Apa saja Pendekatan Sosiologi Kekuasaan?

Dalam sosiologi kekuasaan terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk menganalisis atau meneliti permasalahan yang dihadapi dalam ruang lingkup sosiologi kekuasaan.

Apa saja pendekatan sosiologi kekuasaan?

Ada beberapa pendekatan yang dipakai dalam kajian sosiologipolitik:

Model “Power-Elite”

Model ini merupakan satu analisis sosiologis dari ilmu politik yang didasarkan atas teori konfl ik sosial yang memandang kekuasaan terkonsentrasi di sekitar orang-orang kaya. Istilah “power elite”, ditemukan pada 1956 oleh pakar teori social-conflict C.Wright Mills, untuk menggambarkan the upper class, yang menurut Mills menguasai atau mengendalikan kekayaan, kekuasaan, dan prestise golongan mayoritas masyarakat. Golongan atas ini memegang kendali terhadap tiga sektor utama di dalam masyarakat AS: ekonomi, pemerintah, dan militer. Termasuk juga, di antaranya adalah para pejabat tinggi dalam pemerintahan pusat maupun daerah, orang-orang super-kaya (super-rich), dan pejabat tinggi militer AS.

Teori power-elite berpendapat bahwa Amerika bukan negara demokrasi karena kekuasaan dan kekayaan terkonsentrasi di antara golongan elite kekuasaan yang membungkam mayoritas warga negara yang ditinggalkan tanpa hak suara. Lebih dari itu, model ini menunjukkan bahwa golongan elite kekuasaan kurang mendapat oposisi yang terorganisasi terhadap dominasi mereka, dan oleh karena itu mereka memiliki kontrol yang utuh ke atas masyarakat.

Model “Pluralist”

Dalam sistem politik yang demokratis, pluralisme merupakan satu panduan prinsipil yang mengakui kehidupan bersama yang damai dalam perbedaan kepentingan, keyakinan, dan gaya hidup. Tidak seperti totalitarianisme atau partikularisme , pluralisme mengakui “perbedaan kepentingan” dan menganggapnya sah bagi anggota masyarakat untuk bekerja atas dasar kesadaran mereka, mengemukakannya dalam proses konfl ik dan dialog. Dalam fi lsafat politik, orang yang menganut pluralisme sering dianggap sebagai kaum liberalist, sedangkan orang yang membahasnya dengan sikap yang lebih kritis terhadap the diversity of modern societies sering disebut communitarians. Dalam politik, pengakuan akan keragaman kepentingan dan keyakinan di kalangan rakyat merupakan salah satu ciri terpenting demokrasi modern.

Model Politik-Ekonomi Marxis

Karl Marx memang telah membangun model ekonomi politik berdasarkan kritiknya terhadap keadaan pada zamannya di Inggris awal abad 20, ketika hubungan-hubungan sosial dan hubunganhubungan ekonomi dianggap sangat terjalin. Oleh karenanya, Marx menganggap bahwa ada hubungan sistematis antara nilai-nilai buruh (labour-values) dan nilai uang (money prices).

Konsep “nilai lebih” (surplus value) merupakan kata kunci dari teori ekonominya, dianggap bahwa sumber keuntungan di bawah sistem kapitalisme adalah nilai tambah yang dihasilkan oleh para pekerja yang tidak dibayarkan ke dalam komponen gaji mereka. Marx dalam hal ini membedakan pemikirannya dengan para ekonom klasik, seperti Adam Smith dan David Ricardo.

Kaum Marxis percaya bahwa aslinya masyarakat kapitalis dibagi dalam dua kelas sosial yang kokoh:

  1. The working class or proletariat (kelas proletar). Marx mendefi nisikannya sebagai “orangorang yang menjual tenaga dan tidak memiliki alat-alat produksi” yang diyakininya bertanggung jawab dalam menghasilkan kekayaan bagi suatu masyarakat (bangunan, jembatan dan berbagai perabot, sebagai contoh, yang secara fi sik dikerjakan oleh anggota kelas ini). Ernest Mandel, dalam An introduction to Capital, memperbarui defi nisi ini sebagai orang yang bekerja demi menyambung hidupnya (baik ‘white collar’ ataupun ‘blue collar’) dan mereka tidak punya tabungan yang berarti, padahal tabungan yang banyak merupakan ciri tipikal investasi dalam bentuk abstrak dari alat produksi pada basis pemegang saham;
  2. The bourgeoisie (kelas borjuis), yaitu orang yang memiliki alat-alat produksi dan mengeksploitasi proletariat. Kaum borjuis bisa dibagi lagi ke dalam “borjuis yang sangat kaya” dan “borjuis kecil” (mempekerjakan buruh, tapi juga bekerja sendiri). Mereka terdiri dari para pemilik usaha kecil, petani pemilik tanah, atau pedagang. Marx memprediksi bahwa “borjuis kecil” akan dihancurkan oleh penemuan kembali alat-alat produksi dan hasilnya akan menjadi pendorong gerakan mayoritas luas borjuis kecil-kecilan ini kepada proletariat.