). Hal senada diungkapkan oleh Hawkes (1980) bahwa “metaphor is traditionally taken to be the most fundamental form of figurative language”. Lebih jauh Burton (1984) menjelaskan, bahwa metafora merupakan wujud nyata pencitraan kata (imagery). Metafora mengidentifikasikan dua objek yang berbeda dan menyatukannya dalam pijaran imajinasi. Dalam hal ini metafora bertugas membangkitkan daya bayang yang terdapat dalam angan pembaca.

    Menurut Subroto (1996), metafora diciptakan terutama atas dasar keserupaan atau kemiripan antara dua referen. Referen pertama disebut tenor (principle term) dan yang kedua disebut wahana (vehicle/secondary term) (lihat pula Pradopo, 2002). Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan term kedua atau vehicle menyebutkan hal yang untuk membandinkan. Dalam karya sastra, menurut Pradopo (2002), sastrawan sering langsung menyebutkan term kedua, wahana (vehicle) tanpa menyebutkan term pokok (tenor). Metafora semacam itu disebut metafora implisit. Selain itu, ada metafora mati (dead metaphor), yakni metafora yang sudah klise hingga orang sudah lupa bahwa itu merupakan metafora, misalnya kaki gunung, lengan kursi, dan sebagainya.

    Kesamaan atau kemiripan keduanya – tenor dan wahana- merupakan terbentuknya metafora, yaitu tenor itu diperbanding- kan atau dipersamakan/ diidentifikasikan sebagai wahana. Dapat pula dinyatakan bahwa metafora adalah suatu perbandingan langsung karena kesamaan, baik intuitif maupun nyata, antara dua referen tanpa kata pembanding.

    Faktor penting dalam keefektifan metafora adalah jarak antara tenor dan wahana. Bila jarak antara tenor dan wahana dekat, keserupaannya begitu nyata, maka metafora itu berkualitas kurang ekspresif, kurang efektif. Sebaliknya apabila keserupaan antara tenor dan wahana kurang begitu nyata, maka metafora itu mempunyai kekuatan yang ekspresif (Subroto, 1996).

  • Simile (Perbandingan)
    Simile adalah majas yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, ibarat, dan kata- kata pembanding lainnya. Simile ini merupakan majas yang paling sederhana dan paling banyak digunakan dalam karya sastra (Pradopo, 2000).

  • Personifikasi
    Majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda- benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, melihat, mendengar, dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi banyak dimanfaatkan para sastrawan sejak dulu hingga sekarang. Majas personifikasi membuat hidup lukisan, dan memberi kejelasan gambaran, memberi bayantgan angan secara konkret (Pradopo, 2000).

  • Metonimi
    Metonimi atau majas pengganti nama adalah penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dan Lewis, 1970)

  • Sinekdoki (Synecdoche)
    Majas yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu hal atau benda untuk hal atau benda itu sendiri disebut sinekdoki (Altenbernd dan Lewis, 1970). Sinekdoki dapat dibagi menjadi dua yakni

    1. pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan)
    2. totum ro parte (keseluruhan untuk sebagian).

Majas atau gaya bahasa (style) adalah bahasa berkias yang disusun untuk meningkatkan efek dan asosiasi tertentu. Kajian gaya bahasa disebut stilis- tika. Kata ini berasal dari bahasa Yunani stilus, yakni alat dan kemahiran menulis dalam lempengan lilin. Kemudian istilah itu berubah menjadi kemahiran dan gaya berbahasa. Oleh karena itu, makna yang dikandung oleh gaya bahasa disebut makna stilistik.

Dalam pemakaiannya terdapat sayarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh sebuah majas yang baik. syarat-syarat itu ialah kejujuran, sopan santun, dan menarik. Kejujuran ialah suatu pengorbanan karena terkadang meminta kita untuk melaksanakan suatu yang tidak meneynangkan hati. Kejujuran dalam bahasa ialah sadar untuk mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar dalam serta kalimat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Singkatnya, kejujuran berbahasa merupakan penggunaan bahasa secara efektif dan efisien.

