Apa Saja Sifat-sifat Guru dalam Agama Islam?

Tugas utama guru adalah “mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik … “. Demikian bunyi pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

Batasan tugas guru tersebut menunjukkan bahwa sosok guru memiliki peran strategis dalam proses pendidikan, bahkan sumber daya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti jika tidak disertai dengan kualitas guru yang bermutu. Dengan kata lain, guru merupakan kunci sukses dan ujung tombak dalam upaya
meningkatkan kualitas layanan dan hasil pendidikan.

Sifat-Sifat Guru

Mengingat beratnya tugas dan tanggungjawab guru dalam Islam, tidak semua muslim bisa menjadi guru. Ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa ahli pendidikan Islam telah merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi guru, terutama dari aspek kepribadian.

Al-Gazâlî menyebut beberapa sifat yang harus dipenuhi guru, yaitu :

  • Kasih sayang dan lemah lembut
  • Tidak mengharap upah, pujian, ucapan terima kasih atau balas jasa
  • Jujur dan terpercayabagi murid-muridnya
  • Membimbing dengan kasih sayang, tidak dengan marah
  • Luhur budi dan toleransi
  • Tidak merendahkan ilmu lain di luar spesialisasinya
  • Memperhatikan perbedaan individu
  • Konsisten.

Abd al-Raḥman al-Naḥlâwî menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki para pendidik, yaitu;

  1. Bersifat rabbâni, yaitu semua aktifitas, gerak dan langkah, niat dan ucapan, sejalan dengan nilai-nilai Islam
  2. Ikhlas
  3. Penyabar
  4. Jujur, terutama adanya kesamaan antara yang disampaikan (kepada murid) dengan yang dilakukan
  5. Selalu berusaha meningkatkan ilmu dan terus mengkajinya;
  6. Menguasai berbagai metode mengajar dan mampu memilih metode yang sesuai;
  7. Mampu mengelola murid, tegas dalam bertindak serta meletakkan berbagai perkara secara proporsional;
  8. Memahami perkembangan psikis anak;
  9. Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa, keyakinan dan pola berpikir angkatan muda
  10. Bersikap adil dalam menghadapi murid

Menurut Asma Hasan Fahmi, sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik adalah :

  1. Tidak boleh mengharapkan upah dan imbalan materi dari pekerjaan mengajar karena tujuan mengajar tidak lain untuk mengharap ridla Allah
  2. Guru harus lebih dahulu membersihkan anggota badan dari dosa-dosa
  3. Harus sesuai antara perkataan dan perbuatan
  4. Rendah hati dan tidak perlu malu dengan ucapan “tidak tahu”
  5. Harus pandai menyembunyikan kemarahan, dan menampakkan kesabaran, hormat, lemah lembut, kasih sayang dan tabah unuk mencapai sesuatu keinginan

Al-Qalqasyandî menyebut sifat-sifat yang harus dimiliki guru adalah :

  1. Sehat akalnya
  2. Memiliki pemahaman yang tajam
  3. Beradab
  4. Adil
  5. Bersifat perwira
  6. Perkatannya jelas, dan mudah dipahami dan berhubungan satu dengan yang lain
  7. Memilih perkataan-perkataan yang mulia dan baik
  8. Menjauhi sesuatu yang membawa kepada perkataan yang tak jelas

Sifat-sifat guru sebagaimana disebut beberapa tokoh di atas, sangat ideal, tapi masih bisa dilakukan asal ada kemauan keras dari para guru. Di era sekarang, ketika ukuran-ukuran moral kian terpinggirkan oleh pola hidup modern yang sekuler, sifat-sifat ideal tersebut semakin terasa untuk direaktualisasikan.

Yang menarik dari beberapa pendapat di atas, al-Gazâlî dan Hasan Fahmi sama-sama mempersyaratkan agar guru tidak menerima gaji. Bagaimana jika hal ini dihubungkan dengan konteks sekarang? Menurut al-Qabisi, kondisi guru perlu dibedakan antara periode awal Islam dengan masa sesudahnya. Di masa awal, tugas mengajarkan agama dilakukan secara sukarela ditopang semangat dakwah yang tinggi dan tanpa gaji.

Tapi, setelah Islam menyebar luas, semakin sulit mendapatkan orang yang mau mengajar umat Islam dan anak-anak mereka, karena pekerjaan mengajar memerlukan ketekunan dan harus meninggalkan kegiatan usaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.

Guru Profesional

Apa yang disampaikan para ahli pendidikan Islam di atas adalah persyaratan guru agama secara umum. Sedangkan bagi guru agama profesional, ada beberapa syarat tambahan yang harus dipenuhi.

Untuk kasus Indonesia, misalnya, ketentuan tentang guru profesional diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 1 ayat (1) dinyatakan, guru adalah “pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”.

Istilah profesional dalam definisi guru di atas, menunjuk pada pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Sedangkan menurut Noeng Muhadjir, istilah profesional mengarah pada tampilnya kemampuan untuk membuat keputusan keahlian atas beragam kasus serta mampu mempertanggungjawabkan berdasar teori dan wawasan keahliannya.

1 Like

Adab Seorang Guru Terhadap Siswa (Anak Didik)


Adab guru terhadap siswa (anak didik) ada empat belas macam, yaitu sebagai berikut:

