Apa Saja Parameter dalam Kajian Ekolinguistik?

ekologi
Untuk menggambarkan keterkaitan antara bahasa dan lingkungan diperlukan adanya kajian interdisipliner yang menyandingkan kajian ekologi dengan linguistik. Ekologi merupakan ilmu yang menggeluti hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya, termasuk pula menjelaskanhubungan antara manusia dengan alam sekitarnya yang tentu saja bergayut dengan bahasa manusia itu. Untuk melihat seberapa kuat keterkaitan antara bahasa dan ekologi, tentunya akan ada parameter dalam kajian ekolinguistik. Apa sajakah parameternya?

Kajian interdisipliner yang awalnya diprakarsai oleh Einar Haugen memadukan konsep ekologi dengan linguistik ini, pada awalnya mengkaji metafora. Kajian ini menerapkan konsep dasar berupa parameter ekologi bersatu padu dengan kajian linguistik kognitif, seperti yang dijelaskan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:1). Parameter ekologi dimaksud adalah kesalingterhubungan (interrelationship), lingkungan (environment), keberagaman (diversity), digunakan sebagaimana berlaku dalam analisis wacana lingkungan, antropolinguistik pragmatik, semantik kognitif, dan lainnya.

Ketiga-tiga parameter ini akhirnya diaplikasikan ke dalam kajian penelitian ekolinguistik. Ketiga-tiganya saling terkait erat dan saling melengkapi. Ketiga-tiganya senantiasa diaplikasikan secara bersamaan dalam penelitian ekolinguistik. Ketika kajian ekolinguistik membicarakan parameter ekolinguistik pastilah ketiga terminologi, keberagaman (diversity), kesalingterhubungan (interrelationship), dan lingkungan (environment), tersebut dibicarakan saling berkaitan. Berikut penjekasan detailnya:

  • Parameter Keberagaman (Diversity)

Fill dan Muhlhausler (2001:2) mengutarakan bahwa keberagaman (diversity) perbendaharan kosa kata sebuah bahasa memancarkanlingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempatbahasa itu berada dan digunakan. Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam, geografi yang menyangkut topografi seperti, iklim, biota, curah hujan, sedangkan lingkungan kebudayaan berkaitan dengan hubungan antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti agama, etika, politik, seni, dan lain sebagainya. Kelengkapan kosa kata bahasa itu bergantung pula kepada cara pandang, sikap, dan perilaku serta pekerjaan (profesi) masyarakat tutur bahasa tersebut.

Keberagaman jenis spesies fauna, flora di satu lingkungan alam paralel dengan keberagaman vokabulari bahasa di dalam lingkungan sosial masyarakat tutur tersebut demikian pula sebaliknya. Keberagaman biota ini memperkaya khasanah vokabulari bahasa tersebut. Keberagaman juga dapat ditujukan atau berimplikasi kepada hubungan antara ranah sumber dan ranah target dalam sebuah metafora. Kepada sebuah ranah target dapat diaplikasikan beberapa ranah target, demikian pula sebaliknya sebuah ranah target dapat berasal dari beberapa ranah sumber.

  • Parameter Kesalingterhubungan (Interrelationship)

Keberadaan spesies dan kondisi kehidupan mereka tidak dapat dipandang sebagai dua bagian terpisah, tetapi sebagai satu bagian yang utuh, demikian pula halnya dengan bahasa ibu dan etnik tidak dapat dicirikan secara individual. Hubungan paralel ini tidak berarti bahwa bahasa dan spesies biologi sama dalam semua hal. Satu hal mutlak yang dapat membedakan keduanya adalah bahwa bahasa bukanlah organisme hidup. Bahasa ditranformasikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya oleh penutur bahasa dan penggunaannya. Berbeda dengan spesies biologi yang diturunkan melalui perkawinan.

Eksistensi sebuah bahasa sangat bergatung kepada jumlah penuturnya. Penamaan dan pengklasikasian nama tumbuhan dan hewan serta jenis batu-batuan bergantung kepada konvensi penuturnya. Istilah konvensi di sini tidak dapat diartikan sebagaimana lazimnya istilah konvensi yang digunakan dalam linguistik yaitu istilah yang mengacu kepada hubungan arbitrer antara bentuk atau lambang linguistik dengan makna yang dikandungnya. Istilah konvensi ini dialamatkan kepada tingkat kesepakatan penggunaan bahasa dalam komunitas bahasa tesebut.

