Apa saja tingkatan-tingkatan fana menurut sufi ?

Fana

Apa saja tingkatan-tingkatan fana menurut sufi ?

Fana memiliki tiga tingkatan; Pertama, perubahan moral, kedua penghayatan kejiwaan, dan ketiga lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya karena larut pada kesadaran serba Tuhan. Dalam hal ini R.A. Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam mengatakan tentang tiga tingkatan fana’ sebagai berikut:

  • Adalah suatu peralihan moral dari sifat-sifat tercela dengan jalan pengendalian nafsu-nafsu dari segala keinginannya

  • Lenyapnya kesadaran terhadap segala yang ada di alam sekelilingnya, baik pikiran, perbuatan, dan perasaan dikarenakan kesadarannya telah terfokus dalam penghayatan pada Tuhan. Dalam hal ini penghayatannya telah tertuju pada sifat-sifat Allah.

  • Lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya. Puncak tertinggi dari fana’ ini tercapai ketika kesadaran akan kefana’annya sendiri telah lenyap. Para sufi menyebutkan ini sebagai fana’ terhadap kesadaran akan kefana’annya. Sang sufi ketika itu terhisap dalam kesadaran serba Tuhan.

Fana’ pada aspek moral dalam Risalah al-Qusyairiyah diterangkan sebagai berikut:

Para sufi mengisyaratkan kata fana’ pada hilangnya sifat-sifat tercela; dan kata baqa’ adalah terbinanya sifat-sifat yang terpuji.

Sedangkan fana’ yang bersifat kejiwaan sebagai berikut:

“Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya karena telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan sifat-sifat Allah karena telah mulai menyaksikan keindahan Zat Allah; kenudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefana’annya itu sendiri karena merasa telah melebur dan menyatu dalam wujud Allah”.

Fana’ kejiwaan itu sebenarnya ada tiga tingkatan pula. Pada mulanya lenyaplah kesadaran akan alam sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih terpusat ke alam batin (kejiwaan). Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Yakni dari kata kasyf al-hijab (terbukanya tabir
alam gaib).

Imam Ghazali menyinggung bahwa semenjak awal fana’, bermulalah proses penghayatan kejiwaan dan pengsaksian alam gaib, seperti bertemu para Malaikat, dan roh-roh para Nabi, mendengar percakapan mereka dan berdialog dengan makhluk-makhluk gaib. Pada tingkat kedua, mulai menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai Zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan ma’rifatullah yang dihayati oleh para sufi dalam alam kejiwaan sewaktu fana’. Pada tingkat tiga atau pada puncak penghayatan ma’rifat adalah fana’ al fana’, yaitu lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya.

Kalau pada tingkat kedua, para sufi masih sadar akan perbedaan antara hamba yang sedang menghayati ma’rifat dengan Tuhan, yang menjadi objek yang dima’rifati; pada tingkat tiga, dualisme ini lenyap, yakni mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhannya, sehingga yang dilihat (Tuhan) dan yang melihat (Hamba) merasa sama. Oleh karena itu, wajar bila Husain bin Mansur al-Hallaj mengatakan “Aku adalah Allah”. Proses puncak penghayatan fana’ ini diterangkan R.A Nicholson sebagai berikut:

Kemudian, dia meningkat terus ke arah kesadaran yang lebih tinggi lagi yang oleh para sudi dinamakan ‘ma’rifat’ dan ‘hakikat’ di mana sang pencari Tuhan menjadi ma’rifat atau 'arif, dan tercapailah suatu penghayatan di mana anatara ilmu, 'alim, dan ma’lum adalah satu (hamba yang melihat, dan Tuhan yang dilihat adalah satu).

Sementara Imam Ghazali yang dikutip Simuh membatasi sampai ke fana’ tingkat dua, masih mempertahankan adanya perbedaan yang fundamental antara hamba yang melihat dengan Tuhan yang dilihtanya. Sebaliknya al-Hallaj yang menekankan pencapaian pada tingkat tiga (puncak penghayatan fana’ al- fana’) cenderung kepaham manunggaling kawula-Gusti. Dalam penghayatan ini manusia merasa mengalami sama dan jadi seperti Tuhan itu sendiri.