  1. Dalam menjalankan profesi sebagai guru yang tugas utamanya adalah memberikan pengajaran dan pendidikan kepada siswa, sudah seharusnya seorang guru membangun niat dan tujuan yang luhur, yakni demi mencari ridlo Allah SWT.
  2. Hendaknya bersabar dan tidak menyurutkan semangatnya dalam memberikan pengajaran kepada murid.
  3. Mencintai para siswa sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, berusaha memenuhi kemaslahatan (kesejahteraan) mereka.
  4. Mendidik dan memberi pengajaran kepada mereka dengan penjelasan yang mudah dipahami sesuai dengan kemampuan mereka.
  5. Bersungguh-sungguh dalam memberikan pengajaran dan pemahaman kepada mereka.
  6. Meminta sebagian waktu mereka (para siswa) untuk mengulang kembali pembahasan yang telah ia sampaikan.
  7. Apabila di antara para siswa terdapat siswa yang tempat tinggalnya cukup jauh sehingga untuk sampai ke tempat pengajaran gurunya itu (sekolah, madrasah dan sebagainya) dibutuhkan waktu yang cukup lama dan juga stamina yang prima, seorang guru hendaknya memaklumi keadaannya jika saat mengikuti pelajaran siswa itu mungkin nampak kelelahan atau sering terlambat lantaran perjalanan yang telah ditempuhnya.
  8. Tidak memberikan perhatian dan perlakuan khusus kepada salah seorang siswa di hadapan siswa-siswa yang lain.
  9. Memberikan kasih sayang dan perhatian kepada siswa.
  10. Selain dalam hal kasih sayang dan perhatian, etika seorang guru juga selalu bersikap lembut, ramah, pelan-pelan dan menyejukkan kepada para muridnya agar dia bisa memasuki hati muridnya yang terdalam, menyingkap kesiapan mereka dan menghilangkan hijab atau penghalang antara dirinya dengan para muridnya.
  11. Membiasakan diri sekaligus memberikan contoh kepada siswa tentang cara bergaul yang baik.
  12. Apabila memungkinkan (punya kemampuan), seorang guru hendaknya turut membantu dan meringankan masalah mereka dalam hal materi, posisi, dan sebagainya.
  13. Apabila di antara beberapa siswa terdapat seorang siswa yang tidak hadir dan hal itu di luar kebiasaannya, hendaknya ia menanyakannya kepada siswa lain.
  14. Meskipun berstatus sebagai guru yang berhak dihormati oleh murid-muridnya, hendaknya ia tetap bersikap tawadhu’ (rendah hati) terhadap mereka.
  15. Memerlakukan siswa dengan baik.

Adab bagi Seorang A’lim (Ulama/Guru)


Di antara banyak adab (etika) yang harus dimiliki oleh seorang pribadi a’lim (ahli ilmu), sedikitnya ada dua puluh macam, sebagaimana berikut :

  1. Selalu mendekatkan diri (muraqabah) kepada Allah dalam berbagai situasi dan kondisi.
  2. Takut (khouf) kepada murka/siksa Allah SWT dalam setiap gerak, diam, perkataan dan perbuatan.
  3. Sakinah (bersikap tenang).
  4. Wara’ (berhati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan).
  5. Tawadhu’ (rendah hati/tidak menyombongkan diri).
  6. Khusyu’ kepada Allah SWT.
  7. Senantiasa berpedoman kepada hukum Allah dalam setiap hal (persoalan).
  8. Tidak menjadikan ilmu pengetahuan yang dimiliki sebagai sarana mencari (tujuan) keuntungan duniawi seperti harta benda (kekayaan), kedudukan (jabatan), prestise, pengaruh, atau untuk menjatuhkan orang lain.
  9. Tidak merasa rendah di hadapan para pemuja dunia (orang yang punya kedudukan dan harta benda).
  10. Zuhud (tidak terlampau mencintai kesenangan duniawi) dan rela hidup sederhana.
  11. Menjauhi pekerjaan yang dianggap rendah/hina menurut pandangan adat maupun syari’at.
  12. Menghindari tempat-tempat yang menimbulkan fitnah.
  13. Menghidupkan syiar dan ajaran-ajaran Islam.
  14. Menegakkan sunnah Rasulullah dan memerangi bid’ah serta memerjuangkan kemaslahatan umat Islam.
  15. Menjaga (mengamalkan) hal-hal yang sangat dianjurkan oleh syari’at Islam.
  16. Mempergauli manusia (orang lain) dengan akhlak-akhlak terpuji.
  17. Menyucikan jiwa dan raga dari akhlak-akhlak tercela dan menghiasi keduanya dengan akhlak-akhlak mulia.
  18. Selalu berusaha mempertajam ilmu pengetahuan (wawasan) dan amal.
  19. Tidak merasa segan dalam mengambil faedah (ilmu pengetahuan) dari orang lain.
  20. Meluangkan sebagian waktu untuk kegiatan menulis (mengarang/menyusun kitab).

Adab Mengajar bagi Seorang A’lim (Ulama/Guru)


Keberadaan seorang guru dalam menuntut ilmu sangatlah penting. Sebab sesat dan tidaknya langkah murid sangat bergantung pada gurunya. Sikap murid apakah dia akan menjadi orang fundamentalis, modern, liberal, bahkan melenceng dari ajaran syar’i sangat dipengaruhi oleh doktrin yang diajarkan terhadapnya. Sehingga diperlukan adab guru dalam mengajar murid khususnya dalam pendidikan akhlak.

Adab mengajar bagi a’lim (Ulama/Guru) ada tiga belas macam, di antaranya:

  1. Sebelum mendatangi majelis kelas/ruang perkuliahan, seorang a’lim hendaknya terlebih dahulu menyucikan diri dari segala hadats (yakni dengan mandi jinabah atau berwudlu) dan kotoran/najis, memakai parfum, serta mengenakan pakaian yang layak.
  2. Apabila ia telah sampai di majelis pengajaran, hendaknya mengucapkan salam kepada seluruh hadirin.
  3. Menghadapi seluruh hadirin dengan penuh perhatian.
  4. Sebelum memulai pengajaran, hendaknya ia membaca beberapa ayat al-Qur’an terlebih dahulu dengan maksud mengambil berkah dari ayat-ayat Allah.
  5. Apabila ia hendak menyampaikan pelajaran lebih dari satu materi (pembahasan), sebaiknya ia memulainya dengan materi-materi yang lebih penting dahulu.
  6. Mengatur volume suara sehingga tidak terlampau keras (terdengar dari luar majelis/kelas) ataupun terlalu pelan.
  7. Menjaga (mengendalikan) majelis dari kegaduhan, kebisingan, dan segala sesuatu yang dapat mengganggu kelancaran (konsentrasi) proses belajar mengajar.
  8. Mengingatkan para hadirin (siswa) akan pentingnya menjaga kebersamaan dan persaudaraan.
  9. Memberi peringatan tegas terhadap siswa yang melakukan hal-hal di luar batas etika yang semestinya dijaga di saat mereka berada di dalam majelis.
  10. Apabila ia ditanya tentang suatu persoalan yang tidak ia ketahui, hendaknya ia mengakui ketidaktahuannya itu.
  11. Apabila ia di dalam majelis pengajaran ikut pula hadir seorang yang bukan dari golongan mereka, hendaknya seorang guru memerlakukannya dengan baik dan berusaha membuatnya nyaman berada di majelis tersebut.
  12. Menyebut dan menyertakan asma Allah baik ketika membuka maupun menutup pengajaran.
  13. Mengajar secara profesional sesuai bidangnya.