Parameter keterhubungan atau parameter kesalingterhubungan antara linguistik dengan ekologi merupakan hubungan timbal balik antara makhluk di lingkungan alam tersebut dengan ekologinya yang dapat terpantul pada metafora ekologi yang bernuansa isu lingkungan, dikodekan ke dalam bahasa dalam jangkauan yang luas. Konsep metafora seperti yang digambarkan oleh Kovecses (2006:171), berisikan skema sumber yang dalam hal ini menyangkut ranah yang bersifat fisik dikodekan secara verbal kepada ranah yang bersifat abstrak seperti, pada metafora green house, green speak, dan lainnya.

Metafora ekologi menurut Fill dan Muhlhausler (2001:104), banyak bergantung kepada sosiokultural dan unsur kognitif masyarakat tutur bahasa tersebut. Waktu, situasi, dan ranah penggunaan bahasa juga memengaruhi bentuk metafora bahasa tersebut. Keterhubungan antara unsur-unsur ini jelas tergambar seperti yang terjadi pada awal abad kesembilan belas, kebutuhan akan air sebagai bahan pokok kehidupan, secara eksklusif disejajarkan dengan uang yang memunculkan metafora seperti central money supply, ‘central water supply’, dan metafora water is money, sangat popular saat itu. Dalam praksisnya metafora Inggris water is money atau metafora bahasa Indonesia, air itu uang juga jelas menggambarkan betapa sumber air (mineral) dieksploitasi dan bernilai ekonomis tinggi, di antaranya juga merusak dan menggerus lingkungan.

Parameter keterhubungan antara bahasa dengan ekologi di Desa Trumon terlihat adanya metafora POK-POK DRIEN. Pok-pok adalah batang bambu yang dipotong panjangnya sekitar satu meter (2-3 ruas) kemudian bambu tersebut dibelah dua. Bagian pangkal bambu diikat dengan tali agar tidak mudah lepas dan salah satu belahan dipasang tali. Media ini digantungkan pada pohon durian atau buah-buahan lainnya yang sedang berbuah. Bila tali ditarik akan mengeluarkan suara gaduh. Fungsi dari benda tersebut untuk mengusir binatang yang akan memakan buah-buahan. Dalam pemaknaannya secara metaforis pok-pok dialamatkan kepada orang yang banyak cakap dan mengumbar janji. Seperti dalam tuturan, babah jih POK-POK DRIEN. Artinya dia itu besar cakap saja

  • Parameter Lingkungan (Environment)

Manusia berinterelasi, berinteraksi, bahkan berinterdependensi dengan pelbagai entitas yang ada di lingkungan tertentu (ecoregion), memberi nama dalam bahasa lokalnya, memahami sifat-sifat dan karakteryang dikodekan secara verbal, semata-mata demi tujuan dan kepentingan-kepentingan manusia (antroposentrisme) dan juga karena manusia adalah makhluk ekologis yang memang tidak dapat tidak membutuhkan segala yang ada demi hidupnya secara biologis (biosentrisme), baik hewan, tumbuhan, bebatuan, maupun udara dan keluasan pandangan secara ragawi (kosmosentrisme).

Berbagai cara manusia memengaruhi lingkungannya, sebagaimana yang pernah dibicarakan sebelumnya. Sikap masyarakat terhadap lingkungan alam banyak didasari oleh pola kultural masyarakat tersebut. Sebagai contoh pandangan suatu masyarakat terhadap daging binatang seperti lembu, babi, ayam, itik kambing sebagai makanan manusia berkaitan dengan kebutuhan manusia.

Keberadaan binatang-binatang tersebut yang menyangkut dengan perkembangbiakannya sangat diperhatikan oleh masyarakat yang ada dalam lingkungan alam itu. Pada gilirannya sifat alamiah dari binatang itupun menjadi bagian dari perhatian masyarakat dengan kata lain pengetahuan lokal dan pengetahuan manusia tentang lingkungan alam telah berpengaruh kepada pandangan hidup, kultur, bahasa dan kosmologi masyarakat yang bergantung kepadanya. Menurut Muhlhausler (2003:37) bahwa klasifikasi hewan dan tumbuhan secara nyata merupakan refleksi dari lingkungan dengan keanekaragaman hayatinya tempat tinggal masyarakat tersebut.

Lingkungan alam dijadikan sebagai parameter membangun atau memberi nama-nama tersebut dalam kurun waktu yang sangat panjang, yang diturunkan secara berkesinambungan dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Dari hasil penelitiannya Muhlhausler (2003:59) mengemukakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pelabelan nama dapat memakan waktu lebih kurang tiga ratus tahun lamanya untuk menghubungkan sebuah bahasa dengan lingkungan biologis penuturnya.

