Apa saja Persyaratan Inflation Targeting?

Inflation Targeting

Apa saja Persyaratan Inflation Targeting?

Untuk bisa berhasil, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan model sasaran tunggal inflasi. Secara sederhana, persyaratan tersebut dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu syarat sebelum inflation targeting diterapkan dan syarat pada saat inflation targeting diimplementasikan. Sebelum secara resmi mengadopsi inflation targeting, ada dua hal yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah yaitu, pertama, menciptakan independensi Bank Sentral dan, kedua, menghindari target-target nominal lain selain inflasi.

Hal terpenting dari independensi Bank Sentral adalah adanya independensi instrumen. Maksudnya, Bank Sentral memiliki kebebasan untuk menggunakan setiap instrumen kebijakannya tanpa diganggu oleh kepentingan pihak lain. Gangguan yang sering terjadi adalah dari sisi fiskal, yaitu kebijakan pembiayaan defisit anggaran melalui pencetakan uang baru (seignorage). Bila ini yang terjadi, sangat sulit bagi Bank Sentral untuk mengatur jumlah uang beredar yang memenuhi dua kepentingan sekaligus. Oleh karena itu, hilangnya dominasi fiskal dalam model inflation targeting, merupakan keharusan.

Syarat kedua sebelum inflation targeting dilaksanakan adalah tidak adanya sasaran nominal lain selain inflasi, seperti nilai tukar. Inflasi memiliki hubungan yang erat dengan nilai tukar. Konsekuensinya, memilih inflasi harus mengorbankan nilai tukar. Bila inflasi yang dikehendaki untuk dijadikan sasaran, maka perekonomian harus siap menerima semua konsekuensi dari berapapun besarnya nilai tukar. Itulah alasan mengapa model nilai tukar yang tepat dalam inflation targeting adalah mengambang bebas. Syarat ini memang tidak mudah dilaksanakan terutama bagi negara yang perekonomiannya sangat terbuka. Karena naik turunnya nilai tukar, dalam hal tertentu, memiliki dampak yang lebih serius dari pada inflasi itu sendiri.

Pada prinsipnya, setelah ada independensi Bank Sentral dan absennya target nominal selain inflasi, suatu negara bisa memulai menerapkan kebijakan moneter dengan sasaran tunggal inflasi. Meskipun demikian, agar bisa berjalan dengan baik, setidak-tidaknya ada empat syarat yang harus diperhatikan dalam menjalankan inflation targeting (Masson et al., 1998).

Pertama, Bank Sentral (dan atau pemerintah) menetapkan secara eksplisit besaran target inflasi untuk beberapa periode ke depan, dan hal ini harus diumumkan secara terbuka kepada publik. Kedua, adanya informasi yang jelas mengenai variabel-variabel moneter maupun non-moneter yang digunakan untuk merumuskan kebijakan moneter. Ketiga, memiliki model yang handal untuk memperkirakan inflasi yang menyertakan penjelasan mengenai variabel dan indikator yang dipakai. Keempat, menggunakan prosedur operasional yang berorientasi ke depan dimana penetapan instrumen kebijakan didasarkan pada tekanan inflasi yang terjadi dan estimasi inflasi yang digunakan sebagai target antara dari kebijakan moneter.

Dengan beberapa persyaratan seperti tersebut di atas, memungkinkan timbulnya halhal positif dalam kebijakan ekonomi. Antara lain, penerapan inflation targeting memungkinkan otoritas moneter untuk fokus pada masalah inflasi tanpa diganggu oleh persoalan eksternal. Disamping itu, dengan inflation targeting, sangat dimungkinkan terciptanya transparansi dalam kebijakan ekonomi. Keharusan untuk mengumumkan semua aspek kepada publik, selain membuat publik menjadi familiar, juga menghindari timbulnya time inconsitency yang dilakukan oleh otoritas moneter. Transparansi kebijakan seperti ini, merupakan alasan penting dari keberhasilan negara-negara maju dalam menciptakan inflasi yang rendah dan stabil (Mishkin, 2000). Yang terakhir, tidak seperti dalam model monetary targeting, penerapan inflation targeting tidak membutuhkan asumsi mengenai stabilnya hubungan antara uang dan inflasi. Padahal, dalam realitanya, asumsi tersebut sangat sulit untuk dipenuhi.

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa inflation targeting tidak memiliki kelemahan. Kelemahan yang paling penting, dan secara politik biayanya mahal, adalah dikorbankannya tujuan pertumbuhan dan kesempatan kerja dalam jangka pendek. Ketakutan inilah yang menimbulkan kontroversi luas saat ini di Amerika Serikat untuk menerapakan inflation targeting (Schott, 2005). Persoalan ini menjadi lebih dramatis bila pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi persoalan yang kronis. Dalam situasi seperti ini, dilihat dari perspektif sosial-politik, mengorbankan pertumbuhan demi inflasi merupakan tindakan sangat tidak populer.

Dari uraian mengenai persyaratan inflation targeting, tampaknya sangat sulit bagi negara berkembang untuk bisa menerapkan inflation targeting dengan baik karena persyaratannya yang sangat ketat. Tetapi dalam kenyataannya, meskipun kondisi perekonomiannya tidak seperti yang dipersyaratkan, mereka tetap bisa menerapkan inflation targeting dan hasilnya terbukti cukup memuaskan (Amato & Gerlach, 2002). Namun perlu digaris bawahi bahwa, karena kondisinya yang sangat beragam, model penerapannya-pun amat beragam sesuai dengan kondisi dimana dan kapan mereka mulai menerapkan inflation targeting.

