Apa saja yang harus diperhatikan dalam meningkatkan akurasi peta digital?

Survei dan pemetaan dilakukan melalui penetuan posisi titik berbasis konstelasi satelit navigasi, pengukuran teristris, pengukuran kadastral dan pemetaan metode fotogramestris. Tujuannya adalah mendapatkan gambaran karakteristik objek-objek pada cakupan area yang dipetakan di permukaan rupa Bumi bulat. Produk akhirnya diupayakan berupa peta yang tergambar di bidang datar. Dengan berkembangnya teknologi saat ini digunakan peta digital yang merupakan pengejawantahan nilai geometri koordinat titik-titik di ruang bumi.

Peta dikualifikasikan berketelitian tinggi atau optimal, bilamana nilai geometri koordinat titik-titiknya paling mendekati nilai geometri koordinat titik-titik sebenarnya dan kondisi faktualnya di lapangan, di permukaan rupa Bumi-bulat. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih di peta maka diupayakan agar nilai geometri koordinat titik-titik pada peta adalah nilai yang sebenarnya.

Untuk memperoleh nilai geometri koordinat titik-titik yang mendekati nilai sebenarnya (akurasi tinggi), perlu digunakan metodologi yang tepat disertai instrumen pengukuran dan perekaman serta software, hardware, dan sarana-prasarana pengumpulan data fisik lapang yang memadai, sehingga diperoleh hasil akhir peta digital yang akurat.

Nilai geometri koordinat titik-titik sebenarnya di ruang kebumian, yang berlaku secara global adalah berupa daftar koordinat titik-titik geosentris [X,Y,Z, t = waktu], yang berreferensi di pusat massa gayaberat Bumi. Realisasinya di permukaan rupa Bumi, merupakan suatu evolusi International Terrestrial Reference Frame/International GNSS Service (ITRF/IGS). Untuk kepentingan praktis, nilai koordinat titik-titik geosentris itu, dikonversi ke koordinat geodetik: bujur (λ), lintang (ϕ), tinggi (h) pada elipsoida referensi World Geodetic System 1984 (WGS84). Evolusi terkini adalah ITRF2014 epoch 2010.0 dan WGS84[G1762, G = gpsweek].

Di seluruh wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), nilai geometri koordinat titik-titik sebenarnya diwakili oleh Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika Nasional (JKGGN), berupa stasiun-stasiun kontrol geodetik yang realisasi di lapangan adalah berupa pilar-pilar survei periodik Global Navigation Satellite System [Global Positioning System] GNSS[GPS] dan Continuously Operating Reference Station, CORS-GNSS[GPS].

Pada awalnya, JKGGN dikelola dan dikembangkan oleh Badan Koordinasi Survei Dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), sekarang Badan Informasi Geospasial (BIG). Stasiun-stasiun kontrol geodetik acuan JKGGN itu, terdefinisikan mempunyai nilai geometri koordinat titik-titik sebenarnya di ruang kebumian, karena di dalam metode pengukurannya adalah berbasis konstelasi satelit GPS, dilakukan simultan relatif terikat langsung ke 127 ITRF dan/atau 51 IGS reference core stations pada Jaring Stasiun GNSS[GPS] IGS Global.

Dalam proses pengolahan data JKGGN lanjutan, dilakukan menurut metodologi sahih dengan menggunakan perangkat lunak saintifik GAMIT/GLOBK, dan selalu menggunakan IGS precise ephemeris orbit satelitIGS final products including corrected model terms’. Hal ini menghasilkan produk nilai geometri koordinat [X,Y,Z,t] stasiun-stasiun geodetik pada JKGGN, berikut laju kecepatan pergerakan linier vX, vY, vZ mm/tahun mengandung keakurasian pada tingkat mm << 1 cm, mengacu pada evolusi ITRF terkini.

Dalam pelaksanaan kegiatan pengukuran terestris, kadastral dan pemetaan metode fotogrametris, JKGGN dengan stasiun-stasiun kontrol geodetik di lapangan berikut nilai-nilai geometri koordinatnya itu, wajib digunakan sebagai stasiun-stasiun referensi untuk diacu dalam penentuan posisi titik-titik lainnya. Sehingga, perolehan nilai titik-titik lainnya yang ditentukan tersebut akan berada di permukaan rupa Bumi-bulat pada ‘the correct of real world coordinate geometry’: longitude [bujur, λ]; latitude [lintang,ϕ]; ellipsoidal height [tinggi elipsoida, h], yang sejak tanggal 13 Oktober 2013 koordinat geodetik itu adalah dalam elipsoida referensi WGS84[G1762], sampai realisasi evolusi berikutnya.

