Apa Saja Motivasi yang Mendasari Orang untuk Melakukan Bunuh Diri?

Bunuh diri adalah bentuk pelarian parah dari dunia nyata, atau lari dari situasi yang tidak bisa ditolerir, atau merupakan bentuk regresi ingin kembali pada keadaan nikmat, nyaman dan tentram.

Motivasi apa saja yang mendasari orang dalam melakukan bunuh diri ?

Motivasi adalah suatu proses dalam diri manusia atau hewan yang menyebabkan organisme tersebut bergerak menuju tujuan yang dimiliki, atau bergerak menjauh dari situasi yang tidak menyenangkan.

Kartono (2000) menyebutkan dua macam motivasi yang mempengaruhi bunuh diri, yaitu :

1. Motivasi interpersonal

Dalam kasus bunuh diri terjadi apabila pribadi yang melakukan tindak bunuh diri terjadi apabila pribadi yang melakukan tindak bunuh diri tersebut lewat perbuatannya berusaha untuk mempengaruhi terjadinya perubahan sikap pada orang lain, atau mengharapkan adanya perubahan tingkah laku pada orang lain. Orang lain disini biasanya adalah orang yang dekat dengan orang yang melakukan bunuh diri tersebut seperti keluarga, teman atau kekasih.

Motivasi interpersonal ini bisa ditemukan pada semua usia akan tetapi paling banyak pada usia puber/remaja dan usia pertengahan. Perbuatan bunuh diri digunakan sebagai ekspresi dari kemarahan, penolakan dan pemaksaan kesediaan untuk mengubah perilaku orang lain atau untuk menumbuhkan perasaan bersalah kepada mereka.

2. Motivasi intrapersonal

Motivasi intrapersonal paling banyak muncul pada orang-orang yang lebih tua, diantaranya karena:

  1. Telah banyak hilang emosi ikatan-ikatan dengan orang lain.

  2. Merasakan adanya tekanan-tekanan dan ketegangan-ketegangan dari dalam dan perlunya melakukan satu perbuatan penting, yaitu bunuh diri.

  3. Mereka merasa bahwa kaitan dengan orang-orang yang dekat dengan dirinya sudah sangat longer, misalnya karena ditinggal mati suami/istri, anak-anak sudah berumah tangga, badan sudah sakit-sakitan dan dilupakan orang.

  4. Hingga muncul kemudian emosi-emosi yang sangat kuat berupa perasaan amat kesepian, merasa tidak diperlukan lagi, tidak bisa bekerja dengan efektif, badan semakin lemah dan sakit-sakitan dan bahwa dia sudah pernah hidup dan kini tidak punya apa-apa lagi. Suasana hatinya dipenuhi unsure depresi, dibarengi keinginan mengucilkan diri dan terkuras tenaganya secara fisik dan emosional. Lalu muncullah keinginan untuk mati.

Sedangkan menurut Mintz (1968), Motivasi seseorang dalam melakukan bunuh diri, antara lain :

  • Adanya insting kematian (Thanatos) yaitu kecenderungan untuk kembali ke keadaan bebas tekanan yang ada sebelum kelahiran

  • Harapan positif dan oleh sikap-sikap persetujuan terhadap legitimasi dari bunuh diri, (D. Stein dkk, 1998) orang yang membunuh dirinya sendiri mungkin berharap bahwa mereka akan dirindukan atau dikenang setelah kematian mereka, orang yang hidup akan merasa bersalah karena telah salah memperlakukan mereka

  • Upaya untuk memaksakan cintanya pada orang lain

  • Upaya untuk melakukan perubahan atas kesalahan yang dilihat pada masa lalu

  • Upaya untuk menyingkirkan perasaan yang tidak diterima, seperti ketertarikan seksual pada lawan jenis

  • Keinginan untuk reinkarnasi

  • Keinginan untuk bertemu dengan orang yang dicintai yang telah meninggal

  • Keinginan atau kebutuhan untuk melarikan diri dari stress, kehancuran, rasa sakit, atau kekosongan emosional. Secara umum bunuh diri merupaka upaya individu untuk menyelesaikan masalah, yang dilakukan dalam kondisi stress berat dan ditandai pertimbangan atas alternative yang sangant terbatas dimana akhirnya penihilan diri muncul sebagai solusi terbaik (Linehan & Sherin, 1988)

Menurut Emile Durkheim terdapat empat penyebab atau motivasi bunuh diri dalam masyarakat, yaitu egoistic suicide yaitu bunuh diri karena urusan pribadi, altruistic suicide yaitu bunuh diri untuk memperjuangkan orang lain, kemudian jenis bunuh diri yang diakibatkan karena peraturan yang tinggi adalah bunuh diri fatalistik, dan jenis bunuh diri yang diakibatkan karena peraturan yang rendah adalah bunuh diri anomik.

