Apa Saja Tugas dan Kewenangan Bank Indonesia (BI)?

image

Bank Indonesia adalah bank sentral Negara Republik Indonesia. Status dan kedudukan adalah sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenang, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Lalu apa saja tugas dan kewenangan Bank Indonesia (BI)?

BI dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai bank sentral memiliki peran sebagai penjaga stabilitas moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan sebagai pengatur dan pengawas perbankan.

Tugas dan kewenangan BI dalam membina dan mengawasi perbankan tersebut meliputi : [1]

  1. Kewenangan memberi izin, termasuk memberikan izin pendirian bank, pendirian kantor cabang sampai dengan pencabutan izin.
  2. Kewenangan untuk mengatur.
  3. Kewenangan untuk mengawasi, dilakukan melalui pengawasan secara langsung maupun pengawasan tidak langsung. Hasil dari pengawasan dapat dijadikan pedoman untuk melihat tingkat kesehatan bank.
  4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi, dalam hal ini sanksi administratif. Untuk yang dapat dikenakan pidana diteruskan kepada pihak yang berwenang.

Berikut adalah penjelasan tugas dan kewenangan Bank Indonesia secara rinci

Kewenangan Bank Indonesia (BI) Di Bidang Pengawasan Perbankan Secara Umum

Tugas mengatur dan mengawasi bank penting tidak saja untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran, tetapi juga untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi perkembangan ekonomi dan inflasi. Hal itu mengingat lembaga perbankan berfungsi sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dalam mobilisasi dana dan penyaluran kredit perbankan (fungsi intermediasi) maupun dalam peredaran uang di dalam perekonomian.

Pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia sebagai:

  1. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana;
  2. Pelaksana kebijakan moneter;
  3. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan; agar tercipta perbankan yang sehat, sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik.

Berdasarkan undang-undang, kewenangan BI dalam mengatur dan mengawasi bank meliputi:

1. Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank

Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, BI: [2]

a. memberikan dan mencabut izin usaha bank;
b. memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank;
c. memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank;
d. memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

Pemberian dan pencabutan izin usaha suatu bank; pemberian izi pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank, termasuk pula persetujuan mengenai peningkatan status kantor bank; dan pemberian persetujuan kepemilikan dan kepengurusan bank, dilakukan dengan Keputusan Gubernur BI. [3]

Dalam pengertian izin untuk melakukan kegiatan usaha tertentu adalah termasuk izin untuk melakukan kegiatan usaha sebagai bank devisa, penitipan, melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, dan kegiatan-kegiatan usaha lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [4]

Kewenangan BI dalam memberikan izin juga termasuk dalam pemberian izin bank untuk melakukan merger, konsolidasi dan akuisisi, izin bank mengenai kerahasiaan bank, perubahan pengurus bank, serta perubahan produk-produk dari bank yang bersangkutan.

Namun semenjak ada UU No.24 Tahun 1999 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, kewenangan BI dalam hal memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank mengalami perubahan, Gatot Dwi Purwanto Penasehat Hukum Yunior pada Direktorat Hukum BI dalam wawancaranya mengatakan bahwa :

Terkait dengan perizinan kewenangan BI itu termasuk memberikan izin dan mencabut izin, jika ada bank-bank yang bermasalah dan kemudian tidak bisa disehatkan hal itu menjadi kewenangan BI, sebelum ada UU No.24 Tahun 1999 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pelaksanaan dari kewenangan untuk mencabut izin usaha bank sepenuhnya ada di BI. Sebelum ada UU LPS ini ada beberapa tahapan pengawasan terhadap bank-bank bermasalah, ada yang namanya pengawasan normal dari pengawasan normal ditingkatkan lagi pengawasan intensif kemudian jika kondisi keuangan bank tetap jelek ditingkatkan lagi statusnya menjadi dalam pengawasan khusus. Bank yang berada pada status pengawasan khusus akan diberikan tenggang waktu oleh BI sekian bulan untuk menyehatkan kondisi keuangannya yang salah satu caranya dengan menambah modal. Jika segala upaya telah dilakukan namun bank tersebut tetap berada dalam kondisi tidak sehat, BI akan mencabut izin usahanya.

Sekarang ketika ada LPS tidak seperti itu lagi polanya, dulu ketika suatu bank yang berada dalam Special Surveillance Unit (SSU) atau dalam pengawasan khusus tidak bisa memenuhi persyaratan akan langsung dicabut, sekarang ini tahapannya ketika bank dalam pengawasan khusus kemudian tidak bisa disehatkan, BI akan melempar ke LPS apakah bank yang bersangkutan akan diselamatkan atau tidak, jadi konteksnya bukan menyehatkan atau tidak karena sudah jelas tidak bisa disehatkan sehingga fase berikutnya adalah mau diselamatkan atau tidak, keputusan untuk menyelamatkan atau tidak itu ada di LPS. Keputusan untuk menyelamatkan atau tidak bank yang bersangkutan ada konsekuensinya, jika LPS ingin menyelamatkan berarti LPS yang harus setor modal, namun jika LPS tidak mau menyelamatkan berarti banknya akan dilikuidasi dan LPS memiliki kewajiban terhadap masyarakat untuk menggantikan dana simpanan masyarakat.