Dalam penentuan posisi titik-titik lainnya tersebut, yang pada saat ini dengan ketersediaan instrumentasi ukur dan rekam di dukung oleh suatu sistem perangkat lunak canggih, pengukuran dalam waktu relatif singkat dan mudah, dapat diperoleh nilai geometri koordinat titik-titik dengan tingkat kepresisian « 5 cm, bahkan bisa lebih presisi. Ditambah dengan produk citra-udara digital resolusi piksel tingkat sentimeter, dan produk pengukuran terestris pada azimut, sudut, jarak juga semakin presisi. Tentunya, perlu mendapatkan perhatian seksama bahwa pencapaian nilai geometri koordinat titik dengan tingkat kepresisian optimal, berikut produk tambahannya itu, akan ter(di)degradasi secara signifikan, jadi menjauh dari nilai koordinat titik-titik yang sebenarnya, oleh faktor-faktor berikut:

  • pada pembuatan produk peta digital, digunakannya besaran nilai ambang batas toleransi akurasi penentuan posisi data geospasial untuk produk peta berbasis lembaran kertas berskala;

  • pengelolaan dan pengendalian nilai koordinat stasiun-stasiun geodetik referensi tidak pada ‘epoch’ yang tepat, sesuai perubahan fungsi waktu (mm/tahun);

  • titik-titik lain yang ditentukan posisinya/koordinatnya, tidak mengacu pada stasiun-stasiun geodetik referensi di blok mikro zonasi deformasi kerak bumi yang sama, dalam arah dan besaran perubahan koordinat (non)linier [mm/tahun];

  • penggunaan sistem proyeksi peta tidak tepat guna, terdistorsi signifikan tak terkendalikan, dalam menggambarkan tingkat kedetailan pada suatu cakupan area lahan yang dipetakan di permukaan rupa Bumi-bulat.

Patut diduga kiranya, bahwa keempat faktor itulah yang merupakan sumber utama telah menimbulkan kegagalan selama ini, dalam melakukan proses ‘link and map edge matching’ yaitu, dari hasil pengukuran terestris dan/atau pengukuran kadastral tatkala digambarkan pada peta, atau sebaliknya rekonstruksi dari peta ke kondisi faktual di lapangan. Selain itu, tingkat kesulitan yang kerap kali dialami pada aspek mempertahankan keakurasian geometris, dalam proses penyelarasan dan pengintegrasian seluruh data geospasial (DG) dan produk informasi geospasial (IG) digital pada lingkup nasional. Bilamana keempat faktor itu, tidak ikut diperhitungkan dengan seksama secara tepat guna dan tepat waktu untuk di minimalisir, hanya akan berpotensi melestarikan produk peta tumpang-tindih. Pada aspek nilai geometri koordinat titik, produk akhir berupa IG atau peta digital semacam itu, sungguh tidak selayaknya dijadikan sebagai peta acuan atau referensi untuk lingkup nasional.

Dalam pembuatan dan pemutakhiran IG atau peta digital pada masa kini dan masa depan, dituntut untuk dapat memenuhi sebuah diktum dalam dunia geospasial global: ‘Nilai geometri koordinat titik-titik pada peta, wajib yang paling mendekati kondisi dan ukuran faktualnya di tanah’. Apa yang tertulis dan tergambarkan di peta: suatu ukuran jarak, luasan bidang tanah atau petak sawah, jangan sampai kenyataannya berbeda ukuran begitu signifikan, dengan sebenarnya di permukaan rupa Bumi-bulat. Dengan demikian, dalam tulisan ini adalah mencoba untuk memberikan konsepsi cara pandang, tentang posisi nilai geometri koordinat titik-titik yang sebenarnya di ruang kebumian. Agar dalam pelaksanaan kegiatan pengumpulan data-data fisik di lapangan, pada: pengukuran terestris; pengukuran kadastral; pemetaan metode fotogrametris; dan berikut proses hitungan dan/atau pengolahan data lanjutan, yang produk akhirnya berupa nilai koordinat titik-titiknya di peta digital, dapat berada yang paling mendekati pada aspek ‘the correct of real world coordinate geometry’, di permukaan rupa Bumi-bulat. Pada saat yang sama, sekaligus dapat berkontribusi positif dalam upaya pembuatan produk peta digital berkualitas optimal, yang berkemampuan interoperabilitas bisa saling berbagi-pakai pada lingkup nasional.