Karakter Guru dalam pandangan Islam


Para ahli pendidikan Islam sangat memperhatikan budi perangai atau sifat- sifat yang baik yang harus dimiliki oleh guru di samping harus mengetahui ilmu atau pengetahuan yang akan diajarkan kepada muridnya. Dengan sifat-sifat yang baik tersebut diharapkan apa yang disampaikan oleh guru bisa didengar dan dipatuhi, tingkah lakunya dapat diteladani dan ditiru dengan baik. Atas dasar ini para ahli sepakat menetapkan sifat-sifat tertentu yang harus dimiliki oleh guru.

Untuk menjadi orang yang pantas ditaati dan diikuti, tidaklah salah apabila sebagai guru menengok kembali apa yang telah diungkapkan Az-Zarnûjî bahwa :

Adapun dalam memilih guru, hendaknya memilih orang yang lebih alim (pandai), lebih wara‟ dan lebih tua.”

Az-Zarnûjî juga mengutip pendapat Abu Hanifah mengenai sifat-sifat tertentu yang harus dimiliki oleh guru, sebagai berikut :

Saya dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Dan beliau berkata “Maka aku menetap di samping Hammad bin Abi Sulaiman, dan akupun tumbuh dan berkembang ”.

Hammad bin Abu Sulaiman Al Asy‘ary, salah seorang ulama‘ ahli fikih yang luas ilmunya, masuk periode Tabi‘in. imam Abu Hanifah berguru kepada beliau dan manetap di sana selama 18 tahun, mengangsu ilmu sangat banyak dan meriwayatkan hadits-hadits beliau. Syaikh Ahmad wafat tahun 120 H/ 738 M.83
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa „alim, wara‟, dan lebih tua usianya dibanding muridnya, menurut Az-Zarnuji adalah syarat yang harus dipenuhi ketika menjadi guru.

Sifat-sifat itulah yang dimiliki Hammad bin Abu Sulaiman, sehingga Abu Hanifah memilih menjadi gurunya, karena semata-mata seorang guru yang tua dan berwibawa, murah hati, serta penyabar, sehingga Abu Hanifah menetapkan untuk menimba ilmu kepadanya sampai berkembang. Kata berkembang, menurut Ibrahim bin Ismail mengandung arti bahwa Abu Hanifah tidak pernah berpindah guru dalam menimba ilmu hingga menjadi seorang Mujtahid kecuali hanya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.

Dengan melihat kedudukan baik guru maupun siswa serta syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika menjadi guru tersebut, tentu saja akan lebih tepat, sebagaimana dikatakan Az-Zarnuji bahwa guru sebaiknya orang yang lebih tua dibanding muridnya. Dalam arti yang lebih luas lagi, kata tua dapat diartikan tidak sekedar lebih tua dalam umur, namun sebagaimana ditambahkan, tua‖ dapat juga berarti orang yang banyak pengalamannya dalam segala hal maupun dalam menghadapi anak didik. Dalam konteks ini, mungkin sesuai dengan teori revitalisasi budaya yang mengatakan bahwa subyek didik pada hakekatnya adalah orang yang masih perlu mendapat tuntunan, sehingga lebih tepat apabila guru adalah orang yang lebih dewasa.

  1. Al-A’lam (lebih alim)

    Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata alim. Alim adalah isim fail dari kata dasar: alima yang artinya ―yang terpelajar, sarjana, yang berpengetahuan, ahli ilmu.‖85 Jadi alim adalah orang yang berilmu dan ulama adalah orang-orang yang punya ilmu. Sedangkan kata a‟lam merupakan isim tafdhil yang berarti lebih alim.

    Syekh Ibrâhim bin Ismâ‘il memberikan penjelas tentang kata a‟lam yang dimaksud oleh Az-Zarnûjî, yaitu :

    Yang dimaksud lebih alim yaitu guru yang ilmunya selalu bertambah. Bila kita menganalisis dari segi bahasa bahwa kata a‟lam merupakan isim tafdhil yang berarti lebih alim. Jadi sosok guru yang diinginkan oleh Az-Zarnûjî adalah guru yang tidak hanya sekedar alim tetapi guru yang lebih alim yang ilmunya selalu bertambah.

    Di sisi lain, kata ‗alim dapat juga disamakan dengan kata ulu al-albâb , ulu al- nuha , al-mudzakki , dan al-mudzakkir . Oleh karena itu, dengan mengacu makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut, guru yang ‗alim sesuai dengan kata ulu al-albâb berarti dia harus memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi sehingga mampu menangkap pesan-pesan ajaran, hikmah, petunjuk, dan rahmat dari segala ciptaan Tuhan, serta memiliki potensi batiniah yang kuat sehingga dia dapat mengarahkan hasil kerja dan kecerdasannya untuk diabdikan kepada Tuhan. Ulu al-nuha , berarti guru harus dapat mempergunakan kemampuan intelektual dan emosional spiritualnya untuk memberikan peringatan kepada manusia lainnya, sehingga manusia-manusia tersebut dapat beribadah kepada Allah swt. Al-mudzakki , berarti seorang guru harus dapat membersihkan diri orang lain dari segala perbuatan dan akhlak yang tercela. Adapun arti kata al-mudzakkir , maka seorang guru harus berfungsi sebagai pemelihara, pembina dan pengarah, pembimbing, dan pemberi bekal pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan kepada orang yang memerlukannya.

    Jadi guru harus selalu menanambah pengetahuannya. Jika pengetahuan guru tidak bertambah maka tidak akan mungkin berhasil dengan baik. Jangan sampai ilmu guru lebih rendah dari muridnya apalagi di zaman modern seperti sekarang ini di mana peserta didik bisa mengakses lewat internet seperti google dan sebagainya yang kemungkinan peserta didik sudah tahu terlebih dahulu sebelum pelajaran dimulai. Oleh karenanya guru harus sudah siap sebelum mengajar dan selalu menambah ilmu pengetahuannya, seperti mu ṯala‟ah untuk materi yang akan disampaikan kepada muridnya dan sebagainya.