2. Menetapkan peraturan di bidang perbankan

Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, BI berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.[5] Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat, sehingga mampu mendukung pencapaian dan pemeliharaan stabilitas moneter dan pengendalian laju inflasi. Mengingat pentingnya tujuan mewujudkan sistem perbankan yang sehat, maka peraturan-peraturan di bidang perbankan yang ditetapkan oleh BI harus didukung dengan sanksi-sanksi yang adil. Pengaturan bank berdasarkan prinsip kehati- hatian tersebut disesuaikan pula dengan standar yang berlaku secara internasional.[6]
Peraturan-peraturan terhadap bank-bank di Indonesia juga dikeluarkan oleh unit-unit kerja/direktorat-direktorat khusus di BI, sesuai dengan jenis-jenis bank masing-masing. Untuk Bank Umum, peraturan-peraturannya dikeluarkan oleh Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, untuk Bank Perkreditan Rakyat dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat, sedangkan untuk Bank Syariah dikeluarkan oleh Direktorat Perbankan Syariah.[7]

Jenis-jenis peraturan yang dikeluarkan oleh BI adalah: [8]

  1. Peraturan BI
    Mengatur secara ekstern.
  2. Surat Edaran BI yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan BI, oleh karena itu juga berlaku secara ekstern.
  3. Peraturan Dewan Gubernur
    Mengatur secara intern di lingkungan BI.
  4. Surat Edaran BI yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Dewan Gubernur, oleh karena itu juga berlaku secara intern.
  5. Keputusan Pejabat yang bisa berupa Keputusan Dewan Gubernur, Keputusan Dewan Gubernur Senior, ataupun Keputusan Direktur BI. Bersifat sekali dikeluarkan, langsung dan hanya berlaku saat itu juga.

Contoh dari peraturan yang dikeluarkan BI antara lain Peraturan tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang diatur dengan SK Direktur BI Nomor 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998, Capital Adequacy Ratio (CAR) dituangkan dalam PBI Nomor 3/21/PBI/2001, Giro Wajib Minimun (GWM) diatur dalam PBI Nomor 6/15/PBI/2004 yang telah diubah dengan PBI Nomor 7/49/PBI/2005, Posisi Devisa Netto (PDN) yang diatur dalam SK Direktur BI Nomor 31/178/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998, dll.

3. Melakukan pengawasan bank baik secara langsung maupun tidak langsung

Pengawasan yang dilakukan BI atau pihak lain yang ditunjuk atas namanya meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung. BI berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai tata cara yang ditetapkannya. Apabila diperlukan, kegiatan penyampaian laporan ini dapat dikenakan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank.
Bank dan pihak terkait wajib memberikan kepada pemeriksa:

  • keterangan dan data yang diminta
  • kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya.
  • Hal-hal lain yang diperlukan seperti salinan dokumen, dll.

Dalam kaitan hasil pemeriksaan ini, BI dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi apabila menurut penilaian BI transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan. Demikian pula, jika menurut BI suatu bank dapat membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, BI dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam UU perbankan yang berlaku.[9]

Untuk pengawasan bank ditangani empat urusan atau unit kerja untuk pengawasan Bank Umum dan satu urusan untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pengawasan itu sendiri terdiri dari dari dua jenis, yaitu pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung. Pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan,[10] dilakukan on the spot, dengan datang langsung ke banknya. Pengawasan ini ditangani oleh Urusan Pemeriksaan Bank (UpmB).[11] Sedangkan pengawasan tidak langsung dilakukan terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank.[12] Pengawasan tidak langsung ini ditangani oleh Urusan Pengawasan Bank (UpwB).[13]

Sebagai upaya peningkatan sistem pengawasan bank khususnya dalam rangka peningkatan efektivitas pengawasan bank, BI saat ini menerapkan pengawasan bank yang berbasis risiko (risk based supervision) yang berorientasi ke depan (forward looking). Hal tersebut dengan pertimbangan risk based supervision telah menjadi acuan pengawasan bank secara internasional.

Selanjutnya mengingat informasi bank yang disampaikan kepada BI belum memadai untuk dilakukan analisis secara off-site dan kondisi perbankan saat ini dalam proses recovery, BI memutuskan untuk melakukan On-site Supervisory Presence (OSP) pada beberapa bank yang dinilai sebagai systemically important bank sehingga penerapan assesment berdasarkan risiko mulai diterapkan melalui OSP.[14]

4. Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai ketentuan perundangan

Berdasarkan pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan, BI dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tersebut, atau Pimpinan BI dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.

Sanksi administratif tersebut antara lain adalah:[15]

a. Denda uang;
b. Teguran tertulis;
c. Penurunan tingkat kesehatan bank;
d. Larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
e. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
f. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan BI;
g. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.

Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh BI, yang pokok-pokok ketentuannya memuat antara lain:[16]

a. Jenis-jenis sanksi administratif;
b. Tata cara pelaksanaan sanksi administratif;
c. Tindak lanjut pelaksanaan sanksi administratif;
d. Pengawasan pelaksanaan sanksi administratif.

Sedangkan dalam Undang-Undang BI pasal 72 ayat (1), Dewan Gubernur dapat menetapkan sanksi administratif terhadap pegawai BI serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Sanksi administratif tersebut dapat berupa:[17]
a. Denda; atau
b. Teguran tertulis; atau
c. Pencabutan atau pembatalan izin usaha oleh istansi yang berwenang apabila pelanggaran dilakukan oleh badan usaha; atau
d. Pengenaan sanksi disiplin kepegawaian.

Kewenangan Dewan Gubernur untuk menetapkan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam pasal 72 ayat (1) tersebut berlaku terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-undang BI dan peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan BI dan Peraturan Dewan Gubernur.[18]

Yang dimaksud dengan denda adalah kewajiban untuk membayar uang dalam jumlah tertentu sebagai akibat dari tidak dipenuhinya ketentuan dalam Undang-undang BI tersebut.[19] Pencabutan atau pembatalan izin usaha terhadap badan usaha dilakukan oleh instansi yang berwenang berdasarkan permintaan BI. Sedangkan sanksi disiplin hanya dikenakan terhadap pegawai BI berdasarkan peraturan disiplin kepegawaian yang ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur.

Pengaturan lebih lanjut sanksi administratif yang dikenakan terhadap pihak lain di luar pegawai BI ditetapkan dengan Peraturan BI, sedangkan sanksi administratif yang dikenakan terhadap pegawai BI ditetapkan dengan Peratura Dewan Gubernur.[20]

Pokok-pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam Peraturan BI adalah:[21]
a. Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi administratif;
b. Besarnya sanksi administratif yang berupa denda;
c. Tata cara pengenaan sanksi administratif.

Pokok-pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam Peraturan Dewan Gubernur memuat antara lain:[22]
a. Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi administratif;
b. Jenis-jenis sanksi disiplin pegawai;
c. Tata cara pengenaan sanksi disiplin kepegawaian.