Parameter lingkungan (environment) yang menjadi acuan pada lingkungan alam di Desa Trumon dapat dilihat pada kehidupan siput yang secara alamiah hidup dalam dua lingkungan alam yaitu lingkungan darat dan lingkungan air. Dari kehidupan siput terbentuk sebuah metafora yaitu ABO UDEP DUA PAT. Secara harfiah ungkapan ini mengandung makna ‘siput hidup pada dua tempat’, yaitu: abo ‘siput’, udep ‘hidup’, dua ‘dua’ dan pat’ tempat’ menjelaskan kehidupan siput yang dapat bertahan hidup di dalam dua lingkungan alam yang benar-benar berbeda yaitu di daratan dan di dalam air. Kehidupan siput seperti ini membentuk sebuah metafora yang tertuju kepada sifat atau perilaku seseorang yang dapat menyesuaikan diri di semua lingkungan sosial budaya dan semua kalangan masyarakat.

Ketiga parameter ekologi yang diterapkan dalam kajian ekolingustik yakni: (1) lingkungan (environment), (2) keberagaman (diversity), (3) interelasi (interrelation), interaksi (interaction), interdependensi (interdependention), kendatipun dalam uraian ini dipilah-pilah, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Di lingkungan tertentu, misalnya di Desa Trumon, Aceh, pasti terdapat keberagaman atau keanekaragaman hayati dan nonhayati (abiotik) baik tumbuhan, hewan, manusia, maupun benda-benda (abiotik) lainnya. Di lingkungan itu pula selalu terjadi interaksi, interelasi, dan interdependensi khususnya antara masyarakat penutur bahasa Aceh dengan keberagaman atau keanekaragaman yang ditandai dan direkam secara verbal.

Kendatipun masyarakat tutur bahasa Aceh memiliki bahasa yang sama yakni bahasa Aceh, derajat kedekatan (degree of familiriaty) dengan entitas-entitas tertentu di lingkungan tertentu itu berbeda-beda pula sebagaimana tercermin pada ketelitian khazanah kata yang mengkodekannya. Dalam kaitan dengan kerangka pikir ini, Haarmann, seperti yang dikutip oleh Fill dan Muhlhausler (2001: 44) menegaskan pula adanya variabel etnodemografi dan variabel etnokultural dalam hal ini para penutur bahasa dengan perbedaan derajat keakrabannya dan pengetahuannya, variabel etnokultural yang dipahami sebagai tradisi dan budaya etnik dan subetnik tertentu, masing-masing dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman berinteraksi, berinterelasi, dan berinterdependensi dengan entitas-entitas tertentu secara sangat khusus dan variatif pula. Kekhususan itu tercermin pada khazanah kata bahkan ungkapan-ungkapan metaforik bersumberkan keanekaragaman tetumbuhan atau hewan, atau juga unsur-unsur abiotik yang diakrabi di ecoregionatau lingkungan tertentu.

Derajat kedekatan itulah yang dapat saja membedakan antar kelompok penutur atau subkelompok penutur bahasa yang sama di lingkungan (ecoregion) tertentu dengan kelompok lainnya dalam bahasa yang sama. Variasi ungkapan metaforik itulah yang memperkaya khazanah keberagaman bahasa dan ungkapan-ungkapan suatu bahasa. Dilacak lebih jauh, sebuah ungkapan atau beberapa ungkapan metaforik dalam bahasa yang sama, dapat saja hanya dimiliki, dipahami, dan digunakan di lingkungan tertentu saja sesuai dengan derajat kedekatan interelasi, interaksi, dan interdependensidengan keanekaragaman hayati dan nonhayati di lingkungan tertentu. Sebagai contoh, terdapat 51 metafora yang digunakan oleh masyarakat Trumon akan tetapi tidak di gunakan di desa lain yang berdekatan yaitu Desa Meukek, Desa Bakongan dan Sawang. Mereka hanya mengetahui makna harfiah dari setiap metafora tersebut, dan mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa Aceh akan tetapi mereka tidak mengetahui dan atau tidak memahami makna metaforis yang terkandung dalam semua metafora tersebut. Pemahaman ini sangat bergantung dengan derajat kedekatan interelasi, interaksi, dan interdependensi dengan keanekaragaman hayati dan nonhayati di lingkungan Desa Trumon.

Referensi

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/53042/Chapter%20II.pdf;sequence=4