Egoistic


Bunuh diri yang pertama adalah bunuh diri egoistik. Bunuh diri egoistik ini dapat terjadi karena hubungan integrasi diantara kelompok sosial atau masyarakat dengan diri individu manusia.

“Suicide varies inversely with the degree of integration of the social groups of which the individual forms a part” (Durkheim, 1952).

Setiap individu manusia berada pada suatu kelompok sosial atau masyarakat tertentu, dan setiap individu manusia berinteraksi di dalam suatu kelompok sosial masyarakat. Maka bagi Durkheim, suatu tindakan individu manusia ditentukan atau sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakatnya. Individu manusia tidak bisa lepas dari sosial masyarakatnya. Sosial masyarakat yang memiliki sistem sangat berpengaruh terhadap tingkah laku diri individu manusia.

“But society cannot disintegrate without the individual simultanously detaching himself from social life, without his own goals becoming preponderant over those of the community, in a word without his personality tending to surmount the collective personality.” (Durkheim, 1952).

Hubungan antara individu manusia dengan masyarakat adalah sesuatu yang sudah melekat. Masyarakat tidak akan memisahkan diri dari individu manusia, kecuali jika diri individu manusia itu sendiri yang ingin melepaskan keterikatannya dengan kehidupan kelompok sosialnya. Disini individu manusia dianggap memiliki sifat egois, maka dalam jenis bunuh diri disini adalah bunuh diri egoistik. Diri individu manusia memisahkan diri dengan masyarakat atau lingkungan tempat diri individu itu berada. Disini terjadi keregangan hubungan diantara individu dengan masyarakatnya.

“The more weakened the groups to which he belongs, the less he depends on them, the more he consequently depends only on himself and recognize no other rules of conduct than what are founded on his private interest.” (Durkheim, 1952).

Semakin lemahnya keterikatan antara individu dengan masyarakat, maka akan semakin berkurangnya ketergantungan diri individu kepada masyarakat. Maka diri individu manusia akan lebih bergantung pada dirinya sendiri dan menyadari bahwa tidak akan ada peraturan yang akan mengatur tingkah lakunya untuk mencapai apa yang dirinya inginkan. Maka disini akan ada jarak yang sangat jauh diantara diri individu dengan masyarakat.

“If we agree to call this state egoism, in which the individual ego asserts itself to excess in the face of the social ego and at its expense, we may call egoistic the special type of suicide springing from excessive individualism.” (Durkheim, 1952).

Situasi ini dinamakan dengan egoisme, dimana diri individu mansuia menyatakan perbuatan yang diluar batas atau berlebihan tanpa peduli dengan lingkungan masyarakatnya. Dan egoistik ini menjadi salah satu tipe bunuh diri yang berkembang dari diri individu yang mementingkan diri sendiri dan tidak memiliki ikatan hubungan yang dekat dengan lingkungan masyarakat.

Bunuh diri egoistik terjadi akibat menurunnya integrasi yang terjadi dalam suatu masyarakat. Ini adalah jenis bunuh diri yang terjadi di mana tingkat integrasi sosial rendah. Setiap orang hidup bermasyarakat, hidup bergantung dengan orang lain. Ketika manusia bersikap egois dan tidak ada hubungan dekat dengan lingkungannya akan menimbulkan perasaan kesendirian. Ketika seseorang menemukan suatu permasalahan di dalam hidup, tidak ada satupun orang yang membantunya, ia akan merasakan depresi, ia juga akan merasakan kesendirian dan merasa tidak memiliki siapa-siapa di dunia. Salah satu contohnya adalah kedekatan dengan keluarga. Ketika terdapat integrasi yang kuat dalam struktur keluarga, suatu tindakan bunuh diri akan semakin rendah jumlahnya.