Selanjutnya mengenai sanksi pidananya, yang berwenang menetapkannya adalah lembaga-lembaga peradilan, karena BI adalah merupakan lembaga administratif, yang hanya berwenang untuk menetapkan sanksi administratif kepada bank-bank yang tidak melaksanakan kewajibannya.

Keempat kewenangan tersebut merupakan satu kesatuan dalam mendukung terciptanya sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien. Ketentuan perizinan ditujukan untuk meyakinkan bahwa bank yang diperbolehkan beroperasi mempunyai modal yang cukup dan dikelola oleh pengurus bank yang kompeten dan mempunyai integritas yang tinggi. Ketentuan kehati-hatian bank ditujukan untuk memberikan rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh para pengurus bank sesuai standar yang berlaku secara internasional. Sementara itu, pengawasan bank diarahkan untuk meyakinkan bahwa rambu-rambu kehati-hatian tersebut dipatuhi oleh pengurus bank. Apabila suatu bank melakukan pelanggaran atau bahkan diyakini tidak layak beroperasi, maka BI berwenang untuk memberikan sanksi baik secara administratif ataupun bahkan mencabut izin usaha bank yan bersangkutan.[23]

Kewenangan BI Menurut Undang-Undang Perbankan

Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, BI mempunyai tugas dalam hal pembinaan dan pengawasan bank. Pembinaan adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, pengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank.

Yang dimaksud dengan pengawasan dalam ayat (1) ini meliputi pengawasan tidak langsung yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank, dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.
Sejalan dengan itu, BI diberi wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif.
Selanjutnya pada penjelasan pasal 29 tersebut, dijelaskan pula tujuan dari pembinaan dan pengawasan bank oleh BI tersebut, yakni:[24]

a. Kedua fungsi itu harus dilakukan oleh BI selaku bank sentral, mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, karenanya keadaan suatu bank perlu dipantau oleh BI;

b. Tujuannya agar kesehatan bank tetap terjaga dan kepercayaan masyarakat terhadap bank tetap terpelihara, sebab kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga perbankan dalam kegiatan usahanya selalu berada dalam keadaan sehat;

c. Sejalan dengan itu, BI diberi kewenangan, tangung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk-petunjuk, nasihat-nasihat, bimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan;

d. Di pihak lain, bank wajib memiliki dan menerapakan sistem pengawasan internal dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

Itulah yang menjadi tujuan umum pembinaan dan pengawasan bank oleh BI, yang dapat dibaca pada penjelasan pasal yang mengatur pembinaan dan pengawasan bank. Pada intinya tujuan pembinaan dan pengawasan bank adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efisien, sehingga kesehatannya tetap terjaga dan kepercayaan masyarakat terhadapnya juga terpelihara. Kalau tidak demikian, sistem perbankan dan perekonomian nasional itu sendiri dapat terancam.[25]

Sedangkan dalam Pasal 30 ayat (1) disebutkan bahwa bank wajib menyampaikan kepada BI, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh BI. Kewajiban penyampaian keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu bank kepada BI diperlukan mengingat keterangan tersebut dibutuhkan untuk memantau keadaan dari suatu bank. Pemantauan keadaan bank perlu dilakukan dalam rangka melindungi dana masyarakat dan menjaga keberadaan lembaga perbankan.

Pembinaan dan pengawasan terhadap bank ini oleh BI tidak dimaksudkan untuk:[26]

  1. mengganti manajemen bank dalam melakukan dan mengambil keputusan bisnisnya atas nama bank yang dikelolanya. Sebagai sebuah unit ekonomi yang independen dalam tatanan sistem ekonomi yang lebih luas, bank memilih pertimbangan-pertimbangan sendiri yang bebas dalam rangka memelihara kesinambungan eksistensinya didalam tatanan tersebut. Keputusan-keputusan yang diambil sepenuhnya dilakukan sepenuhnya dilakukan oleh manajemen bank. Batasan-batasan dan nilai-nilai yang mungkin diberikan oleh pemilik, masyarakat maupun pemerintah dimaksudkan untuk membantu manajemen dalam menjalankan kegiatan operasi bank, dalam arti mempengaruhi pemikiran dan perilaku manajemen, sehingga kegiatan tersebut diarahkan pada tujuan-tujuan yang dikehendaki bersama. Justifikasi tentang arah pengembangan yang ingin dicapai bank adalah sepenuhnya merupakan perwujudan keputusan-keputusan independen dari manajemen bank;

  2. tidak menjamin bank tidak akan jatuh bangkrut. Pengawasan pada hakikatnya merupakan tugas dan kewajiban dari semua pihak yang terkait dengan bank, yaitu manajemen bank, pemilik bank, masyarakat termasuk para nasabah bank dan pemerintah yang dalam hal ini berfungsi sebagai otoritas pengawasan bank-bank yang diwakili oleh BI. Semua pihak dimaksud mempunyai pengaruh terhadap arah dan operasi bank. Walaupun pihak-pihak yang dimaksud dapat mempengaruhi kegiatan bank, namun tingkat pengaruhnya berbeda antara yang satu dan lainnya. Pihak yang dapat mempengaruhi jalannya bank adalah manajemen bank yang bersangkutan, karena manajemenlah yang secara langsung mengambil keputusan pengelolaan bisnis bank sehari-hari. Pihak-pihak lain juga mempunyai pengaruh, namun pengaruh tersebut tentunya dalam batas-batas tertentu sesuai fungsi yang diembannya masing-masing. Yang menyebabkan bank dapat bangkrut atau tidak adalah pengelolaan bank oleh manajemen bank;

  3. bukan untuk mencegah atau melarang bank mengambil risiko bisnis dari kegiatan operasionalnya. Sebagai unit usaha yang berorientasi memperoleh laba, bank akan selalu dihadapkan pada berbagai alternatif bisnis yang dapat menjanjikan keuntungan ataupun kemungkinan risiko rugi. Dengan demikian, kerugian bukanlah suatu yang tidak lazim dan merupakan suatu sifat yang melekat pada pelaksanaan fungsi manajemen oleh pengelola. Dalam hal ini, yang tidak lazim adalah apabila di dalam memperolehnya manajemen bank secara sengaja ataupun sadar telah mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat, atau apabila kerugian tersebut berlangsung secara berkelanjutan tanpa upaya-upaya untuk mengurangi ataupun menghilangkannya;

