Apa saja obat yang bersifat ototoksik?

Ototoksik

Ototoksik merupakan sifat yang dapat mengganggu fungsi telinga. Mengetahui obat apa saja yang bersifat ototoksik penting untuk edukasi pasien mengenai efek samping obat yang akan mereka gunakan. Apa saja obat yang memiliki sifat ototoksik?

Obat-obat ototoksik yang menyebabkan kerusakan system auditori dan keseimbangan dapat menyebabkan kehilangan pendengaran, tinnitus, dan pusing. Kelas obat-obat tertentu yang menyebabkan ototoksisitas telah ditetapkan, dan lebih dari 100 kelas obat telah dikaitkan dengan toksisitas.

JENIS-JENIS OBAT OTOTOKSIK

1. Aminoglikosida

Aminoglikosida adalah kelompok antibiotic bakterisidal yang berasal dari berbagai macam streptomyces. Yang termasuk kelompok obat ini adalah streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomisin, netilmisin. Antibiotic aminoglikosida telah menjadi bagian penting dari obat antibacterial sejak mereka ditemukan pada tahun 1940-an. Mereka memiliki aktivitas in vitro yang kuat terhadap Pseudomonas Aeroginosa dan sebagian besar basil gram-negatif aerob lainnya, dan juga memperlihatkan aktivitas terhadap Staphylococcus aureus.

Aminoglikosida paling sering digunakan untuk melawan bakteri enteric gram negative, terutama pada bakteremia dan sepsis, dikombinasikan dengan vankomisin atau penisilin untuk endokarditis, dan untuk penanganan tuberculosis. Streptomisin adalah aminoglikosida yang tertua. Gentamisin, tobramisin, dan amikasin adalah aminoglikosida yang paling sering digunakan saat ini. Neomisin dan kanamisin penggunaannya terbatas pada penggunaan secara topical atau oral. Toksisitas utama dari obat ini adalah nefrotoksisitas, yang terjadi pada 15% pasien yang mendapatkan regimen ini, dan ototoksisitas, yang menimbulkan gangguan pendengaran dan gangguan pada system vestibuler.

2. Aminoglikosida secara ototopikal

Data yang berasal dari penelitian yang menggunakan hewan percobaan telah memperlihatkan hasil yang sama bahwa hampir semua antibiotic aminoglikosida yang digunakan sebagai antibiotic topical pada telinga tengah bersifat ototoksik. Tinjauan literature terbaru mengungkapkan terdapat 54 kasus toksisitas vestibular gentamisin karena penggunaan antibiotic ini secara ototopikal.

Selain itu, 24 pasien tersebut juga mengalami toksisitas auditori. Juga terdapat 11 pasien yang mengalami toksisitas auditori karena penggunaan tetes telinga yang mengandung neomisin-polimiksin. Oleh karena itu direkomendasikan bahwa jika memungkinkan, preparat antibiotic topical yang tidak menimbulkan efek samping ototoksik harus digunakan jika terbukti terdapat lubang pada membrane timpani.

3. Cisplatin

Cisplatin merupakan obat anti kanker yang digunakan untuk mengobati sejumlah keganasan seperti kanker testis, kanker ovarium dan beberapa keganasan pediatric. Dosis pemeliharaan membatasi efek samping cisplatin yaitu ototoksisitas dan neurotoksisitas. Jika dikombinasikan dengan vinblastin dan bleomisin atau etoposide dan bleomisin, terapi cisplatin dapat menyembuhkan kanker testis nonseminomatous. Cisplatin adalah senyawa platinum yang paling ototoksik bahkan dengan menambahkan salin hipertonik, prehidrasi, atau diuresis manitol pada regimen kemoterapi.

4. Loop Diuretik

Loop diuretic seperti asam ethacrynic, bumetanide, dan furosemide mengeluarkan efek diuretiknya dengan menghambat sodium dan penyerapan air pada bagian proksimal Loop of henle. Obat-obat ini digunakan untuk mengobati gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis, dan hipertensi.

5. Salisilat

Aspirin dan salisilat yang lain sangat berkaitan dengan tinnitus dan gangguan pendengaran sensorineural. Gangguan pendengaran bergantung pada dosis dan dapat berkisar dari moderat hingga parah. Jika konsumsi obat dihentikan, pendengaran kembali normal dalam waktu 72 jam. Tinnitus terjadi saat mengkonsumsi aspirin dengan dosis sebesar 6 hingga 8 g/hari dan pada dosis yang lebih rendah pada beberapa pasien. Tempat terjadinya efek ototoksik tampaknya pada tingkat mekanik koklear dasar, seperti yang dibuktikan dengan gangguan pendengaran sensorineural, hilangnya emisi otoakustik, penurunan aksi potensial koklear, dan perubahan ujung saraf auditori. Efek-efek ini mungkin disebabkan oleh perubahan pada turgiditas dan motilitas sel rambut di bagian luar.

6. Kuinolon

Kuinin telah lama diketahui berkaitan dengan terjadinya tinnitus, gangguan pendengaran sensorineural, dan gangguan penglihatan. Sindrom tinnitus, nyeri kepala, mual, dan gangguan penglihatan disebut cinchonism. Dosis yang lebih besar dapat menyebabkan sindrom ini menjadi lebih parah. Obat ini digunakan sebagai tambahan dalam pengobatan malaria. Efek ototoksik dari kuinin tampaknya terjadi terutama pada fungsi pendengaran dan biasanya bersifat sementara. Gangguan pendengaran yang permanen dapat terjadi dengan dosis yang lebih besar atau pada pasien yang sensitive.

Referensi :

  • Adam GL,MD. Boies LR,MD. Highler PA,MD. Boies Buku Ajar Penyakit THT. EGC: Jakarta. 1997.
  • Katzung, Bertram. Basic Clinical Pharmacology. Blackwell Science: USA. 2004.
  • Cummings Charles W,MD. Otolaryngology Head & Neck Surgery. Ed.IV. Elsevier. Philadelphia USA: 1998.
  • Roland, Peter S; Rutka, John A. Ototoxicity. BC Decker INC. London: 2004.