Tingkat kedekatan dengan masyarakat disini tidak terbatas pada keluarga saja, kelompok masyarakat yang lain dapat kita lihat dari kelompok agama dan kelompok integratif lain yang melindungi setiap manusia. Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas atau dengan lingkungannya. Lemahnya integrasi terhadap lingkungan ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu.

Bunuh diri egoistik ini memainkan peran emosi dan perasaan yang sangat tinggi. Faktor yang menyebabkan bunuh diri egoistik adalah arus sosial seperti depresi, kesedihan dan kekecewaan. Kekecewaan inilah yang akan melahirkan suatu situasi yang dirasakan oleh manusia sebagai sesuatu yang didominasi oleh perasaan kesia-siaan. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.

Bunuh diri jenis egoistic ini terjadi karena kurangnya kontrol internal diri. Ketika seseorang dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadi mereka dengan apa yang mereka inginkan, mereka akan merasa ketidakpuasan terhadap dirinya. Mereka akan terus merasakan kurang dan tidak akan pernah merasa cukup. Manusia akan selalu membutuhkan hal yang lebih dan lebih terus menerus. Contoh bunuh diri jenis ini adalah individu yang tidak menikah memiliki tingkat bunuh diri yang lebih tinggi dari pada orang yang menikah. Contoh lain adalah pergaulan anak sekolah yang merasa tidak punya teman dan ditinggalkan dari segala sesuatu dan lingkungan orang-orang sekitarnya. Seorang anak yang dianggap aneh oleh teman-temannya akan memiliki pergaulan yang sempit, dimana dia tidak ditemani oleh teman-temannya, mereka akan terisolasi, diganggu atau digoda oleh orang lain sehingga anak ini akan merasakan depresi dan kesedihan mendalam, merasa kehidupannya sudah tidak lagi berguna dan tidak dibutuhkan oleh lingkungannya.

Contoh lain dari bunuh diri egoistik ini adalah orang kaya yang bunuh diri karena depresi atas lingkungannya yang hanya memanfaatkan dirinya karena harta yang ia miliki. Contoh lain dapat kita temui pada artis atau public figure atau bintang yang meninggal karena bunuh diri egoistic yaitu Marilyn Monroe, Janis Joplin Big Brother, Jim Morrison dari the doors, dan Kurt Cobain dari Nirvana. Mereka semua bunuh diri karena faktor internal dalam dirinya yang merasakan kekecewaan mendalam, depresi dan kesedihan. Kebahagiaan tidak dilihat dari seberapa kaya atau seberapa tenar seseorang dapat dilihat dalam kasus bunuh diri pada artis.

Alturistic


Jenis bunuh diri yang selanjutnya adalah bunuh diri alturistik. Bunuh diri alturistik ini adalah kebalikan dari bunuh diri egoistik. Bunuh diri alturistik ini terjadi karena hubungan individu manusia dengan masyarakat sangat dekat.

Individu manusia memiliki integrasi yang sangat tinggi dengan lingkungan sosialnya.

“If, as we have just seen, excessive individuation leads to suicide, insufficient individuation has the same effects. When man has become detached from society, he encounters less resistance to suicide in himself, and he does so likewise when social integration is too strong.” (Durkheim, 1952).

Kita dapat melihat bahwa terlalu individualistis yang sangat berlebihan akan membawa kita pada suatu tindakan bunuh diri, seperti bunuh diri egoistik. Namun ternyata tidak memiliki sifat individual sama sekali juga akan mengalami hal yang sama. Seseorang yang memiliki kedekatan yang sangat besar dengan lingkungan masyarakat sekitarnya dan tidak memiliki sifat memikirkan dirinya sendiri akan membawa kita pada suatu tindakan bunuh diri juga. Hal ini terjadi ketika seseorang yang memiliki tanggung jawab yang lebih kepada kelompok masyarakatnya, ia akan memiliki pandangan bahwa dirinya adalah untuk orang lain, maka tidak jarang mereka akan merelakan dirinya untuk bunuh diri demi masyarakat. Bunuh diri alturistik ini terjadi ketika hubungan kedekatan individu dengan masyarakat terlalu kuat.

Bunuh diri alturistik terjadi ketika seseorang memiliki integrasi sosial yang sangat besar. Seseorang akan memiliki kesadaran kolektif yang terlalu kuat. Secara harfiah dapat dikatakan bahwa individu terpaksa melakukan bunuh diri untuk orang lain. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri dan lebih mementingkan orang lain atau masyarakat.