  4. untuk menciptakan distorsi terhadap iklim persaingan yang sehat dari pasar dan tidak untuk memaksakan bank untuk melakukan kebijakan moneter dan kredit tertentu. Persaingan antara bank, justru iklim yang ingin diciptakan oleh kebijakan deregulasi karena dengan iklim tersebut, dapat diharapkan menciptakan efisiensi dalam perbankan. Demikian pula, kebijakan pengendalian tidak langsung oleh BI, dimaksudkan untuk memberikan kepercayaan kepada perbankan dan sektor swasta untuk mengatur dirinya sendiri dalam memaksimalkan dan mengefisiensikan sumber-sumber pendanaan masyarakat pada sektor-sektor yang dari bisnis memang memerlukan bantuan kredit perbankan. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa bank mampu memaksimalkan pelayanannya kepada masyarakat. Peranan pemerintah memang masih ada, namun pada tahap akhir, manajemen bank sebagai pelaku ekonomilah yang menentukan arah pengalokasian dana yang dapat dihimpunnya.

Pasal 30 ayat (2) menyebutkan bahwa bank atas permintaan BI, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan hanya dapat ditumbuhkan apabila lembaga perbankan dalam kegiatan usahanya selalu berada dalam keadaan sehat. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kebenaran atas laporan yang disampaikan oleh bank, BI diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada bank.

BI berkewajiban untuk tidak mengumumkan semua keterangan yang diperoleh dari bank berdasarkan ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya karena keterangan tersebut bersifat rahasia. Hal ini sesuai dengan Pasal 30 ayat (3).
Pasal 31 menyebutkan bahwa BI melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank maupun setiap waktu jika dipandang perlu untuk meyakinkan hasil pengawasan
tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktik perbankan yang sehat. Terhadap keuangan negara yang dikelola oleh suatu bank, Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan pada bank yang bersangkutan.

BI dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap bank, dapat menugaskan Akuntan Publik untuk dan atas nama BI. Pemeriksaan terhadap bank yang dilakukan oleh Akuntan Publik adalah pemeriksaan setempat yang merupakan bentuk pendelegasian wewenang BI selaku otoritas pembina dan pengawas bank. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 31A.

Dalam Pasal 33 ayat (1) disebutkan bahwa laporan pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31A bersifat rahasia sedangkan menurut Pasal 33 ayat (2) persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31A ditetapkan oleh BI.
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh BI memuat antara lain:
a. jenis prosedur dan ruang lingkup pemeriksaan;
b. jangka waktu dan pelaporan hasil pemeriksaan;
c. tindak lanjut hasil pemeriksaan.

Bank wajib menyampaikan kepada BI neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh BI. Neraca serta perhitungan laba/rugi tahunan tersebut wajib terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik, hal ini terdapat dalam Pasal 34 ayat (1) dan (2). Bank juga diwajibkan untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh BI yang diatur dalam Pasal 35.

Dalam Pasal 37 dijelaskan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, BI dapat melakukan tindakan agar:

a. pemegang saham menambah modal;
b. pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
c. bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
d. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;
g. bank dijual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.

Keadaan suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian BI, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset likuiditas dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehat-hatian dan asas perbankan yang sehat.

Kewenangan BI Menurut UU Bank Indonesia

Dalam Undang-undang No.23 Tahun 1999 tentang BI yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, kewenangan dan tugas BI ialah meliputi pengaturan dan pengawasan bank. Alasan bank harus diatur dan diawasi adalah karena apabila suatu sistem perbankan dalam kondisi yang tidak sehat, maka fungsi bank sebagai lembaga intermediasi tidak akan berfungsi dengan optimal. Dengan terganggunya fungsi intermediasi tersebut, maka alokasi dan penyediaan dana dari perbankan untuk kegiatan investasi dan pembiayaan sektor-sektor yang produktif dalam perekonomian menjadi terbatas. Sistem perbankan yang tidak sehat juga akan mengakibatkan lalu lintas pembayaran yang dilakukan oleh sistem perbankan tidak lancar dan efisien. Selain itu, sistem perbankan yang tidak sehat juga akan menghambat efektivitas kebijakan moneter. Melihat akibat yang ditimbulkan oleh sistem perbankan yang tidak sehat tersebut, maka dapat disimpulkan pentingnya pengaturan dan pengawasan bank sebagai upaya menciptakan dan memelihara kesehatan sistem perbankan.[27]

Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, BI berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian (Pasal 25 ayat (1)). Hal ini bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat.

Mengingat pentingnya tujuan mewujudkan sistem perbankan yang sehat, maka peraturan-peraturan di bidang perbankan yang ditetapkan oleh BI harus didukung dengan sanksi-sanksi yang adil. Pengaturan bank berdasarkan prinsip kehati-hatian tersebut disesuaikan pula dengan standar yang berlaku secara internasional.

Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia, adapun pokok-pokok berbagai ketentuan yang akan ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia antara lain memuat:

a) Perizinan bank;
b) kelembagaan bank, termasuk kepengurusan dan kepemilikan;
c) kegiatan usaha bank pada umumnya;
d) kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah;
e) merger, konsolidasi, dan akuisisi bank;
f) sistem informasi antar bank;
g) tata cara pengawasan bank;
h) sistem pelaporan bank kepada BI;
i) penyehatan perbankan;
j) pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum;
k) lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan.

Kewenangan BI Menurut PERPPU NO. 2 Tahun 2008

Adanya krisis keuangan akhir-akhir ini di Amerika Serikat yang merupakan terbesar sejak krisis 1929 telah memaksa pemerintah Amerika Serikat memberikan dana talangan atau bantuan likuiditas kepada industri keuangan yang bermasalah sebesar USD700 miliar. Krisis keuangan ini dipicu dari masalah pembiayaan kredit properti (subprime mortgage) yang dilakukan kurang hati-hati.