    Mengapa guru harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan selalu harus menambahnya? Menurut M. Ngalim Purwanto, pertanyaan seperti itu sangat mudah untuk dijawab. ― Guru tidak boleh tradisional . Guru bukannya mesin yang dapat memberikan pengajaran tiap-tiap tahun dengan cara yang sama dan tentang pengetahuan yang itu-itu saja.‖88 Dan memang harus kita akui bahwa dunia sudah berubah dan kebudayaan manusia juga berubah. Bahan bacaan semakin banyak diterbitkan, dan jaringan internet semakin mudah diakses. Jika guru ilmunya itu- itu saja maka ada kemungkinan guru bisa tidak dihormati oleh muridnya karena merasa dirinya lebih pintar dibandingkan gurunya.

    Kemudian menurut Abdurrahman an-Nahlawi seorang guru harus meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya,89 sebagaimana diserukan Allah kepada para pengikiut Rasul

    Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan kamu mempelajarinya! (QS. Ali Imran/3 :79)

    Jika banyak kekeliruan yang dilakukan guru maka kepercayaan peserta didik akan berkurang bahkan peserta didik akan menyepelekan ilmu yang diberikan kepadanya serta akan menimbulkan keraguan dalam diri siswa. Maka, penambahan wawasan bagi guru akan mendapat simpati dan minat belajar siswa.

    Kemudian menurut Martinis Yamin, seorang guru yang sukses selalu mengembangkan dirinya terhadap pengetahuan dan mendalami keahliannya, kemudian guru tersebut rajin membaca literatur-literatur, dengan tidak merasa rugi membeli buku-buku yang berkaitan dengan pengetahuan yang digelutinya.

    Seorang guru agama Islam perlu memiliki ilmu tentang pokok-pokok pendidikan yang dibawa oleh syari’at Islam. Menguasai hukum halal dan haram, mengetahui prinsip-prinsip etika Islam, serta memahami secara global peraturan- peraturan Islam. Dengan mengetahui semua ini guru akan menjadi seorang yang bijak, meletakkan segala sesuatu pada tempat yang sebenarnya, mendidik anak pada pokok persyaratannya, dan memperbaiki dengan berpijak pada dasar-dasar yang kokoh dari ajaran al-Qur’an. Allah berfirman :

    Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang- orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. ‖ (QS. az-Zumar/39 :9)

    Jika batasan arti kata alim di atas yang dipegang, tentu saja bahwa guru yang alim dapat berarti guru yang mempunyai keahlian khusus dalam bidangnya (profesional) yang memegang nilai-nilai moral atau dapat juga berarti guru yang mempunyai kompetensi. Guru yang alim dapat berarti juga orang yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga mampu melakukan prilaku-prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.

    Salah satu ciri lain orang berilmu dalam Al-Qur’an ialah memiliki rasa takut.
    Ini tertera dalam surat Fathir ayat 28 :

    “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (Q.S Fathir 28)

    Adapun tanda-tanda orang yang memiliki rasa takut menurut Ibnu Ibad ialah meninggalkan empat ketergantungan yaitu: pertama, tidak cinta dunia. Kedua, tidak berharap kepada makhluk. Ketiga. Menahan hawa nafsu. Keempat. Meninggalkan perbuatan syaitan.

    Alim (berilmu) adalah karakter pertama yang disandangkan pada seorang guru oleh Az-Zarnûjî. Guru yang alim dalam konteks pendidikan saat ini dapat diartikan sebagai persyaratan intelektual (akademis) yang termasuk dalam kompetensi profesional, yaitu kemampuan menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.

    Guru yang berlatih baik, akan mempersiapkan empat bidang kompetensi guru yang efektif dalam mencapai hasil hasil belajar yang diharapkan. Empat bidang kompetensi tersebut sebagai berikut.

    • Memiliki pengetahuan tentang teori belajar dan tingkah laku manusia.
    • Menunjukan sikap dalam membantu siswa belajar dan memupuk hubungan dengan manusia lain secara tulus.
    • Menguasai mata pelajaran yang diajarkan.
    • Mengontrol keterampilan teknik mengajar sehingga memudahkan siswa.

    Yang perlu diperhatikan, bahwa guru sebagai orang yang alim atau berilmu, maka harus melekatkan nilai-nilai moral pada dirinya. Hal ini sebagaimana diungkapkan Az-Zarnûjî bahwa

    Sebaiknya bagi orang yang berilmu, janganlah membuat dirinya sendiri menjadi hina lantaran berbuat tamak terhadap sesuatu yang tidak semestinya, dan hendaknya menjaga dari perkara yang dapat menjadikan hinanya ilmu dan para pemegang ilmu, sebaliknya, berbuatlah tawadlu (sikap tengah-tengah antara sombong dan kecil hati) dan iffah

    Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu adalah orang yang selalu menghindarkan diri dari segala akhlak dan perbuatan yang tercela memelihara diri dari kenistaan, seperti sifat tamak (mengharap sesuatu dari orang lain secara berlebih-lebihan), sehingga tidak menimbulkan kesan yang hina terhadap ilmu dan sifat ilmuwan. Demikian pula orang yang berilmu hendaknya bersifat tawadu (merendahkan hati tetapi tidak minder) dan jangan bersifat sebaliknya (sombong), dan juga orang berilmu haruslah memiliki sifat iffah (memelihara diri dari beragam barang haram).

  2. Al-Awra’ (Menjaga Diri)

    Selanjutnya, syarat yang kedua, menurut Az-Zarnûjî, bahwa guru harus wara‟ hal ini jelas mengandung muatan moral. Mengenai pengertian wara‘ sudah dibahas pada bab akhlak belajar siswa.

    Terkait dengan guru, Syekh Ibrâhim bin Ismâ‘il mengungkapkan bahwa guru yang wara‟ berarti guru yang dapat menjauhi dari pembicaraan yang tidak bermanfaat, senda gurau dan menyia-nyiakan umur atau waktu, menjauhi perbuatan ghibah (menuturkan kejelakan orang lain) dan bergaul bersama orang yang banyak bicara tanpa membuahkan hasil dalam pembicaraan, ngobrol, dan omong kosong.