Sopan santun atau tatakrama berbahasa ialah menghargai dan menghormati pesapa. Kesopansantunan dalam gaya bahasa dimenifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan pemakaian kata. Kejelasan ialah menyampai-kan sesuatu secara jelas atau efektif dalam segala aspek seperti struktur kata dan kalimat, korespondesi dengan fakta yang diungkapkan, pengaturan secara logis, dan penggunaan kiasan serta perbandingan. Kesingkatan ialah menyampaikan sesuatu secara singkat dan efisien, meniadakan kata-kata yang bersinonim longgar, menghindari tautologi, atau mengadakan repetisi yang tak perlu.

Menarik dalam gaya bahasa atau majas artinya dalam pemakaian bahasa tidak membosankan atau monoton. Karena itu majas yang menarik diukur dengan adanya variasi, humor yang sehat, pengrtian yang baik, vitalitas, dan penuh imajinatif, variatif, yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinasi).

Penggunaan variasi akan menghindari monotoni dalam nada, struktur, dan pilihan kata (diksi). Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu bertenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan imajinasi adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan, pengalaman (Keraf, 1985:113-115).

KLASIFIKASI MAJAS


Majas dapat digolongkan ke dalam berbagai aspek, antara lain: segi non bahasa dan segi bahasa.

1. Segi Nonbahasa

Dilihat dari segi nonbahasa, majas dapat digolongkan berdasarkan:

  • Pengarang yaitu gaya bahasa sesuai dengan nama pengarang, misalnya: gaya Chairil, gaya Takdir, dan sebagainya.

  • Waktu yaitu gaya bahasa sesuai waktu: gaya lama, gaya menengah, gaya modern, dan sebagainya.

  • Medium yaitu gaya bahasa sesuai dengan bahasa yang dipaki, misalnya: gaya Jerman, gaya Sunda, gaya Indonesia, dan sebagainya.

  • Subyek yaitu gaya bahasa sesuai dengan pokok pembiacaraan, misalnya: filsafat, ilmiah, populer, didaktik, dan sebgainya.

  • Tempat yaitu gaya bahasa sesuai dengan lokasi, geografis, misalnya: gaya Bandung, gaya Jakarta, dan sebagainya.

  • Hadirin yaitu gaya bahasa sesuai dengan hadirin atau pesapa, misalnya gaya demagog (rakyat), gaya familiar (keluarga), dan sebagainya.

  • Tujuan yaitu gaya bahasa sesuai dengan maksudnya, misalnya: gaya sentimentil, gaya sarkastik, gaya diplomatis, gaya informasional, dan sebagainya.

2. Segi Bahasa

Dilihat dari segi bahasa, majas dapat digolongkan berdasarkan empat segi, yakni:

  • Pilihan kata: gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan.

  • Nadanya: gaya bahasa sederhana, gaya bahasa menengah, dan gaya bahasa vitalitas.

  • Struktur kalimat: gaya bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, repetisi.

  • Hubungan maknanya, yang meliputi

    • Gaya bahasa retoris: aliterasi, asonansanastrof, preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufimisme, litotes, hiperbaton, pleonasme, perifrasis, antisipasi, erotesis, silepesis, koreksio, hiperbol, paradoks, dan oksimoron; dan

    • Gaya bahasa kiasan : persamaan, metafora, sindir, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, paronomasia (Keraf, 1985).

Menurut Tarigan (1985) gaya bahasa atau majas dapat dibagi menjadi empat golongan, yakni:

  1. Majas perbadingan: perumpamaan, kiasan, penginsanan, sindiran, antitesis;

  2. Majas pertentangan: hiperbola, litotes, ironi, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma;

  3. Majas pertautan: metonimia, sinekdoke, alusi, eufimisme, elipsis, inversi, gradasi, dan

  4. Majas perulangan: aliterasi, antanaklasis, kismus, dan repetisi.

PEMAKAIAN MAJAS


Dalam bagian ini dikemukakan beberapa majas berserta contoh pemakaiannya. Berikut ini paparan singkatnya.

