Berikut adalah jenis-jenis penangkapan ikan di laut yang termasuk kedalam alat penangkapan yang bersifat merusak (destructive) :
Bahan peledak
Pada awalnya penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak
diperkenalkan di Indonesia pada masa perang dunia ke dua. Penangkapan ikan dengan cara ini sangat banyak digunakan, sehingga sering dianggap sebagai cara penangkapan ikan tradisional. Meskipun peledak yang digunakan berubah dari waktu ke waktu hingga yang paling sederhana yaitu dengan menggunakan minyak tanah dan pupuk kimia dalam botol, akan tetapi cara penangkapan yang merusak ini pada dasarnya sama saja dengan menggunakan bom ikan
Dead corals on coral reef due to a combination of global warming and reef bomb fishing
Coral damage caused by dynamite bomb fishing, blast fishing. Indonesia
Para penangkap ikan mencari gerombol ikan yang terlihat dan didekati dengan perahunya. Dengan jarak sekitar 5 meter, peledak yang umumnya memiliki berat sekitar satu kilogram ini dilemparkan ke tengah-tengah gerombol ikan tersebut. Setelah meledak, kemudan nelayan memasuki wilayah perairan untuk mengumpulkan ikan yang mati atau terkejut karena gelombang yang dihasilkan ledakan dengan menyelam langsung atau dengan menggunakan kompresor. Ledakan tersebut dapat mematikan ikan yang berada dalam 10 hingga 20 m radius peledak dan dapat menciptakan lubang sekitar satu hingga dua meter pada terumbu karang tempat ikan tinggal dan berkembang biak (DKP, 2006).
Para penangkap ikan yang menggunakan cara peledakan biasanya mencari ikan yang hidupnya bergerombol. Ikan-ikan karang yang berukuran besar seperti bibir tebal dan kerapu yang biasa hidup di bawah terumbu karang menjadi sasaran utamanya. Ikan ekor kuning hidup di sepanjang tubir, atau ikan kakaktua dan kelompok surgeonfish, juga menjadi sasaran peledakan. Karena besarnya gelombang ledakan, ikan-ikan di tepi perairan terbuka pun sering menjadi sasaran.
Racun sianida
Penggunaan racun sianida ini (sodium sianida) yang dilarutkan dalam air laut banyak digunakan untuk menangkap ikan atau organisme yang hidup di terumbu karang dalam keadaan hidup. Racun sianida yang sering disebut sebagai bius, biasanya merupakan cara favorit untuk menangkap ikan hias, ikan karang yang dimakan (seperti keluarga kerapu dan Napoleon wrasse), dan udang karang (Panulirus spp).
Pada dasarnya penangkapan ikan seperti ini melibatkan penyelam langsung atau menggunakan kompresor yang membawa botol berisi cairan sianida dan kemudian disemprotkan ke ikan sasaran untuk mengejutkannya.
Dalam jumlah yang memadai, racun ini membuat ikan atau organisme lain yang menjadi sasaran terbius, sehingga para penangkap ikan dengan mudah mengumpulkan ikan yang pingsan tersebut. Seringkali, ikan dan udang karang yang menjadi target lalu bersembunyi di dalam terumbu, dan para penangkap ikan ini membongkar terumbu karang untuk menangkap ikan tersebut
Coral destroyed by cyanide fishing practices
Racun sianida akan mencemari ekosistem terumbu karang yang dapat mematikan organisme yang tidak menjadi sasaran. Terumbu karang dapat rusak karena dibongkar oleh para penangkap ikan untuk mengambil ikan yang terbius tersebut di rongga-rongga di dalam terumbu. Selain itu, dalam jangka waktu yang lama, ekosistem yang terkena racun sianida yang terus menerus dapat memberikan dampak buruk bagi ikan dan organisme lain dalam komunitas terumbu karang, juga bagi manusia.
Bubu (traps)
Alat tangkap Bubu adalah jerat yang terbuat dari anyaman bambu yang banyak digunakan di seluruh Indonesia. Bubu kembali popular karena digunakan untuk penangkapan ikan perdagangan ikan karang hidup. Meskipun pada dasarnya alat ini tidak merusak, namun pemasangan dan pengambilannya sering kali merusak terumbu karang.