    Begitu jeli Az-Zarnûjî menguak kepekaan sosial ini, sampai-sampai, sesuatu yang seringkali kita pandang sebagai yang biasa-biasa ternyata memiliki efek yag panjang. Pandangan semacam ini, pasti susah dijumpai dalam epististimologi masyarakat Barat. Bagi mereka persoalan ilmu adalah masalah yang lain, sedangkan kepekaan sosial dalah masalah yang lain lagi.

    Sehubungan dengan hal ini, seorang guru hendaknya memiliki kepribadian dan harga diri. Ia harus menjaga kehormatan, menghindari hal-hal yang rendah dan hina, menahan diri dari sesuatu yang buruk, tidak membuat keributan, dan tidak berteriak-teriak minta dihormati. Selain itu seorang guru harus memiliki sifat-sifat khusus sesuai dengan martabatnya sebagai seorang guru. Umpamanya dia harus menjaga kehebatannya dan ketenangannya dalam mengajar. Untuk menciptakan situasi seperti ini seorang guru harus mempunyai pretise dan terhormat.95

    Karena itu, tidak aneh jika sikap wara‟ melahirkan pribadi-pribadi yang menakjubkan, mendekatkan pemiliknya sedekat mungkin dengan sosok pribadi Rasulullah saw.

    Rasa takut kepada Allah akan membuahkan wara’ dan wara’ akan membuahkan Zuhud . berarti masalah ini sangat penting. Adapun wara’ itu mempunyai banyak faedah antara lain:

    • Terhindar dari azab Tuhan yang maha pemurah.
    • Terhindar dari hal-hal yang diharamkan.
    • Dijauhkan dari sikap membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak berfaedah.
    • Mendatangkan kecintaan Allah.
    • Do’a orang yang bersangkutan dikabulkan.
    • Beroleh keridhaan dari tuhan dan pahala amal kebaikannya ditambah.
    • Manusia berbeda-beda tingkatannya Keuntungan di dalam surga nanti sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka dalam hal ke- wara’an.

    Dalam konteks ini, tampak jelas bahwa mensyaratkan guru harus wara‟ berarti bagaimana dimensi moral dikedepankan pada guru. Alangkah indah dan damainya masyarakat terutama dalam lingkungan sekolah atau lingkungan di mana guru mengajar, apabila guru memiliki sifat wara‟ , yaitu sikap kehati-hatian dalam makanan, berpakaian, berbicra dan bertindak karena akibat dari sikap wara‟ ini bukan hanya pada hamba yang berhubungan dengan Tuhannya melainkan juga terhadap sesama manusia.

    Oleh karena itu, penulis berharap kepada Allah agar Dia mengaruniakan kita etika wara‟ , dan semoga Dia berkenan untuk mengumpulkan kita bersama golongan orang-orang yang wara‟ , terutama Rasulullah saw di surga-Nya, amin

  3. Al-Asanna (Kebapakan)

    Dalam hal ini Az-Zarnûjî memang tidak memberikan penjelasan yang lebih spesifik, akan tetapi kita bisa menganalisis dari apa yang dimaksudkan oleh Az- Zarnûjî. Yang pasti guru harus lebih tua atau dewasa dibanding muridnya karena guru yang lebih tua lebih mengerti dan ilmunya lebih luas. Dan di dalam pengertian pendidikan itu sendiri ada unsur bimbingan oleh orang dewasa terhadap peserta didiknya. Oleh karenanya pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan apabila tidak dilakukan oleh orang yang dewasa.

    Ibrâhim bin Ismâ‘il memberikan sedikit penjelasan tentang hal ini dalam mensyarahi kitab Ta‟lîm , yaitu sebagai berikut:

    Yang dimaksud lebih tua, yaitu guru yang bertambah umur dan kedewasaannya. hal ini mungkin tepat karena mengingat bahwa posisi guru adalah sebagai pendidik, dan mereka adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau karena guru mempunyai makna sebagai seseorang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik peserta didik dalam mengembangkan kepribadian, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

    Demikian pula, bahwa menjadi guru berarti mereka dituntut harus memiliki keahlian sebagai guru, memiliki kepribadian dan terintegrasi, memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, dan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas.

    Sebaliknya, siswa atau anak didik adalah manusia yang belum dewasa. Sebagai manusia yang belum dewasa, tentu saja siswa belum dapat ―mandiri pribadi‖ ( zelfstanding ), dia masih mempunyai moral yang heteronom, dan masih membutuhkan pendapat-pendapat orang yang lebih dewasa (pendidik) sebagai pedoman bagi sikap dan tingkah lakunya

    Tugas mendidik adalah tugas yang sangat penting karena menyangkut perkembangan seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung jawab. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang lebih dewasa. Di negara kita, seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau ia sudah kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Bagi pendidik asli, yaitu orang tua anak, tidak dibatasi umur minimal; bila mereka telah mempunyai anak, maka mereka boleh mendidik anaknya. Dilihat dari segi ini, sebaiknya umur kawin ialah 21 bagi laki-laki dan minimal 18 bagi perempuan.

    Kemudian menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi bahwa guru harus memiliki sifat kebapakan—karena seorang ayah sudah bisa dikatakan dewasa-- sebelum menjadi guru. Dia harus mencintai murid-muridnya seperti halnya ia mencintai anak-anaknya dan memikirkan mereka sama seperti memikirkan anak- anaknya sendiri.

    Dalam kaitannya dengan hal di atas, al-Ghazali juga berpendapat bahwa guru hendaknya memandang murid seperti anaknya sendiri menyayangi dan memperlakukan mereka seperti layaknya anak sendiri.100 Dalam hal ini jelas dibutuhkan sosok seorang yang sudah dewasa baik dalam umur atau ilmunya. lebih tua usianya maksudnya lebih matang karena telah mengenyam pendidikan dalam waktu yang lebih lama sehingga lebih berpengalaman baik secara teoritis maupun praktek di lapangan.