Dampak krisis keuangan ini berimbas pada berbagai negara termasuk Indonesia, karena sistem keuangan global saling interdependensi. Pemerintah Indonesia sudah, tengah, dan akan terus melakukan berbagai langkah antisipatif dan mengambil langkah-langkah responsif dalam membendung dampak krisis keuangan Amerika Serikat sehingga stabilitas sistem keuangan tetap terpelihara.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak dan hal ihwal kegentingan yang memaksa perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[28]

Perppu No.2 tahun 2008 merubah pasal 11 ayat (2) dan (5) UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004. Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa BI dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan.

Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada bank yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya dilakukan untuk mengatasi kesulitan bank karena adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar. Apabila kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, BI sepenuhnya berhak mencairkan agunan yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bank yang dapat memperoleh bantuan likuiditas adalah bank yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh BI, misalnya secara nyata berdasarkan informasi yang diperoleh BI bahwa bank yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek, memiliki agunan yang cukup dan apabila diperlukan, akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi bank tersebut.

Sedangkan ayat (2) dirubah menjadi pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Pokok-pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam PBI memuat antara lain:

a. persyaratan dan tata cara pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk didalamnya persyaratan bank penerima. Dalam rangka meneliti pemenuhan kesehatan bank tersebut, BI melakukan pemeriksaan bank calon penerima kredit atau pembiayaan;
b. jangka waktu, tingkat suku bunga atau nisbah bagi hasil dan biaya lainnya;
c. jenis agunan berupa surat berharga dan/atau tagihan yang mempunyai peringkat tinggi; dan
d. tata cara pengikatan agunan.

Hal tersebut tertuang dalam ayat (3) serta penjelasannya.

Selanjutnya ayat (4) menyebutkan dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, BI dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah. Sedangkan perubahan dalam ayat (5) berisi mengenai ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diatur dalam undang-undang tersendiri.

Mengenai kaitan antara dikeluarkannya Perppu ini dengan fungsi pengawasan bank yang dimiliki BI, Gatot Dwi Purwanto Penasehat Hukum Yunior pada Direktorat Hukum BI mengatakan :

Sebenarnya tidak ada hubungan langsung antara Perppu No.2 Tahun 2008 dengan pelaksanaan fungsi pengawasan yang dimiliki BI. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bank memiliki beberapa fase seperti fase normal, intensif, dan dalam pengawasan khusus, ketika bank berada pada fase dalam pengawasan khusus ada fasilitas-fasilitas yang bisa dimanfaatkan, contohnya jika bank tersebut mempunyai kewajiban ada fasilitas yang namanya Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), bank boleh menggunakan fasilitas itu sepanjang bank memiliki agunan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN). Sekarang Perppu ini memperluas tidak hanya SBI dan SUN yang dapat dijadikan agunan tapi juga aset kredit, sehingga hak tagih juga bisa dijadikan agunan untuk mendapatkan FPJP karena asset bank yang paling besar adalah piutang. Dengan adanya Perppu ini akses bank untuk bisa FPJP semakin lebar jadi sebenarnya konteksnya sebenarnya bukan ke pengawasan, mungkin pengawasan bisa tapi tidak secara langsung, maksudnya adalah sehat tidaknya atau bagus tidaknya bank tergantung pada bagaimana BI melakukan pengawasan.

Kewenangan BI Menurut PERPPU NO. 3 Tahun 2008

Penjaminan simpanan nasabah bank yang selama ini dilakukan melalui program penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan telah secara nyata dapat memelihara kepercayaan masyarakat pada industri perbankan pasca krisis 1998. Namun, dengan adanya krisis keuangan global saat ini perlu dilakukan antisipasi agar tidak terjadi penarikan dana perbankan secara besar-besaran akibat menurunnya kepercayaan masyarakat atas jaminan keamanan uang yang disimpannya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak dan hal ihwal kegentingan yang memaksa perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diatur mengenai tambahan kriteria perubahan besaran nilai simpanan yang dijamin untuk mengantisipasi dampak dari krisis keuangan global.[29]

Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan tambahan kriteria perubahan besaran nilai simpanan yang dijamin ada dalam ayat (2), kriteria Nilai Simpanan yang dijamin dapat diubah apabila dipenuhi salah satu atau lebih kriteria sebagai berikut:

a. terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan;
b. terjadi inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun;
c. jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya menjadi kurang dari 90% (sembilan puluh per seratus) dari jumlah nasabah penyimpan seluruh bank; atau
d. terjadi ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan.

Kewenangan dan Fungsi Bank Indonesia Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Pembentukan lembaga baru dalam bidang pengawasan tentu akan berdampak bagi BI dan juga OJK, diperkirakan kedua lembaga tersebut akan menghadapi berbagai kendala yang dapat mempengaruhi efektifitasnya. BI memiliki kemampuan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan guna mengurangi resiko yang dapat menimbulkan ketidakstabilan pasar keuangan dan sumber daya yang efektif untuk mengelola krisis yang mungkin timbul.[30]

BI dalam mengemban tugas untuk mengatur dan mengawasi bank, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, berwenang untuk menetapkan peraturan, memberikan, dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Mengacu pada ketentuan tersebut maka sangat jelas bahwa BI memiliki kewenangan, tangung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif maupun represif.

Dalam hal pengawasan dan pengaturan bank, BI selain berpedoman pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, juga mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan undang-undang perubahannya, yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.

Pengawasan yang dilaksanakan BI terhadap bank dapat berupa pengawasan langsung, yaitu berbentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan, juga dapat berupa pengawasan tidak langsung, yaitu suatu bentuk pengawasan dini melalui penelitian analitis, dan evaluasi laporan bank. Dalam rangka pengawasan yang dilakukannya, BI dapat menjalankan pemeriksaan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Di samping itu, pemeriksaan dapat dilakukan secara insidentil setiap waktu apabila diperlukan untuk meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan.[31]

Dalam perkembangannya, menyangkut tugas pengawasan bank ini selanjutnya oleh BI akan diserahkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen (OJK), tetapi tetap ada keterkaitan dengan BI sebagai bank sentral. Lembaga (supervisory board) ini dalam menjalankan tugas dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Penyerahan tugas pengawasan ini menunggu pembentukan lembaga tersebut, yang paling lambat akan dilaksanakan pada 31 Desember 2010.