Bubu biasanya dipasang dan diambil oleh para penangkap ikan dengan cara menyelam dengan menggunakan kompresor. Dibandingkan dengan penangkapan yang merusak lainnya, Bubu tidak terlalu merusak karena biasanya diletakkan di dasar lereng terumbu. Seringkali alat tangkap perangkap tersebut disamarkan oleh pecahan-pecahan karang hidup di dasar perairan.
Bubu dipasangi pemberat yang saat ditenggelamkan dari perahu menabrak percabangan terumbu karang. Bubu seperti ini terutama merusak terumbu karang pada saat Bubu ditarik oleh tali pemancang untuk mengangkatnya. Bila penggunaan Bubu seperti ini terus meningkat, terutama untuk menangkap Ikan Kerapu, kegiatan penangkapan dengan alat Bubu akan menjadi sumber kerusakan terumbu karang di Indonesia.
Pukat Harimau
Pukat harimau merupakan cara penangkapan yang merusak lainnya. Alat tangkap tersebut dapat merusak terumbu karang, karena biasanya digunakan di dasar (substrat) yang lunak untuk menjaring udang. Selain itu, alat jaring/pukat ini dapat merusak hamparan laut dan menangkap organisme yang bukan sasaran penangkapan (by-catch)
Berdasarkan definisinya, pukat harimau tidak termasuk dalam jenis alat tangkap ikan yang merusak. Namun alat tangkap ini memberikan pengaruh yang luar biasa buruk terhadap sumberdaya laut khususnya terumbu karang, karena kemampuannya mengeruk sumberdaya perikanan tersebut.
Sebagai contoh, pukat harimau dengan model yang baru, yang dioperasikan di Selat Lembeh pada tahun 1996 hingga 1997 selama 11 bulan. Pukat ini menggunakan jerat-jaring yang sangat besar dan menangkap 1,400 Ikan Pari (Manta), 750 Marlin, 550 Paus, 300 Ikan Hiu (termasuk Hiu Paus), dan 250 Lumba-lumba (DKP, 2006).
Pukat dasar
Pukat dasar/lampara dasar dianggap sebagai salah satu penyebab berkurangnya ketersediaan ikan di Indonesia. Hal ini karena alat tangkap tersebut sering digunakan untuk menangkap udang, ikan dan organisme lain serta karena mobilitasnya dapat mengeruk dasar laut sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem yang parah. Pukat dasar berinteraksi secara langsung dengan sedimen dasar yang dapat menyebabkan hilang atau rusaknya yang organisme hidup tidak bergerak seperti rumput laut dan terumbu karang.
Kemampuan pengerukkannya dapat membongkar terumbu karang atau batu dalam ukuran besar. Di dasar yang berpasir atau berlumpur, pukat ini dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi kelangsungan hidup terumbu karang.
We work to protect the ocean ecosystems from the impacts of bottom trawling
Terhadap jenis (spesies), kerugian utama yang ditimbulkan pukat dasar adalah tertangkapnya organisme kecil dan jenis-jenis yang bukan sasaran penangkapan (non-target), yang biasanya dibuang di laut. Dampak ini dapat dikurangi dengan menggunakan jaring ukuran yang lebih besar dari target penangkapan.
Payang
Menurut Ayodhyoa (1981), payang adalah jaring yang terdiri dari kaki (wing), badan (body), dan kantong (cod end). Semua bagian payang ini dilakukan penjuraian pada setiap bagian yang kemudian disambungkan mulai dari bagian kantong hingga kaki membesar. Sesuai dengan bagian-bagian tersebut ukuran mata jaringnyapun berbeda mulai dari 1 cm untuk bagian kantong hingga 40 cm pada kaki atau sayap.
Ukuran mata jaring yang terkecil sudah tentu pada bagian kantong, kemudian makin besar ke arah bagian kaki atau sayap. Bahkan bila jaring ini dikhususkan untuk menangkap ikan yang berukuran kecil, maka pada bagian kantong diberikan waring yaitu semacam bahan jaring yang bermata halus.