Chili mulai menerapkan tahun 1991. Pada waktu itu, Chili menghadapi persoalan yang serius, yaitu tingginya inflasi akibat dari kebijakan yang ekspansif di masa lalu dan tingginya harga minyak dunia serta kegagalan dalam menciptakan stabiltas nilai tukar. Karakteristik utama dari kebijakan inflation targeting di Chili adalah melakukan pendekatan dis-inflasi sejak awal secara bertahap. Hasilnya sungguh luar biasa, tingkat inflasi bisa diturunkan dalam waktu yang cepat tanpa penurunan output secara signifikan . Kebijakan fiskal yang hati-hati juga memiliki sumbangan besar dalam menurunkan tingkat inflasi. Chili tetap menganut crawling peg dengan tingkat band tertentu sampai 1999, dan sejak itu Chili mengadopsi rezim nilai tukar bebas. Pengalaman Chili menunjukan bahwa inflation targeting tidak harus dilakukan dengan membebaskan nilai tukar sejak awal.

Setelah membebaskan nilai tukar peso pada bulan Desember 1994, Bank Sentral Meksiko mencoba menjaga monetary targeting untuk beberapa tahun. Tetapi karena adanya ketidakstabilan hubungan antara uang inti dan inflasi, akhirnya Meksiko mengadopsi inflation targeting secara bertahap mulai tahun 1999. Di Brasil, setelah menerapkan real plan pada tahun 1994, inflasi bisa diturunkan secara cepat yaitu dari sekitar 2000 persen menjadi hanya 1,5 persen pada tahun 1998. Sayangnya pemerintah Brasil tidak mampu melakukan reformasi fiskal, sehingga menimbulkan spekulasi nilai tukar yang hebat pada akhir 1998, yang berlanjut menjadi kebangkrutan ekonomi pada awal 1999. Menyadari hal ini, kemudian Bank Sentral mengadopsi inflation targeting pada bulan Juni 1999.

Keberhasilan Chili banyak mengilhami negara berkembang lainnya untuk mengadopsi inflation targeting. Korea Selatan mulai mengadopsi pada April 1998. Dimana sebelumnya Korea menerapkan kebijkan moneter dengan agregat moneter sebagi sasaran antara (monetary targeting). Namun dengan semakin kompleksnya sektor keuangan, agregat M2 menunjukkan kecenderungan ketidakstabilan. Krisis keuangan Asia yang memaksa ditinggalkannya nilai tukar tetap, mendorong Korea untuk menerapkan inflation targeting. Langkah ini kemudian diikuti oleh beberapa negara Asia Timur lainnya seperti Philipina (2002) dan Thailand (2000).

Kecenderungan yang mengarah pada nilai tukar bebas juga melanda di beberapa negara Eropa Timur dan Tengah (yang sering digolongkan sebagai transition economies). Pada masa-masa awal transisi, untuk menciptakan tingkat harga yang stabil setelah melakukan devaluasi, pada umunya mereka menganut sistem peg. Namun setelah inflasi bisa diturunkan, justru menyebabkan apresiasi nilai tukar yang berakibat pada meningkatnya defisit neraca pembayaran, sehingga mereka mulai menerapkan sistim nilai tukar mengambang. Sejak itu secara bertahap mereka mulai menerapkan inflation targeting: Ceko awal tahun 1998, Polandia pertengahan 1998 dan Hungaria tahun 2001.

Dari pengalaman negara-negara tersebut di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa penerapan inflation targeting memberikan hasil yang memuaskan dalam menurunkan tingkat inflasi (Levin et al., 2004). Ditemukan bahwa tingkat inflasi aktual di negara tersebut relatif rendah, dan tidak lebih tinggi dari pada yang terjadi di negara maju. Bahkan bagi negara yang secara historis memiliki inflasi yang sangat tinggi, dengan inflation targeting mereka mampu menurunkan inflasi dari dua digit menjadi hanya satu digit. Juga ditemukan bahwa proses dis-inflasi selama menerapkan inflation targeting sangat bervariasi diantara mereka, dimana beberapa negara menempuh proses yang bertahap, tetapi beberapa negara lainnya menempuh secara agresif.

Keberhasilan ini agak mengejutkan dan sekaligus membantah kekhawatiran beberapa pakar terhadap kemungkinan kegagalan penerapan inflation targeting di negara berkembang. Tampaknya, terpenuhi tidaknya persyaratan inflation targeting seperti telah disebutkan, bukan merupakan masalah yang krusial dalam mengadopsi inflation targeting (Amato & Gerlach, 2002). Yang terpenting adalah bagaimana Bank Sentral bisa merumuskan model yang tepat dan penerapannya sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi.

Keberhasilan dari negara berkembang seperti tersebut di atas, tampaknya sejalan dengan keberhasilan yang dicapai oleh negara maju seperti Kanada. Menurut Gubernur Bank Sentral Kanada, seluruh manfaat yang diharapkan dari penerapan inflation targeting sudah bisa diwujudkan di Kanada (Dodge, 2005). Sampai saat ini, hampir tidak dijumpai kasus dimana negara yang menerapkan inflation targeting akhirnya menemui kegagalan . Barangkali, inilah salah satu penjelasan mengapa banyak negara yang tertarik untuk menerapkan inflation targeting, terutama negara berkembang yang umumnya banyak menghadapi masalah inflasi dan persoalanpersoalan domestik lainnya.