Lembaga pengawasan jasa keuangan (supervisory board) atau OJK yang akan dibentuk tersebut kewenangannya tidak terbatas mengawasi bidang perbankan saja, tetapi juga mengawasi perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.[32]

Sedangkan menurut RUU OJK, OJK adalah lembaga pemerintah yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan, untuk melakukan pengaturan dan pengawasan pengelolaan kegiatan bidang jasa keuangan.[33]

Kemudian pasal 94 ayat (3) RUU OJK menyebutkan:

a. wewenang BI sehubungan dengan pengaturan dan pengawasan bank sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf c, pasal 24 sampai dengan pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 tentang BI dan sebagaimana dimaksud dalam perubahannya, menjadi wewenang OJK; dan

b. kewajiban untuk menyampaikan laporan, informasi, atau dokumen kepada BI sebagaimana diatur dalam UU No.23 Tahun 1999 tentang BI dan sebagaimana dimaksud dalam perubahannya, menjadi kewajiban untuk menyampaikan laporan, informasi atau dokumen kepada OJK.

Apabila kita melihat UU No.23 Tahun 1999 Tentang BI sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, maka kewenangan-kewenangan yang beralih tersebut adalah:

  1. Mengatur dan mengawasi bank;[34]

  2. Menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku;[35]

  3. Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati- hatian;[36]

  4. Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24:[37]
    a. Memberikan dan mencabut izin usaha bank;
    b. Memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank;
    c. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank;
    d. Memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

  5. Melakukan pengawasan bank sebagaimana dimaksud pasal 24, yaitu pengawasan langsung dan tidak langsung;[38]

  6. Mewajibkan bank untuk:[39]
    a. Menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh BI;
    b. Apabila diperlukan, kewajiban tersebut di atas dikenakan pula terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, dan pihak terafiliasi dari bank.

  7. Melakukan pemeriksaan:[40]
    a. Terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan;
    b. Apabila diperlukan, pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi, dan debitur bank;
    c. Bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud diatas, wajib memberikan kepada pemeriksa:

    1. Keterangan dan data yang diminta;
    2. Kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya;
    3. Hal-hal yang diperlukan.
  8. Menugasi pihak lain:[41]
    a. Untuk dan atas nama BI melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) dan (2).
    b. Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan.
    c. Syarat-syarat bagi pihak lain yang ditugasi pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan BI.

  9. Memerintahkan bank untuk:[42]
    a. Menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian OJK terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.
    b. Berdasarkan penilaian di atas, OJK wajib mengirim tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut.
    c. Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas tidak diperoleh bukti yang cukup, OJK pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

  10. Mengatur:[43]
    a. Serta mengembangkan sistem informasi antar bank.
    b. Sistem informasi tersebut dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan.
    c. Penyelenggaraan sistem informasi tersebut dapat dilakukan sendiri dan atau oleh pihak dengan persetujuan OJK.

  11. Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian OJK membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, OJK dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.[44]

Jadi berdasarkan uraian diatas, jika paling lambat 31 Desember 2010, OJK telah terbentuk maka pengawasan perbankan tak lagi berada di tangan BI. Pengawasan perbankan akan menjadi kewenangan OJK. BI sebagai bank sentral meskipun telah terbentuk lembaga pengawasan tersebut, perannya tidak bisa dikesampingkan dalam pengawasan bank karena lembaga tersebut (OJK) tetap harus mempunyai hubungan koordinasi yang baik dengan BI, diantaranya menyangkut keterangan dan data makro perbankan yang ada.[45]

Setelah OJK terbentuk, BI akan fokus kepada kewenangan dalam hal kebijakan moneter yaitu kebijakan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bunga.[46]

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam melakukan tugasnya, OJK melakukan koordinasi dan kerjasama dengan BI sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam undang-undang pembentukan OJK. OJK ini nantinya dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi dengan BI dan meminta penjelasan dari BI keterangan dan data makro yang diperlukan (penjelasan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004).

Tugas dan wewenang OJK dalam hal pengawasan perbankan hanya berkaitan dengan aspek micro prudential seperti kelembagaan, kegiatan usaha, dan penilaian tingkat kesehatan. Sedangkan aspek macro prudential berkaitan dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran seperti ketentuan tentang Giro Wajib Minimum (GWM), ketentuan devisa, Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan laporan-laporan serta pemeriksaan yang terkait dengan pelaksanaan tugas di bidang moneter dan sistem pembayaran merupakan kewenangan dari otoritas moneter BI.

Tugas micro prudential banking regulation yang menjadi kewenangan OJK meliputi kewenangan membuat dan menetapkan pengaturan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan bank serta ketentuan kehati- hatian yang berkaitan dengan individual bank dalam rangka menjaga bank tetap aman dan sehat.[47]

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yang dimaksud dengan ketentuan kehatian-hatian yang dikenal sebagai micro prudential banking regulation meliputi: [48]

  1. Pengaturan kelembagaan, antara lain mengenai perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank dalam negeri, kepemilikan dan kepengurusan, merger, konsolidasi, dan akuisisi bank;
  2. Pengaturan kegiatan usaha dan pengelolaan bank, antara lain mengenai sumber dana, penyediaan dana, aktivitas di bidang jasa.
  3. Pengaturan pembinaan dan pengawasan bank, antara lain mengenai penilaian tingkat kesehatan bank; dan
  4. Pengaturan likuidasi bank antara lain mengenai pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank.

Selama masa transisi, yakni saat OJK mempersiapkan organisasi, struktur, dan infrastruktur internalnya, tugas, fungsi, dan wewenang pembinaan serta pengawasan bank didelegasikan kepada otoritas pembina dan pengawas yang lama, yaitu BI, pendelegasian pelaksanaan tugas serta wewenang dimaksud dilakukan paling lama dua tahun sejak persetujuan dan pengesahan RUU OJK oleh DPR dan Presiden. Hal ini sesuai dengan penjelasan penjelasan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa

”Pengalihan fungsi pengawasan bank dari BI kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada DPR.”