Menurut Sudirman dan Mallawa (2004), alat tangkap payang terbuat dari bahan serat sintetis jenis nylon multifitament. Panjang jaring keseluruhan bervariasi dari puluhan meter sampai ratusan meter. Ukuran mata jaring (mesh size) pada kantong berkisar pada 1,5 – 5,0 cm. Pada ujung kedua sayap dihubungkan dengan tali penarik dan pada bagian kanan diberikan pelampung tanda serta pada tali penarik lainnya diikatkan di kapal. Brandt (1984) mengelompokan payang ke dalam alat tangkap yang dioperasikan secara melingkar (surrounding nets). Alat tangkap ini memiliki ciri tali ris atas yang pendek dari tali ris bawahnya.
Nama bagian dan ukuran pada tiap daerah sangat berbeda, bahkan nelayan yang berasal dari satu daerahpun kadang-kadang menggunakan ukuran yang tidak sama, misalnya payang di Palabuhanratu menggunakan bambu sebagai pelampungnya. Kelengkapan alat tangkap payang tidak dapat dipisahkan dengan tali temali, pelampung dan pemberat.
Penangkapan dengan jaring payang dapat dilakukan pada malam atau siang hari. Pada malam hari operasi penangkapan ikan dengan payang terutama pada hari-hari gelap dengan menggunakan alat bantu patromak. Sedangkan pada siang hari operasi alat tangkap payang dilakukan dengan menggunakan alat bantu rumpon/payaos atau kadang-kadang tanpa menggunakan alat bantu penangkapan tersebut. Apabila target penangkapan adalah ikan tongkol, maka penangkapannya disebut dengan ”oyokan tongkol” (Subani dan Barus, 1989).
Secara umum payang yang paling banyak digunakan adalah payang Tegal yang terdiri dari sebuah kantong panjang dan dua buah sayap kiri dan kanan. Selanjutnya bagian-bagian tersebut dirinci lagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Bagian sayap mempunyai ukuran mata jaring yang lebih besar dibandingkan dengan bagian punggung jaring. Secara berturut-turut ukuran mata jaring ke arah kantong jaring (cod end) adalah semakin kecil.
Menurut Suryadie (2004), di Palabuhanratu payang dioperasikan dengan menggunakan perahu motor tempel (PMT) 5 GT dengan anak buah kapal sebanyak 13–25 orang. Lamanya trip penangkapan payang adalah dari pagi hari hingga sore hari atau malam hari berkisar antara 10–13 jam. Payang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan dan kemudian mengarahkannya ke dalam kantong yang berada pada belakang jaring.
Menurut Sudirman dan Mallawa (2004), payang adalah pukat kantong yang digunakan untuk menangkap ikan gerombolan ikan permukaan (pelagis fish), di mana dalam pengoperasiannya biasanya menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapannya. Adapun jika dalam pengoperasiannya tidak menggunakan rumpon, maka proses hanya terbatas pada tepi pantai seperti alat tangkap cantrang
Pancing ulur (hand line)
Pancing ulur banyak digunakan oleh nelayan terutama nelayan-nelayan kecil dikarenakan tidak membutuhkan modal yang sangat besar dan hasil tangkapannya jauh lebih besar dibandingkan dengan menggunakan alat tangkap pancing tradisional. Pancing ulur terdiri dari banyak mata pancing yang diikatkan pada tali utama (branch line). Pada tali utama ini menggantung tali cabang (branch line) yang banyaknya tergantung pada mata pancing yang dioperasikan. Nomor mata pancing yang digunakan adalah No.9 dan nomor tali utama yaitu No.1000 dan tali cabangnya No.500.
Hasil tangkapan pancing ulur didominasi oleh ikan layur (Trichiurus spp) sebagai ikan sasaran tangkapan, walaupun pada alat tangkap tersebut sering memperoleh bycacth ikan-ikan demersal. Ikan layur merupakan komoditas ekspor lebih kurang tahun 2002 yang lalu ketika harga ikan layur naik dan menjadi salah satu komoditas ekspor ke Negara Cina dan Korea.