Salah satu contoh tentang fana’ ini yang banyak disetir dalam kitab- kitab tasawuf adalah firman Allah dalam QS Yusuf [12]: 31 sebagai berikut:

"Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), Kemudian dia Berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka”. Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: “Maha Sempurna Allah, Ini bukanlah manusia. Sesungguhnya Ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.”

Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa dengan melihat wajah Nabi Yusuf yang indah mereka (para perempuan pembesar istana) telah terpesona tidak sadar diri telah memotong jari mereka dan tidak terasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona melihat keelokan wajah Allah tentu lebih fana’ lagi. Sebagaimana diterangkan dalam Risalah al-Qusyairi berikut ini:

Ini baru keheranan seorang makhluk melihat keindahan makhluk lain, sudah fana’. Bisa dibayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi yang menakjubkan. Jadi tidak mengherankan bila ia fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhluk sejenisnya.

Adapun salah satu jalan mencapai tingkat penghayatan fana’ fillah disamping mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran) dengan perantara zikir. Dalam Kitab Fusus al-Hikam disebutkan sebagai berikut:

Zikir adalah sebuah pintu yang paling besar (untuk mencapai fana’ dan ma’rifat) pada Allah; maka masukilah sertailah setiap keluar-masuknya nafas dengan zikir.

Dalam Risalah al-Qusyairi diterangkan:

Zikir adalah rukun (tiang) yang paling kuat sebagai jalan menuju Ilahi; atau bahkan saka guru tarekat ini. Seorang tidak akan bisa samapai kepada Tuhan bila tidak menjalankan zikir secara tetap.

Selanjutnya al-Qusyairi menambahkan awal daripada zikir adalah lenyapnya kesadaran akan dirinya, dan akhirnya fana’-nya orang yang zikir pada zikirnya, yakni tidak sadar lagi akan zikirnya lantaran tenggelam jiwanya dalam mengingat Ilahi.

Mengutip pendapat al-Wasiti yang mengatakan tentang zikir adalah sebagai berikut:

Zikir itu berusaha keluar dari kealpaan mengingat Ilahi, menuju nikmat musyahadah (menyaksikan kebesaran Ilahi), yakni hilangya rasa takut lantaran menggilanya rasa cinta Allah.

Referensi :

  • R.A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1966)
  • Abu Qasim 'Abd al-Karim al-Qusyairi, ar-Risalah al-Qusyairiyah (Kairo: t.p. 1966)

Sufi untuk masuk dalam dunia fana’, maka ada empat hal yang harus diperhatikan yang merupakan juziyyat (bagian-bagian) dari fana’ yaitu:

Al-Sukr

Al-Sukkar didahului oleh fase Ghaibah yaitu suatu keadaan pertengahan antara hubb dan fana’. Al-Sukkar tidak bisa dicapai kecuali orang yang dalam keadaan “mencintai” (“mawajid”), ketika itu seorang hamba dibukakan sifat-sifat keindahan sehingga al-sukr itu tercapai yang ditandai dengan hati berdebar dari hati berdebar dan hati yang penuh rasa cinta terhadap Tuhan. Contoh ketika al-Bustami dalam keadaan al-Sukr dia mengeluarkan kata-kata dari mulutnya, Subehani

Al-Syathahat

Dari segi bahasa adalah gerakan yaitu: gerakan rahasia dari orang yang sangat cinta, lalu mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang aneh bagi pendengarnya, sehingga tidak ada orang yang dapat memahami ungkapan itu kecuali orang yang diberikan kemuliaan dan pemahaman yang luas.

Contoh al-Bustami mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang aneh: “Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan tiada Tuhan selain Allah, Abu Yazid tobat dengan syahadat, karena lafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada dibelakang tabir, Abu Yazid ingin berada dihadhirat Ilahi, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: “Tidak ada Tuhan selain Engkau”. Jadi dengan kecintaannya itu, Abu Yazid berkata: “Aku tidak meminta dari Tuhan selain Tuhan’. Dari pernyataan di atas, nampaknya al-Bustami sudah dekat dengan Tuhan, namun persatuan ( ittihad ) denganNya belum terjadi dengan sempurna.

Zawal al-Hujab

Zawal al-hijab adalah suatu keadaan seorang sufi tidak ada lagi yang diinginkan kecuali Allah, seperti halnya denga al-Hallaj ketika sudah mencapai kenikmatan bertemu dengan Tuhannya, dia berkata: Aku ingi Engkau, aku tidak ingin dari Engkau suatu balasan, akan tetapi aku inginkan dari Engkau adalah siksaan.