1. Majas Aliterasi

Aliterasi ialah majas yang berujud perulangan konsonan yang sama pada awal kata.
Misalnya:

  • Takut titik lalu tumpah.
  • Keras-keras kerak kena air lembut juga.

2. Majas Alusi

Alusi atau kilatan ialah majas yang menunjuk secara tak langsung ke suatu peristiwa berdasarkan pranggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki penyapa dan pesapa.

Misalnya:

  • Bandung adalah Paris di Jawa.
  • Tugu ini mengenangkan kita ke peristiwa Bandung Selatan.

3. Majas Anabasis

Anabasis ialah majas klimaks yang terbentuk dari beberapa gagasan yang berturut-turut semakin meningkat kepantingannya.

Misalnya:

  • Pembangunan lima tahun telah dilancarkan serentak di Ibu kota negara, ibu-ibu kota provinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa di seluruh Indonesia.

4. Majas Anadiplosis

Anadiplosis ialah majas yang berwujud perulangan kata atau frasa terakhir dari suatu klausa/kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa/ kalimat berikutnya.

Misalnya:

  • dalam raga ada darah
  • dalam darah ada tenaga
  • dalam tenaga ada daya
  • dalam daya ada segala.

5. Majas Anafora

Anafora ialah majas yang berujud perulangan kata pertama pada setiap baris atau kalimat.

Misalnya:

  • Berdosakah aku, kalau aku bawakan air selalu menyiramnya, hingga pohonku berdaun rimbun, tempat aku mencari lindung?
  • Berdosakah aku, bersandar ke batang yang kuat berakat melihat tamasya yang molek berdandan menyambut fajar kata Ilahi?
  • Berdosakah aku, kalau burungku kecil hinggap di dahan rampak menyanyi sunyi melega hati?

6. Majas Anastrof (Inversi)

Anastrof ialah majas yang berujud pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.

Misalnya:

  • Diceraikannya istrinya, tanpa setahu sanak saudaranya.
  • Kucium pipinya dengan mesra.

7. Majas Antiklimaks

Antiklimaks ialah majas yang meupakan suatu acuan yang berisi gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang pentiung.

Misalnya:

  • Pembangunan besar-besaran dilaksanakan di kota-kota, di desa-desa, dan di dusun-dusun terpencil.

8. Majas Antisipasi

Antisipasi ialah majas yang menggunakan kata atau frasa sebelum gagasan yang sebenarnya terjadi.

Misalnya:

  • Saya sangat gembira minggu depan akan pergi ke Bali.
  • Pada pagi yang naas itu ia mengendarai sebuah sedan.

9. Majas Antitesis

Antitesis ialah majas yang mengadakan perbandingan antara dua kata yang berantonim.

Misalnya:

  • Dia bersuka cita atas kegagalanku dalam ujian itu.
  • Kaya-miskin, tua-muda, besar-kecil, semuanya mempunyai kewajiban terhadap keamanan bangsa dan negara.

10. Majas Antonomasia

Antonomasia ialah majas yang merupakan penggunaan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri.

Contohnya:

  • Gubenur Jawa Barat sedang menggiatkan pembangunan K-3.
  • Rektor UPI Bandung mewisuda 350 orang sarjana.

11. Majas Apofasis

Apofasis ialah majas yang berupa penegasan sesuatu tetapi justru tampaknya menyangkalnya.

Misalnya:

  • Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.
Referensi

http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/196302101987031-YAYAT_SUDARYAT/Makna%20dalam%20Wacana/STRUKTUR_MAKNA.pdf