Orang-orang yang bunuh diri alturistik ini menganggap bahwa kematian adalah pembebasan. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. Beberapa dari orang- orang yang melakukan tindakan bunuh diri mungkin merasa itu adalah tugas mereka untuk melakukan bunuh diri. Contoh lain adalah polisi atau TNI yang mati ketika bertugas membela negara.

“Suicide, accordingly, is surely very common among primitive peoples. There are three categories. First, Suicides of men on the threshold of old age or stricken with sickness. Second, Suicides of women on their husbands’ death. Third, Suicides of followers or servants on the death of their chiefs.” (Durkheim, 1952).

Bunuh diri juga terjadi pada masyarakat primitif. Menurut Durkheim, ada tiga kategori bunuh diri yang terjadi pada masyarakat primitif, yaitu :

  • Pertama adalah bunuh diri yang terjadi pada orang tua yang memiliki kebosanan dan keletihan di dalam kehidupan atau karena serangan sakit yang berkepanjangan.

  • Kedua adalah bunuh diri yang terjadi pada seorang perempuan ketika suaminya meninggal dunia.

  • Ketiga adalah bunuh diri yang terjadi oleh para pengikut setelah kematian pemimpin atau kepala suku mereka.

“Now, when a person kills himself, in all these cases, it is not because he assumes the right to do so but, on the contrary, because it is his duty. If he fails in this obligation, he is dishonored and also punished, usually, by religious sanctions.” (Durkheim, 1952).

Maka ketika seseorang yang melakukan tindakan bunuh diri pada kasus bunuh diri alturistik disini, hal itu bukan karena keinginan dirinya sendiri, tapi justru karena hal itu adalah tugas atau kewajibannya. Jika seseorang telah gagal untuk menjalani kewajibannya, ia akan merasa sangat malu seperti sebuah aib, ia akan merasa dihukum oleh sangsi agama atau kepercayaannya. Maka ketika ia gagal menjalani kewajibannya, ia lebih baik bunuh diri. Ia mengabdikan dan merelakan dirinya untuk orang lain atau masyarakat.

Bunuh diri yang terjadi karena kewajibannya ini juga terjadi di Jepang, disebut juga dengan Harakiri. Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur, seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitupun sebaliknya, ketika integrasi menguat, seseorang akan melakukan bunuh diri untuk memenuhi kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa mereka melakukan tindakan bunuh diri karena itu merupakan bentuk pengorbanannya.

“…it even happens that the individual kills himself purely for the joy of sacrifice.” (Durkheim, 1952).

Seorang individu manusia melakukan tindakan membunuh dirinya sendiri benar-benar karena sebagai suatu bentuk kesenangan dan juga sebagai bentuk pengorbanannya untuk masyarakat. Seseorang akan lebih merasa dianggap ketika ia melakukan sesuatu untuk masyarakat, dan hal ini terjadi ketika ia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan lingkungan sosialnya. Seseorang akan melakukan pengorbanan yang sangat besar untuk masyarakat ketika terjadi hubungan yang sangat dekat antara individu dengan masyarakat, yaitu tindakan bunuh diri tanpa memikirkan dirinya sebagai individu.

Anomic


Bunuh diri anomik ini terjadi ketika regulasi melemah atau ketika tidak adanya aturan yang berlaku di dalam suatu masyarakat.

“Society is not only something attracting the sentiments and activities of individuals with unequal force. It is also a power controlling them. There is a relation between the way this regulative action is performed and the social suicide-rate.” (Durkheim, 1952).

Masyarakat bukan hanya sesuatu yang mengatur perasaan dan tindakan dengan kekuatan yang tidak setara, yaitu masyarakat yang posisinya lebih tinggi daripada individu. Tapi disana juga ada kekuatan yang mengontrol perilaku dan tindakan manusia di dalam suatu masayarakat yang bersifat memaksa, disebut dengan aturan. Maka disini ada hubungan antara peraturan regulatif dengan tindakan bunuh diri.

Bunuh diri anomic ini muncul karena terjadi ketidakstabilan sosial akibat kerusakan standar dan nilai-nilai. Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan atau dapat dikatakan bahwa tidak adanya pegangan hidup.

“It is a well-known fact that economic crises have an aggravating effect on the suicidal tendency.” (Durkheim, 1952).

Krisis ekonomi adalah faktor yang sangat berpengaruh dalam bunuh diri anomic ini. Contohnya adalah bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjaan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan.