Hal ini juga terjadi pada diri Rabi’ah al-Adawiyyah dengan mahabbahnya dengan ungkapan: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintaku kepadaNya. Ia bermunajat: “Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah mataku kare Engkau, janganlah sembunyikan keindahanMu yang itu dari pandanganku. Dia beribadah bukan karena takut kepada Allah, bukan pula mengharapkan surga, tapi hanya karena cintanya kepada Tuhan.

Dalam pada itu al-Bustami menyatakan sebagai berikut: Ketika ditanya tentang surga, dia menjawab: “Surga itu adalah permainan anak-anak”. Karena surga baginya adalah hijab yang paing besar, sesungguhnya penduduk surga itu tinggal di dalam surga, sementara setiap orang berada dalam surga bererti berdiam kepada selain Tuhan, dengan demikian dia mahjub.

Ghalbat al-Syuhud

Ini merupakan tempat di atas tempat, dan waktu diatas waktu, disini tidak lagi menanyakan kenapa dan bagaimana. Hal ini terjadi ketika perasaan, kesadaran dan penyaksian seorang sufi sampai kepada puncak fana’, lalu dia lupa dirinya dan tidak ada selain Allah, sekiranya ditanya: dari mana? Dan hendak kemaan? Tidak ada jawaban kecuali “Allah”.

Dengan demikian, pada tingkat terakhir ini, sudah sampai kepada tingkat terakhir dari proses fana’, sehingga sampailah kepada persatuan ( ittihad 0 dengan Tuhan yaitu dimana seorang sufi telah bersatu dengan Tuhan, yang menyatakan persatuan antara yang mencintai dengan yang dicintai. Dengan demikian keluarlah ungkapan-ungkapan yang aneh seperti; subehani , subehani .

Ungkapan di atas, menggambarkan bagaimana Tuhan hadir dalam diri Abu Yazud dengan wahdaniyyat, anniyat, dan abadiyat Nya, sehingga seseorang ingin melihat Tuhan cukup hanya memandang al-Bustami dengan permintaannya untuk dihiasi dengan permintaannya dikabulkan, maka terjadilah persatuan, sebagai terungkap dalam kata-kata berikut:

“Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhlukKu”. Akupun berkata aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.

Dalam literatur disebutkan bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: hai Aku. Hal ini terjadi pada Abu Yazid, seperti ungkapannya ketika terjadi ittihad, maka Ia pun berkata kepadaku, “hai Engkau, aku menjawab melalui diriNya “Hai Aku”. Ia berkata kepadaku “Engkaulah Yang Satu”. Aku menjawab “Akulah Yang Satu”. Ia berkata lagi, “Engkau adalah Engkau”. Aku menjawab, “Aku adalah Aku”.

Dalam ungkapan di atas adalah kata-kata Abu Yazid “Aku menjawab melalui diriNya” dengan kata-kata “melalu diriNya” menggambarkan berstaunya Abu Yazid dengan Tuhan, jiwanya melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi selain Tuhan, jadi yang mengatakan “Hai Aku Yang Satu” bukanlah Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui lidah Abu Yazid.

Dalam tasawuf, kata-kata yang keluar dari mulut seorang sufi, bukanlah ungkapan yang sebenarnya diucapkan oleh sufi (sebagaimana dipahami oleh orang awam), tapi karena dia dalam keadaan mabuk dan fana, sehingga ucapan-ucapan itu, yang sebenarnya tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan, seperti halnya kata- kata Abu Yazid di atas, dia tidak mengakui dirinya sebagai Tuhan.

Namun demikian, ungkaan-ungkapan yang keluar dari mulut sufi itu, menimbulkan berbagai tanggapan antara pro dan kontra dikalangan umat Islam, bukan hanya pada dataran orang awam bahkan pada tingkat intelektual, misalnya Ibn Salim menganggap sebagai “kafir”. Bagi orang yang bersikap toleran terhadap ajaran ittihad ini memandang hanya sebagai penyelewengan (inhiraf).

Referensi :

  • Budh Munawra Rachman (ed.), Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah , (Cet. I, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994)
  • Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al- Musytaqin, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1995