Terlepas dari institusi apa yang akan mengawasi industri perbankan yang pasti tidak ada model yang universal. Seluruhnya terpulang kepada keputusan politik dan tentu saja keputusan politik tersebut berada di luar kekuasaan bank sentral. Namun demikian, beberapa faktor di bawah dapat menjadi bahan renungan dalam menyusun suatu struktur kelembagaan badan pengawas yang efektif.

  • Pertama, badan tersebut harus memiliki reputasi baik.
  • Kedua, bank sentral tetap membutuhkan akses atas informasi pengawasan bank agar mampu menjalankan tugasnya di bidang moneter dan lender of the last resort. Paul Volker mantan Chairman Federal Reserve Bank mengatakan bahwa kebijakan moneter maupun keuangan tidak dapat dilakukan dengan baik apabila bank sentral kehilangan perannya dalam mengawasi kegiatan sektor perbankan.
  • Ketiga, pembagian tugas antara bank sentral, OJK dan pemerintah harus tegas dan transparan.
  • Terakhir, harus ada bentuk kerjasama formal yang mengatur masalah koordinasi dan sebaiknya bentuk kerjasama itu diatur dalam undang-undang.[49]

Lembaga pengawas OJK yang akan dibentuk dengan undang-undang selambat-lambatnya akhir tahun 2010, harus proaktif menjalin kerjasama dengan BI, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Menteri Keuangan. OJK harus senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut :[50]

  1. Memberikan informasi keuangan kepada BI dan LPS sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing, agar penyelenggaraan fungsinya dapat berjalan aktif dan baik. Informasi tersebut harus lengkap dan bersifat updated yang diperoleh melalui akses langsung ke pusat informasi yang dipelihara OJK;
  2. OJK wajib bertukar informasi dengan BI dalam rangka menyelenggarakan
    financial stability analysis;
  3. OJK selaku otoritas pengatur tingkat kesehatan bank wajib memelihara kerjasama yang baik dengan BI;
  4. Secara berkala, OJK menyampaikan laporan ke Menteri Keuangan tentang efisiensi dan kesehatan dari individual bank;
  5. Untuk mengantisipasi terjadinya suatu gangguan serius terhadap perekonomian nasional yang diakibatkan oleh bank tertentu, disusun suatu mekanisme (aturan main) yang menciptakan kerjasama antara OJK, BI, LPS, dan Departemen Keuangan. Kerjasama tersebut diwujudkan dalam joint-comittee yang dipimpin Menteri Keuangan dengan anggota-anggotanya adalah pimpinan tertinggi dari masing-masing institusi tersebut. Dalam hal ditemukan indikasi resiko yang dapat meluas ke dalam skala nasional, OJK segera melaporkan ke Menteri Keuangan untuk mengadakan pembahasan tentang itu dan membuat langkah-langkah antisipasi maupun koreksi terhadap resiko tersebut.

Dampak yang mungkin timbul jika nantinya OJK benar-benar terbentuk antara lain: Dampak pertama yang akan terasa adalah kesulitan atau hambatan dalam melakukan koordinasi dengan BI. Dalam UU No.23 Tahun 1999 dijelaskan bahwa tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dalam pencapaian tujuannya maka BI diberikan tugas yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi bank. Dalam pelaksanaannya ketiga tugas tersebut saling berkaitan dan memberi dukungan satu dengan yang lain. Tugas menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan moneter dilakukan dengan pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, efektifitas pelaksanaan tugas tersebut membutuhkan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal yang merupakan sasaran pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam pelaksanaan tugas tersebut memerlukan sistem perbankan yang sehat yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi bank. Sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian moneter, mengingat pelaksanaan kebijakan moneter terutama dilakukan melalui sistem perbankan. Apabila tugas pengawasan bank dipisahkan dari BI akan dapat menimbulkan kesulitan atau paling tidak akan menimbulkan hambatan dalam melakukan koordinasi dengan BI dalam pelaksanaan tugas lainnya yang pada akhirnya kemungkinan besar juga berpengaruh dalam keberhasilan tujuan BI. Disamping itu juga dalam perumusan kebijakan maupun penilaian dampak kebijakan moneter yang diterapkan dalam sistem perbankan akan sulit segera terpantau, yang berarti akan menimbulkan masalah baru.

Dampak kedua adalah kesulitan dalam penerapan fungsi Bank Sentral sebagai Lender of the Last Resort. Dalam pelaksanaan fungsi tersebut bank sentral memerlukan informasi yang akurat dan terkini mengenai keadaan perbankan.

Dengan pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral berdampak tidak adanya akses langsung terhadap bank, bank sentral tidak dapat segera mendapat informasi yang akurat dan terkini sehingga akan mengalami kesulitan dalam melakukan penilaian apakah yang dihadapi bank masalah likuiditas atau masalah insolvensi.[51]

Pemindahan fungsi pengawasan kepada lembaga baru yaitu OJK karena ada penilaian bahwa pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Sentral kurang efektif. Agar fungsi pengawasan menjadi efektif setidaknya harus ada peningkatan efisiensi fungsi pengawasan, selain itu dalam melakukan pengawasan harus dilakukan secara adil terhadap semua institusi yang diawasi. Jika cara-cara pengawasan yang dilakukan oleh OJK sama dengan yang dilakukan sebelumnya oleh BI (yang menyebabkan pengawasan menjadi tidak efektif) maka dalam hal ini tidak menyelesaikan masalah yang terjadi adalah memindahkan masalah yang sama ke lembaga lain.[52]

Jadi, jika OJK ini terbentuk selambat-lambatnya akhir tahun 2010 maka kita akan mempunyai otoritas fiskal, yaitu Menteri Keuangan yang akan mengurusi masalah penerimaan dan pengeluaran negara serta mengelola kekayaan negara dan piutang negara, otoritas moneter, yaitu BI, dan otoritas pengawas jasa keuangan OJK. Bapepam akan masuk dalam OJK, jadi tidak lagi di bawah Menteri Keuangan.

