Apa Saja Problematika dalam Pendefinisian Sastra?

Sastra tidak bisa diartikan secara gamblang. Lalu, apa saja yang menjadi problematika dalam pendefinisan sastra?

Problematika Pendefinisian Sastra

Mendefinisikan sastra sering problematis karena menyangkut banyak hal. Banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli sehingga kita terkadang merasa kebingungan karena ingin memilih yang satu dan, sebagai akibatnya, secara niscaya melewatkan sisi yang lain. Kita dalam situasi semacam ini dituntut berani memilih pendapat yang mana dan juga mengolah lanjut akibat yang ditimbulkan oleh pilihan yang diambil.

Problematika dalam mendefenisikan sastra bukan masalah baru. Selama berabad-abad, para pengarang, ahli sejarah sastra, dan pakar lain yang berkaitan dengan dunia sastra berdebat tentang definisi sastra, tapi selalu gagal. Sebagian para ahli mendefinisikan karya sastra sebagai sebuah karya yang tertulis. Hal ini berdasarkan pada pengertian kata sastra atau literature dalam bahasa Inggris yang berasal dari kata Littera dalam bahas Latin yang berarti letter atau tulisan. Dengan demikian, definisi ini memungkinkan segala jenis tulisan atau teks seperti buku telepon, buku resep masakan, dan buku atlas termasuk dalam karya sastra yang secara kategoris setara dengan novel Saman-nya Ayu Utami atau The Da Vinci Code karya Dan Brown.

Meskipun kelihatannya seperti memiliki cakupan yang luas, definisi ini masih menafikan tradisi sastra lisan yang menjadi dasar kebanyakan karya sastra seperti Illiad dan Odyssey karya Homer atau epik Inggris Beowulf. Dalam konteks Indonesia, definisi ini telah menafikan berbagai jenis cerita atau dongeng rakyat, termasuk mantera-mantera, yang terdapat di berbagai etnis di wilayah negara kita dan telah berkembang sejak dahulu sejalan dengan perkembangan masyarakat. Perlu diingat, masyarakat kita memiliki oral tradition atau tradisi lisan yang lebih tua, kuat, dan mengakar dibandingkan dengan tradisi tulisan.

Untuk mengatasi permasalahan di atas, beberapa ahli mendefinisikan karya sastra sebagai sebuah karya seni. Dengan demikian, definisi ini mencakup karya seni tulis dan lisan. Meskipun demikian, karya seni juga memiliki cakupan luas. Dengan definisi ini, seni lukis dan pahat, misalnya, masih termasuk dalam kategori karya sastra. Hal ini merepotkan. Oleh karena itu, para ahli tersebut kemudian mempersempit definisi ini dengan mengatakan bahwa karya seni yang termasuk dalam sastra adalah karya yang berupa hasil imajinasi atau menulis kreatif. Dengan pembatasan semacam ini, buku telepon dan buku resep masakan tentunya tidak termasuk dalam kategori karya sastra. Begitu pula halnya dengan berbagai jenis lukisan dan seni pahat yang tidak berbentuk tulisan. Yang termasuk karya sastra adalah puisi, drama, prosa fiksi dan berbagai jenis karya tulis imajinatif lainnya.

Di samping definisi yang terfokus pada luasnya cakupan, sebagian para ahli juga menekankan kualitas teks yang termasuk dalam kategori karya sastra. Misalnya, apakah karya sastra seorang pengarang atau dunia sekunder-nya mampu menggambarkan dunia primer pengarang tersebut. Yang dimaksud dunia primer adalah dunia nyata tempat pengarang hidup, bergerak, dan bernafas sedangkan dunia sekunder adalah dunia imajinasi dalam karya tulis mereka. Karena realitas atau dunia primer terstruktur dengan baik, maka struktur dunia sekunder pun harus demikian. Untuk menciptakan karya sastra yang berstruktur baik, seorang pengarang harus mampu menciptakan plot, karakter, tone, konflik, dan elemen artistik cerita lainnya yang saling berhubungan secara dinamis. Karakteristik inilah, menurut mereka, yang menentukan apakah sebuah tulisan termasuk dalam kategori karya sastra atau bukan.

Selanjutnya, kritikus lain menambahkan kriteria test of time sebagai elemen penting dalam penentuan sebuah karya sastra. Karya sastra yang baik biasanya tidak lekang dimakan waktu. Misalnya, sejak dahulu sampai sekarang, orang masih tertarik untuk membaca The Divine Comedy karangan Dante Alighieri (1265-1321) atau Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis (1960). Kriteria ini juga menunjukkan fungsi dan nilai budaya sebuah karya sastra. Jika masyarakat, apa pun alasan dan motivasinya, sudah menghargai sebuah teks atau tulisan, mereka sering menganggapnya sebagai karya sastra terlepas apakah karya tersebut mengandung elemen-elemen sebuah karya sastra atau tidak.