    Ada tiga ciri kedewasaan, yaitu :

    • Orang yang telah dewasa telah memiliki tujuan dan pedoman hidup (philosophy of life), yaitu sekumpulan nilai yang ia yakini kebenarannya dan menjadi pegangan dan pedoman hidupnya. Seorang yang dewasa tidak mudah terombang ambing karena telah punya pegangan yang jelas.
    • Orang yang dewasa adalah orang yang mampu melihat segala sesuatu secar objektif. Tidak hanya dipengaruhi subjektivitas dirinya. Mampu melihat dirinya dan orang lain secara objektif, melihat kelebihan dan kekurangan dirinya dan orang lain.
    • Seorang dewasa adalah orang yang telah bisa bertanggung jawab. Orang dewasa adalah orang yang telah memiliki kemerdekaan, kebebasan; tetapi sisi lain dari kebebasan adalah tanggung jawab.
  4. Berwibawa

    Az-Zarnûjî memasukkan sifat wibawa sebagai karakter guru karena tanpa adanya kewibawaan seorang guru maka pendidikan tidak akan berhasil dengan baik.

    Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia wibawa berarti pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi, dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengundang kepemimpinan dan penuh dengan daya tarik.

    Guru yang berwibawa berarti guru yang dapat membuat siswanya terpengaruhi oleh tutur katanya, pengajarannya, patuh kepada nasihatnya, dan mampu menjadi magnet bagi siswanya sehingga siswanya akan terkesima dan tekun menyimak pengajarannya.

    Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Guru harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada unsur kewenangan jabatan. Kewibawan justru menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk mengakui, menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung yang terlepas dari kritik.

    Kewibawaan itu ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua. Kewibawaan yang ada pada orang tua itu bisa dikatakan asli. Karena orang tua langsung mendapat tugas dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Orang tua atau keluarga mendapat hak untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak tidak dapat dicabut karena terikat oleh kewajiban. Hak dan kewajiban yang ada pada orang tua tidak dapat dipisahkan.

    Sedangkan kewibawaan guru berbeda dengan kewibawaan orang tua, karena guru mendapat tugas mendidik bukan dari kodrat (dari Tuhan), melainkan dari pemerintah. Ia ditetapkan dan diberi kekuasaan sebagai pendidik oleh negara dan masyarakat.105
    Guru tanpa wibawa akan diremehkan murid tetapi bila tidak bersahabat dengan murid maka murid akan takut, jauh serta benci pada guru. Guru yang berwibawa tapi bersahabat dengan murid yang dimaksud adalah guru yang dekat dengan murid dan komunikasinya juga baik, namun murid tetap hormat dan tidak meremehkan karena kedekatannya itu. Walau antara guru dengan murid dekat, namun masih ada semacam batas di antara mereka, mungkin dari segi bahasa atau dari perilaku saat berbicara.

    Hilangnya kewibawaan guru akan menyebabkan anak-anak tidak menghormati dan mendengar saran-saran dari pendidiknya. Oleh karena itu guru memang harus berwibawa. Karena kewibawaan identik dengan menghormati, menghargai, mengagumi dan sebagainya.

  5. Al-Hilm (Santun)

    Sifat pokok lain yang menolong keberhasilan pendidik atau guru dalam tugas kependidikannya adalah sifat santun. Dengan sifat santun anak akan tertarik pada gurunya sebab anak akan memberikan tanggapan positif pada perkataannya. Dengan kesantunan guru, anak akan berhias dengan akhlak yang terpuji, dan terhindar dari perangai yang tercela. Ciri-ciri santun adalah :

    • Lembut dalam kata- kata, perintah, maupun larangan
    • Penyayang terhadap sesamanya apalagi terhadap orang-orang yang lebih lemah dan orang-orang yang lebih tua;
    • Menjadi penolong pada saat orang lain memerlukan pertolongannya.

    Kita harus mengakui bahwa saat ini kita hidup pada masa-masa krisis kasih sayang. Pembahasan kasih sayang seakan telah tertutup dan hanya menjadi dongeng manis, imajinasi atau kumpulan kisah seribu satu malam. Sifat kasih sayang telah langka dan jarang ditemukan, bahkan di antara kaum muslimin sendiri, kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat Allah. Tiada daya dan upaya kecuali dengan bantuan-Nya.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia santun berarti halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya), sabar dan tenang, sopan, penuh rasa belas kasih, suka menolong.

    Az-Zarnûjî dalam kitab Ta‟lîm -nya menginginkan guru yang halîman — jamak dari kata hilm —yang artinya banyak kasih sayangnya, sebagaimana Hammâd bin Abû Sulaiman yang dipilih oleh Imam Abu Hanifah sebagai gurunya sehingga ia menjadi berkembang ilmu pengetahuaanya berkat kasih sayangnya dalam mengajar dan membimbing.

    Pada dasarnya, sifat ini bermuara dari dalam jiwa manusia, yaitu menyayangi sesama mereka; perasaan yang kemudian mengundang kasih sayang Allah.

    Hati orang mukmin secara alamiah memiliki sifat kasih sayang kepada orang lain. Ia yakin bahwa dengan menyayangi orang lain, ia akan memperoleh balasan kasih sayang yang jauh lebih besar dan luas di dunia dan akhirat.

    Hati yang penuh kasih, tidak pernah lama ada isinya, karena kasihnya diberikan. Berati jika kasihnya kosong, maka yang akan mengisi kasih berikutnya adalah Allah. Orang yang mengasihi sesama, hatinya diisi kasih sayang Allah.

    Allah menyayangi siapa pun yang menyayangi hamba-hamba-Nya. Rasul bersabda :

    Telah menceritakan kepada kami Abdan dan Muhammad keduanya berkata: telah mengkabarkan kepada kami Abdullah, telah mengkhabarkan kepada kami Ashim bin Sulaiman bin Abi Usman berkata: telah menceritakan kepada kami usamah bin Zaid beerkata: sesungguhnya Rasullulah Saw bersabda: Allah hanya akan menyayangi hamba yang menyayangi (makhluk-Nya) .‖ (HR. Bukhari).*

    Kelemah-lembutan guru dalam berinteraksi dengan murid-muridnya akan membuat roh, hati, dan jiwa murid-murid tunduk dan luluh. Kelemah-lembutan ibarat kunci kebaikan dan keberuntungan. Jiwa pemberontak akan melunak dan hati pendengki akan menyadari kekeliruannya karena tersentuh oleh kelembutan.