“So far the increase in poverty from causing the increase in suicide that even fortunate crises, the effect of which is abruptly to enhance a country’s prosterity, affect suicide like economic disasters.” (Durkheim, 1952).

Peningkatan angka kemiskinan yang menyebabkan peningkatan angka bunuh diri ini adalah krisis yang sangat menguntungkan, karena dapat menimbulkan negara mempertinggi kemakmuran pada rakyatnya dan akan mempengaruhi bunuh diri karena bencana ekonomi.

Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang datang secara tiba-tiba sehingga mengakibatkan individu menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri. Orang-orang yang dibebaskan dari norma dasar masyarakat ini seperti tidak memiliki akar pegangan lagi, mereka akan menjadi budak nafsu mereka, dan sebagai hasilnya, menurut pandangan Durkheim, melakukan berbagai tindakan merusak, termasuk bunuh diri dalam jumlah yang lebih besar dari yang biasa.

Fatalistis


Jenis bunuh diri yang keempat adalah bunuh diri fatalistis. Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Dan ketika regulasi ini meningkat dan terlalu kuat, Durkheim menganggap bahwa masa depan individu ditutup dan setiap individu berada dibawah disiplin yang terkesan menindas. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas dan mereka tidak dapat melakukan hal apapun. Contohnya adalah perbudakan, seorang budak dalam keadaan melankolis dimana melihat bahwa kehidupan mereka tidak dapat berubah dan meningkat akan melakukan tindakan bunuh diri fatalistik. Contoh lain adalah tahanan yang tidak mungkin akan lepas atau kabur.

Pikiran Bunuh Diri ( Suicidal Ideation )


Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”).

Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi (Maris dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa antara 67% hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan dengan loneliness dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang paling sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris, dalam Maris dkk., 2000)

Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris dkk., 2000). Jobes, Berman , dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan untuk mati, hopelessness, dan lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).

Karakteristik Pikiran Bunuh Diri


Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih kaku dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan masa depan menjadi susah diubah (Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar juga berpendapat bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah persepsi ke arah yang negatif dan menyebabkan kesimpulan yang salah.

Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh diri antara lain:

  1. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan Deficient Problem-Solving

    • Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk penderitaannya. Marzuk, Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menyatakan bahwa cognitive rigidity merupakan karakteristik yang mendasari dichotomous thinking dan problem-solving deficit .
    • Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black or white) thinking , dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk, berhasil dan gagal, dan lain sebagainya. Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah ( problem-solving deficit ) diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas, karena ketidakmampuan menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan dengan baik dengan masalah impersonal atau masalah interpersonal (Levenson & Neuringer, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menambahkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan masalah interpersonal merupakan penghubung antara depresi, hopelessness , dan intensi bunuh diri. Penyebab problem-solving deficit belum banyak dipelajari.

Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah overgeneral autobiographical memory (Pollock & Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di otak. Overgeneral autobiographical memory berguna dalam mengingat situasi masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menemukan bahwa pasien dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini lebih besar pada pelaku percobaan yang high-lethality .

  1. Hopelessness

Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan penengah antara depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan dengan perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat memprediksi munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis & Rutherford, 2008).

  1. Alasan untuk hidup

Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL ( Reasons for Living ) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu suicidal dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, & Nielsen, dalam Ellis & Rutherford, 2008).

  1. Perfectionism

Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal sebagai faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak realistis ini mengakibatkan self-criticism . Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga jenis, diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna). Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-oriented berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.

  1. Konsep diri

Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian, kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell, Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut( self-verification ) (dalam Pervine, Cervone, & John, 2005).

Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang lebih sering disebut dengan harga diri ( self-esteem ). Harga diri merupakan penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu juga sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang tua berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh authoritative diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh neglected diasosiasikan dengan harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten & Lloyd, 2006).

Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.

  1. Ruminative Response Style

Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir ini terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif ( brooding) dan bentuk aktif ( reflection) (Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi. Brooding dapat memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan, reflection hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh diri.

  1. Autobiographical Memory

Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical memory dan menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan umum (William & Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini berkaitan dengan bunuh diri dalam 3 hal berikut: autobiographical memory yang terlalu umum menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan merusak kemampuan individu untuk membayangkan masa depan secara spesifik. Hal tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness dan kecenderungan bunuh diri pada individu.