Lebih khusus, para ahli lain menekankan kandungan nilai estetis dalam sebuah karya sastra. Kualitas estetika inilah yang membedakan sebuah karya sastra dari jenis tulisan lainnya. Nilai estetis inilah yang menentukan kriteria keindahan sebuah karya seni. Ahli teori seperti Plato dan Aristotle berkeyakinan bahwa nilai estetis sebuah karya menyatu secara inheren dalam objek seni, sementara ahli kritik lain seperti David Hume berpendapat bahwa nilai estetis ditentukan oleh orang yang menikmati karya seni tersebut. Beberapa ahli teori sastra abad 20 berpendapat bahwa nilai estetis sebuah karya terdapat dalam hubungan yang dinamis antara objek seni dan penikmatnya dalam rentangan waktu tertentu. Di mana pun letak nilai estetis sebuah karya sastra, kebanyakan ahli kritik sastra berkeyakinan bahwa keberadaan nilai estetis yang tinggi merupakan prasyarat mutlak bagi sebuah karya sastra.

Kualitas nilai estetis berhubungan langsung dengan tujuan utama sebuah karya sastra yakni mengekspresikan gagasan dan rasa yang signifikan bagi penulisnya atau kehendak untuk menghibur lewat cerita. Meskipun sebuah karya sastra mungkin mengandung berbagai jenis fakta, tujuan utamanya bukanlah mempersoalkan kebenaran faktual melainkan mengolah gagasan atau rasa serta memenuhi kehendak untuk menghibur lewat cerita. Subjek dari setiap cerita pada umumnya adalah manusia, khususnya menjelaskan berbagai pengalaman manusia secara rinci, bukan menjelaskan fakta. Sebuah karya sastra, misalnya, tidak mendefinisikan arti kata patriotisme, tetapi menjelaskan bagaimana karakter seorang patriot sejati dalam berbagai tingkah lakunya dalam berbagai konteks kehidupan yang dilibatinya.

Yang terakhir namun tak kalah penting, definisi sastra sangat tergantung pada jenis mazhab kritik sastra yang digunakan pembaca atau kritikus ketika membaca sebuah karya sastra. Bagi para pengikut mazhab formalisme, misalnya, penentuan karya sastra sangat tergantung pada kualitas gelaran sebuah tulisan atau teks. Sementara itu, bagi para pengikut mazhab kritik respons pembaca, interaksi, hubungan psikologis, dan transaksi antara teks dan pembaca menentukan apakah sebuah tulisan bisa dianggap karya sastra atau bukan.

Apa pun batasan definisinya, karya sastra telah terbukti mampu memberikan kepuasan tersendiri bagi para pembaca yang menikmati intensitas imajinasi para pengarang melalui untaian kata-kata terpilih yang disajikannya. Kompetensi kesusastraan para pembaca dalam mengapresiasi sebuah tulisan juga menentukan apakah tulisan tersebut bisa dikategorikan karya sastra atau bukan. Seorang pembaca karya sastra yang kompeten tidak hanya menikmati karya sastra untuk kepuasan pribadi, tapi juga bisa menghasilkan kritik yang konsisten bagi para pengarang dan penikmat karya sastra lain sehingga bisa memajukan dunia kesastraan secara keseluruhan.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, ketika sebagian kritikus sastra sudah sepakat untuk memfokuskan diri pada karya teks yang mengandung nilai estetis, pertanyaan berikutnya adalah karya siapa yang dinyatakan layak untuk dianggap karya besar atau kanon sehingga dapat dijadikan rujukan dalam dunia kesusastraan atau dijadikan bahan bacaan wajib yang harus dipelajari oleh para siswa di sekolah-sekolah. Haruskah ada lembaga khusus yang menentukan apakah sebuah tulisan atau teks termasuk karya sastra atau bukan sehingga layak untuk menjadi rujukan bagi pengajaran di sekolah-sekolah? Misalnya, di antara karya yang dianggap kanon dan terdapat dalam kurikulum di sekolah selama ini, sebagian kurang mendapat simpati dari para siswa di sekolah. Sebaliknya, beberapa karya yang tidak dianggap kanon sehingga tidak termasuk dalam muatan kurikulum di sekolah, seperti novel Lupus karya Hilman, malah digandrungi hampir semua anak SMA.

Penyusunan atau kompilasi karya sastra di Indonesia juga sering hanya terfokus pada karya sastra yang sudah terbukukan dan menafikan karya sastra yang tidak dalam bentuk buku seperti yang banyak bertebaran di media massa seperti majalah dan surat kabar. Ambil contoh, misalnya, buku yang berjudul Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw (1952) dan Kesusasteraan Baru Indonesia karya Zuber Usman (1957) : kedua buku ini hanya mencatat para sastrawan yang memiliki karya sastra terbukukan. Padahal, sejak zaman pra-kemerdekaan sampai sekarang, karya sastra yang bertebaran di media masa seperti ini memiliki proporsi yang sangat besar dan berpengaruh dalam perkembangan dunia kepengarangan di Indonesia.

Meskipun demikian, sekarang ini sudah mulai banyak penelitian sastra yang memasukkan jenis karya sastra yang terdapat di berbagai media massa seperti surat kabar dan majalah dalam menyusun karya sastra Indonesia. Hal ini lagi-lagi menunjukkan bahwa seperti halnya dalam pendefinisian, proses kompilasi juga terkadang sangat politis.

1 Like