Gatot Dwi Purwanto memaparkan pandangan BI terhadap rencana pembentukan OJK :

Sampai sekarang masih terdapat perbedaan pandangan terkait dengan kewenangan OJK, BI memandang mestinya sesuai amanat yang dialihkan hanya fungsi pengawasannya saja tapi pihak lain berpendapat selain fungsi pengawasan termasuk juga fungsi regulasinya atau fungsi pengaturan. BI selain mengawasi, mengatur juga memiliki kewenangan untuk menerbitkan Peraturan BI (PBI), BI keberatan jika fungsi pengaturan tersebut dilepaskan karena fungsi pengaturan terkait dengan fungsi BI sebagai otoritas moneter. Jika fungsi pengawasan mungkin tidak terlalu masalah karena sifatnya pengawasan terima laporan bank, melakukan pemeriksaan langsung ke bank atau dalam konteks pengawasan dalam arti yang sempit, tapi jika kemudian ditarik lagi ke konteks pengawasan dalam arti yang luas termasuk fungsi pengaturan itu yang mungkin BI agak keberatan.

Sedangkan mantan Kepala Bapepam I Putu Gede Ary Suta, dalam wawancaranya kepada Bisnis Indonesia edisi 22 Agustus 2006, mengatakan bahwa :

Pembentukan lembaga baru itu (OJK) tak diperlukan karena Bapepam-LK sekarang bisa saja menjalankan fungsi pengawasan optimal jika kewenangan pengawasannya ditingkatkan. Jika ingin memperkuat fungsi pengawasan pasar modal dan jasa keuangan nonbank, maka Presiden bisa meningkatkan status Bapepam-LK di bawah koordinasinya langsung.[53]

Referensi:
[1] Appie Yudana Antono, Pembinaan Dan Pengawasan Lembaga Perbankan Suatu Kajian Terhadap Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan,skripsi sarjana (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal.6.
[2] Indonesia, Undang-undang Tentang Bank Indonesia, UU No.23 Tahun 1999, LN No.66 Tahun 1999, TLN No.3843, ps 26.
[3] Ibid., penjelasan ps 26 poin a-c.
[4] Ibid., penjelasan ps 26 poin d.
[5] Indonesia , op.cit., UU No.23 Tahun 1999, ps 25.
[6] Ibid., penjelasan ps 25 ayat (1).
[7] Fifi Kusumawati, Tinjauan Hukum Mengenai Kedudukan Dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Selaku Pembina Dan Pengawas Perbankan, skripsi sarjana (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), hal.28.
[8] Ibid., hal.28.
[9] Didik J. Rachbini Ph.D dan Suwidi Tono, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral (Jakarta : PT. Mardi Mulyo, 2000), hal. 179-180.
[10] Indonesia, op.cit., UU No.23 Tahun 1999, penjelasan ps.27.
[11] Rachbini et al., op.cit., hal.125.
[12] Indonesia, op.cit., UU No.23 Tahun 1999, penjelasan ps.27.
[13] Rachbini et al., op.cit.
[14] Kusumawati, op.cit., hal.32-33.
[15] Indonesia, op.cit., UU No.10 Tahun 1998, ps 52 ayat (2).
[16] Ibid., penjelasan ps 52 ayat (3).
[17] Indonesia, op.cit., UU No.23 Tahun 1999, ps 72 ayat (3).
[18] Ibid., penjelasan ps 72 ayat (1).
[19] Ibid., penjelasan ps 72 ayat (2).
[20] Ibid., penjelasan ps 72 ayat (3).
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] F.X Sugiyono dan Ascarya, Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah Pengantar: Kelembagaan Bank Indonesia, Pusat pendidikan dan studi kebanksentralan Bank Indonesia, 2004, hal.34-35.
[24] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal.123.
[25] Ibid., hal.123-124.
[26] Ibid.
[27] Ibid., hal.141.
[28] Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Perppu No.2 Tahun 2008, LN No.142 tahun 2008, TLN No.4901, penjelasan umum.
[29] Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Perppu No.3 Tahun 2008, LN No.143 tahun 2008, TLN No.4902, penjelasan umum
[30] Rusli Simanjuntak, Implikasi Pemisahan Fungsi Pengawasan dari Bank Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia, 2000), hal.22.
[31] Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, cet. v, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal.129-130.
[32] Ibid., hal.132.
[33] Tim Pengarah RUU Otoritas Jasa Keuangan dan Persiapan Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, Rancangan Undang-undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, 2003, ps 3 ayat (1).
[34] Indonesia, op.cit., UU No.23 Tahun 1999, ps 8 poin c.
[35] Ibid., ps 24.
[36] Ibid., ps 25.
[37] Ibid., ps 26.
[38] Ibid., ps 27.
[39] Ibid., ps 28.
[40] Ibid., ps 29.
[41] Ibid., ps 30.
[42] Ibid., ps 31.
[43] Ibid., ps 32.
[44] Ibid., ps 33.
[45] Djumhana, op.cit., hal.132-133.
[46] Indonesia, Undang-undang Tentang Bank Indonesia, UU No.23 Tahun 1999, LN No.66 Tahun 1999, TLN No.3843, Ps. 1 angka 10.
[47] Sila Saktiana, Analisis Yuridis Mengenai Dampak Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Perbankan Syariah, (Skripsi sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004), hal.77-78.
[48] Ibid., hal.78.
[49] Zulkarnain Sitompul, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars No.02/Th.VII/12-18, (Januari 2004).
[50] Sila Saktiana, Analisis Yuridis Mengenai Dampak Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Perbankan Syariah, (Skripsi sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004), 79.
[51] Antono, op.cit., hal.101-103.
[52] Appie Yudana Antono, Pembinaan Dan Pengawasan Lembaga Perbankan Suatu Kajian Terhadap Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan,skripsi sarjana (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal.104-105.
[53] Hasil wawancara Bisnis Indonesia dengan I Putu Gede Ary Suta pada tanggal 22 Agustus 2006