    Para ahli pendidikan sepakat bahwa cinta kasih, kelembutan dan kehangatan yang tulus merupakan dasar yang penting dalam mendidik anak. Kesemuanya itu terpancar dalam kehangatan komunikasi antara orang tua dan anak, guru dan murid. Anak-anak pada usia dini meskipun belum berfungsi daya nalarnya, sudah menangkap getaran lembut kasih sayang yang mengasuhnya.

    Jika guru bersikap sopan dan santun dengan siswa, siswa akan menanggapi dengan cara yang sama, jika guru menggunakan bahasa yang inklusif, siswa akanmengambil pola-pola tersebut dan menggunakannya sendiri.

    Santun juga berarti memaafkan. Al-Qur‘an menyuruh umat manusia untuk santun, menahan amarah, dan memberi maaf ketika ada manusia menyakiti yang lain.

Referensi :
  • Abudin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazâlî , (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001),
  • M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006)
  • Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, penerjemah: Syihabuddin, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995)
  • Martinis Yamin, Sertifikasi Profesi Keguruan Di Indonesia ( Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)
  • Sayid Alwi Bin Ahmad As-Segaf, Majmuah Sab’atu Kutubu Mufidah, (Haramain, 2004),
  • Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2009)
  • Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
  • Muhammad Sholikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qodir Al-
  • Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan , (Jakarta: Rajawali Pers, 2004),
  • Jailani, (Yogyakarta: Mutira Media, 2009)
  • Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009)
  • Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi ketiga, Cet. IV
  • Az-Zarnûjî, op.cit.,
  • Az-Zarnûjî, Ibid
  • As‘ad, op.cit
  • Ibrâhim Ibn Ismâ‘il, op.cit.,
  • Ibrâhim Ibn Ismâ‘il, op.cit
1 Like

Pertama, belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak.

Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya aku bagi kalian adalah bagaikan bapak terhadap anaknya.”

Sesungguhnya guru adalah orang yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat yang abadi —yakni guru ilmu-ilmu akhirat atau ilmu-ilmu dunia yang dimaksudkan untuk akhirat bukan untuk tujuan dunia.

Sebagaimana anak-anak dari satu orang bapak harus saling mencintai dan saling tolong-menolong untuk mencapai semua tujuan, demikian pula hak murid-murid dari satu orang guru harus saling mencintai dan berkasih sayang. Hal ini tidak akan terwujudkan kecuali jika tujuan mereka semata-mata mencari akhirat. Jika tujuan mereka untuk mendapatkan dunia maka tidak ada lain kecuali saling mendengki dan bermusuhan.

Sesungguhnya para ulama’ dan “anak-anak akhirat” adalah para musafir menuju Allah dan penempuh jalan dunia menuju kepada-Nya. Tahun-tahun dan bulan-bulan dunia adalah tempat-tempat singgah di sepanjang jalan. Jika saling mengasihi antar sesama musafir di perjalanan menuju berbagai negeri dunia adalah sebab timbulnya saling kasih sayang dan saling mencintai, maka apatah lagi jika perjalanan itu menuju sorga Firdaus yang tertinggi’? Tidak ada kesempitan dalam kebahagiaan akhirat, sehingga tidak akan ada pertengkaran antar sesama “anak-anak akhirat.” Dan tidak ada kelapangan dalam kesenangan dunia, sehingga tidak akan pernah sunyi dari sempitnya perebutan. Orang-orang yang bertujuan mencari kekuasaan dengan ilmu telah keluar dari kategori firman Allah,

“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara” (al-Hujurat: 10)

dan masuk ke dalam cakupan firman-Nya,

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaawa.” (az-Zukhruf: 67)

Kedua, meneladani Rasulullah saw dengan tidak meminta upah mengajar, tidak bertujuan mencari imbalan ataupun ucapan terima kasih, tetapi mengajar semata-mata karena Allah dan tagarrub kepada-Nya. Juga tidak merasa berjasa atas para murid, sekalipun jasa itu mereka rasakan, tetapi memandang mereka juga memiliki jasa karena mereka telah mengkondisikan hati mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menanamkan ilmu ke dalamnya. Seperti orang yang meminjami tanah ladang untuk Anda tanami, maka hasil manfaat yang Anda peroleh dari tanah itu juga menambah kebaikan pemilik tanah. Bagaimana Anda menghitung jasa dan pahalamu dalam mengajar itu lebih besar ketimbang pahala murid di sisi Allah? Kalau bukan karena murid, guru tidak akan mendapatkan pahala ini. Oleh karena itu, janganlah Anda meminta upah kecuali dari Allah ta’ala, sebagaimana firman Allah mengisahkan Nuh alaihis salam,

“Wahai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku, Upahku hanyalah dari Allah.” (Hud: 29)

Ketiga, tidak meninggalkan nasehat kepada murid sama sekali, seperti melarangnya dari usaha untuk beralih kepada suatu tingkatan sebelum berhak menerimanya, dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum menguasai ilmu yang jelas. Kemudian mengingatkan murid bahwa tujuan mencari ilmu adalah taqarrub kepada Allah ta 'ala bukan untuk meraih kekuasaan, kedudukan dan persaingan. Juga sedapat mungkin memberikan gambaran betapa jeleknya hal itu pada dirinya, sebab apa yang diperbaiki oleh guru yang fasiq tidak lebih banyak dari apa yang dirusaknya.

Keempat, ini termasuk pelik-pelik tugas mengajar, yaitu mencegah murid dari akhlaq tercela, dengan cara tidak langsung dan terang-terangan sedapat mungkin, dan dengan kasih sayang bukan dengan celaan. Karena cara terang-terangan bisa mengurangi kewibawaan, menimbulkan keberanian untuk membangkang, dan merangsang sikap bersikeras mempertahankan.

Kasus yang mengingatkan Anda kepada hal ini adalah kisah Adam dan Hawa’ alaihimas salam berikut larangan terhadap keduanya; kisah ini disebutkan kepada Anda bukan untuk menjadi bahan cerita semata-mata tetapi agar menjadi pelajaran. Selain itu, cara mencegah secara tidak langsung akan membuat jiwa yang baik dan pikiran yang cerdas cenderung untuk menyimpulkan berbagai maknanya.

Kelima, guru yang menekuni sebagian ilmu hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang tidak ditekuninya, seperti guru bahasa biasanya mencela ilmu fiqh, guru fiqh biasanya mencela ilmu hadits dan tafsir, dengan mengatakan bahwa ilmu itu hanya kutipan dan periwayatan semata-mata, dan guru teologi biasanya mencela fiqh seraya mengatakan bahwa fiqh adalah cabang yang hanya berbicara tentang haid wanita tetapi tidak pernah berbicara tentang sifat Allah. Ini semua adalah akhlaq tercela bagi para guru yang harus dijauhi. Seorang guru yang hanya menekuni satu ilmu harus memperluas wawasan murid pada orang lain, dan jika ia menekuni beberapa ilmu maka harus menjaga pentahapan dalam meningkatkan murid dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain.

Keenam, membatasi sesuai kemampuan pemahaman murid; tidak menyampaikan kepadanya apa yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akalnya agar tidak membuatnya enggan atau memberatkan akalnya, karena meneladani Rasulullah saw. Hendaknya menyampaikan hal yang sebenarnya apabila diketahui bahwa kemampuan pemahamannya terbatas.

Ibnu Mas’ud, sebagaimana diriwayatkan Muslim, berkata:

“Tidaklah seseorang berbicara kepada suatu kaum dengan suatu pembicaraan yang tidak mampu dijangkau oleh akal mereka melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.”

Ali ra berkata seraya menunjuk ke dadanya,

“Sungguh di sini terdapat banyak ilmu jika ada yang siap membawanya.”

Ali ra benar, karena hati orang-orang yang sangat baik (al-abrar) adalah kuburan berbagai rahasia. Seorang yang berilmu tidak sepatutnya menyampaikan setiap ilmu yang diketahuinya kepada setiap orang. Hal ini jika masalah itu bisa difahami oleh murid tetapi tidak layak untuk memanfaatkannya, maka apatah lagi menyangkut hal yang tidak bisa difahaminya? Oleh sebab itu dikatakan,

“Takarlah setiap orang dengan takaran akalnya, dan timbanglah dia dengan timbangan pemahamannya, agar engkau selamat darinya dan dia bisa mengambil manfaat darimu. Jika tidak, maka akan terjadi penolakan karena perbedaan ukuran. Kezhaliman dalam memberi orang yang tidak berhak bukanlah lebih ringan ketimbang kezhaliman karena tidak memberi orang yang berhak.”

Memberi ilmu kepada orang bodoh adalah kesia-siaan. Tidak memberikannya kepada orang yang berhak adalah kezhaliman

Ketujuh, murid yang terbatas kemampuannya sebaiknya disampaikan kepadanya hal-hal yang jelas dan cocok dengannya, dan tidak disebutkan kepadanya bahwa di balik itu ada pendalaman yang tidak bisa disampaikan kepadanya, karena tindakan ini akan mengurangi minatnya terhadap hal-hal yang jelas tersebut, membuat hatinya guncang, dan mengesankan kebakhilan penyampaian ilmu terhadap dirinya; sebab setiap orang meyakini bahwa dirinya layak menerima ilmu yang mendalam.

Setiap orang pasti ridha kepada Allah atas kesempurnaan akalnya, sedangkan orang yang paling bodoh dan paling lemah akalnya ialah orang yang paling bangga terhadap kesempurnaan akalnya. Dengan demikian diketahui bahwa orang membimbing orang awam dengan bimbingan syari’at dan menanamkan di dalam jiwanya berbagai keyakinan yang ma’tsur (diriwayatkan) dari generasi salaf, tanpa tasybih dan ta’wil, namun batinnya tetap baik dan akalnya tidak mampu menerima lebih banyak dari itu, maka sebaiknya ia tidak mengeruhkan keyakinanya bahkan sebaiknya tidak mengajak orang awam untuk membahas berbagai hakikat ilmu yang pelik dan rumit, tetapi membatasi kajian bersama mereka pada masalah- masalah ibadah, mengajarkan amanah dalam berbagai pekerjaan yang mereka hadapi, memenuhi hati mereka dengan rasa takut dan harap kepada sorga dan neraka sebagaimana diungkapkan oleh al-Qur’an, dan tidak menyinggung hal-hal syubhat kepada mereka; karena bisa jadi hal yang syubhat itu tersangkut di hatinya dan tidak bisa dilepaskan sehingga mengakibatkan kesengsaraan dan kehancuran dirinya.

Kedelapan, hendaknya guru melaksanakan ilmunya; yakni perbuatannya tidak mendustakan perkataannya, karena ilmu diketahui dengan mata hati (bashirah) dan amal diketahui dengan mata, sedangkan orang yang memiliki mata jauh lebih banyak. Jika amal perbuatan bertentangan dengan ilmu maka tidak akan memiliki daya bimbing. Setiap orang yang melakukan sesuatu lalu berkata kepada orang lain, “Janganlah kalian melakukannya” maka hal ini akan menjadi racun yang membinasakan. Orang-orang akan melecehkan dan menuduhnya bahkan keinginannya untuk melakukan apa yang dilarangnya itu semakin besar, seraya mengatakan, “Kalau bukan karena paling baik dan paling enak pasti ia tidak akan melakukannya.”

Perumpamaan guru pembina terhadap para murid laksana bayangan dengan tongkat; bagaimana bayangan bisa lurus jika tongkatnya bengkok? Oleh sebab itu dikatakan: Jangan kamu melarang suatu perangai tetapi kamu melakukannya. Aib bagimu, apabila kamu lakukan menjadi dosa besar Allah berfirman,

“Mengapa kamu .suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri” (al-Baqarah: 44).

Oleh sebab itu dosa orang berilmu yang bermaksiat lebih besar dari dosa orang bodoh, karena dengan ketergelincirannya itu akan membuat ketergelinciran orang banyak dan menjadi panutan mereka. Siapa yang memprakarsai suatu tradisi yang buruk maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang melakukannya. Oleh karena itu Ali ra berkata:

“Dua orang yang membuat punggungku patah: Orang berilmu yang bermaksiat dan orang bodoh yang banyak beribadah. Orang bodoh ini menipu orang dengan-ibadahnya sedangkan orang yang berilmu tersebut memperdaya mereka dengan maksiatnya.”

Wallaua’lam.

1 Like